Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 216 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indri R Asteria
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang pelaksanaan wasiat berupa saham dalam perseroan terbatas. Permasalahan yang menjadi fokus analisa adalah selain ahli waris yang ditetapkan menurut undang-undang, terdapat pula ahli waris yang diangkat dengan wasiat testamenter . Saham termasuk dalam harta peninggalan yang dapat diwariskan kepada ahli waris dilihat dari Pasal 52 Ayat 5 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Penelitian ini menggunakan motode penelitian yuridis normatif oleh karena itu jenis data yang digunakan adalah data sekunder, dimana alat pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan. Tipologi penelitian adalah yuridis normatif. Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis kualitatif yang menghasilkan bentuk penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wasiat berupa saham kepada ahli waris yang diangkat dengan wasiat dapat dilaksanakan asalkan pewaris tidak memiliki ahli waris legitimaris. Di samping itu untuk dapat mempergunakan hak-haknya sebagai pemegang saham, ahli waris yang diangkat dengan wasiat namanya harus tercatat dalam Daftar Pemegang Saham perseroan terkait terlebih dahulu dengan mengajukan permohonan kepada Direksi perseroan terkait serta melampirkan dokumen pendukung, seperti Akta Kematian Pewaris, Wasiat, Surat Keterangan Waris, dan identitas Ahli Waris. Kata kunci : saham, daftar pemegang saham, perseroan terbatas, wasiat, testameter.

ABSTRACT
This thesis discusses the implementation of wills in of shares in a limited liability company. The problems that are the focus of the analysis are in addition to the heirs established by law, There are also heirs who are appointed with a will testamenter . Shares are included in the heritage that can be inherited to the heirs seen from Article 52 Paragraph 5 of Law Number 40 of 2007 on Limited Liability Company. This study uses normative juridical research methods therefore the type of data used is secondary data, Where the data collection tool used is literature study. Research typology is normative juridical. Data analysis method used is qualitative analysis method which produce normative juridical research form. The results of the study indicate that the testament of a shares to the heirs appointed with the testament may be carried out provided that the heir does not have a legitimacy heir. In addition to being able to exercise its rights as a shareholder, the heirs appointed by the will of their name must be listed in the Registered Shareholder of the relevant company by submitting a request to the Board of Directors of the relevant company and attaching supporting documents, such as the Death Certificate of the Heir, Wills, Letter Description of Inheritance, and identity of the Heirs. "
2017
T48467
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mukhamad Zulkarnain
"Kasus tindak pidana korupsi yang dialami di PT ASABRI (Persero) tidak hanya memberikan sanksi pidana kepada para terdakwa, tetapi pemegang saham publik yang tidak ada kaitannya dengan terdakwa ikut terseret dalam kasus tersebut. Perlunya aturan yang menjamin perlindungan pemegang saham agar tidak dirugikan oleh pihak manapun. Penelitian ini menggunakan metode penelitian doktrinal. Perlindungan hukum pemegang saham publik yang rekening efeknya dirampas untuk negara sebagai akibat tindak pidana korupsi yang saat ini diatur dalam peraturan yang berlaku di Indonesia hanya sebatas Pasal 19 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur pengembalian hak dari pihak ketiga beriktikad baik. Aturan tersebut belum mengakomodir perlindungan hukum pemegang saham publik dimaksud sekalipun termasuk kategori pihak ketiga beriktikad baik, karena hanya mengatur penggembalaannya tidak mengatur kompensasi yang dapat diajukan sebagai akibat pemegang saham publik tidak bisa menikmati aset yang dirampas oleh negara, maka dari itu perlindungan hukum yang ideal di masa mendatang harus diatur mengenai hak pemegang saham publik untuk meminta kompensasi kepada negara sebagai akibat tidak bisa menikmatinya. Sehingga kepentingan perlindungan pemegang saham publik yang tidak ada kaitannya dengan terdakwa dalam tindak pidana korupsi yang terjadi di PT ASABRI (Persero) dapat terjamin kepastian hukumnya.

