Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lubis, Zulkifli
Abstrak :
ABSTRAK
Disertasi ini membahas gejala environmentaliti friksional dalam upaya-upaya pengendalian kebakaran lahan gambut yang berulangkali terjadi sejak 1990an di areal gambut eks Proyek PLG, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Upaya-upaya pengendalian kebakaran yang sudah banyak dilakukan pemerintah dan pihak-pihak lain melalui beragam program belum berhasil menyelesaikan masalah kebakaran berulang. Studi ini berusaha mencari penjelasan mengapa program-progam yang ada belum mampu melahirkan subjek-subjek peduli lingkungan atau mengubah kultur membakar menjadi anti-membakar dalam konteks pengelolaan lahan gambut. Suatu kajian etnografi multi-aktor menggunakan perspektif/governmentaliti environmentaliti dilakukan di desa-desa partisipan proyek KFCP (Kalimantan Forests and Climate Partnership) di kawasan Mantangai, Kabupaten Kapuas. Pengumpulan data dilakukan dalam kurun waktu 2010-2015, menggunakan metode pengamatan berpartisipasi, wawancara mendalam, dan dukungan penelaahan bahan-bahan sekunder. Temuan kajian menunjukkan bahwa upaya kepenatakelolaan lingkungan melalui intervensi regulasi dan program rehabilitasi tidak berhasil membentuk subjek-subjek peduli perlindungan lingkungan, sebaliknya lebih cenderung melahirkan aktor-aktor yang berpandangan miopik dan bertindak pragmatik. Gejala budaya environmentaliti friksional itu menjadi hambatan bagi efektivitas upaya-upaya pengendalian kebakaran berulang di lahan gambut.
ABSTRACT
This dissertation discusses on the phenomenon of lsquo frictional environmentality rsquo in the efforts of controlling peatland fires that have repeatedly occurred since the 1990s in the peatland area of ex PLG Project in Kapuas District, Central Kalimantan. Fire control efforts that have been conducted numerously by the government and other parties through a variety of programs have not been able to solve the problem of recurrent fire events. This study aims to examine why the existing programs are still unable to create environmental subjects who care about environmental protection. A multi actor ethnographic study by using the perspective of governmentality environmentality was conducted in the KFCP Kalimantan Forest and Climate Partnership participative villages in the region of Mantangai, Kapuas District. Data collection was done in the period of 2011 2015 using participant observation, in depth interviews and the support of secondary materials studies. The findings of this study show that environmental management efforts through the intervention of regulations and rehabilitation programs are unsuccessful in forming environmental subjects, instead, it is more leanings to create myopic viewed and pragmatically actioned actors. The cultural phenomenon of lsquo frictional environmentality rsquo thus become a hindrance to the effectiveness of fire control efforts in peatland areas. Keywords frictional environmentality, multi actor ethnography, regulations, rehabilitation programs, ex PLG Project, Central Kalimantan.
2017
D2386
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sembiring, Sri Alem Br.
