Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 70 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mahlil
"Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) merupakan suatu varian asuransi kesehatan yang dimodifikasi dari konsep Health Maintainance Organization (HMO). Konsep ini menjadi bentuk penyelenggaraan pembiayaan kesehatan di Indonesia dan telah diamanatkan dalam Undang-Undang No. 23/1992 pasal 66. Kehadirannya selama 8 tahun baru diperkirakan mampu mencakup satu juta orang dari 173 juta orang yang tidak terlindungi oleh jaminan (asuransi) kesehatan lainnya.
Berbagai kebijakan untuk memperluas cakupan belum juga mampu meningkatkan jumlah kepesertaan tersebut. Untuk mengetahui sejauh mana peranan kebijakan JPKM dapat dilaksanakan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan, maka penelitian ini dilakukan. Adapun fokus utama studi ini adalah bagaimana perhatian kebijakan sekarang dan yang akan datang mencerminkan elemen pemerataan (equity), mutu (quality), efisiensi (efficiency), dan kesinambungan (sustainnabilty) untuk mencapai cakupan universal.
Untuk melaksanakan studi ini telah dilakukan penelitian kualitatif sejak akhir September 1999 sampai akhir Desember 1999. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan wawancara mendalam, telaah kebijakan, dan telaah literatur. Wawancara mendalam dilakukan pada informan yang mewakili regulator (Departemen Kesehatan), pakar akademik Fakultas Kesehatan Masyarakat Indonesia, wakil badan penyelenggara, wakil dari pemberi pelayanan kesehatan, dan wakil dari lembaga peserta. Demikian juga telaah kebijakan (Permenkes 57111993 dan 527/1993 serta Draft RUU PKM), telaah literatur luar negeri (negara Eropa, Amerika, dan Asia), dan telaah literatur dalam negeri yang menerapkan model managed care terhadap aplikasi elemen-elemen tersebut. Setelah diperoleh berbagai alternatif yang termuat dalam setiap elemen equity, quality, efficiency, dan sustainability dengan melihat strength, weakness, opportunity, dan threats dari setiap alternatif itu, akhirnya diajukan usulan pokok kebijakan JPKM yang ideal.
Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa JPKM yang sedang berlaku bertitik tolak pada sistem mekanisme pasar yang tidak banyak berbeda dengan asuransi kesehatan komersial. Sementara JPKM yang akan datang (RUU JPKM) mulai mengarah ke asuransi sosial karena kepesertaannya bersifat wajib. Refleksi equity dalam paket tidak jelas dan dalam premi bersifat libertarian. Demikian juga refleksi equity dalam akses belum diperhatikan. Sedangkan elemen quality terlihat belum lengkapnya definisi yang dianut, tidak ada instrumen, belum jelas pengontrol, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan mutu. Elemen efisiensi terlihat dengan menempatkan PPK dalam kondisi yang menanggung resiko melalui pembayaran kepada PPK harus dengan praupaya dan kapitasi. Aspek sustainability dari program makin tidak terjamin karena belum jelas model premi dan Bapel yang pluralistik. Selain sifat kepesertaan, maka konsep-konsep lain tidak berbeda dengan Permenkes yang ada sehingga terkesan hanya meningkatkan status hukum dari Permenkes ke Undang-Undang.
Berdasarkan hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan JPKM yang sedang berlaku dan yang akan dilansir tidak mampu mencapai univesal coverage karena konsep-konsep equity, quality, efficiency, dan sustainability tidak dapat diakomodir dengan baik dalam kebijakan-kebijakan tersebut.
Untuk dapat mencapai universal coverage maka cukup penting untuk dikaji ulang RUU JPKM secara komprehensif dengan melibatkan pihak-pihak lain yang terkait dengan jaminan pemeliharaan kesehatan atau asuransi kesehatan. Disamping itu disarankan untuk membentuk tim khusus dan ahli dalam konsep-konsep asuransi kesehatan yang bebas dari kepentingan sektoral atau kelompok tertentu.

Policy Analysis of the Public Health Maintenance of Assurance 1999
Public Health Maintenance of Assurance (JPKM) is a variance of health insurance scheme modified from managed care concept. This concept is adopted as a model for health care financing and delivery in Indonesia as stated in Health Act of 23/1992 article 66. Along it 8 years of existence the scheme cover no more than 1 million people of 173 millions uninsured.
Many policies aimed at expanding coverage have been unable to increase membership. To understand how far the policy can achieve its stated goals, this study was performed. The main focus of this study is how the existing and coming policies reflect equity, quality, efficiency, and sustainability objectives.
This study has been conducted September 1999 to December 1999. This study was a qualitative study in which depth interview, policies review, and literature review have been performed. In depth interview is conducted to informants who are representative of regulator (Health Department), academic experts in Public Health Faculty University of Indonesia, representative of PT. Askes and PT. Jamsostek, representative of providers, and representative of consumers. Literature review on Europe, USA and Asia as well as in country experience was also performed. All information gathered is analyzed using strength, weakness, opportunity, and threats analysis. Then, some recommendations are prescribe.
Result of this analysis to shows that a current JPKM policy is a market mechanism similar to these of commercial health insurance. While the new draft of JPKM is based on social insurance concept representing by compulsory membership. The equity concept is unclear and the premium is set based on libertarian concept. The quality element shows incomplete, lack of quality measures, and no indication of quality emphasize. The efficiency will be achieved by contracting providers on capitation payment system. Aspect of sustainability is unclear because the mechanism of collecting premium is unclear too and the pluralistic model of sickness funds. Only membership is different from the existing JPKM, the other concepts are not different from Permenkes, this creates impression the policy aims at increasing the status from Permenkes to Act.
It can be summarized that JPKM policies can not achieve universal coverage because equity, quality, efficiency, and sustainability concept are not accommodated.
To achieve universal coverage it needs a comprehensive review involving other sectors and health insurance experts."
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T4487
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lilis Heri Mis Cicih
"ABSTRAK
Kualitas Sumberdaya Manusia (SDM) merupakan masalah pembangunan yang penting. Pembinaan SDM seharusnya berawal sejak dalam kandungan dan berkesinambungan sampai usia lanjut. Indikator status kesehatan yang konvensional terdiri dari tingkat kesakitan, status gizi dan tingkat kematian. Upaya meningkatkan kesehatan dapat diidentikan dengan upaya penurunan resiko sakit dan peningkatan status gizi. Penduduk yang sehat memberikan sumbangan positif terhadap laju pembangunan. Profil kesehatan diperlukan untuk estimasi prevalensi penyakit kronik dan tingkat ketidak mampuan (disability} sejalan dengan lanjutnya usia penduduk. Penyajian informasi status kesehatan (disabilitas, tingkat kesakitan dan status gizi) penduduk Indonesia, serta upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap, dan pengobatan sendiri) merupakan tujuan studi ini.
Pengukuran status disabilitas, kesakitan dan status gizi penduduk sebagai tolak ukur status kesehatan penduduk secara umum belum banyak ditelaah di Indonesia. Status disabilitas sebagai salah satu ukuran langsung dari kualitas hidup dan tingkat kemandirian juga penduduk masih belum banyak dianalisis.
Studi ini merupakan suatu studi pendahuluan yang lebih banyak ditujukan untuk mengeksplorasi data untuk kepentingan analisis lebih lanjut. Hal ini terutama berkaitan dengan data hasil suatu survei yang relatif baru sehingga belum banyak yang menganalisisnya. Data yang digunakan dalam studi ini adalah data hasil survei rumah tangga SAKERTI/IFLS 1993. Survei tersebut memuat informasi yang sangat luas, karena mencakup banyak aspek kehidupan rumah tangga, seperti kesehatan, kelangsungan hidup bayi dan anak, pendidikan, migrasi, ketenagakerjaan, kelahiran, keluarga berencana, sosial dan ekonomi. Banyaknya cakupan data tersebut mungkin dianggap sebagai keunggulan dari survei tersebut, namun sekaligus merupakan kekurangan dari survei tersebut. Misalnya dalam proses pengolahan data masih banyak ditemukan kesulitan-kesulitan baik menyangkut manajemen data maupun kualitas datanya.
