Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 42 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abd. Latief Bustami
Abstrak :
Angka Kematian Bayi dan Balita di Indonesia relatif tinggi. Faktor utama penyebab kematian balita adalah penyakit ISPA. Tingginya prevalensi penyakit ISPA itu diperkirakan disebabkan oleh pandangan masyarakat terhadap etiologi penyakit itu. Pandangan itu diperkirakan mempengaruhi pilihan penyembuhan penyakit. Masalah penelitian ini adalah pilihan-pilihan penyembuhan penyakit ISPA pada balita di Pulau Kangean.

Temuan penelitian ini adalah: (1), pandangan orang Kangean tentang etiologi penyakit ISPA diklasifikasikan menjadi empat, yaitu biasa (biesa), perbuatan sihir seseorang (gebeien), pengaruh makhluk halus (sapa-sapaan) dan pembalasan Tuhan di dunia terhadap perbuatan orang tuanya (belesan). Pandangan Foster dan Anderson dan Rivers tentang etiologi penyakit anak di pulau Kangean tidak bisa diterima, (2). pandangan tentang etioiogi penyakit mempengaruhi pilihan penyembuhan penyakit. Penentuan pilihan penyembuhan penyakit tidak mengacu pada keempat etiologi penyakit secara linier melainkan berpindah-pindah, coba-coba, ganda, dan bersamaan. Etiologi peoyakit yang disebabkan biesa, gebeian, sapa-sapaan, dan belesan selalu disembuhkan dengan kehadiran dukon sarad, dukon rana\ guru mengaji (Kyae Morok) dan Kyae, sedangkan yang biesa dilakukan oieh orang tua, dokter dan penyembuh lainnya secara siklus. Walaupun setelah dari dokter tetap melakukan a sarad, Pendapat Rivers tentang setiap pandangan hidup itu mempunyai kepercayaan tentang etiologi penyakit yang berhubungan dengan penentuan pilihan penyembuhan secara monolitik tidak bisa diterima, (3). prinsip dalam proses penyembuhan adalah mencari kecocokan antara pandangan mereka tentang etiologi penyakit dan kesembuhan (sadeging). Pilihan penyembuhan penyakit ditentukan oleh pandangan mereka tentang etiologi penyakit ISPA. Sumber perawatan ditentukan oleh tingkat keparahan penyakit, uasaha penyembuhan yang tidak berhasil.kondisi lokasi penderita, fasilitas medis, ketersediaan paramedis, dan pembiayaan. Temuan ini sesuai dengan pendapat Young (1980). Penyembuhan penyakit ditentukan oleh peran penyembuh. Temuan penelitian ini memperkuat pendapat Malinowski (1922) dan Geertz di Jawa (1989), Jordan di Madura (1985), (4) pandangan terhadap penyembuhan yang gagal dilakukan dengan cara pindah ke penyembuh yang lain bahkan berulang-ulang bersifat siklis. Penyembuhan penyakit yang gagal setelah berikhtiar dianggap takdir (paste) dan pasrah pada nasib (pasra), dan (5) pandangan terhadap penyembuhan yang berakhir dengan kematian bayi dipengaruhi oleh pandangannya tentang keberadaan anak dan ajaran Islam. Pandangan itu berhubungan dengan faktor kegunaan si pasien bag! kelompok yang membuat keputusan tersebut. Temuan ini sesuai dengan pendapat Foster dan Anderson, (1986).
2001
T1084
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Sahur
Abstrak :
Keseimbangan lingkungan hidup di Tolongano karena tersedianya sistem pengaturan air (pare'), sehingga data dilaksanakan penganekaragaman dalam pemanfaatan lahan dan jenis tanaman. Keanekaragaman dalam pemanfaatan lahan disertai usah-usaha pencegahan terjadinya pengrusakan lingkungan, mendukung kestabilan dan kualitas lingkungan. Cara bertani dari Orang Bugis, tersebut, telah diambil alih oleh Orang Kaeli sebagai model pengetahuan dalam mengelola dan memanfaatkan lahan pertanian dan sumber daya lingkungan di Tolongano. Keberadaan Orang-Orang Bugis sebagai pemukim perintis, telah memberi corak lingkungan hidup di Tolongano, di mana pemanfaatan sumber daya lingkungan menjadi lebih intensif tetapi keseimbangan dan kualitas lingkungan tidak rusak (kerusakan lingkungan dapat ditekan).

