Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 38 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sugeng Astanto
"Penelitian tentang alienasi (keterasingan) belum begitu banyak dilakukan di Indonesia. Beberapa usaha yang dilakukan oleh para ahli/peneliti masih sebatas memebuat suatu paparan teoritis. Konsep-konsep yang dipaparkan itu pun bermuara pada beberapa pandangan filosofis yang masih bersifat umum dan berkiblat pada literature yang berasal dari negara di belahan Barat. Memang banyak sekali kita temukan literatur-literatur yang membabas mengenai alienasi yang hamir sebagian besar berasal dari negara-negara Asia (di luar Indonesia) dan Amerika. Menurut catatan tidak kurang dari 1800 karya mangenai alienasi telah diterbitkan.
Pada Penelitian ini, penulis bukan bermaksud membuat bagan teoritis, tetapi Iebih sekedar memaparkan kondisi- kondisi empiris tentang alienasi yang dialami oleh para karyawan. Dari hasil analisis terhadap 2 kelompok karyawan, yaitu karyawan yang mempunyai jabatan manajerial dan non manajerial, diperoleh informasi bahwa hanya sebagian kecil saja para karyawan merasakan kondisi teralienasi, balk merasa tidak berdaya (powerlessness), tidak berarti (meaninglessness), merasakan ketiadaan norma (normlessness), terisolasi (isolation) serta memencilkan diri (self-estrangement).
Disamping itu ditemukan pula bahwa antara karyawan yang mempunyai jabatan manajerial dan non manajerial terdapat perbedaan derajad alienasi yang signifikan. Adapun bentuk powerlessness (rasa tidak berdaya) merasakan bentuk alienasi yang paling banyak muncul dan dialami oleh para karyawan dari kedua kelompok tersebut Sedangkan yang sedikit dialami oleh para karyawan adalah perasaan terisolasi."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herman Hidajat
1975
S2078
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatma Arbi
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1993
S2381
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Prabandari
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Christina S. Handayani
"Tesis ini mengetengahkan masalah jender secara lintas budaya berkenaan
dengau isu kepemimpinan. Ada kecenderungan perbedaan jender disebarkan dan
diindoktrinasilmn untuk kepentingan politik., sehingga muncul kebijakan-kebijakan
politis yang bias dan menguntungkan salah satu kategori jender tertenlu, yang
biasanya dianggap lebih menguntuugkan laki-laki (Okin, 1994; Jane, l995). Masalah
jender tidak akan dapat dipahami secara sederhaua hanya dengan membedakan
kategori seks yaitu pria alan wanita (Mosse, 1981). Dalam setiap masyarakat yang
diteliti, terdapat perbedaan yang dilakukan oleh pria dan wanita dalam komunitasnya
yang menentukan perbedaan status maupun kekuasaan mereka di dalam
masyarakatnya. Budaya Batak dan Jawa menarik untuk dikaji mengingat persamaan
dan perbedaan kedua budaya ini dalam menempatkan pria dan wanita.
Secara psikologis pembagian kekuasaan dalam interaksi sosial antar jenis
kelamin tidak hanya tergantung pada keruampuan ataupun pengetahuan yang dimiliki
pria atau wanita. tetapi juga tergantung pada serangkaian keyakinan mengenai ciri
sifat pria dan wanita yang merupakan geueralisasi yang dibuat tentang pria dan
wanita, yang dikenal dengan stereotip jender. Perbedaan keyakinan tentang kualitas
psikologis pria dan wanita melahirkan sikap dan dan praktik disluiminalif yang
menyiraikan hubungan bersifat politis antara pria dan wanita. Sementara diskrlminasi
marupakan indikasi adanya prasangka yang akan menentukau kecenderungan
memilih pemimpin berdasarkan jenis kelamin, pria, wanlta, atau pria/wanita sama
saja.