The corruption case that occurred at PT ASABRI (Persero) not only gave criminal sanctions to the defendants, but public shareholders who had nothing to do with the defendants were also dragged into the case. The need for rules that guarantee the protection of shareholders so that they are not harmed by any party. This study uses doctrinal research methods. Legal protection for public shareholders whose securities accounts have been confiscated for the state as a result of criminal acts of corruption currently regulated in regulations in force in Indonesia is only limited to Article 19 of the Law on the Eradication of Corruption Crimes which regulates the return of rights from third parties with good intentions. This regulation does not yet accommodate the legal protection of the intended public shareholders even though they are included in the category of third parties with good intentions, because they only regulate their stewardship, they do not regulate compensation that can be submitted as a result of public shareholders not being able to enjoy assets confiscated by the state, therefore the ideal legal protection in the future must be regulated regarding the rights of public shareholders to ask for compensation from the state as a result of not being able to enjoy it. So that the interests of protecting public shareholders who have nothing to do with the defendant in the criminal act of corruption that occurred at PT ASABRI (Persero) can be guaranteed legal certainty."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asri
"Putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat bagi para pihak, akan tetapi Pasal 70 UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan upaya untuk mengajukan permohonan pembatalan melalui Pengadilan Negeri. Upaya hukum permohohan pembatalan mengakibatkan proses penyelesaian sengketa menjadi berlarut-larut, meskipun para pihak telah sepakat untuk mengenyampingkan upaya hukum permohonan pembatalan tersebut. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang bersifat yuridis normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan statute approach , pendekatan konseptual conceptual approach dan pendekatan kasus case approach . Tindakan salah satu pihak yang mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase meskipun telah dikesampingkan dalam perjanjian secara hukum telah dianggap melakukan cidera janji wanprestasi dan melanggar asas kekuatan mengikat pacta sunt servanda dari Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata dan melanggar asas kepastian hukum. Kesepakatan pengenyampingan upaya pembatalan putusan arbitrase telah meniadakan dan melepaskan hak para pihak untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrse melalui pengadilan, namun dalam praktek majelis hakim sama sekali tidak mempertimbangkan adanya kesepakatan pengenyampingan tersebut, sebaliknya tetap memeriksa dan mengadili pokok perkara dan membatalkan putusan arbitrase yang telah bersifat final dan mengikat. Seharusnya, majelis hakim dalam mengeluarkan putusan tetap berpedoman pada isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak sebagai konsekuensi dari asas pacta sund servanda sepanjang perjanjian arbitrse tersebut telah memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana Pasal 1320 sampai dengan Pasal 1337 KUH Perdata.

Arbitration award is final and binding for the parties, however Article 70 of Law No. 30 of 1999 regarding Arbitration and Alternative Dispute Resolutions provides a right to file a request for cancellation through the District Court. The legal remedy to request annulment caused the dispute settlement process extended, even though the parties have agreed to waive legal remedy on such cancelation. The research is descriptive research which is normative juridical and the approaches are statute approach, conceptual approach and case approach. The request for the cancellation of an arbitral award filed by the party even though it has been ruled out in the treaty is considered as a breach of contract and violates the principle of pacta sunt servanda of Article 1338 paragraph 1 of Indonesian Civil Code and has violated the legal certainty principle. A waiver agreement for the cancellation of the arbitral award has nullified and waived the parties 39 right to file the annulment of the arbitral award through the court, however in practice the judges did not consider the existence of the waiver agreement, on the contrary to examine and adjudicate the case and nullify the final and binding arbitral award. Supposedly, the judges in issuing the decision shall remain guided by the contents of the agreement made by the parties as a consequence of pacta sund servanda principle as long as the arbitration agreement has met the requirements of the validity of the agreement as regulated in Article 1320 to Article 1337 Indonesian Civil Code.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T50474
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dea Pratiwi
"