Metode penelitian yang digunakan adalah kualitas dan kuantitatif. Metode kualitatif menggunakan wawancara, pengamatan terlibat (partisipant observation) dan menggunakan alat bantu camera dan tape recorder. Metode kuantitatif, digunakan kuesioner. Selain itu diadakan juga pencatatan riwayat hidup beberapa responden Orang Bugis (sebagai golongan pendatang) dan golongan Orang Kaeli (sebagai golongan penduduk asli). Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran secara optimal tentang interaksi antara migrasi spontan Orang Bugis dengan lingkungan hutan dan lingkungan sosial di Tolongano.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardhie Subandri
Abstrak :
Penelitian ini hendak menjawab pertanyaan penelitian yaitu tentang kategori sistem politik Indonesia serta pengaruhnya terhadap kedudukan dan fungsi kepolisian serta ketahanan. Penelitian ini menjadikan bahan pustaka sebagai landasan utamanya, sehingga penelitian ini lebih merupakan sebuah penelitian dokumen (documentary study). Penelitian lapangan dilakukan juga dalam bentuk wawancara, untuk mendapakan konfirmasi dan pendapat tentang beberapa hal yang berkaitan dengan penelitian. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sistem politik pemerintahan Circle Baru, adalah sistem politik yang memiliki ciri-ciri model rezim birokratik otoritarian (otoritarian birokratik), dan model korporatis negara. Ciri-ciri tersebut adalah : pertama, dipimpin oleh rniliter sebagai suatu lembaga, bekerjasama dengan para teknokrat sipil; kedua, penyusunan kebijaksanaan nasional bersifat teknokratik birokratik; ketiga, massa dimobilisasi melalui pembentukan perwakilan kepentingan; keempat, tindakan represif dilakukan untuk mengendalikan oposisi; kelima, peran yang sangat dominan lembaga kepresidenan. Hasil penelitian juga menunjukan bahwa sistem politik Orde Baru diatas membawa implikasi terhadap kedudukan dan fungsi kepolisian. Terhadap kedudukan Polri, pada masa Orde Baru, Kepolisian Negara diintegrasikan secara penuh kedalam wadah Angkatan Bersenjata. Pada masa Orde Baru, Polri tidak semata-mata sebagai alat penegak hukum dan pemelihara ketertiban melainkan juga sebagai kekuatan Hankam dan kekuatan sosial politik. Konsekuensi dari kedudukan dan fungsi tersebut, telah menyebabkan Polri tidak dapat menjalankan fungsinya secara optimal. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya kinerja Polri, sebagaimana dipersepsikan oleh masyarakat melalui berbagai penelitian. Sementara itu, sistem politik yang otoriter dan rendahnya kinerja Polri menyebabkan lemahnya penegakkan hukum, dan adanya kesenjangan sosial ekonomi, yang muaranya memberikan kontribusi terhadap lemahnya ketahanan nasional pada masa Orde Baru.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T11172
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tunas Dwidharto
Abstrak :
Wawasan Nusantara pada awalnya merupakan konsep hukum laut tentang wilayah perairan negara Republik Indonesia yang pada intinya menetapkan keutuhan wilayah territorial sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara pulau-pulau dan perairan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam perkembangan politik ketatanegaraan konsep Wawasan Nusantara berkembang secara luas sebagai nilai doktrin dan dijadikan Wawasan Nasional sebagai cara pandang bangsa Indonesia mengenal diri dan lingkungannya dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan dalam berbagai aspek penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara guna memenuhi kesejahteraan dan keamanannya. Secara Yuridis dan Ketatanegaraan Wawasan Nusantara telah ditetapkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sejak tahun 1973 dan berlanjut pada GBHN 1998, ditegaskan bahwa Wawasan Nusantara sebagai wawasan dalam pencapaian, tujuan pembangunan nasional mencakup : perwujudan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan politik, satu kesatuan sosial budaya, satu kesatuan ekonomi dan satu kesatuan pertahanan keamanan. Oleh karena itu, Wawasan Nusantara perlu diimplementasi dalam sistem pemerintahan dengan memperhatikan aspirasi dan perkembangan politik, paradigma desentralisasi, demokratisasi serta keadilan sosial yang menjadi tuntutan rakyat diberbagai bidang kehidupan, termasuk dalam mewujudkan sistem pemerintahan yang desentralisasi dengan otonomi yang luas dan nyata kepada daerah. Selama kurun waktu diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di daerah pelaksanaan Otonomi Daerah tidak berjalan seperti yang diharapkan di daerah dan lebih bersifat