Landasan teoritis yang digunakan adalahplarmed behavior theory dad Ajzen
(1975) karena teori ini dapat menjawab tujuan utama penelitian ini, yaitu menguji
apakah ada pengaruh jenis kelamin, atereotip jender dan prasangka secara simultan
terhadap kecenderungan memilih pemimpin berdasarkan jenis kelamin, pria, wanita,
atau pria/wanita sama saja? Di samping itu dikaji pula beberapa pertanyaan barikut
ini: (1) Apaka ada pengaruh suku bangsa dan jenis kelamin yang signifikan terhadap
stereotip jender?; (2) Apakah ada pengaruh auku bangsa dan jenis kelamin yang
signifikan terhadap prasangka?; (3) Apakah ada hubungan antara suku bangsa dan
kecenderungan memilih pemimpin berdasarkan jenis kelamin, pria, wanita, atau
pria/wanita aama saia?; (4) Apakah ada hubungan antara jenis kelamin dan
kecenderungan memilih pemimpin berdasarkan jenis kelamin, pria, wanita, atau
pria/wanita sama saja?
Subyek penelitian ini adalah mahasiswa tahun pertama kuliah, berasal dari
suku bangsa Batak atau Jawa, pria atau wanita dan terlibat dalam organiaaai, serta
saat ini tinggal di Jakarta. Subyek terdiri dari 32 subyek wanita Batak, 32 subyek pria
Batak; dan 32 subyek wanita Jawa, 32 subyek pria Jawa Instrumen pengumpulan
data terdiri dari 2 (dua) akala pengukuran yaitu skala stereotip jender dan skala sikap
prasangka, serta 1 (satu) angket kacenderungan memilih pemimpin berdasarkan jenis
kelamin, pria, wanita, atau pria/wanita sama saja.
Untuk meuguji hipoteais penelitian ini digunakan metnde analisis diskriminaai
yang pada hakekatnya mengkaji pengaruh variabel-variabel dalam pelbagai populasi
atau sampel, tarutama jika variabel tarikanya barupa variabel nominal atau data
kategori. Analisis diskrirninasi ini dilakukan untuk manjawab permasalahan utama
penelitian Di samping itu digunakan pula metode multivariat untuk menguji
signifikansi pengaruh variabel data kalzegori terhadap variabel tergantung data
kuantitatif terutama menjawab pertanyaan pertama dan kedua; serta metode chi-
square untuk menguji ada tidaknya hubungan antara dua variabel yang keduanya
berdifat nominal yaitu menjawab pertanyaan ketiga dan keempat.
Dari hasil studi disimpulkan bahwa: (1) Secara umum gambaran pria dan
wanila menurut responden: Batak dan Jawa aama, yaitu pria dinilai lebih maskulin dan
wanita dinilai lebih feminin; (2) Ada pengamh suku bangsa dan jenis kelamin yang
signinikan terhadap stereotip jender. Responden Batak menilai tingkat maskulinitas
wanita lebih tinggi dibandingkan penilaian responden Jawa. Kelompok pria menilai
tingkat maskulinitas wanita lebih tinggi dibandingkan penilaian kelompok wanita
sendiri; (3) Tidak ada pengaruh bangsa yang signifikan terhadap prasangka,
tetapi ada pengaruh jenis kelamin yang signiiikan terhadap prasangka. Kelornpok pria
lebih berprasangka terhadap wanita sebagai pemimpin, sebaliknya kelornpok wanita
lebih berprasangka terharlap pria. sebagai pemimpin; (4) Ada hubungan antara suku
bangsa dan kecenderungan memilih pemimpin berdasarkan jenis kelamin, pria.,
wanita, atau pria/wanita sama aaja Kecenderungan responden Barak lebih banyak
memilih pria/wanita.; sedangkan responden Jawa memiliki dua kecenderungan yang
sama kuainya yaitu memilih pria atau memilih pria/wanita; (5) Tidak ada hubungan
antara jenis kelamin dan kecenderungan memilih pemimpin berdasarkan jenis
kelamin, pria, wanita, atau priafwanita sama saia; (6) Berdasarkan analisis
diskriminasi ada dua (2) variabel yang berpengaruh terhadap kecenderungan nlerrlilih
pemimpin berdasarkan jenis kelamin, pria, wanita, aiau pria/wanita sama saja yaitu
variabel prasangka terhadap wanita sebagai pemimpin dan variabel femininitas pria.