Aspek utama dalam survei SAKERTI 1993 adalah kesehatan, sehingga dalam proses eksplorasi data tersebut ditekankan pada aspek kesehatan. Secara umum tujuan dari studi ini adalah untuk memperoleh gambaran status disabilitas, status kesakitan dan status gizi penduduk. Tujuan studi secara khsusus adalah menyajikan (1) status disabilitas, status kesakitan dan status gizi penduduk, (2) upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap dan pengobatan sendiri) menurut gambaran karakteristik sosial, ekonomi dan demografi.
Hasil studi ini diharapkan: (1) dapat menambah dan melengkapi pustaka di bidang kependudukan dan kesehatan, (2) menambah dan melengkapi pustaka mengenai cara pengolahan data SAKERTIIIFLS yang dapat direplikasi oleh peneliti lain di masa yang akan datang, dan (3) menyajikan gambaran status disabilitas, status kesakitan, dan status gizi (pra krisis ekonomi tahun 1997) yang berguna sebagai pembanding dalam perencanaan selama atau masa pasca krisis yang akan datang.
Responden dalam studi ini adalah individu semua kelompok umur yang dibagi menjadi kelompok usia kurang dari 15 tahun dan usia 15 tahun ke atas sesuai data yang tersedia. Informasi diperoleh dari 7 (tujuh) buku kuesioner yang terdiri dari buku 1 (daftar ART), buku II (ekonomi RI), buku III (informasi orang dewasa), buku IV (informasi wanita pemah kawin), buku V (informasi anak), buku K (kontrol), dan buku CA (antropometri)
Berbagai informasi karakteristik sosial, ekonomi dan demografi yang dapat digali dari data tersebut meliputi umur (yang dibagi menjadi kelompok umur 5 tahunan kecuali bayi), tempat tinggal (kota dan desa), pendidikan yang ditamatkan (tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, dan SLTP+), pendapatan per kapita (25 % pertama, 25 % kedua, 25 % ketiga dan 25 % tertinggi), serta jenis kelamin (laki-laki dan perempuan). Khusus pembagian pendapatan per kapita, kategori yang digunakan dalam studi ini agak berbeda dengan kategori yang umum digunakan oleh ekonom yaitu dibagi lima kategori (20 % pertama sampai 20 % tertinggi). Kriteria yang digunakan dalam studi ini didasarkan pada sebaran nilai pengeluaran per kapita per bulan dari yang terkecil sampai terbesar.
lnformasi kesehatan dicerminkan oleh status disabilitas, status kesakitan, status gizi dan upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap dan pengobatan sendiri). Status disabilitas dicerminkan oleh ADL (Activities of Daily Living) yang terdiri dari variabel keterbatasan fisik (mendasar dan lebih lanjut) dengan kategori tidak sehat (tidak dapat atau susah payah) dan sehat (mudah) melakukan kegiatan sehari-hari. Selain itu juga gejala psikis dengan kategori tidak sehat (sering atau kadang-kadang) dan sehat (tidak pernah) mengalami gejala psikis sejak empat minggu sebelum wawancara.
Gejala akut beberapa penyakit umum yang pernah dialami penduduk dalam periode empat minggu sebelum wawancara, terdiri dari gejala sakit mata, sakit gigi, sakit mencret, dan sakit kulit. Keempat gejala ini dipilih karena sesuai dengan nama organ, sehingga lebih mudah untuk mendeteksi jenis penyakit.
Status gizi diukur dengan cara antropometri berdasarkan data yang tersedia yaitu umur, berat badan dan tinggi badan. Penentuan status gizi untuk usia kurang dari 15 tahun didasarkan pada rujukan WHO-NCHS dengan z-score yang dibagi menjadi 2 (dua) kategori buruk/kurang (<-2 sd) dan baik (>= -2 sd). Sedangkan untuk usia 15 tahun ke atas penentuan status gin berdasarkan pada Indeks Masa Tubuh (BMI=Body Mass Index) dengan kategori kurus (IMT < 18.5), normal (18.5 < IMT< 25.0) dan gemuk (IMT>25.0).
Upaya pencarian pengobatan sendiri merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengobati keluhan kesehatan dengan cara mengobati sendiri tanpa bantuan tenaga kesehatan (seperti dokter, mantri dan bidan). Jenis pengobatan sendiri dilakukan yaitu dengan cara minum obat modern, minum jamu atau obat tradisional, dan memakai obat luar. Sedangkan jenis upaya pencarianpengobatan yang dilakukan dengan cara memeriksakan langsung ke petugas kesehatan baik untuk rawat jalan maupun rawat inap. Berbagai fasilitas kesehatan rawat jalan yang ditanyakan meliputi Rumah Sakit Pemerintah, Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Posyandu, Rumah Sakit Swasta, Poliklinik(klinik swasta/BP/KIA), Dokter Praktek, Paramedis (perawat/bidan praktek), dan Praktek Tradisional. Selanjutnya fasilitas rawat inap terdiri dari Rumah Sakit Pemerintah, Puskesmas, Rumah Sakit Swasta dan Klinik Swasta.
Analisis data dilakukan dengan menyajikan tabel frekuensi dan tabel silang berdimensi dua atau tiga. Tabel-tabel tersebut menyajikan gambaran status disabilitas, status kesakitan, dan status gizi serta upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap dan pengobatan sendiri) menurut karakteristik sosial ekonomi dan demografi (umur, tempat tinggal, pendidikan, dan pendapatan). Selain itu analisis dilakukan dengan menyajikan grafik berdimensi dua melalui metode biplot. Berdasarkan metode ini dapat disajikan gambaran keragaman masing-masing variabel dan korelasi antar variabel, posisi masing-masing objek yang diamati dalam plot yang terpisah, serta mampu memberikan gambaran posisi dari objek-objek yang diamati relatif terhadap variabel-variabel keseluruhan dalam satu plot (biplot). Selain itu, menyajikan secara simultan hubungan antara karakteristik sosial ekonomi dan demografi dengan status disabilitas, kesakitan, status gizi serta upaya pencarian pengobatan (sendiri, rawat jalan dan rawat inap).
Hasil studi ini menggambarkan kondisi disabilitas, kesakitan, status gizi, dan upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap dan pengobatan sendiri) penduduk pra krisis ekonomi 1997. Secara umum status disabilitas, dan status gizi penduduk tergolong baik, namun dari studi ini diperoleh kelompok penduduk yang tergolong rawan yang perlu mendapat perhatian. Menurut kelompok umur, yang tergolong rawan meliputi usia bayi atau balita dan usia lanjut usia (60 tahun ke atas). Kelompok ini merupakan kelompok penduduk dewasa yang paling tinggi tidak dapat melakukan kegiatan fisik (mendasar dan lebih lanjut) dan mengalami gejala psikis, paling banyak penduduk dewasa yang kurus, paling tinggi mengalami gejala penyakit dan paling tinggi melakukan pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap dan pengobatan sendiri).
Sedangkan menurut karakteristik sosial, ekonomi dan demografi: penduduk dewasa yang paling banyak tidak dapat melakukan kegiatan fisik (mendasar dan lebih lanjut) sehari-hari, penduduk yang paling banyak mengalami gejala penyakit, anak-anak paling banyak berstatus gizi buruk/kurang, penduduk dewasa paling banyak yang kurus, serta penduduk yang paling sedikit melakukan upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap dan pengobatan sendiri) adalah yang tinggal di pedesaan, orang tua dan penduduk dewasa yang berpendidikan tidak sekolah dan tidak tamat SD, serta pendapatan pada tingkat pendapatan 25 persen pertama sampai 25 % kedua (sampai Rp 51.615).