sentralistik daripada desentralisasi, serta membatasi demokratisasi di daerah karena kuatnya pengaruh (dominasi) pusat terhadap daerah sehingga menimbulkan ketergantungan daerah terhadap pusat dan terjadi hubungan pemerintah yang tidak kondusif terutama dalam perimbangan keuangan pusat dan daerah secara proporsional dan adil. Untuk mendorong daerah lebih mampu dan mandiri sebenarnya telah diambil kebijakan dengan penetapan model percontohan otonomi daerah yang semula diharapkan mempunyai "Spin of Effects" yang dapat dikembangkan keberhasilannya sesuai dengan kondisi dan karakteristik alamiah dan sosial daerah. Namun kebijakan pemerintah ini tidak berjalan dengan baik karena tidak didukung "Political Will" dan komitmen yang kuat dan Pemerintah Pusat. Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka terjadi arus balik pemerintahan sesuai era desentralisasi, maka Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kota I Kabupaten harus melakukan Reformasi dibidang kelembagaan dengan melakukan Restrukturisasi, Reorganisasi dan Refungsionalisasi Pemerintahan Daerah. Dalam penelitian ini akan diteliti persoalan implementasi Wawasan Nusantara dalam pelaksanaan otonomi derah terutama mengenai pembangunan lembaga pemerintah daerah Kabupaten Banyumas pada waktu berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 hubungan pusat dan daerah serta penerapan Wawasan Nusantara dalam pembangunan lembaga di era Reformasi dengan pendekatan yang komprehensip atau pendekatan Ketahanan Nasional (Asta Gatra) dengan mengkaji aspek-aspek alamiah dan sosial serta lingkungan Strategi yang mempengaruhi pelaksanaan otonomi daerah. Metode penelitian dalam penulisan tesis ini adalah metode kualitatif dengan melakukan wawancara dengan pejabat ditingkat pusat, provinsi dan Kabupaten Banyumas yang sangat berkompeten dengan pengambilan kebijakan dalam pembangunan lembaga, pengamatan di lapangan (observasi) dengan didukung Study Kepustakaan dan peraturan perundangan. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa meskipun Wawasan Nusantara telah dijadikan Wawasan Nasional sebagai Wawasan dalam pencapaian tujuan pembangunan sebagai satu kesatuan politik, satu kesatuan ekonomi, satu kesatuan sosial budaya dan satu kesatuan pertahanan keamanan belum sepenuhnya diimplementasikan dalam kebijakan pemerintahan daerah terutama dalam pembangunan lembaga yang harus memberikan peluang, dorongan, kreativitas dan partisipasi masyarakat di Kabupaten, meskipun secara Implicit penerapan Wawasan Nusantara telah sebagian dilaksanakan dengan mengedepankan wacana kesatuan dan persatuan dalam pengambilan keputusan atau penerapan kebijakan pemerintah. Dengan analisis atau pendekatan aspek alamiah (Tri Gatra) dan aspek sosial (Panca Gatra) memperlihatkan bahwa pelaksanaan otonomi daerah pada Kabupaten sangat strategic dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju penguatan kondisi Kabupaten Banyumas. Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 pelaksanaan otonomi daerah Kabupaten merupakan Reformasi dan pemberdayaan kelembagaan (organisasi) pemerintah daerah sebagai alat dan wadah untuk menggerakkan pemerintahan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan demokratisasi dan keadilan sesuai aspirasi masyarakat daerah. Dilain pihak dengan pelaksanaan otonomi daerah secara luas dan nyata dengan pemberian kewenanganlurusan kepada Kabupaten Banyumas membawa implikasi terhadap meningkatnya beban tugas dan tanggungjawab, pembiayaan (anggaran) dalam rangka pemberian pelayanan dan tuntutan kebutuhan masyarakat yang semakin besar. Selanjutnya untuk mencapai keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah Kabupaten diperiukan persamaan persepsi dari aparatur pemerintah pusat dan daerah dengan dilandasi komitmen dan kemauan politik yang kuat (Political Will) sekaligus, mengantisipasi dan merespon tuntutan dan dinamika pembangunan dan aspirasi rakyat yang terus berkembang. Wawasan nusantara sebagai dokrin, nilai dan pedoman dalam implementasi sistem pemerintahan dan otonomi daerah sebagai sub sistemnya hendaknya selalu diaktualisasikan sesuai dengan dinamika dan peradigma dengan memperhatikan kondisi lingkungan dan karakteristik bangsa Indonesia yang bersifat majemuk dengan mengakui Kebhineka Tunggal Ikaan bangsa Indonesia tidak bersifat seragam (Uniform) tetapi mengedepankan kesatuan (unity), untuk mencapai tujuan kesejallteraan dan keamanan yang pada gilirannya memperkuat ketahanan daerah, regional dan nasional dalam Ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T1517