Keterbatasan dan kelemahan penelitian ini antara lain; (1) Belum mencakup
semua. variabel yang rnuugkin mempengaruhi kecendarungan memilih pemimpin
berdasarkan jenis kelamin, pria, wanita, atau pria/wanita sama saia sebagaif sebuah
intensi tingkah laku, seperti norma subyektif dan kontrol perilaku; (2) Metode analisis
datanya baru terbatas mendiskriminasilczm kelompok subyek berdasarkan variabel-
variabel yang dilihat sehiugga tidak dapat melihat model konseptual yang paling tepat
dapat menggambarkan dinamika hubungan antara keyakinan, sikap, intensi tingkah
laku dan tingkah laku yang nampak; (3) Penelitian ini tidak dilakukan di daerah asal
atau budaya asal, meksipun sudah disiasati dengan meneliti daerah yang tidak
memiliki dominan culture seperli Jakarta.
Dari hasil studi ini disarankan; (1) Dalam meneutukan seorang pemimpin
dalam sebuah Organisasi faktor-faktor psikologis seperti stereotip jender lerutama
dimensi femininitas pria dan prasangka terhadap wanita hendaknya perlu
diperhatikan, karena faktor-faktor ini menentukan kecenderungan memilih pemimpin
berdasarkan jenis kelamin, pria, wanita., atau pria/wanita sama Baia; (2) Untuk
mengurangi kesenjangan antara pria dan wanita sebagai pemimpin rnaka proporsi
kategori wakil yang memilih harus seimbang misalnya kategori pria dan wanita, atau
antar suku bangsa dan sebagainya; (3) Dalam proses sosialisasi terutama dalam
kurikulum pendidikan formal hendaknya dimasukkan kesetaraan jender; (4)
Penelitian selanjutnya perlu dilakukan dengan melibatkan berbagai suku bangsa
mengingat bangsaiui adalah bangsa yang multietnik dan multikultural; (5) Penelitian
selanjutnya perlu pula dilakukan untuk menentukan ciri sifat pemimpin yang dapat
mewakili stereotip yang diharapkan bagi semua suku bangsa di Indonesia
Berdasarkan keterbatasan dan kelemahan penelitian ini disaranka.n: (1) Perlu
diteliti kedua. determinan yang lain seperti norma subyektif dan kontrol perilaku; (2)
Perlu digunakan metode analisis LISREL untuk melihat model konseptual yang
paling tepat menggarnbarkan dinamika hubungan antara keyakinan, sikap, intensi
tingkah laku dan tingkah laku yang nampak, dalam konteks kecenderungan memilih
pemimpin berdasarkan jenis kelamin (pria, wanita, priafwanita); (3) Perlu dilakukan
penelitian di daerah asal, misalnya budaya Batak di Medan, budaya Jawa di Jogya
dan Solo."
2001
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christina S. Handayani
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
T38334
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juliana Murniati
"Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap struktur kognisi diri pada masyarakat di Indonesia. Minat terhadap studi ini beranjak dari temuan Hosfstede di tahun 70-an yang mengungkapkan bahwa budaya-budaya bervariasi menurut individualisme-kolektivisme (III); dengan mendasarkan pada bentuk hubungan individu dengan individu lain dalam suatu masyarakat: jika hubungan antar individu dalam masyarakat itu erat berarti budaya kolektivisme; sebaliknya jika renggang, berarti individualisme. Bentuk kehidupan demikian berimplikasi terhadap struktur kognisi diri individunya: budaya individualisme akan membentuk struktur kognisi diri yang berorientasi pada pilihan dan prestasi personal; sementara budaya kolektivisme akan membentuk struktur kognisi diri yang berorientasi pada pilihan dan prestasi kelompok tempat ia menjadi anggota. Studi-studi mengenai kognisi diri telah banyak dilakukan dalam budaya individualisme maupun. kolektivisme, namun bukan di Indonesia, yang diindikasikan kolektivisme. Sejauh yang peneliti ketahui, belum ada penelitian intensif berkenaan dengan kognisi diri yang dilaksanakan dalam lingkungan Indonesia.