Tesis ini membahas mengenai pelaksanaan hak pemegang saham melalui pemberian kuasa secara elektronik dalam RUPS perusahaan terbuka di  Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perbandingan. Pembahasan dalam tesis ini mencakup keabsahan pemberian kuasa secara elektronik dalam RUPS perusahaan terbuka di Indonesia, perlindungan hukum bagi pemegang saham dalam pelaksanaan pemberian kuasa secara elektronik dalam RUPS perusahaan terbuka di Indonesia dan perbandingan pengaturan pemberian kuasa secara elektronik untuk keperluan RUPS di Indonesia, Amerika Serikat dan Uni Eropa. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa pengaturan pemberian kuasa secara elektronik dalam POJK No. 15/POJK.04/2020 sudah sejalan dengan UUPT serta sah dan mengikat bagi para pihak yang terkait. Namun masih terdapat perbedaan terkait pengaturan RUPS secara elektronik yang terdapat dalam POJK No. 16/POJK.04/2020 dengan UUPT. Selain itu, pada saat ini, dalam aplikasi yang disediakan penyedia e-RUPS, masih dalam fase e-Proxy sehingga belum tersedia layanan live streaming dan partisipasi pemegang saham masih hanya dibatasi untuk pemegang saham domestik. Jika pemegang saham sebagai pemberi kuasa dirugikan kepentingannya maka pemegang saham dapat mengajukan gugatan perdata atau menyelesaikan sengketa melalui arbitrase atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya terhadap pihak yang merugikannya. Terdapat persamaan antara pengaturan pemberian kuasa secara elektronik di Indonesia, Amerika Serikat dan Uni Eropa yaitu untuk peningkatan praktik good corporate governance namun terdapat juga perbedaan yaitu terkait penyediaan proxy materials, penerima kuasa dan proxy contest (Amerika Serikat) dan terkait pertanggungjawaban penerima kuasa (Uni Eropa). Dengan demikian untuk selanjutnya dapat disesuaikan kembali pengaturan dalam POJK dan UUPT serta ditambahkan pengaturan mengenai mekanisme pelaporan pelaksanaan voting dari penerima kuasa kepada pemberi kuasa. Kemudian hendaknya segera diimplementasikan fasilitas e-Voting dan dikembangkan partisipasi pemegang saham asing dalam aplikasi yang disediakan penyedia e-RUPS.


This thesis discusses about the exercise of shareholder rights through electronic proxy authorization at shareholder general meetings of listed  companies in Indonesia. This research is  normative juridical research with comparative approach. Discussions in this thesis includes validity of electronic proxy authorization at shareholder general meetings of listed companies in Indonesia, legal protection for shareholders in the implementation of electronic proxy authorization at shareholder general meetings of listed companies in Indonesia and comparison of shareholder general meetings electronic proxy authorizations regulations in Indonesia, United States and European Union. The results of this research states that electronic proxy  authorizations regulation in POJK No. 15/POJK.04/2020 already in accordance with UUPT and valid and binding for the parties concerned. But there is still a difference related to the electronic shareholder general meetings that regulated in POJK No. 16 / POJK.04 / 2020 with UUPT. Other than that, at present, in the application provided by the e-RUPS provider, it is still in the e-Proxy phase so that there is no live streaming service available yet and shareholder participation is still limited for domestic shareholders. If shareholders as proxy authorizer loss their interest, then shareholder can file a civil lawsuit or resolve disputes through arbitration or another alternative dispute resolution institutions against the party that inflict their loss.The similarity between electronic proxy authorizations regulations in Indonesia, United States and European Union is to improve the practice of good corporate governance, but there are also differences that related about the provision of proxy materials, proxy holder and proxy contest (United States) and related to the proxy holders liability (European Union). Therefore, regulations in POJK and UUPT can then be adjusted and regulation regarding the reporting mechanism of voting casted from the proxy holder to proxy authorizer can be added. Then, in the application provided by e-RUPS provider, e-Voting facility should be implemented immediately and participation of foreign shareholders can be developed.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Gusmayanti
"Informasi merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam berinvestasi di pasar modal, karena dengan informasi, investor dapat memutuskan apakah akan membeli, menjual atau menahan saham-saham dan/atau efek-efek lain yang dimilikinya. Oleh karena itu pihak-pihak yang mempunyai hubungan khusus dengan emiten atau perusahaan publik (orang dalam atau insider) dilarang melakukan transaksi efek dengan menggunakan informasi orang dalam tersebut (insider trading). Tesis ini membahas perbandingan penegakan hukum insider trading antara di Indonesia dan Singapura. Penulis menggunakan metode perbandingan hukum, yaitu suatu metode studi dan penelitian dimana hukum-hukum dan lembaga-lembaga hukum dari dua negara dibandingkan. Peraturan insider trading di Indonesia menggunakan pendekatan fiduciary duty yang hanya dapat menjerat insider atau orang dalam perusahaan saja sedangkan di Singapura menggunakan pendekatan information connectedness approach yang membebankan tanggung jawab kepada seseorang baik itu merupakan orang dalam perusahaan maupun bukan, yang memiliki informasi material perusahaan yang belum diungkapakan kepada publik. Penegakan hukum atas kasus insider trading di Singapura sudah ada yang diputus oleh pengadilan. Hal tersebut terlihat dari putusan kasus Lew Chee Fai Kevin v MAS pada tahun 2012, yang merupakan putusan pengadilan perdata pertama di Singapura untuk pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan mengenai insider trading dalam SFA. Sehingga putusan tersebut dapat memberikan panduan yang penting tentang bagaimana ketentuan-ketentuan insider trading dalam SFA akan ditafsirkan dan diterapkan. Sedangkan di Indonesia, belum ada satu kasus insider trading yang diputus pengadilan, dan hanya pemberian sanksi oleh Bapepam-LK (sekarang OJK), antara lain kasus insider trading PT Bank Mashill Utama Tbk.