Abstrak :
Disertasi ini membahas mekanisme terwujudnya keragaman, dinamika dan kontinuitas perilaku berbagi dan tidak berbagi (shared dan unshared) pengetahuan antarsubjek dalam suatu komunitas yang bersifar situasional dari waktu ke waktu. Mekanisme belajar dan transmisi pengetahuan yang terlaksana melalui berbagi dan tidak berbagi, menjadi bagian dari dan berada dalam kegiatan keseharian para praktisi dalam komunitasnya. Fenomena itu ditemukan dalam keseharian petani sayur Karo di Berastagi, Sumatera Utara. Pendekatan connectionism menjadi acuan dalam menjelaskan fenomena keragaman perilaku berbagi dan tidak berbagi pengetahuan, khususnya tentang pestisida. Hasil penelitian menemukan tiga varian utama perilaku berbagi dan tidak berbagi pengetahuan dengan tiga konsekuensi pada struktur ekstrapersonal subjek. Konsekuensi itu mempengaruhi terbentuknya skema pengetahuan subjek yang juga beragam tergantung pada karakteristik setiap konsekuensi pada struktur ekstrapersonal. Karakteristik konsekuensi perilaku berbagi dan tidak berbagi pengetahuan itu ternyata menunjukkan keagensian pada pelaku dan juga liyan. Temuan disertasi ini memberikan kebaruan pada model penjelasan connectionism untuk mengungkapkan mekanisme terwujudnya keragaman. Temuan disertasi ini juga memperkuat fenomena keragaman agensi dan menambahkan temuan sebelumnya bahwa keragaman dan dinamika itu terwujud melalui mekanisme penyembunyian pengetahuan, konstruksi/seleksi relasi dan aliansi, serta kompetisi dan kepentingan ragam subjek. Faktor kontekstual yang berkonstribusi pada terwujudnya keragaman itu terkait dengan kelangkaan sumber daya, serangan penyakit dan hama, tingginya fluktuasi harga, serta hawa atau cuaca. Sebagian dari faktor kontekstual ini terkait dengan dimensi historis, serta kondisi risiko dan ketidakpastian yang sehari-hari dihadapi petani. Pengetahuan-pengetahuan mengenai masalah-masalah itu lah yang sebagian dibagi dan bagian lainnya tidak dibagikan, terutama terkait dengan pestisida. Fenomena berbagi dan tidak berbagi pengetahuan menyebar menjadi perilaku bersama mewujudkan shared concealment atau shared secrecy, dan mewujudkan pelaku yang memiliki kemampuan secretive agentic. This dissertation discusses the mechanism of the occurrence of diversity, dynamics and continuity of shared and unshared knowledge among subjects in a community, which is situational over time. Learning mechanisms and knowledge transmission carried out through shared and unshared knowledge became part of and are in the daily activities of practitioners in their communities. This phenomenon is found in the daily life of the Karo vegetable farmers in Berastagi, North Sumatra. The connectionism approach becomes a reference in explaining the phenomenon of diversity in the shared and unshared knowledge behavior or practices, especially about pesticides. The study found three main variants of shared and unshared knowledge behavior with three consequences on the subjects extrapersonal structure. These consequences affect the formation of subject knowledge schemes which also vary depending on the characteristics of each consequence on the extrapersonal structure. The characteristics of the consequences of shared and unshared knowledge reveal the capacity of agency within the Self and the Others. The findings of this dissertation give a novelty to the connectionism explanation model to reveal the mechanisms of diversity knowledge production. The findings of this dissertation also reinforce the phenomenon of agency diversity, as well as the mechanisms for the emergence of diversity. Those diversity and dynamics are realized through the mechanisms of concealment of knowledge, construction/selection of relations and alliances, and the competition and interests of various subjects. Contextual factors that contribute to the occurrence of diversity are related to scarcity of resources, disease and pest interferences, high price fluctuations, and hawa or weather. Some of these contextual factors are related to historical dimensions, as well as the daily conditions of risk and uncertainty faced by farmers. Knowledge about the problems is partly shared and other parts are unshared, especially related to pesticides. The phenomenon of shared and unshared knowledge spreads into shared behavior, realizing shared concealment or shared secrecy, and manifesting actors who have secretive agentic capabilities
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufik
Abstrak :