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sugeng Berantas
Abstrak :
Kesetiakawanan sosial adalah kemampuan untuk menempatkan diri dalam keadaan dan kesulitan pihak lain atau dengan kata lain memperdulikan orang lain dengan masing-masing pihak atau perorangan itu bukan bersikap mentang-mentang atau menang sendiri. Berdasarkan hal itu, maka apabila nilai-nilai kesetiakawanan sosial dapat dihayati dan diaplikasikan secara nyata ke kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam kesehariannya oleh seluruh masyarakat Indonesia. Sudah sewajarnya kecemburuan sosial yang selama ini senantiasa menjadi ancaman, sebagai akibat dari ketidakmerataan hasil pembangunan akan dapat ditekan. Namun, realitas yang terjadi dalam tingkat kepedulian dan kesetiakawanan sosial yang diharapkan, masih jauh dari apa yang dicita-citakan. Oleh karena itu, kesenjangan antara si kaya dan si miskin kian tajam saja. Bahkan, terjadi kecemburuan sosial yang diakibatkan oleh rasa saling curiga satu sama lainnya. Sehingga, pada gilirannya dapat memicu terjadinya konflik yang berbuntut "SARA" dan kepentingan lainnya. Kejadian itu, dari kacamata ketahanan nasional cenderung berdampak sangat tidak menguntungkan. Sebab, dapat mengakibatkan terjadinya perpecahan dan disintegrasi nasional. Mengingat, ketahanan nasional sendiri adalah kondisi dinamis suatu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan, yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional melalui interaksi gatra alamiah dan gatra sosial, yang secara hierarkhi berurutan, dibawah kendali gatra politik, gatra ideologi, dan pengetrapan pendekatan jamak kesejahteraan, keamanan, demokrasi, dan kultural dalam memajukan kesejahteraan bangsa, dan mengatasi ATHG, baik yang datang dari luar maupun dari dalam yang langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas, identitas, serta kelangsungan hidup bangsa dan negara. Dengan mengacu kepada ketahanan nasional itu, apabila kesetiakawanan sosial diantara sesama bangsa Indonesia saja tidak dapat diciptakan, baik itu melalui proses asimiliasi, akulturasi, dan interaksi sosial yang kondusif maupun norma yang berlaku, maka secara laten hal itu akan menjadi potensi yang mengancam integritas, identitas, dan kelangsungan hidup bangsa. Dengan kata lain akan berdampak negatif terhadap ketahanan nasional. Oleh sebab itu, agar potensi negatif yang mengancam tidak menjadi efektif. Sewajarnya, hasil simpulan penelitian ini diantisipasi dengan pencarian solusi yang tepat.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sunarto
Abstrak :
ABSTRAK
Berangkat dari asumsi bahwa untuk meningkatkan Ketahanan Nasional, maka peranan para pemimpin adalah sangat menentukan.

Selanjutnya teori Ketahanan Nasional berjenjang menyatakan, bahwa kondisi ketahanan suatu Wilayah itu akan mempunyai pengaruh bagi peningkatan ketahanan nasional.

Oleh karena itu berdasarkan teori tersebut, maka kondisi Ketahanan Wilayah Yogyakarta yang dipimpin Sultan HB.IX, baik langsung atau tidak langsung akan berpengaruh pula terhadap ketahanan nasional secara keseluruhan. Apalagi sehubungan dengan kota Yogyakarta sebagai Ibukota negara RI.

Sultan Hamengku Buwono IX, sebagai suatu institusi kehidupan politik di wilayah Yogyakarta,upaya untuk peningkatan Ketahanan Wilayah itu secara tidak langsung kiranya telah dilakukannya jauh sebelum negara Republik Indonesia itu sendiri lahir. Upaya itu antara lain ditunjukan oleh sikapnya sewaktu melakukan perundingan politik dengan pihak penguasa penjajah Belanda.Perundingan yang memakan waktu selama lima bulan itu, merupakan waktu terpanjang dalam sejarah perundingan kontrak politik yang pernah dilakukan antara raja -raja di Indonesa dengan pihak Belanda,dan peristiwa itu dapat dianggap sebagai suatu isyarat bahwa dirinrya saat itu tidak dapat begitu saja tunduk kepada kemauan Penjajah.

Pada masa penjajahan jepang upaya peningkatan ketahanan wilayah , dilakukan antara lain dengan melakukan pembenahan di bidang pemerintahan daerah,sehingga selain berguna untuk pembangunan,juga dapat untuk mempersiapkan rakyat Yogyakarta dalam menyambut datangnya kemerdekaan Indonesia.

Pada masa awal kemerdekaan,langkah-langkah peningkatan ketahanan wilayah itu tentu dilakukan,terutama yang secara langsung mendukung peningkatan Ketahanan di bidang Pertahanan Keamanan Negara. Sehingga berkat kepemimpinan Sultan itulah, maka Ketahanan Wilayah Yogyakarta saat itu dapat dipakai sebagai modal perjuangan mempertahankan kemerdekaan negara kesatuan Republik Indonesia.