Studi ini juga menunjukkan kecenderungan minum jamu atau obat tradisional (terutama untuk usia kurang dari 15 tahun) meningkat seiring dengan naiknya tingkat pendapatan. Meskipun secara umum persentase minum jamu atau obat tradisional masih rendah dibanding minum obat modern, namun biaya yang dikeluarkan untuk minum jamu atau obat tradisional paling tinggi. Pada masa krisis ekonomi, penggunaan obat tradisional sedang diupayakan ditingkatkan pemakaiannya, mengingat biaya obat modern sangat melambung tinggi.
Dalam rangka peningkatan penggunaan obat tradisional, disarankan untuk melakukan penelitian-penelitian (uji klinis) terhadap jenis obat-obat tradisional yang sering dipergunakan masyarakat, serta perlu memantapkan "khasiat" dari obat tradisional tersebut. Selain itu, perlu ada jaminan keamanan pada masyarakat sebagai pemakai sehingga dapat memberikan kepercayaan pada masyarakat dalam menggunakannya.
Hasil studi ini kemungkinan dapat digunakan sebagai bahan informasi untuk penentuan sasaran program perbaikan gizi dan peningkatan kesehatan masyarakat. Sasaran program harus ditentukan dengan sebaik-baiknya terutama pada masa krisis ekonomi, karena dapat menentukan berhasil tidaknya suatu program. Penentuan sasaran program sangat sulit, sehingga diperlukan data-data yang menunjang yang menggambarkan kondisi masyarakat setempat. Seiring dengan rencana desentralisasi, maka penggunaan informasi seperti informasi yang diperoleh dari data SAKERTI/IFLS 1993 diharapkan dapat membantu perubahan perencanaan kebijakan program kesehatan. Informasi yang dapat digunakan terutama yang berhubungan dengan status disabilitas, status kesakitan, status gizi, upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap dan pengobatan sendiri) sebagai cerminan untuk perencanaan selanjutnya.
Berkaitan sasaran program, maka penduduk yang tergolong rawan perlu mendapat perhatian, dan mendapat prioritas dalam upaya perbaikan gizi dan peningkatan kesehatan terutama pada masa krisis ekonomi. Dikhawatirkan dengan adanya krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 dan dampak kekeringan/kemarau panjang serta kekurangan pangan di beberapa tempat akan menimbulkan dampak lebih buruk terhadap status kesehatan dan gizi kelompok rawan tersebut pada masa krisis.
Berdasarkan status disabilitas, status kesakitan, dan status gizi kelompok usia 60 tahun ke atas merupakan paling tinggi persentase yang tergolong tidak dapat melakukan kegiatan fisik (mendasar dan fisik lebih lanjut} sehari-hari dan Bering mengalami gejala psikis sejak empat minggu sebelum wawancara. Keluhan gejala penyakit yang cendenmg paling banyak dialami kelompok ini adalah sakit mata dan sakit kulit. Berdasarkan IMT, mereka merupakan persentase tertinggi kategori kurus. Kelompok usia ini hanya sekitar 10.4 persen dari seluruh sampel dalam studi ini. Namun jika dilihat dan hasil proyeksi penduduk Indonesia, dari tahun 1995-2025 proporsi penduduk lanjut usia akan meningkat menjadi 13,2 persen (Lembaga Demografi FEUI, 1994). Negara yang mempunyai penduduk lanjut usia di atas 10 persen akan menghadapi masalah sosial, ekonomi, dan psikologis kelompok lanjut usia (Wirosuhardjo, 1994). Oleh karena itu, pemeliharaan kesehatan kelompok ini perlu mendapat perhatian supaya mereka masih tetap produktif, sehingga tidak menimbulkan masalah sosial dan ekonomi.
Berkaitan dengan kelompok lanjut usia ini, beberapa saran yang mungkin dapat dijadikan masukan bagi pemerinaah khususnya Departemen Kesehatan dalam upaya meningkatkan pemerataan kesehatan masyarakat kelompok tersebut. Upaya kesehatan yang dapat dilakukan untuk kelompok ini antara lain dengan memberikan pelayanan kesehatan menyeluruh secara gratis, pemberian makanan yang bergizi sesuai dengan kebutuhannya, dan pemberian konseling di tempat pelayanan kesehatan atau di puskesmas secara gratis. Hal lain yang panting adalah pemberitahuan kepada kelompok tersebut bahwa mereka dapat menggunakan fasilitas kesehatan dengan gratis, karena adanya fasilitas tanpa diiringi dengan pengetahuan dari sasaran kemungkinan akan tidak tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan atau dapat dikatakan salah sasaran.
Kelompok lain yang perlu mendapat perhatian adalah anak usia bawah lima tahun (balita), karena paling tinggi mengalami gejala penyakit terutama sakit mencret, status gizi buruk/kurang sekitar 23 persen (menurut BBIU), dan paling tinggi persentase yang memerlukan rawat jalan dan rawat inap. Gejala sakit mencret pada kelompok tersebut cenderung paling banyak dialami oleh anak yang ibunya tidak sekolah. Kelompok ini merupakan salah satu kelompok yang sering dibicarakan pada masa krisis, dengan seringnya pemberitaan mengenai kasus terjadinya gizi buruk di beberapa wilayah. Sebenarnya mungkin prevalensi gizi buruk/kurang yang kronis sudah terjadi sejak sebelum krisis, namun tidak secara transparan terlihat. Dan hasil studi ini tampak bahwa status gizi buruk/kurang terutama anak laid-iaki usia kurang dari 15 tahun menurut berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) sekitar 58.7 persen, 53.2 persen (TBIU), dan 57,4 persen menurut BBIU. Apabila kelompok ini tidak ditangani dengan serius, maka kemungkinan akan terjadi lost generation, karena kelompok ini adalah generasi penerus yang akan meneruskan dan mengisi pembangunan di masa yang akan datang. Dengan demikian kualitas sumberdaya manusianya harus ditingkatkan sedini mungkin.
Kelompok bayi atau balita pada studi ini dapat dikatakan merupakan salah satu sasaran yang ingin dicapai dalam program perbaikan kesehatan dan peningkatan gizi masyarakat pada masa krisis. Sedangkan kelompok sasaran lain adalah: (1).untuk pelayanan kesehatan dasar meliputi seluruh keluarga miskin, yaitu keluarga dengan kriteria Pra-Sejahtera dan Sejahtera-I (karena alasan ekonomi) serta keluarga miskin lain yang ditetapkan oleh Tim Desa, (2) untuk pelayanan kebidanan dan rujukannya: seluruh ibu hamil, ibu bersalin, dan ibu nifas (dengan bayi neonatalnya) dari keluarga miskin seperti butir 1, (3) untuk pemberian makanan tambahan: ibu hamil dan ibu nifas yang menderita Kurang Energi Kronis (KEK), seluruh bayi (6-11 bulan) dan anak (12-23 bulan) dari keluarga miskin seperti pada butir 1.
Kelompok sasaran tersebut merupakan kelompok sasaran yang ingin dicapai dalam program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK). Program ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi dampak negatif akibat krisis. Selain JPSBK, program yang dilakukan melalui JPS meliputi JPS padat karya, JPS pengembangan usaha pertanian, JPS pengembangan ekonomi keluarga miskin, JPS pendidikan, JPS pengembangan usaha kecil dan menengah, dan JPS pangan.