Bandit sebagai kategori sosial cenderung dikonotasikan negatif karena identik dengan penjahat, perampok atau orang-orang yang melakukan kekerasan fisik. Namun dalam sejarah sosial bandit tidak dapat dilihat secara sederhana berdasarkan opini publik. Baik dalam konteks lampau maupun kekinian, fenomena bandit tidak dapat dilepaskan dari perkembangan ekonomi dan politik. Dengan mengambil kasus sejarah sosial bandit di Polombangkeng, penelitian ini menganalisis praktik perbanditan dalam kaitannya dengan perubahan kebijakan kolonial Belanda dari periode 1905 sampai berakhirnya intervensi politik Belanda di Sulawesi Selatan pada 1950. Dengan menggunakan metodologi sejarah yang menekankan pada proses dan waktu, hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik-praktik perbanditan yang diperankan oleh toloq dalam sejarah Polombangkeng merupakan bentuk protes atas ketidakadilan sosial, politik dan ekonomi. Kebijakan negara kolonial yang mereduksi otoritas tradisional mendorong munculnya resistensi dari bangsawanyang posisinya marginal atau terpinggirkan dari hierarki pemerintahan kolonial. Marginalisasi ini kemudian tidak hanya menjadi masalah ekonomi dan politik semata, tetapi juga merembes ke masalah identitas dan siri’ (harga diri) yang terusik. Perbanditan bertali temali dengan ekonomi, politik dan budaya. Bangsawan yang termarginalkan mempertontonkan kuasanya dengan melindungi kasus-kasus perampokan yang diperankan oleh toloq. Akibatnya muncul jaringan perbanditan sebagai bentuk extra-legal yang dipelihara oleh otoritas tradisional yang melampaui otoritas negara kolonial Belanda. Pada abad ke dua puluh, arah kebijakan kolonial Belanda yang semakin hegemonik mendorong semakin menguatkan pula koalisi toloq dengan karaeng yang kemudian disahkan secara terbuka melalui upacara ritual. Aksi perbanditan berkembang menjadi gerakan pemberontakan. Realitas politik dan koalisi toloq dengan karaengsemakin dinamis pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Organisasi toloq yang selama ini berkoalisi dengan karaeng memosisikan dirinya sebagai bagian dari perjuangan melawan kehadiran NICA di Sulawesi Selatan. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa trajektori peran dan tindakan toloq sebagai aktor penting dalam perbanditan mengalami perubahan dalam konteks transisi politik lokal dan kolonial. Perubahan pola dan strategi perbanditan merupakan respons atas perubahan-perubahan kebijakan pemerintah kolonial Belanda. ...... Bandits as a social category generally tend to have a negative connotation because they are identical to criminals, robbers, or people who often carry out physically violent acts. However, the social history of bandits cannot be labeled as simple criminals by public opinion. Both in the past and current context, bandits are inseparable from economic and political developments. Through the social history of bandits in Polombangkeng, this study analyzes the acts of banditry in relation to the changes in the Dutch colonial policies from 1905 to the end of the Dutch political intervention in South Sulawesi in 1950. By using a historical methodology that emphasizes the processes and time, the results show that Bandit acts performed by “toloq” in the history of Polombangkeng are a form of protest against social, political, and economic injustice. The colonial state's policy that reducing traditional authority led to resistance from “karaeng,” whose positions were marginal or marginalized from the colonial government hierarchy. Furthermore, the marginalization was becoming an economic and political problem and seeped into the disturbed identity and “siri'” (dignity). Bandits are closely related to economics, politics, and culture. Marginalized “karaeng” exhibited their power by protecting the robbery performed by “toloq”. As a result, a network of bandits emerged as an extra-legal form maintained by traditional authorities that surpassed the authority of the Dutch colonial state. In the twentieth century, the increasingly hegemonic policy of the Dutch colonial encouraged the strengthening of the alliance of “toloq” and “karaeng”, which was then openly legitimated through ritual ceremonies. The banditry developed into a rebellion movement. The political reality and the coalition of toloq and karaeng became more dynamic during the Indonesian independence revolution. The “toloq” organization, which has been in coalition with “karaeng”, has positioned itself as part of the struggle against the presence of NICA in South Sulawesi. This study concludes that the trajectory of the role and actions of “toloq” as an important actor in banditry has changed in the context of local and colonial political transitions. Changes in the pattern and strategy of banditry were a response to changes in the policies of the Dutch colonial government.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufik
Abstrak :