Selama masa Kepemimpinannya itu, ternyata Sultan berlandaskan pada asas kepemimpinan yang berakar pada budaya masyarakat Yogyakarta, yaitu asas kepemimpinan Manunggaling Kawulo Gusti, yang dilaksanakan dengan pola kepemimpinan Legal Rasional, yaitu yang mengacu pada berbagai ketentuan sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang Dasar Negara RI tahun 1945.
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sukron Maksudi
Abstrak :
Pemerintah Indonesia pasca reformasi telah menghapuskan berbagai peraturan yang bersifat diskriminasi terhadap orang-orang Tionghoa, tetapi dalam pelaksanaan masih terdapat tindakan diskriminatif yang dilakukan terhadap orang-orang Tionghoa. Pencabutan undang-undang diskriminatif masih dianggap setengah hati oleh aparatur penyelenggara kebijakan negara. Berbagai upaya pemerintah untuk menghapuskan diskriminasi ternyata masih terdapat kendala dalam proses pelaksanaanya. Jika kembali pada sejarah masa lalu, Tionghoa sebagai etnis minoritas mengalami perlakuan diskriminatif pada zaman Belanda dengan dikeluarkan berbagai aturan yang menempatkan peran Tionghoa sebagai ras kelas dua sejajar dengan keturunan asing di bawah Belanda dan di atas etnis asli. Namun setelah merdeka, peran Tionghoa di masyarakat berubah seiring dengan perpolitikan global dan nasional. Pemahaman terhadap stereotip yang berkembang seyogyanya dimulai dengan sebuah upaya penelusuran kembali hal-hal yang menjadi dasar dari berbagai faktor yang membentuknya. Melihat Tionghoa sebagai etnis minoritas dan telah mengalami perlakuan diskriminasi, maka patutlah ?dicurigai? bahwa tindak diskriminasi inilah yang menjadi alasan tumbuhnya stereotip yang terjadi di lapisan masyarakat selama ini. Kecurigaan ini semakin menguat ketika penelusuran sejarah melalui berbagai literatur yang ada memperlihatkan bahwa orang-orang Tionghoa pun menjadi korban sistem diskriminatif yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda dan yang dikembangkan secara lebih sistematik oleh pemerintahan orde baru. Pada masa tersebut itulah hak sosial, politik, dan budaya orang Tionghoa dibatasi melalui berbagai peraturan yang dilegalkan oleh undang-undang. Diskriminasi yang terjadi selama kurun waktu yang sangat panjang inilah yang juga tidak terlepas dari latar belakang stcreotip yang melekat terhadap orang-orang Tionghoa. Akan tetapi pada masa reformasi berlangsung, yang ditandai oleh peristiwa Mei 1998 dimana terdapat korban yang kebanyakan dari golongan Tionghoa, pemerintah dengan gencar menggunakan sistem demokratis dan menjunjung hak asasi manusia (HAM) dalam segala tata aturan perundang-undangan. Peraturan yang diskriminatif dihapuskan, dalam hal ini khususnya peraturan diskriminiatif yang ditujukan terhadap golongan minoritas Tionghoa. Namun dalam pelaksanaannya masih saja terdapat tindakan diskriminatif yang masih memberlakukan persyaratan SBKRI dalam mengurus surat kependudukan (KTP, akta lahir, surat nikah, akta waris, paspor, dam lain-lain). Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Kewarganegaeraan no 12 tahun 2006 yang didalamnya menyabutkan SBKRI sudah dihapuskan. Walaupun reformasi telah digulirkan sejak 1998 sampai sekarang, tetapi pemerintah dalam melaksanakan sosialisasi berbagai kebijakan yang dikeluarkan masih sangat kurang. Media massa kebanyakan memberitakan masalah politik dan bencana yang kerap terjadi di Indonesia. Sehingga permasalahan sosial seakan tenggelam. Multikulturalisme yang ditanamkan melalui upaya penghapusan diskriminatif dan stereotip yang melekat pada etnis tertentu memiliki tantangan tersendiri. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah globalisasi dimana batas-batas nilai menjadi kabur. Dengan demikian, adanya beberapa kasus pemberlakuan SBKRJ sebagai syarat dalam mengurus surat kependudukan yang dikenakan kepada orang Tionghoa memperkuat pemahaman bahwa masih terdapat praktik diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa yang dilakukan oleh "oknum" aparatur negara. Hal ini akan menjadi potensi yang mengancam keamanan individu warga negara Indonesia khususnya keturunan Tionghoa, memperlambat program pemerintah, dan mengurangi nilai multikulturalisme di Indonesia.