Information is one of the most important things of investing in capital markets, because with information, investors can decide whether to buy, sell or hold shares and / or other securities owned. Therefore, parties with a special relationship with the issuer or public company (insider) are prohibited to conduct securities transactions using insider information (insider trading). This thesis discusses the comparison of insider trading law enforcement between Indonesia and Singapore. The author uses a comparative method of law which is a method of study and research where the laws and legal institutions of two countries are compared. The insider trading regulations in Indonesia use the fiduciary duty approach which can only convict the insider of the company while in Singapore using the approach of information connectedness approach which imposes responsibility to someone whether it is a insider of the company or not, who has material information of the company that has not been revealed to the public. Law enforcement of insider trading cases in Singapore already exists that is decided by the court. This can be seen from the verdict of the case of Lew Chee Fai Kevin v MAS in 2012, which is the first civil court ruling in Singapore for violation of the terms of insider trading in SFA. So the verdict can provide an important guide on how the insider trading regulations in the SFA will be interpreted and applied. While in Indonesia, there has not been a case of insider trading decided by the court, and only sanctioned by Bapepam-LK (now OJK), among others case of PT Bank of Mashill Utama Tbk."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T49897
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Whitney Louise Alianto
"Undang-undang Nomor 4 Tahun 2023 Tentang Pengembangan Dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) menerbitkan ketentuan Pengelola Dana Perwalian (trustee) sebagai badan usaha khusus untuk melakukan kegiatan penitipan dan pengelolaan (trust) dan/atau sekuritisasi aset. Konsepsi trust berasal dari sistem common law sehingga tidak dapat serta merta diterapkan terhadap badan Pengelola Dana Perwalian (trustee). Melalui metode penelitian doktrinal dan metode perbandingan, penelitian ini membahas Pengelola Dana Perwalian sebagai trustee berdasarkan UU P2SK dan melakukan perbandingan konsep trust berdasarkan sistem common law dengan konsep trustee berdasarkan hukum di Indonesia. Hasil analisis penelitian ini menyatakan bahwa Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan yang memadai terkait terkait Pengelola Dana Perwalian sebagai trustee dalam melakukan kegiatan usahanya dan masih belum dapat dikatakan komprehensif apabila dibandingkan dengan konsepsi trust berdasarkan sistem common law. Pemerintah Indonesia sebaiknya menerbitkan peraturan pelaksana dengan ketentuan yang lebih spesifik, agar menjamin efisiensi dan efektifitas dalam kegiatan Pengelola Dana Perwalian (trustee).