Program JPSBK ditujukan untuk membantu keluarga-keluarga miskin di seluruh Indonesia agar tetap terpelihara kesehatannya. Pada dasarnya tujuan umum dari program tersebut adalah meningkatkan/ mempertahankan dan derajat kesehatan dan status gizi keluarga miskin. Sedangkan tujuan khususnya adalah: (1) memberikan bantuan dana pelayanan kesehatan dasar dan rujukan bagi keluarga miskin, (2) memberikan pelayanan kebidanan dan pelayanan rujukan kebidanan bebas biaya bagi ibu hamil, ibu bersalin, dan ibu nifas (dengan bayi neonatalnya) dari keluarga miskin, (3) memberikan makanan tambahan bagi ibu hamil dan ibu nifas KEK, bayi (6-11 bulan) dan anak (12-23 bulan) dari keluarga miskin, (4) memantapkan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) di Dati II dan Kecamatan, (5) menyelenggarakan JKPM dengan menyediakan premi bagi keluarga miskin di seluruh Dati II, dan melakukan pengamatan khusus penyelenggaraan JKPM di sepuluh Dati II.
Dalam Program JPSBK juga dilakukan pengembangan JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat) di seluruh Dati II. Idealnya semua keluarga miskin di seluruh Dati II memperoleh penanganan yang sama meskipun dana program ini berbeda, yaitu dari ADB dan APBN. Dana dari ADB ditujukan untuk 8 (delapan) propinsi yaitu Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Irian Jaya, dan dari dana APBN untuk 19 propinsi lainnya. Dana APBN juga diberikan kepada propinsi lokasi bantuan ADB untuk kabupaten dan kegiatan yang belum dicakup oleh bantuan ADB.
Beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan status gizi masyarakat terutama bayi atau balita adalah: mengaktipkan kembali Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) dengan memanfaatkan dana jaring pengaman sosial bidang kesehatan. Berkaitan dengan pelaksanaan SKPG, maka pejabat Departemen Kesehatan sebaiknya turun ke daerah memberitahukan Gubernur, Bupati, serta instansi terkait agar melakukan SKPG. Hal ini dikarenakan status gizi buruk/kurang merupakan rantai terakhir akibat kurang pangan yang sejak awal tidak ditangani. Indikator yang perlu dilihat dalam pelaksanaan SKPG antara lain: (1) adanya penimbangan di posyandu sebagai suatu isyarat dini di tingkat terendah, kalau berat bayi tidak naik tiap bulan, dan (2) perubahan pola konsumsi penduduk dari kemampuan mereka membeli atau kebiasaan makan bahan makanan pokok sehari-hari yang pada saat krisis menurun jumlah maupun intensitasnya.
Berkaitan dengan posyandu, perannya sangat panting untuk memantau kesehatan balita, namun pelaksanannya perlu didukung dengan dana yang memadai. Jumlah dan program yang jelas belum tentu bisa dilakukan jika tidak didukung oleh dana yang memadai.
Upaya lain yang perlu disarankan dalam rangka memperbaiki status gizi masyarakat adalah melaksanakan program pemberian makanan tambahan dengan dengan tujuan untuk meningkatkan status gizi anak, untuk mencegah proses deteriorasi status gizi, pencegahan penyakit infeksi, dan menyelenggrakan program KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) kepada orang tua sasaran. Meskipun demikian juga perlu diperhatikan kekurangan-kekurangan dan program tersebut, yang antara lain menyangkut kandungan zat gizi dan jenis pangan, frekuensi pemberian, kelompok umur sasaran, prosedur pentargetan, dan hubungan dengan penyedia makanan.
Secara mendasar terdapat dua pendekatan dalam hal jenis pangan dalam program pemberian makanan tambahan, yaitu (1) pendekatan didasarkan pada ketersediaan pangan lokal, (2) pendekatan didasarkan pada bantuan pangan atau pangan campuran (blended food). Meskipun hal ini masih merupakan perdebatan dalam pelaksanaannya. Khusus untuk usia 6-11 bulan dianjurkan untuk menggunakan pangan campuran, karena produk ini menyediakan keperluan zat gizi sesuai dengan kebutuhan. Oleh karena itu disarankan jenis makanan tersebut diperkaya dengan zat gizi mikro esensial untuk meningkatkan status gizi mikro anak. Selanjutnya untuk anak usia lebih dari 12 bulan disarankan untuk menggunakan pangan olahan.
Lama program pemberian makanan tambahan sebaiknya berlangsung sampai usia kritis atau sekurang-kurangnya 10-12 bulan. Hal ini didasarkan pada pengalaman di Klinik Gizi Puslitbang Gizi Bogor, yaitu untuk memperbaiki anak yang berstatus gizi kurang sampai berstatus gizi sedang diperlukan pemberian makanan tambahan enam bulan. Sedangkan untuk program yang berskala besar disarankan untuk menggunakan tenaga lokal dengan memperluas periode pemberian makanan tambahan sampai 10-12 bulan.
Berkaitan dengan 7PSBK, seharusnya keluarga-keluarga yang menjadi kelompok sasaran program pemberian makanan tambahan tercakup dalam upaya pengentasan kemiskinan atau peningkatan status sosial, ekonomi dari masyarakat miskin. Namun demikian program 7PSBK ini bukan hanya untuk membagi-bagikan uang saja tetapi perlu dimonitor pelaksanaanya, sehingga kemungkinan salah sasaran dapat dikurangi. Sebenarnya melesetnya sasaran tidak akan terjadi, jika semua pihak mempunyai kesadaran akan hak dan kewajiban masing-masing, sehingga tidak terjadi penyerobotan terhadap hak-hak orang lain (termasuk hak orang miskin). Salah satu hal panting dalam hal ini adalah memperbaiki sikap mental/moral dan menumbuhkan kesadaran semua pihak akan hak dan kewajiban, tidak hanya mementingkan diri sendiri saja.
Dalam rangka memperbaiki status gizi dan meningkatkan kesehatan balita disarankan supaya Departemen Kesehatan membuat perencanaan logistik obat-obatan untuk pengobatan gejala penyakit terutama untuk penyakit yang banyak dialami oleh anak balita. Misalnya penyediaan obat-obatan untuk mencegah atau mengobati penyakit mencret (oralit atau larutan gula garam). Selain itu, sebaiknya Departemen Kesehatan lebih memprioritaskan program bantuan pada penduduk yang ada di daerah pedesaan baik dalam pendistribusian obat maupuan penyediaan fasilitas kesehatan. Misalnya dengan lebih mengoptimalkan kerja Puskesmas sebagai fasilitas yang paling banyak digunakan oleh masyarakat pedesaan.
Usaha mengatasi masalah gizi dihubungkan dengan program kesehatan yang intensif, karena program gizi tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan status gizi anak, tetapi juga berhubungan dengan masalah penyakit infeksi dan kesehatan lain. Oleh karena itu disarankan untuk menyediakan pengarahan ulang, pelatihan ulang terhadap tenaga gizi yang berhubungan dengan tenaga-tenaga dari Departemen Kesehatan, Pertanian, Koperasi, Dalam Negeri, Sosial, dan sebagainya.
Pengorganisasian JPSBK atau program lain yang sejenis sudah lintas sektor, namiin yang memegang dana adalah puskesmas. Kondisi seperti ini sebenarnya mempunyai kelemahan, karena puskesmas sebagai pelaksana juga sekaligus sebagai pemegang dana. Jadi sebaiknya dana yang disalurkan oleh Bappenas melalui Kantor Pos dikelola oleh pihak lain selain puskesmas, sehingga fungsi pelaksana, pengelola dan pengawas diharapkan dapat berjalan dengan baik.
Selain itu, disarankan agar terus diadakan sosialisasi program JPSBK kepada masyarakat, kontinuitas program, upaya mengatasi ketergantungan masyarakat terhadap program, pelatihan petugas dan peran aktif puskesmas turun ke sasaran, serta pemberdayaan tokoh masyarakat sebagai sosialisasi program.