The Indonesian government had abolished the post-reform discriminatory regulations against Chinese people, but in execution there are still discriminatory acts committed against Chinese people. Repeal discriminatory laws are still considered to be half-heartedly by the apparatus operator of state policy. Various government efforts to eliminate discrimination are still being a major obstacles in the process of its implementation. In the past history, as the ethnic Chinese minority suffered discriminatory treatment in the Dutch era with some various rules that put the role of Chinese as second-class races in line with the Dutch foreign descent below and above the original ethnicity. But after independence, the Chinese role in society change along with global and national politics. Understanding of developing stereotypes should begin with an effort to search back the things that form the basis of various factors that shape it. Seeing as the ethnic Chinese minority and have experienced discrimination, then the proper "suspected" that the act of discrimination is the primary reason for the major growth of stereotypes that occur in society so far. This suspicion got strength after conducted a research of some past literature and shows that The Chinese people had become victims of discriminatory system that was built by the Dutch colonial government and more systematically developed by the new order government. During this period, social rights, politics, and culture of the Chinese is limited by various regulations that legalized by law. Discrimination that occurred during a very long period, makes The stereotypes of Chinese people still attach. But during the reformation period, which was marked by the events of May 1998 where there are victims, mostly from the Chinese, the government with a vigorous democratic system, uphold the respect for human rights (human rights) in all statutory regulations. Discriminatory regulations eliminated, in this case especially directed against the discriminative regulation on Chinese minorities. But in practice there are still discriminatory actions that still impose requirements SBKRI in arranging letters of residence (ID, Birth Certificate, Marriage Certificate, Deed Waris, Passport, dams etc.). This is contrary to the Act No.12 of 2006 Regarding Nationality, that SBKRI were no longer mentioned. Although reforms have been rolled out since 1998 until now, but the government is still lacking in socialized some policies implementation. The media mostly reported political problems and disasters that often occur in Indonesia. So that social problems as if drowning. Multiculturalism that use through efforts in order to eliminate discrimination and stereotyping in certain ethnic has its own challenges. Other factors that also influence the globalization where boundaries become blurred. Thus, the existence of several cases that SBKRI still require as a requirement in the care of a letter of residence on the Chinese, strengthen the understanding that there are discriminatory practices against Chinese people committed by "rogue" state apparatus. This will be the potential that threaten the security of individual Indonesian citizens of Chinese descent in particular, slowing down government programs ; and reduec the value of multiculturalism in Indonesia.
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2011
T33327
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yudi Alamin
Abstrak :
Untuk membangun kota Jakarta sebagai kota masa depan khususnya pengembangan kawasan pantai Utara (Water Front City) diperlukan strategi dan kebijakan yang terpadu dari unsur-unsur terkait baik Pemerintah Daerah maupun pihak swasta serta masyarakat pantai Utara Jakarta. Gagasan pengembangan kawasan pantai Utara Jakarta telah dimulai sejak tahun 1989, namun sampai saat ini belum dapat dilaksanakan mengingat belum siap dan terkoordinasinya unsure-unsur terkait di atas. Permasalahan yang ada dalam penelitian ini adalah analisis strategi dan kebijakan pengembangan kawasan pantai Utara Jakarta yang dijabarkan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi misi, strategi dan kebijakan Pemerintah Daerah DKI Jakarta dalam pengembangan kawasan Pantai Utara Jakarta. 2. Seberapa besar ketahanan kota DKI Jakarta mempengaruhi misi, strategi dan kebijakan pengembangan. Adapun tujuan dalam penelitian ini ialah : 1. Menganalisis strategi dan kebijakan pengembangan kawasan pantai Utara Jakarta dan faktor-faktor mempengaruhinya. 2. Untuk memprediksi pengaruh ketahanan kota terhadap kebijakan kawasan pantai Utara Jakarta, apabila akan dilaksanakan pada saat ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini AHP( Analytical Hierarchy Process ) dari Thomas Saaty, yakni suatu metode yang mengukur bobot dalam menentukan pilihan dan variabel-variabel yang dianalisis. Untuk menentukan bobot tersebut telah ditentukan skala dasar, yakni suatu ukuran yang berlaku sesuai dengan prioritas-prioritas pilihan dengan berbagai kriteria. Data yang dianalisis dalam penelitian ini diperoleh dari kuesioner dan wawancara terstruktur, antara lain : pada tingkat misi, data diperoleh dari para ahli perencana, pada tingkat strategi data melibatkan pihak swasta, dan pada tingkat kebijakan, kuesioner dan wawancara dengan melibatkan seluruh komponen birokrasi, pihak swasta, pengelola bandara serta tokoh masyarakat di daerah penelitian. Tujuan penelitian butir 1 diperoleh kesimpulan bahwa untuk tingkat strategi, prioritas utamanya adalah pembangunan pelabuhan ( H )dengan bobot tertinggi 0,257 (25,7%), diikuti oleh pembangunan tempat rekreasi (R) : 0,247 (24,7 %), industri (I) : 0,149 (14 ,49%), dan pengembangan ekonomi ( E ) : 0,147 (14,7 %). Sedangkan pada tingkat kebijakan yang harus diprioritaskan adalah faktor birokrasi ( B ) dengan bobot 0,096 (9,6 %) diikuti oleh faktor pendanaan keuangan ( U) : 0,062 (6,2 %) dan prasarana (P) : 0,043 (4,3%). Untuk tujuan penelitian butir 2 diperoleh kesimpulan bahwa gatra ketahanan kota yang paling berpengaruh dan perlu ditingkatkan untuk kesuksesan strategi dan kebijakan pengembangan kawasan pantai Utara Jakarta adalah gatra ekonomi (E ) dan keamanan ( K) dengan masing-masing bobot prioritas 0,273 (27,3%) diikuti politik ( P) 0,235 (23,5 %) dan sosial budaya ( S ) : 0,218 (21,8 %).