Penelitian ini berkiprah pada pandangan yang melihat self sebagai struktur kognisi. Hal ini berarti bahwa pembahasan akan beranjak dari pendekatan kognisi sosial, yakni kajian mengenai bagaimana individu memahami dirinya sendiri dan orang lain dalam situasi sosial. Struktur kognisi diri pada dasarnya adalah tampilan mental seseorang mengenai atribut-atribut pribadi, peran-peran sosial; pengalaman lampau, dan tujuan-tujuan mendatang.
Penelitian ini berupaya mengungkap struktur kognisi diri pada budaya-budaya yang tergolong besar Indonesia, yakni Jawa, Sunda, Minang, dan Batak. Sampel penelitian terdiri dari siswa/i SMU dari empat suku bangsa itu, yaitu Jawa, Sunda, Minang, dan Batak, baik yang berdiam di daerah asal maupun yang berdiam di Jakarta sejak lahir, tetapi masih menggolongkan dirinya ke dalam salah satu dari keempat suku bangsa itu. Dalam penelitian ini, keempat suku bangsa yang berdiam di Jakarta dikategorikan sebagai golongan budaya tersendiri, yakni budaya Jakarta. Usaha ini ditempuh dengan Twenty Statements Test (TST) atau the I am technique, yang pada dasarnya merupakan instrumen bebas budaya untuk menggali kekayaan kognisi diri yang muncul secara spontan dan salient. Data-data kemudian diolah dengan menggunakan analisa multidimensional scaling (MDS), analisa kluster, dan analisa koresponden.
Secara umum, hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur kognisi diri masyarakat Indonesia berada pada kontinuum privat-kolektif, yang juga berarti bahwa Indonesia berada dalam dimensi individualisme-kolektivisme, dan agaknya tepat berada di ambang individualisme. Meskipun tampaknya sedang terjadi pergeseran menuju individualisme, namun nilai-nilai budaya tampaknya masih cukup mengakar dalam kehidupan masyarakatnya. Tentu saja, ini adalah kesimpulan yang masih sangat dini, sehingga penelitian-penelitian lanjutan harus dilakukan.
Hasil analisa juga menunjukkan bahwa Jawa memiliki struktur kognisi diri publik, yang sangat concern dengan bagaimana orang lain menilai dirinya; Sunda cenderung ke struktur kognisi diri kolektif, yang mementingkan keanggotaan kelompok. Sementara Minang, Batak, dan Jakarta didekatkan satu sama lain oleh atribut-atribut psikologis yang menunjukkan struktur kognisi diri privat. Ketiga golongan budaya inilah yang tampaknya lebih condong pada individualisme. Tentu saja, kesimpulan ini masih dini, sehingga sangat diperlukan penelitian-penelitian lebih lanjut."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parsudi
"RINGKASAN PENELITIAN
Penelitian ini berawal dari pandangan untuk memberikan sumbangan pemikiran untuk mendukung program transmigrasi dalam pembangunan Nasional, terutama untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia pada para pembina transmigran dengan memberikan pembekalan pengetahuan psikologis, sosial dan budaya. Penelitian dalam bidang psikologi terhadap program transmigrasi ini menjadi penting karena di dalam program transmigrasi menyangkut pertemuan antar kelompok masyarakat, bangsa atau suku bangsa (kelompok etnik) baik antar transmigran itu sendiri maupun antar pembina transmigran dengan transmigran yang dibinanya, di mana dari interaksi itu "sering terjadi konflik ". Hal ini didukung dari kunjungan lapangan dan wawancara langsung dengan enam orang pejabat eselon II Departemen Transmigrasi dan PPH, mereka juga menyimpulkan bahwa masalah sosial memang dominan di lokasi transmigrasi, di mana adanya indikasi penolakan, perlakuan membedakan atau diskriminasi baik dari pembina transmigran maupun antar transmigrannya sendiri , dari adanya perilaku diskriminasi ringan sampai kepada diskriminasi berat yang sudah mengarah ke agresivitas. Menyadari akan hal ini, maka perlu dilakukan penelitian utntuk melihat sejauh mana kontak sosial, derajat kesarnaan, dan jarak sosial pada para pembina transmigran, untuk mengidentifikasi adanya prasangka yang bisa berakibat pada penolakan ataupun tindak diskriminasi terhadap transmigran yang dibinanya.