Upaya yang dapat dilakukan terhadap masyarakat untuk mengatasi ketergantungan terhadap program yaitu dengan pemberdayaan keluarga miskin melalui penyaluran dana, supaya taraf hidupnya meningkat. Beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu dengan membentuk lembaga keuangan pedesaan yang merupakan pemberi kredit usaha kecil. Upaya inovatif yang dilakukan dalam menyalurkan kredit yakni dengan menekankan cara pemberian secara kelompok. Dengan cara ini diharapkan dapat menimbulkan sikap saling bertanggung jawab dan saling mendukung dalam menyukseskan usaha masing-masing anggota. Mekanisme yang mungkin dapat dilakukan yaitu dengan mewajibkan setiap calon peminjam untuk membentuk kelompok yang berjumlah lima orang, yang masing-masing kelompok mempunyai usaha kecil. Berkaitan dengan ini sebenamya telah banyak jenis-jenis bantuan yang dapat diberikan kepada keliarga-keluarga miskin, seperti koperasi-koperasi, kredit usaha tani, program IDT (Inpres Desa Tertinggal), takesra dan kukesra. Namun pada kenyataanya program tersebut tidak sampai kesasaran, bahkan mungkin masyarakat tidak tahu bagaimana cara memperolehnya. Meskipun sudah tahu prosedur, namun kredit kadang tidak kunjung cair.
Upaya lain yang dapat dilakukan dalam menghadapi kelompok sasaran adalah dengan memberikan penyuluhan tentang pentingnya kesehatan dengan memberi pengetahuan mengenai cara pencegahan penyakit dan cara-cara hidup sehat. Selain itu, untuk mengatasi masalah kurangnya kemampuan masyarakat dalam pembiayaan kesehatan dapat dilakukan dengan asuransi kesehatan yang dapat menjangkau kelompok pendapatan rendah.
Di pihak lain pars peserta program .FPS seperti koperasi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dituntut kesadarannya untuk tidak mengatas namakan rakyat kecil demi kepentingan sendiri, atau tidak menggunakan dana yang bukan haknya dengan cara menipu (misal mengajukan lahan fiktif untuk memperoleh KUT). Oleh karena itu, seharusnya birokrasi yang diterapkan tidak menyulitkan masyarakat kecil, dan petugas yang berwenang mempunyai kesadaran untuk memberdayakan masyarakat miskin. Selama sikap mental ini belum bisa diberantas, maka program sebaik apapun tidak mungkin akan berjalan dengan sebagaimana mestinya. Dalam hal ini diperlukan adanya suatu kontrol dari semua pihak terhadap pelaksanaannya, yang apabila program tersebut tidak mengenai sasaran dikenakan sanksi.
Mubyarto (1999) mengatakan bahwa pemihakan pemerintah lebih diperlukan daripada PS. Lebih lanjut dikatakan bahwa paradigma pembangunan nasional adalam pembangunan yang bertumpu pada kekuatan ekonomi rakyat, yaitu pembangunan yang makin memperkuat dan makin memberdayakan. Dulu kata rakyat tidak hanya berbobot filosofis humanis, tetapi juga menggambarkan bahwa orang-orang di lembaga-lembaga pemerintah diharapkan memiliki Kati nurani, rasa kemanusiaan, dan pengorbanan besar yang sesuai untuk jamannya. Berbicara mengenai kerakyatan dan ekonomi rakyat berarti menunjukkan ada suatu rasa tanggung jawab moral dari orang-orang yang sudah lebih baik posisinya daripada mereka yang perlu diangkat dan dipihaki.
Pembicaran yang berkaitan dengan masalah krisis ini cukup menarik untuk dikaji, terutama berkaitan dengan informasi dampak krisis yang berbeda-beda. Sebagai contoh Bank Dunia mengemukakan bahwa status gizi buruk di Indonesia tidak mengalami peningkatan dari pra krisis sampai masa krisis. Namun pada kenyataan hampir setiap hari pemberitaan di media masa menyebutkan ada kasus balita kurang gizi bahkan sampai mengakibatkan kematian. Sedangkan dari analisis-Basuni dkk (1999) berdasarkan data Susenas tahun 1989 sampai tahun 1998, memperlihatkan bahwa telah terjadi penurunan status gizi buruk dari sekitar 35,7 persen (tahun 1989) menjadi 30.5 persen (tahun 1995), dan 27.8 persen (tahun 1998). Namur jika umur dipecah menjadi kelompok 6-17 bulan, tampak peningkatan status gizi di daerah perkotaan dari 23.3 persen (tahun 1995) menjadi 24.6 persen (tahun 1998), dan di pedesaan meningkat dari 29,9 persen (tahun 1995) menjadi 31,9 persen tahun 1998. Indeks ini didasarkan pada indeks BBIU (underweight) sebagai ukuran yang baik untuk pengaruh krisis jangka pendek. Dalam hal ini tampak bahwa status gizi burukllrnrang sudah lama terjadi sebelum krisis, hanya mungkin kejadiannya tidak sesering setelah krisis. Sebenarnya mungkin saja status gizi buruk/kurang sudah banyak terjadi lama sebelum krisis, namuan tidak secara transparan dikemukakan. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan sistem pemerintahan yang bersifat kurang terbuka pada waktu pra krisis, sehingga kasus-kasus seperli itu berusaha untuk ditutupi. Pada waktu pra krisis, upaya mendapatkan penghargaan dari pihak yang lebih tinggi (atasan) dianggap merupakan satu hal yang paling penting dibandingkan dengan mengatasi status gizi buruk/kurang.
Terlepas dari: berbagai perbedaan pendapat tersebut, disarankan untuk melihat lebih jauh dampak krisis dengan menganalisis data SAKERTI tahun 1997 dan 1998. Khusus berkaitan dengan status gizi disarankan untuk menganalisis usia balita dengan kelompok umur yang dipecah menurut kelompok umur (dalam bulan), misal enam bulanan. Pemecahan kelompok umur ini panting mengingat terdapatnya perbedaan hasil status gizi yang diperoleh dengan adanya perbedaan kelompok umur tersebut.
Disarankan juga untuk melakukan studi semacam ini lebih lanjut secara lebih mendalam, antara Iain dengan menganalisis: (1) hubungan antara status disabilitas dengan status kesakitan atau status gizi, (2) hubungan antara status disabilitas, status kesakitan dan status gizi dengan upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap, dan pengobatan sendiri), (3) status disabilitas, status kesakitan dan status gizi menurut jenis kelamin. Pembagian menurut jenis kelamin ini untuk melihat status disabilitas, status kesakitan dan status gizi wanita terutama wanita hamil dan wanita pada masa nifas sebagai salah satu sasaran program .IPSBK. (4) menurut propinsi, sehingga bisa digunakan untuk perencanaan per propinsi."
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Utri Triana
"Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan masalah kesehatan dengan prevalensi yang terus meningkat, tercatat berdasarkan Riskesdas tahun 2013 prevalensi PGK adalah 0,2% dan pada Riskesdas tahun 2018 meningkat menjadi 0,38%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi PGK dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian PGK di Indonesia. Data yang dianalisis adalah data Indonesian Family Life Survey (IFLS) 5 dan dianalisis untuk menghitung prevalence ratio (PR) dengan batas kepercayaan 95%. PGK didefinisikan berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan. Dari hasil analisis didapatkan prevalensi PGK di Indonesia sebesar 1,7%. Faktor risiko yang berhububungan secara signifikan dengan kejadian PGK diantaranya adalah kelompok umur 52-60 tahun (PR=2,159; 95% CI=1,368–3,406), kelompok umur 43-51 tahun (PR=2,186; 95% CI=1,454–3,287), kelompok umur 31-42 tahun (PR=2,150; 95% CI=1,463–3,160), laki-laki (PR=0,653; 95% CI=0,504–0,845), merokok PR=1,356 (95% CI=1,048–1,755), aktivitas fisik sedang (PR=1,399; 95% CI=1,015–1,929), hipertensi (PR=1,420; 95% CI=1,051–1,918), diabetes melitus (PR=2,631; 95% CI=1,666–4,156), kolesterol tinggi (PR=3,357; 95% CI=2,388–4,721), dan obesitas (PR=1,467; 95% CI=1,134–1,897). Kolesterol tinggi dan diabetes melitus merupakan variabel yang memiliki kemungkinan terbesar terhadap kejadian PGK.