Bandit sebagai kategori sosial cenderung dikonotasikan negatif karena identik dengan penjahat, perampok atau orang-orang yang melakukan kekerasan fisik. Namun dalam sejarah sosial bandit tidak dapat dilihat secara sederhana berdasarkan opini publik. Baik dalam konteks lampau maupun kekinian, fenomena bandit tidak dapat dilepaskan dari perkembangan ekonomi dan politik. Dengan mengambil kasus sejarah sosial bandit di Polombangkeng, penelitian ini menganalisis praktik perbanditan dalam kaitannya dengan perubahan kebijakan kolonial Belanda dari periode 1905 sampai berakhirnya intervensi politik Belanda di Sulawesi Selatan pada 1950. Dengan menggunakan metodologi sejarah yang menekankan pada proses dan waktu, hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik-praktik perbanditan yang diperankan oleh toloq dalam sejarah Polombangkeng merupakan bentuk protes atas ketidakadilan sosial, politik dan ekonomi. Kebijakan negara kolonial yang mereduksi otoritas tradisional mendorong munculnya resistensi dari bangsawanyang posisinya marginal atau terpinggirkan dari hierarki pemerintahan kolonial. Marginalisasi ini kemudian tidak hanya menjadi masalah ekonomi dan politik semata, tetapi juga merembes ke masalah identitas dan siri’ (harga diri) yang terusik. Perbanditan bertali temali dengan ekonomi, politik dan budaya. Bangsawan yang termarginalkan mempertontonkan kuasanya dengan melindungi kasus-kasus perampokan yang diperankan oleh toloq. Akibatnya muncul jaringan perbanditan sebagai bentuk extra-legal yang dipelihara oleh otoritas tradisional yang melampaui otoritas negara kolonial Belanda. Pada abad ke dua puluh, arah kebijakan kolonial Belanda yang semakin hegemonik mendorong semakin menguatkan pula koalisi toloq dengan karaeng yang kemudian disahkan secara terbuka melalui upacara ritual. Aksi perbanditan berkembang menjadi gerakan pemberontakan. Realitas politik dan koalisi toloq dengan karaengsemakin dinamis pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Organisasi toloq yang selama ini berkoalisi dengan karaeng memosisikan dirinya sebagai bagian dari perjuangan melawan kehadiran NICA di Sulawesi Selatan. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa trajektori peran dan tindakan toloq sebagai aktor penting dalam perbanditan mengalami perubahan dalam konteks transisi politik lokal dan kolonial. Perubahan pola dan strategi perbanditan merupakan respons atas perubahan-perubahan kebijakan pemerintah kolonial Belanda. ......Bandits as a social category generally tend to have a negative connotation because they are identical to criminals, robbers, or people who often carry out physically violent acts. However, the social history of bandits cannot be labeled as simple criminals by public opinion. Both in the past and current context, bandits are inseparable from economic and political developments. Through the social history of bandits in Polombangkeng, this study analyzes the acts of banditry in relation to the changes in the Dutch colonial policies from 1905 to the end of the Dutch political intervention in South Sulawesi in 1950. By using a historical methodology that emphasizes the processes and time, the results show that Bandit acts performed by “toloq” in the history of Polombangkeng are a form of protest against social, political, and economic injustice. The colonial state's policy that reducing traditional authority led to resistance from “karaeng,” whose positions were marginal or marginalized from the colonial government hierarchy. Furthermore, the marginalization was becoming an economic and political problem and seeped into the disturbed identity and “siri'” (dignity). Bandits are closely related to economics, politics, and culture. Marginalized “karaeng” exhibited their power by protecting the robbery performed by “toloq”. As a result, a network of bandits emerged as an extra-legal form maintained by traditional authorities that surpassed the authority of the Dutch colonial state. In the twentieth century, the increasingly hegemonic policy of the Dutch colonial encouraged the strengthening of the alliance of “toloq” and “karaeng”, which was then openly legitimated through ritual ceremonies. The banditry developed into a rebellion movement. The political reality and the coalition of toloq and karaeng became more dynamic during the Indonesian independence revolution. The “toloq” organization, which has been in coalition with “karaeng”, has positioned itself as part of the struggle against the presence of NICA in South Sulawesi. This study concludes that the trajectory of the role and actions of “toloq” as an important actor in banditry has changed in the context of local and colonial political transitions. Changes in the pattern and strategy of banditry were a response to changes in the policies of the Dutch colonial government.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library