Law Number 4 of 2023 concerning the Development and Strengthening of the Financial Sector (P2SK Law) issues provisions regarding Pengelola Dana Perwalian (trustee) as a special business entity to carry out custody and management (trust) and/or asset securitization activities. The trust concept, rooted in the common law system, entails provisions and characteristics that are not readily applicable to Pengelola Dana Perwalian (trustees) within the Indonesian legal framework. Through doctrinal and comparative methods, this study scrutinizes the legal provisions pertaining to Pengelola Dana Perwalian (trustees) under UU P2SK, comparing the common law trust concept with the Indonesian legal construct of trustees. The analysis concludes that Indonesia does not yet have adequate legislation related to Pengelola Dana Perwalian as trustees in conducting their business activities and it falls short of comprehensiveness when compared to the common law trust concept. Thus, it is recommended that the Indonesian Government establish more detailed and specific implementing regulations to ensure the effective and efficient conduct of activities by Pengelola Dana Perwalian (trustee)."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nanda Maulana Hidayatullah
"Pasar modal sebagai salah satu pilar utama dalam sistem keuangan menuntut adanya integritas dan transparansi agar dapat berfungsi dengan baik. Insider trading, sebagai bentuk pelanggaran etika dalam aktivitas pasar modal, menjadi perhatian serius di berbagai yurisdiksi. Penelitian ini bertujuan untuk menafsirkan dan membedakan transaksi yang dikategorikan sebagai insider trading sebagai kejahatan pasar modal, dengan fokus pada pengecualian yang diatur dalam Pasal 99 Undang-Undang Pasar Modal (UUPM) Jo Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 78 Tahun 2017. Pada penelitian ini Rumusan masalah pertama adalah bagaimana cara menafsirkan dan membedakan transaksi insider trading yang dianggap sebagai kejahatan pasar modal dengan transaksi insider trading yang dikecualikan berdasarkan pasal 99 UUPM Jo POJK 78/2017. Analisis terhadap norma hukum ini menjadi kunci untuk memahami kerangka kerja hukum terkait insider trading. Rumusan masalah kedua membahas hal-hal yang perlu diperhatikan agar transaksi insider trading tidak menjadi tindak pidana kejahatan di bidang pasar modal. Implikasi praktis dari pasal 99 UUPM Jo POJK 78/2017 menjadi fokus dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat meminimalkan risiko pelanggaran. Penelitian ini menggunakan metode penelitian doktrinal dengan menganalisis perundang-undangan. Hasil penelitian menyajikan pandangan yang jelas terkait penjelasan pasal 99 UUPM Jo POJK 78/2017 dan faktor-faktor yang dapat menghindarkan transaksi insider trading dari status tindak pidana kejahatan di pasar modal.

The capital market, as one of the key pillars in the financial system, demands integrity and transparency for its optimal functioning. Insider trading, as a form of ethical violation in capital market activities, has become a serious concern in various jurisdictions. This research aims to interpret and differentiate transactions categorized as insider trading as crimes in the capital market, with a focus on the exceptions stipulated in Article 99 of the Capital Market Law (UUPM) Jo the Financial Services Authority Regulation (POJK) Number 78 of 2017. The first problem formulation addresses how to interpret and distinguish insider trading transactions considered as crimes in the capital market from exempted insider trading transactions under Article 99 UUPM Jo POJK 78/2017. An analysis of this legal norm is crucial to understanding the legal framework related to insider trading. The second problem formulation discusses the factors that need to be considered to prevent insider trading transactions from becoming criminal offenses in the capital market. The practical implications of Article 99 UUPM Jo POJK 78/2017 are the focus in identifying factors that can minimize the risk of violations. This research employs a doctrinal research method by analyzing relevant legislation. The research findings provide a clear understanding of the explanation of Article 99 UUPM Jo POJK 78/2017 and the factors that can exempt insider trading transactions from the status of criminal offenses in the capital market."