Chronic kidney disease (CKD) is a health problem with increasing prevalence, recorded based on Riskesdas 2013 the prevalence of CKD was 0,2% and it increased to 0,38% in Riskesdas 2018. This study aims to determine the prevalence of CKD and factors associated with the occurrence of CKD in Indonesia. This analysis used The Indonesian Family Life Survey (IFLS) 5 and analyzed to calculate the prevalence ratio (PR) with a 95% confidence interval. CKD was defined based on the diagnosis of health workers. The analysis shows that the prevalence of CKD in Indonesia is 1,7%. Risk factors that significantly associated with CKD are the age group 52-60 years (PR=2,159; 95% CI=1,368–3,406), age group 43-51 years (PR=2,186; 95% CI=1,454–3,287), age group 31-42 years (PR=2,150; 95% CI=1,463–3,160), males (PR=0,653; 95% CI=0,504–0,845), smoking PR=1,356 (95% CI=1,048–1,755), moderate physical activity (PR=1,399; 95% CI=1,015–1,929), hypertension (PR=1,420; 95% CI=1,051–1,918), diabetes (PR=2,631; 95% CI=1,666–4,156), high cholesterol (PR=3,357; 95% CI=2,388–4,721), and obesity (PR=1,467; 95% CI=1,134–1,897). High cholesterol and diabetes are the variables that have the biggest possibility of CKD.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Randy Elbert
"

Penyakit kardiovaskular juga merupakan penyebab utama kematian secara global. Di Indonesia, penyakit kardiovaskular mengalami peningkatan prevalensi setiap tahunnya dan menempati peringkat tertinggi sebagai penyebab kematian terutama pada usia produktif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit kardiovaskular pada penduduk usia produktif di Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2018. Desain studi penelitian ini adalah cross-sectional dengan analisis bivariat. Hasil penelitian menunjukan prevalensi penyakit kardiovaskular pada penduduk usia produktif di Provinsi DI Yogyakarta pada tahun 2018 adalah sebesar 2,7%. Faktor yang berhubungan secaara statistik dengan kejadian penyakit kardiovaskular yaitu umur (POR = 4,615; 95% CI: 3,489-6,104), jenis kelamin (POR = 0,751; 95% CI: 0,566-0,995), tingkat pendidikan (POR = 1,405; 95% CI: 1,064 – 1,855), hipertensi (nilai POR = 2,391; 95% CI: 1,810-3,158), diabetes melitus (POR = 8,531; 95% CI: 5,899 – 12,337), status merokok (POR = 1,979; 95% CI: 1,327-2,950; dan POR = 2,794; 95% CI: 1,738-4,492), obesitas (POR = 1,630; 95% CI: 1,206 - 2,204), aktivitas fisik (POR = 1,968; 95% CI: 1,292 – 2,999), gangguan mental emosional (POR = 2,344; 95% CI: 1,661 – 3,307), konsumsi makanan asin (POR = 0,693; 95% CI: 0,519 – 0,927), dan konsumsi makanan lemak/kolesterol/gorengan (POR = 0,698; 95% CI: 0,517 – 0,944). Sementara itu, konsumsi buah dan sayur serta konsumsi alkohol tidak berhubungan secara statistik dengan kejadian penyakit kardiovaskular. Optimalisasi program pengendalian PTM seperti CERDIK dapat membantu pencegahan kejadian penyakit kardiovaskular.


Cardiovascular disease is the leading cause of death globally. In Indonesia, cardiovascular disease has an increasing prevalence every year and ranks highest as a cause of death, especially in productive age. This study aims to determine the factors associated with the incidence of cardiovascular disease in the productive age population in the Special Region of Yogyakarta based on data from the 2018 Basic Health Research. The design of this research study was cross-sectional with bivariate analysis. The results showed that the prevalence of cardiovascular disease in the productive age population in Yogyakarta Province in 2018 was 2.7%. Statistically related factors to cardiovascular disease incidence were age (POR = 4.615; 95% CI: 3.489-6.104), sex (POR = 0.751; 95% CI: 0.566-0.995), education level (POR = 1.405; 95% CI: 1.064 – 1.855), hypertension (POR value = 2.391; 95% CI: 1.810-3.158), diabetes mellitus (POR = 8.531; 95% CI: 5.899 – 12.337), smoking status (POR = 1.979; 95% CI: 1.327-2.950; and POR = 2.794; 95% CI:  1.738-4.492), obesity (POR = 1.630; 95% CI: 1.206 - 2.204), physical activity (POR = 1.968; 95% CI: 1.292 – 2.999), mental emotional disorders (POR = 2.344; 95% CI: 1.661 – 3.307), consumption of salty foods (POR = 0.693; 95% CI: 0.519 – 0.927), and consumption of fat/cholesterol/fried foods (POR = 0.698; 95% CI: 0.517 – 0.944). Meanwhile, fruit and vegetable consumption and alcohol consumption were not statistically associated with the incidence of cardiovascular disease. Optimization of NCD control programs such as CERDIK can help prevent cardiovascular disease events

"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rizki Paranto
"Penelitian ini menjelaskan tentang gambaran pengetahuan, sikap, persepsi risiko, dan perilaku pencegahan COVID-19 pada mahasiswa S1 Universitas Indonesia angkatan 2020. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain studi cross-sectional. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling yang diikuti sebanyak 118 responden dengan mengisi kuesioner daring menggunakan Google Form. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan responden tentang pencegahan COVID-19 sudah tinggi, tetapi masih rendah mengenai jaga jarak dan kontak erat. Responden pada umumnya memiliki sikap positif dalam mencegah COVID-19, tetapi masih terdapat 28% responden yang takut ketika ingin melakukan tes PCR. Sebagian besar responden mempersepsikan COVID-19 sebagai penyakit yang serius dan khawatir ketika mendengar informasi tentang COVID-19. Responden telah melakukan sebagian besar perilaku pencegahan COVID-19 dengan baik, seperti etika batuk, memakai masker ke luar rumah saat pandemi dan di tempat keramaian, menjaga jarak di tempat keramaian, dan mencuci tangan dengan sabun setelah dari tempat keramaian, sebelum makan, dan sesudah makan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan, sikap, dan perilaku pencegahan COVID-19. Perlu meningkatkan edukasi atau sosialisasi yang efektif dan konsisten dan menguatkan penerapan perilaku pencegahan yang masih kurang, terutama menjaga jarak dan mencuci tangan dengan sabun minimal 40 detik.