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T814
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamuni
Abstrak :
Adapun yang menjadi masalah penelitian ini adalah Cara-Cara ABRI dalam menyelesaikan pemberontakan DI/TII di Sulawesi Tenggara dengan mengacu pada Pancasila, UUD 1945, dan Sapta Marga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan mengenai: (a) keberadaan DI/TII di Sulawesi Tenggara dalam struktur DI/TII Kahar Muzakkar, (b) dampak pemberontakan DI/Tll. terhadap ketahanan nasional di Sulawesi Tenggara, (c) bentuk strategi yang digunakan ABRI dalam menumpas pemberontakan DI/TIl tersebut, serta (d) digunakan, atau tidak digunakannya strategi non-militer dalam penumpasan DI/TlI, dan apa implikasinya terhadap ketahanan nasional di Sulawesi Tenggara. Data penelitian diperoleh melalui dua sumber, yaitu: (a) sumber primer sebagai sumber data lisan diperolah melalui penelitian lapangan dengan cara melakukan wawancara besar dan mendalam dengan informan penelitian, dan (b) sumber sekunder sebagai sumber data tertulis melalui studi arsip atau dokumen, hasil penelitian terdahulu yang relevan, dan sumber kepustakaan lainnya yang memiliki relevansi dengan penelitian ini, dengan pertimbangan bahwa sumber data berupa arsip atau dokumen yang dipilih memiliki obyektivitas serta memenuhi syarat untuk dijadikan sumber data penelitian. Berdasarkan prosedur metodologis di atas, maka diperoleh temuan-temuan penelitian, bahwa pemberontakan DI/TI1 di Sulawesi Tenggara merupakan bahagian dari stuktur DI/TII Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Gerakan DI/TII Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan kuat, punya jaringan dan mereka menteror rakyat. Basisnya juga ada dan kuat yaitu KGSS serta ada dukungan basis dari kelompok Islam seperti Bahar Mattalioe dan Usman Balo, juga banyak mendapat dukungan dari ahli agama. Karena itu DI/T11 di Sulawesi Selatan bisa kuat dan bertahan lama. Sedangkan di Sulawesi Tenggara, DI/TII tidak punya jaringan dan tidak punya basis, medannya susah sehingga jaringan antara rakyat dengan DI/TII gampang dipotong oleh ABRI. Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Tenggara membawa dampak buruk berupa gangguan terhadap ketahanan nasional yang berdimensi politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan itu sendiri yang telah mendorong Iahirnya goncangan stabilitas di daerah Sulawesi Tenggara, stabilitas nasional atau disintegrasi bangsa. Di Sulawesi Selatan, penumpasan pemberontakan DI/TII lebih banyak digunakan strategi militer (full militer), bahkan dengan menggunakan pesawat terbang. Itulah sebabnya sehingga operasi penumpasan DI/ TII di Sulawesi Selatan didatangkan pasukan bantuan dari Jawa. Strategi penumpasan DI/TIl di Sulawesi Tenggara mempunyai kekhususan lain dengan yang ada di Sulawesi Selatan, yakni lebih banyak menggunakan strategi non-militer. Ini disebabkan karena di Sulawesi Tenggara tidak ada basis kekuatan DI/TII seperti KGSS di Sulawesi Selatan, medannya susah, dan tentara dari putra daerah juga sedikit sekali. Itulah sebabnya jaringan basis DI/TII di Sulawesi Tenggara gampang dipotong oleh ABRI. Dalam hubungan ini ABRI lebih banyak memotong hubungan rakyat dengan DI/TlI. Bahkan strategi penumpasan DI/TII di Sulawesi Tenggara juga menggunakan strategi gabungan antara strategi militer dengan strategi non-militer. Karena itu implikasi strategi penumpasan DI/ TII terhadap ketahanan nasional di Sulawesi Tenggara pada saat itu ialah pemerintah, ABRI yang mendapat dukungan rakyat berhasil meniadakan atau meminimalkan gangguan terhadap ketahanan nasional di Sulawesi Tenggara. Baik itu gangguan yang berdimensi politik, ekonomi, sosial budaya maupun pertahanan keamanan itu sendiri. Dengan demikian dapat dihindari hal-hal yang dapat mendorong lahirnya goncangan stabilitas nasional di seluruh wilayah Sulawesi Tenggara.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T2511