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fiqri Haikal Mandala
"Penelitian ini membahas mengenai bagaimana perlindungan hukum bagi Trader Foreign Exchange atau Forex yang ditawarkan Expert Advisor tanpa izin Bappebti oleh Pelaku Usaha Jasa Expert Advisor pada pasar Valuta Asing atau Foreign Exchange. Penelitian ini disusun menggunakan metode penelitian normatif, yaitu dalam menemukan hasilnya dilakukan pendekatan melalui perundang-undangan (statute approach). Berdasarkan hasil penelitian ini adalah bahwasanya menurut Pasal 2 dan Pasal 4 Peraturan Bappebti Nomor 12 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Penyampaian Nasihat Berbasis Teknologi Informasi Berupa Expert Advisor di Bidang Perdagangan Berjangka mewajibkan untuk setiap Expert Advisor memiliki perizinan dari Bappebti. Namun, sampai saat penelitian ini dibuat tidak ada Expert Advisor pada Foreign Exchange yang memiliki izin Bappebti, sehingga dapat dipastikan semua Expert Advisor yang ditawarkan Pelaku Usaha Jasa Expert Advisor pada Foreign Exchange kepada Trader Forex adalah ilegal atau tidak berizin Bappebti. Penawaran tersebut merupakan Perbuatan Melawan Hukum menurut Pasal 1365 KUHPerdata karena telah memenuhi unsur-unsur di dalam pasal tersebut. Upaya untuk mengurangi Expert Advisor tidak berizin Bappebti dapat dilakukan melalui litigasi dan non-litigasi. Simpulan penelitian ini adalah Expert Advisor wajib memiliki perizinan dari Bappebti, Penawaran Expert Advisor yang belum memiliki perizinan tersebut merupakan Perbuatan Melawan Hukum menurut Pasal 1365 KUHPerdata dan Upaya untuk mengurangi Expert Advisor tidak berizin Bappebti melalui litigasi adalah mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri terhadap perbuatan melawan hukum Pelaku Usaha Jasa Expert Advisor ilegal pada Foreign Exchange dan/atau membuat laporan kepada Kepolisian RI dan Satgas PASTI, sedangkan melalui non-litigasi adalah pemerintah yang berkoordinasi melalui Satgas PASTI, Pelaku Usaha Jasa Expert Advisor mengajukan permohonan perizinan kepada Bappebti, dan Masyarakat menerapkan prinsip 2L yaitu Legal dan Logis terhadap penawaran tersebut.

This research discusses the legal protection for Foreign Exchange or Forex Traders offered by illegal or Expert Advisors not licensed by Bappebti by Expert Advisor Service Business Entities in the Foreign Exchange market. The research is conducted using a normative research method, which involves finding results through a legal approach (statute approach). Based on the results of this study, according to Article 2 and Article 4 of Bappebti Regulation No. 12/2022 on the Implementation of Information Technology-Based Advice Delivery in the Form of Expert Advisors in the Sector of Futures Trading, mandatory each Expert Advisor to have a license from Bappebti. However, as of the time of this research, no Expert Advisor in the Foreign Exchange market has obtained a license from Bappebti, so it is confirming that all Expert Advisors offered by Expert Advisor Service Business Entities on Foreign Exchange to Forex Traders are illegal or not licensed by Bappebti. This offer constitutes a Tort/Unlawful Act under Article 1365 of the Civil Code because it fulfilled the elements mentioned in that article. Efforts to reduce Expert Advisors not licensed by Bappebti can be made through litigation and non-litigation. This research concludes that Expert Advisors must have a license from Bappebti, and offering Expert Advisors without such a license constitutes a Tort/Unlawful Act under Article 1365 of the Civil Code and Efforts to reduce Expert Advisors not licensed by Bappebti through litigation involve filing a lawsuit with the District Court against the unlawful actions of illegal Expert Advisor Service Business Entities in Foreign Exchange or reporting to the Indonesian National Police and the Satgas PASTI, while through non-litigation involve coordination by the government through the Satgas PASTI, Expert Advisor Service Business Entities to submit licensing applications to Bappebti and the public applies the 2L principle, namely Legal and Logical in response to such offers."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mitha Gustina
"Pembahasan dalam penelitian ini terkait dengan kendala dalam Undang-Undang Yayasan khususnya terhadap pengaturan itikad baik dalam kewenangan organ yayasan dan perbandingan ketentuan hukum yang terdapat dalam kasus Yayasan Teungku Fakinah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa kendala dalam Undang-Undang Yayasan yang dapat menyebabkan adanya pelanggaran itikad baik oleh organ yayasan . Metode dari penelitian ini adalah Doktrinal (yuridis-normatif) dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Kesimpulan dari penelitian ini adalah Undang-Undang Yayasan masih memiliki kendala khususnya yang berkaitan dengan ketentuan mengenai itikad baik dibuktikan dengan adanya kasus Yayasan Teungku Fakinah yang menyebabkan adanya perbedaan pendapat hakim dalam memutus perkara dikarekan tidak adanya pemahaman yang utuh mengenai makna itikad baik.