This research explained about the description of knowledge, attitude, risk perception, and behavior of COVID-19 prevention among undergraduate students of University of Indonesia Batch 2020. This research used the quantitative method with cross-sectional study. Sampling was carried out by purposive sampling technique that were joined by 118 respondents with filling out an online questionnaire based on Google Form. The results showed that the respondent’s knowledge about COVID-19 prevention was high, but still low regarding physical distancing and close contact. In general, respondents have a positive attitude in preventing COVID-19, but there are still 28% who are afraid to do a PCR test. Most of the respondents perceived COVID-19 as a serious disease and were worried when they heard information about COVID-19. Respondents have done most of the prevention of COVID-19 well, such as cough etiquette, wearing masks outside the house during pandemic and in crowded places, maintaining distance in crowded places, and washing hands with soap and after going to crowded places, before and after eating. The results showed that there was no significant association between knowledge, attitude, and behavior of COVID-19 prevention. It is necessary to increase effective and consistent education or socialization and strengthen the implementation of prevention behavior that still lack, especially maintaining distance and washing hands with soap for at least 40 seconds."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zuriyatin Auliyarrahman Jauhari
"Depresi menjadi penyebab utama disabilitas di seluruh dunia dan berkontribusi pada beban penyakit global. Dampak depresi yang tidak tertangani adalah bunuh diri dimana hal ini akan meningkatkan angka mortalitas nasional. Prevalensi depresi di Indonesia meningkat dari 3,7% menjadi 6,1% di tahun 2015 ke tahun 2018. Diabetes melitus yang merupakan faktor risiko depresi juga mengalami peningkatan prevalensi pada periode tahun yang sama. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan diabetes melitus dengan kejadian depresi di Indonesia. Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang. Sumber data yang digunakan yaitu data sekunder Riskesdas 2018. Responden penelitian adalah penduduk di Indonesia yang berusia ≥ 18 tahun. Terdapat 646.000 responden yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Berdasarkan hasil analisis didapatkan prevalensi depresi sebesar 6% dan prevalensi diabetes melitus sebesar 2,2%. Terdapat hubungan yang signifikan antara diabetes melitus dengan depresi. Responden yang memiliki diabetes melitus 1,8 kali (POR=1,827; 95%CI=1,732—1,927) lebih mungkin untuk mengalami depresi dibanding dengan seseorang yang tidak memiliki diabetes melitus setelah dikontrol oleh variabel penyakit kronis lain.

Depression is becoming the leading cause of disability worldwide and contributing to the global burden of disease. The impact of untreated depression is suicide, which raises the national mortality rate.  The prevalence of depression in Indonesia increased from 6% to 6.1% in 2015 to 2018. Diabetes mellitus as a risk factor for depression also has prevalence which keep increasing in 2015 to 2018. This study aims to determine the relationship between diabetes mellitus and depression in Indonesia. This study used a cross-sectional study design. The data source used was secondary data obtained from Riskesdas 2018. The respondents of the study were all population in Indonesia aged ≥ 18 years. There were 646000 respondents that matched the inclusion and exclusion criteria. The results of the study found that the prevalence of depression was 6% and the prevalence of diabetes mellitus was 2.2%. There is a significant association between diabetes mellitus and depression. Respondents who had diabetes mellitus 1.8 (POR=1.827; 95%CI=1.732—1.927) more likely to become depressed than those who did not have diabetes mellitus after being controlled by other chronic disease variable."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vika Azzahra
"Menurut Riskesdas 2013, di Indonesia prevalensi stroke pada penduduk usia ≥ 15 tahun sebesar 7 permil dan mengalami kenaikan dari tahun 2007 yang sebesar 6 permil. DIY menjadi provinsi dengan prevalensi stroke tertinggi kedua di Indonesia dan prevalensinya melebihi angka nasional yakni sebesar 10,3 permil pada tahun 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat menyebabkan kejadian stroke pada penduduk usia ≥15 tahun di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional dengan data Riskesdas 2018 Provinsi DIY sebanyak 6695 responden. Uji statistik pada penelitian ini adalah uji chi square dan regresi logistik ganda. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi stroke pada penduduk usia ≥ 15 tahun di Provinsi DIY tahun 2018 yaitu sebesar 1,7%. Uji statistik yang memiliki hubungan signifikan dengan kejadian stroke antara lain usia (POR = 3,23 ; 95%CI = 2,03-5,13), aktivitas fisik (POR = 2,86 ; 95%CI = 1,90-4,31), hipertensi (POR = 5,69 ; 95%CI = 3,68-8,79), penyakit jantung (POR = 2,57 ; 95%CI = 1,47-4,48), dan diabetes melitus (POR = 2,44 ; 95%CI = 1,49-3,40). Kesimpulan penelitian ini adalah terdapat hubungan antara usia, aktivitas fisik, hipertensi, penyakit jantung, dan diabetes melitus dengan kejadian stroke pada penduduk usia ≥ 15 tahun di Provinsi DIY. 

According to Riskesdas 2013, the prevalence of stroke in Indonesia in the population aged ≥15 years is 7 per mil and increased from 2007 which was 6 per mil. Special Region of Yogyakarta (DIY) is the province with the second highest prevalence of stroke in Indonesia and the prevalence exceeds the national figure of 10.3 per mil in 2013. This research aimed to determine the factors that can cause stroke in the population aged ≥15 years in DIY Province. Design of this research was cross-sectional and used Riskesdas 2018 data from DIY Province with 6695 respondents. Chi-square statistical test and multiple logistic regression used in this study. The results showed that the prevalence of stroke in the population aged ≥15 years in DIY Province in 2018 was 1.7%. Statistical tests that has a significant relationship with the incidence of stroke included, age ((POR = 3.23 ; 95%CI = 2.03-5.13)), physical activity fisik (POR = 2.86 ; 95%CI = 1.90-4.31), hypertension (POR = 5.69 ; 95%CI = 3.68-8.79), heart disease (POR = 2.57 ; 95%CI = 1.47-4.48), and diabetes mellitus (POR = 2.44 ; 95%CI = 1.49-3.40). The conclusion of this study is there is a relationship between age, physical activity, hypertension, heart disease, and diabetes mellitus with the incidence of stroke in the population aged ≥15 years in DIY Province."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tati Suryati
"Dengan adanya kemajuan IPTEK khususnya dibidang Kedokteran menyebabkan pengobatan melalui pembedahan menjadi berkembang spesialistik dan mahal, selain itu demand masyarakat terhadap tindakan pembedahan juga meningkat. Pada dasawarsa terakhir, dinegara maju dan berkembang ada kecenderungan penghematan dalam bidang pelayanan kesehatan utamanya rumah sakit, sehingga timbul gagasan untuk mengadakan sentralisasi unit-unit tertentu terutama unit sebagai cost centre diantaranya adalah kamar bedah. Hal tersebut diatas juga banyak mengundang penelitian tentang utilisasi dan efektifitas kamar bedah. Rendahnya utilisasi kamar bedah oleh beberapa ahli dikatakan merendahkan citra profesi kedokteran dan para administrator Rumah Sakit.
Instalasi Bedah Sentral RSUP Fatmawati terdiri dari 6 kamar bedah yang seluruhnya melayani tindakan pembedahan elektif. Dari hasil pengamatan, utilisasi kamar bedah perhari / kamar sebesar 174 menit ( 43% dari kapasitas waktu yang tersedia ). Rata-rata kegiatan pembedahan dimulai pukul 08:00 - 09:00, ada nilai ekstrim yang menunjukan kegiatan pembedahan dimulai pukul 07:00 dan pukul 11:00. Beberapa kamar bedah diketahui tidak terpakai.
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan utilisasi kamar bedah dengan optimalisasi waktu kerja di Instalasi Bedah Sentral RSUP Fatmawati yang didapat dengan metoda simulasi. Model penelitian ini adalah penelitian operasional dengan analisis deskriptif dan pendekatan retrospektif. Populasi pada penelitian ini adalah jumlah kasus bedah elektif di IBS RSUP Fatmawati, sampel penelitian diambil dari data sekunder selama 6 bulan pada 5 Satuan Medik Fungsional dengan jumlah kasus bedah elektif terbesar dan mempunyai catatan perencanaan pembedahan.
Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui rata-rata utilisasi kamar bedah/minggu sebesar 658 menit(36.26%). Waktu kerja IBS yang efektif rata-rata 1507 menit/minggu, hal ini dapat meningkatkan utilisasi rata-rata 30.38 % dari yang dicapai saat ini. Diperkirakan dibutuhkan 76 tempat tidur untuk pasien bedah elektif.
Dari hasil simulasi, waktu kerja IBS yang optimal yaitu: 5 hari kerja (2x405 menit + 3x195 menit) dan 4 hari kerja (3x405 menit + 1x195 menit).Dengan optimalisasi waktu kerja di IBS, diharapkan produktifitas tenaga kerja tinggi dan adanya efisiensi terhadap sumber daya terutama waktu.