Hasil studi kepustakaan menyimpulkan bahwa diskriminasi bisa timbul karena adanya prasangka yang selanjutnya bisa membawa ke konsekuensi perilaku menghindar, memisahkan diri dari kelompok yang tidak disenangi, enggan untuk menolong sampai tindakan agresif yaitu merusak dan mengganggu kelompok lain. Timbulnya suatu prasangka dapat dilihat dari pendekatan sosial, pendekatan dinamika kepribadian, dan pendekatan kognitif. Dalam pendekatan sosial, maka faktor-faktor ketidaksamaan sosial, kompetisi .antar kelompok, stereotip dari institusi dan norma-norma merupakan faktor yang mengakibatkan adanya prasangka. Dalam pendekatan dinamika kepribadian maka prasangka bersumber dari adanya agresivitas, keadaan frustasi, dan kepribadian individu. Dalam pendekatan kognitif maka kategori sosial, atribusi dan kekeliruan dalam mempersepsi merupakan penyebab adanya prasangka. Dawes berpendapat instrumen yang biasa digunakan untuk mengukur prasangka ialah "skala jarak sosial" dari Bogardus, hal ini didukung pula oleh Deaux dan Wrightsman. Agar dapat memahami sejauh mana ada jarak sosial yang bisa memprediksikan terjadinya prasangka pada para pembina transmigran terhadap transmigran yang dibinanya, maka dalam penelitian ini digunakan instrumen pengukuran jarak sosial. Instrumen Skala Derajat Kesamaan dan Kontak Sosial di modifikasi dari instrumen penelitian Suwarsih Waniaen (1979) Stereotip Etnik di Dalam Suatu Bangsa Multietnik.
Kesimpulan yang didapat dari hasil analisis adalah bahwa para pembina transmigran mempunyai jarak sosial yang dekat terhadap suku bangsa Jawa, Sunda, dan Bali dan mempunyai jarak sosial yang jauh terhadap suku bangsa Maluku, Madura, dan Irian. Kesimpulan ini mempunyai konsistensi dengan kesimpulan yang didapat dari pengukuran derajat kesamaan. Bila dilihat dari kontak sosial pada 12 suku bangsa yang dinilai maka suku bangsa Jawa, Sunda, Batak, Minang, Lampung dan orang Jakarta mempunyai skor derajat kesamaan yang berbeda secara signifikan pada mereka yang memiliki kontak sosial tinggi dan kontak sosial rendah, selanjutnya variabel-variabel pemahaman bahasa, ada keluarga yang menikah dengan suku bangsa, hadir adat perkawinan orang dari suku bangsa lainnya, hadir adat kesenian orang dari suku bangsa lainnya, merupakan penyumbang yang menyebabkan terjadinya pengelompokan kontak sosial tinggi dan kontak sosial rendah. Melihat hasil temuan di atas bisa dsimpulkan bahwa pembina transmigran cenderung mempunyai prasangka terhadap transmigran yang dibinanya.