The discussion in this study is related to the obstacles in the Foundation Law; especially, regards to the regulation of good faith within the authority of foundation organs and a comparison of the legal provisions contained in the case of the Teungku Fakinah Foundation. Furthermore, the aim of this study is that to analyze the obstacles in the Foundation Law which can cause violations of good faith by foundation organs. The method of this study was doctrinal (juridical-normative) with a statute and case approach. The conclusion is that the Foundation Law still has obstacles; especially, those relating to provisions regarding good faith. It was proved by the Teungku Fakinah Foundation case which caused differences of opinion among judges in deciding cases due to the lack of a complete understanding of the meaning of good faith."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adrianus Satrio Henantyo
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai analisis hukum terhadap perlindungan hukum bagi
tertanggung dalam kerjasama bancassurance. Bancassurance merupakan suatu
kerjasama yang dilakukan oleh Perusahaan Asuransi jiwa yang memasarkan
produk-produk asuransi dengan melakukan kerja sama dengan pihak bank.
Menurut Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomar 2 Tahun 1992, penutupan
asuransi atas objek asuransi harus didasarkan pada kebebasan memilih
penanggung, kecuali bagi program asuransi sosial, dengan memperhatikan daya
tampung perusahaan asuransi di dalam negeri. Dalam praktiknya, hak tenanggung
tersebut tidak diindahkan terutama oleh perusahaan asuransi sebagai penanggung.
Berangkat dari latar belakang tersebut, penulis akan meneliti apakah asas
kebebasan memilih bagi penanggung sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) Undang-
Undang No. 2 Tahun 1992 dilanggar dalam kerjasama bancassurance. Kemudian
bagaimanakah perlindungan hukum bagi tertanggung dalam kerjasama
bancassurance ditinjau dari hukum asuransi dan Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 tentang perlindungan konsumen. Serta bagaimanakah proses penyelesaian
sengketa klaim asuransi dalam keljasama ,bansassurance. Penelitian tesis ini
menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-
rmdangan dan bersifat analitis. Hasil penelitian yang didapat adalah meskipun
tidak mengatur secara jelas untuk model distribusi yang lain, namun didalam
Surat Edaran Bank Indonesia No. 12/35/DPNP tahun 2010 mengatur mengenai
mengenai pemberian hak bagi tertanggung untuk memilih perusahaan asuransi
sebagai penanggungnya. Kemudian terdapat beberapa ketentuan didalam Undang-
Undang No. 8 Tahun 1999, KUHD, Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1992, dan
Keputusan Menteri Keuangan No. 422 tahun 2003, yang rnelindungi kepentingan
tertanggung dalam kerjasama bancassurance. Serta penyelesaian sengketa klaim
asuransi dalam kerjasama bancassurance dapat dilakukan melalui pengadilan atau
melalui BMAI yang dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu mediasi dan ajudikasi.

Abstract
This thesis discusses the legal analysis against legal protection for the insured in
bancassuranee. Baneassuranee is a partnership committed by insurance companies
that sell insurance produets in cooperation with the bank. According to Article 6
paragraph (1) of Law No. 2 of 1992, insurance coverage over the object of
insurance must be based on freedom of choice, except for social insurance
programs, taking into account the capacity of insurance companies in the country.
In practice, the right of the insured is not ignored, especially by the insurer. Based
on that background, the author will examine whether the principle of freedom of
choice for the person in accordance with Article 6 paragraph (1) of Law No. 2 of
1992 violated the baneassuranee. Then how is legal protection for the insured in
baneassuranee cooperation in terms of the insurance law and the Law No. 8 of
1999 on consumer protection. And how the dispute resolution process insurance
claims in bancassurance cooperation. This thesis research using normative legal
research methods, the approach to legislation and analytical nature. The results
obtained are not set up despite the clear for other forms of distribution, but in the
Circular Letter of Bank Indonesia No. 12/35/DPNP year 2010 governs the
granting of rights to the insured to choose insurance company as an insurer. Then
there are some provisions in the Act No. 8 year 1999, Commercial code (Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang - KUHD), Government Regulation No. 73 year
1992, and Minister of Finance Decree No. 422 year 2003, which protects the
interests of the insured in baneassuranee cooperation. And dispute settlement of
insurance claims in baneassurance cooperation can be done through the courts or
through BMAI conducted within 2 (two) phases, namely mediation and
adjudication."
Universitas Indonesia, 2012
T30952
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>