Saran yang dikemukakan adalah, dalam menerapkan alternatif optimalisasi waktu kerja, perlu ditunjang dengan perencanaan jadual pembedahan yang sesuai dengan waktu tindakan masing-masing jenis tindakan bedah elektif. Untuk mengetahui optimalisasi jadual perencanaan pasien bedah elektif perlu penelitian lebih lanjut tentang model pelayanan yang sesuai untuk kamar bedah di IBS RSUP Fatmawati.

Recent developments in medical science and technology have led to specialties and expensive treatment in surgical cases. Many expectation of surgery also made contributions. The last decade, there was much pressure in hospital to do cost containment. The idea was to centralize some cost centers, one of them is Operating Room. The idea made some questions about utilization and effectivity of operating room. The low utilization of operating room was humiliating the image of medical professions including hospital administrator.
Central surgery installation in Fatmawati General Hospital consist 6 operating room which service the elective surgery. The utilizations of its operating room 174 minutes per room per day (43 % from optimal capacity ). Usually surgery starts among 08:00 - 09:00 a.m. Sometimes at 07:00 or 11:00 a.m. And some operating room were not used.
The object of this research is to optimalize the utilization of operating room in central surgery installation with working time minimalization using simulation method. This research was operation research with descriptive analysis and retrospective perspective. The population are total cases of elective surgery in central surgery instalation at Fatmawati general hospital, the samples were taken from 5 medical function units that have the more cases and surgical planning in 6 months.
The result average utilization of operating room is 658 minutes per week (36.26 %) . The effective time is 1507 minutes per week. This, could increase average utilization as many as 30.28 %.The needed of total beds for elective patients are 76 beds.
The result of simulation, optimal working time are 5 days (2x405 minutes + 3x195 minutes ) and 4 work days ( 3x405 minutes + 1x195 minutes ). The optimalization of working time could improve the productivity and effectivity, mainly time.
For implementing this alternative optimalization, the schedule of surgery has to be prepared effectively depends of type of surgery. Needed further research to optimalize scheduling time, in central surgery installation Fatmawati general hospital.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasmidar Muchtar
"Sebagai Negara yang sedang berkembang, Indonesia terlibat secara aktif dalam proses dan arus pembangunan. Salah satu bentuk modal pembangunan adalah sumber daya manusia yang sehat, yaitu sehat fisik, mental dan sosial. Menyadari bahwa manusia merupakan kekuatan utama pembangunan dan sekaligus tujuan pembangunan, maka perlu ditingkatkan kualitas manusia sebagai sumber daya insani. Sumber daya manusia menyangkut dua aspek yaitu, aspek fisik (kualitas fisik) yang menyangkut kesehatan, dan non fisik (kualitas non fisik) yang menyangkut kemampuan bekerja, berfikir dan keterampilan-keterampilan lain. Masalah kesehatan di negara-negara sedang berkembang menyangkut kedua aspek tersebut, dimana aspek non fisik di bidang kesehatan menyangkut perilaku kesehatan yaitu perilaku hidup sehat. Perilaku hidup sehat adalah sebagian dari gaya hidup yang meliputi tidak merokok, olahraga teratur, manajemen stres dan tidur cukup.
Dengan menggunakan teori Green dan Andersen didapat faktor-faktor yang menyebabkan perilaku, yaitu faktor sosiodemografi yang terdiri dari latar belakang pendidikan kesehatan, tingkat pendidikan, jenis kelamin, status perkawinan dan umur. Faktor sosioekonomi dalam hal ini dilihat dari golongan kepangkatan dan jabatan struktural. Kemudian pengetahuan dan sikap. Penelitian ini dilakukan secara deskriptif-analitik dengan pendekatan secara crossectional. Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pegawai Kanwil. Depkes. DKI. Jakarta dan sampel diambil secara rendom sebanyak 100 orang.
Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa dari 9 variabel yang digunakan sebagai variabel bebas, ternyata hanya 3 variabel yang mempengaruhi langsung perilaku hidup sehat yaitu variabel jenis kelamin, golongan kepangkatan dan sikap. Sedangkan variabel lain berhubungan secara tidak langsung, tapi melalui variabel pengetahuan kemudian sikap atau langsung, melalui variabel sikap, kecuali status perkawinan yang tidak berhubungan sama sekali.
Saran untuk Dekpes RI Pusat untuk dapat melakukan evaluasi terhadap Instruksi Menteri Kesehatan NO. 161/ Menkes/ Inst/III/1990 tentang lingkungan kerja babas asap rokok dan SKB Menteri Kesehatan dan Menteri Pemuda dan Olahraga No.207/Menkes/5KB/IV/1965 dan No.00096/Menpora/1985 tentang pembinaan dan pengembangan kesehatan olahraga. Dan kepada Kanwil. DKI. Jakarta disarankan untuk menyediakan sarana untuk olahraga, memotivasi pegawai untuk berolahraga dan mengadakan seminar sehari tentang manajemen stres.
"
Depok: Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Elva
"Di Indonesia penduduk lanjut usia (usia 60 tahun ke atas) diperkirakan semakin meningkat. Meningkatnya populasi lanjut usia (lansia) ini perlu diurmuskan kebijakan dan program yang ditujukan pada lansia sehingga dapat berperan dalam pembangunan dan tidak menjadi beban bagi masyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi lansia di Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba Samosir, Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010 yang dilakukan selama 2 bulan (Maret-April 2010). Data primer yang diambil berupa pengukuran data antropometri (tinggi badan berat badan) dan wawancara untuk data karakterisik lansia (umur, jenis kelamin, status perkawinan, pengetahuan gizi, riwayat sakit dan gangguan suasana hati), faktor sosial ( tingkat pendidikan, status pekerjaan, status tinggal, aktifitas sosial), dan pola hidup (aktifitas fisik, kebiasaan merokok dan konsumsi makanan yaitu asupan energi dan protein).
Desain penelitian menggunakan cross sectional dengan kriteria inklusi lansia yang berumur 60 ke atas dengan jumlah sampel sebanyak 254 responden. Analisis yang digunakan adalah chi square, odd ratio dan multivariat regresi multinomial. Proporsi lansia yang berstatus gizi kurang hampir sama (24% dan19,7%). Hasil analisis dengan menggunakan regresi multinomial didapatkan variabel yang secara statistik berhubungan dan faktor dominan dengan status gizi kurang adalah variabel gangguan suasana hati dengan nilai OR=6,9, sedangkan variabel dominan pada status gizi lebih adalah variabel kebiasaan merokok.

In Indonesia, the elderly population (aged 60 years and over) are expected to rise in amount. Increasing proportion of elderly people (older) is required to formulate elderly policies and programs so them can play a role in development and not be a burden for the society.
This objective study aimed to determine factors associated with the nutritional status of elderly in Porsea Subdistrict, Toba Samosir District, Year 2010, North Sumatra Province which conducted within two months (March-April 2010). The primary data were taken in the form of measurements of anthropometric data (height and weight) and interview data for parent characteristics (age, sex, marital status, nutritional knowledge, mood disorder, history of illness) education level, employment status, living status, social activity, physical activity, smoking habits, and food consumption (energy and protein intake).
The study using cross sectional design with the inclusion criteria aged 60 above with the total sample of 254 respondents aged above 60 year. Chi square, odd ratio and multivariate multinomial regression analysis were used. The proportions of elderly who suffered from under nutrition was almost the same with the ovenutrition (24% and 19,7% respectively).
Results of data analysis using multinomial regression showed mood disorder was significantly correlated and dominant factors on undernourished status with the p-value of OR = 6,9, while the smoking habits was the dominant factors on the overnutrition."
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T30833
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>