Berpedoman pada temuan, dimana adanya prasangka dari para pembina transmigran dikhawatirkan bisa mengarah kepada tindak diskriminasi yang dapat menimbulkan segala konsekuensi negatifnya, maka disarankan kepada Departemen Transmigrasidan PPH untuk menciptakan pra-kondisi melalui pembekalan masalah psikologi, sosial budaya pada pelatihan atau pendidikan kepada para pembina transmigran, memperbanyak frekuensi pertemuan dalam status kebersamaan, baik antara pembina transmigran terhadap transmigran yang dibinanya, maupun antara para kelompok transmigran itu sendiri terutama pada kelompok yang berbeda suku bangsa-nya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Nyoman Suarta
"Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah (1) bagaimanakah pola aspirasi pendidikan dan pekerjaan remaja di Kelurahan kapuk Muara, (2) bagaimanakah pola harapan orangtua terhadap pendidikan dan pekerjaan anak, (3) apakah ada kaitan antara pola harapan orangtua terhadap pendidikan dan pekerjaan anak dengan pola aspirasi pendidikan dan pekerjaan para remaja, (4) apakah ada hubungan antara harapan orangtua terhadap pendidikan dan pekerjaan anak dengan tingkat aspirasi pendidikan remaja, (5) apakah ada hubungan antara harapan orangtua terhadap pendidikan dan pekerjaan anak dengan tingkat aspirasi pekerjaan remaja ? dan (6) apakah ada perbedaan tingkat aspirasi pendidikan dan pekerjaan antara remaja laki-laki - perempuan dari etnis Jawa dengan etnis Betawi.
Subyek penelitian dari penelitian ini adalah para remaja usia 13-16 tahun dan berpendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, yang berada di Kelurahan Kapuk Muara. Jumlah responden penelitian ini adalah 140 orang yang terdiri dari 70 orang remaja dari etnis Jawa dan 70 orang dari etnis Betawi, beserta orangtuanya. Instrumen yang digunakan untuk menggali data adalah skala aspirasi pendidikan, skala aspirasi pekerjaan, skala harapan orangtua terhadap pendidikan anak, dan skala harapan orangtua terhadap pekerjaan anak.
Dengan menggunakan tehnik analisis Faktor, Multipel Regressi, uji signifikansi T-Test dan Pairs T-Test, diperoleh hasil sebagai berikut : (1) bidang pendidikan yang diharapakan oleh sebagian besar orangtua terhadap anaknya adalah pendidikan dibidang pendidikan sosial & komputer, dan bidang pendidikan administrasi & keuangan, sedangkan bidang pekerjaan yang diharapkan oleh sebagian besar orangtua terhadap anaknya adalah pelayanan umum & jasa tehnik komputer, (2) bidang pendidikan yang didambakan oleh sebagian besar remaja adalah pendidikan di bidang administrasi & keuangan, sedangkan pekerjaan / bidang pekerjaan yang didambakan oleh sebagian besar remaja adalah pekerjaan di bidang jasa komputer, (3) pola harapan orangtua terhadap pendidikan anak ada sedikit kesesuaiannya dengan pola aspirasi pendidikan remaja di Kelurahan Kapuk Muara demikian juga dalam bidang pekerjaan yang diharapkan. (4) ada hubungan yang signifikan antara harapan orangtua terhadap pendidikan dan pekerjaan anak dengan tingkat aspirasi pendidikan remaja di Kelurahan Kapuk Muara, (5) ada hubungan yang signifikan antara harapan orangtua terhadap pekerjaan anak dengan tingkat aspirasi pekerjaan remaja, sedangkan harapan orangtua terhadap pendidikan anak tidak berhubungan signifikan dengan tingkat aspirasi pekerjaan remaja. (6) ada perbedaan yang signifikan antara tingkat aspirasi pendidikan dan pekerjaan remaja dari etnis Betawi dengan remaja dari etnis Jawa, sedangkan dilihat dari dari jenis kelaminnya, tidak ada perbedaan yang signifikan antara tingkat aspirasi pendidikan dan pekerjaan remaja laki-laki dengan tingkat aspirasi pendidikan dan pekerjaan remaja perempuan. Berdasarkan penemuan tersebut diajukan saran kepada Lurah Kapuk Muara beserta staf, pemuka masyarakat di kelurahan Kapuk Muara, kelompok motivator, karang teruna Kelurahan Kapuk Muara, dan para peneliti lain."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>