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sutrisno
Abstrak :
Setiap bangsa dan negara selalu berusaha untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Untuk maksud tersebut diselenggarakan sistem pertahanan keamanan negara. Agar pelaksanakan sistem pertahanan keamanan dapat terlaksana dengan baik, maka setiap warga negara harus memiliki kesadaran, hak, kewajiban dan tanggung jawab. Salah satu cara menumbuhkan kesadaran, hak, kewajiban dan tanggung jawab kepada setiap warga negara, yang paling efektif ialah melalui jalur pendidikan, yang disebut sebagai "Pendidikan Pendahuluan Bela Negara". Pendidikan Pendahuluan Bela Negara diberikan dalam dua tahap. Tahap pertama, diberikan sejak Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Tingkat Atas. Sedangkan tahap lanjutan diberikan di Perguruan Tinggi dalam bentuk Pendidikan Kewiraan. Proses penanaman nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme dikalangan mahasiswa akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan, apabila mereka bersikap "favorable" terhadap Pendidikan Kewiraan. Guna mengetahui apakah mahasiswa bersikap "favorable" atau tidak terhadap Pendidikan Kewiraan, maka diperlukan pengukuran sikap mereka terhadap Pendidikan Kewiraan. Penelitian dilakukan pada awal Maret hingga akhir Mei 1997 di wilayah DKI Jakarta. Responden utama dalam penelitian ini ialah mahasiswa Jakarta, dengan sampel 100 mahasiswa, yang berasal dari 1 Perguruan Tinggi Negeri, 1 Sekolah Tinggi Kedinasan, dan 3 Perguruan Tinggi Swasta; yang dilakukan secara "non-probability sampling". Pengukuran sikap dilakukan dengan menggunakan skala Likert, dan selanjutnya dianalisis dengan teknik "Chi-Square" dan "Contingency coefficient", dengan taraf signifikan 0,05 atau tingkat kepercayaan 95 %. Hasil penelitian menunjukkan secara kuantitatif 74 % mahasiswa Jakarta bersikap "favorable" dan yang bersikap "unfavorable" hanya 26% saja. Secara kualitatif sikap mahasiswa Jakarta terhadap Pendidikan Kewiraan tergolong "favorable" dengan "intensitas lemah", dengan nilai sikap rata-rata 85,49 ± 25,39, sedangkan estimasi terhadap populasi jangka panjang 80,02 < µ < 90,47. Tes hipotesis menunjukkan; motivasi dan perasaan sebagai faktor internal--mempunyai korelasi positif dengan sikap mahasiswa terhadap Pendidikan Kewiraan. Sedangkan faktor eksternal yang mempunyai korelasi positif dengan sikap mahasiswa terhadap Pendidikan Kewiraan ialah . Pertama, dosen, mencakup : Penampilan dosen, kemampuan dosen, dan keterbukaan dosen.Kadua, pemahaman (pengetahuan) anggota keluarga tentang Pendidikan Kewiraan. Mengingat jumlah mahasiswa Jakarta yang bersikap "favorable" terhadap Pendidikan Kewiraan lebih banyak dari pada yang bersikap "unfavorable", maka Pendidikan Kewiraan dapat memberikan dampak positif terhadap ketahanan nasional. Sekalipun demikian--secara kualitatif sikap mahasiswa Jakarta terhadap Pendidikan Kewiraan intensitasnya masih tergolong lemah, sehingga perlu ditingkatkan. Karena sikap mahasiswa terhadap Pendidikan Kewiraan sangat berkaitan dengan faktor dosen Kewiraan dan materi Pendidikan Kewiraan, maka perlu adanya peningkatan dalam kualitas maupun kuantitas dosen Kewiraan serta perlu adanya kaji ulang terhadap materi Pendidikan Kewiraan secara terus menerus.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>