Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 84 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yulistia
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kemajuan yang dicapai oleh seorang anak yang memiliki perilaku menarik diri melalui penerapan theraplay. Selain itu, penulisan tugas akhir ini juga bertujuan untuk mengetahui hal-hal apa yang mendukung keberhasilan terapi.
Penelitian ini melibatkan seorang anak yang memiliki perilaku menarik din yang diambil secara purposif dengan menggunakan pendekatan kualitatif berupa studi kasus. Pengumpulan data dilakukan melalui metode observasi dan wawancara.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya kemajuan pada diri subjek setelah menjalani theraplay sebanyak sembilan sesi terapi. Hal itu disebabkan oleh pemilihan tugas yang tepat untuk menangani anak yang memiliki perilaku menarik diri disertai dukungan dan peran dari orang tua dalam mengikuti proses terapi. Orang tua mendapatkan pemahaman baru dalam berinteraksi dengan anak dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Selain beberapa faktor yang mendukung, terdapat juga beberapa faktor yang menghambat terapi. Salah satunya adalah kurangnya waktu luang orang tua untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Hal lainnya adalah keterbatasan jumlah terapis yang menjalankan terapi sehingga tidak tersedianya interpreting therapist untuk membantu proses terapi."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18102
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imas Suryani
"Pada saat ini banyak ditemukan wanita yang sudah menikah dan bekerja di luar rumah. Di sisi lain, tidak sedikit juga di antara mereka yang memilih untuk tidak bekerja. Kondisi wanita yang bekerja maupun yang tidak bekerja diduga membawa dampak positif maupun negatif bagi kehidupan perkawinan mereka dan memiliki pengaruh terhadap kepuasan perkawinan yang mereka rasakan. Kepuasan perkawinan menurut Hawkins (dalam Olson & Hamilton, 1983:164) adalah perasaan bahagia, puas, dan senang, yang dirasakan oleh pasangan suami istri secara subjektif terhadap berbagai aspek yang ada dalam perkawinan. Duvall dan Miller (1985) membagi faktor yang berpengaruh dalam kepuasan perkawinan menjadi faktor-faktor sebelum pernikahan dan faktor-faktor setelah pernikahan. Theresia (2002) mengelaborasi faktor-faktor setelah pernikahan yang disebutkan oleh Duvall dan Miller (1985) menjadi sebelas faktor. Faktor-faktor tersebut meliputi, hubungan interpersonal, anak, kehidupan seksual, komunikasi, kesamaan minat, kesesuaian peran dan harapan, partisipasi keagamaan, keuangan, hubungan dengan mertua dan ipar, cara menghadapi konflik, serta kekuasaan dan sikap dalam perkawinan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan kepuasan perkawinan antara wanita bekerja dan wanita tidak bekerja. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Data dikumpulkan melalui kuesioner berdasarkan skala Likert. Analisis terhadap hasil penelitian dilakukan dengan menggunakan uji signifikansi independent T-test. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan skor kepuasan perkawinan yang signifikan pada wanita bekerja dan wanita tidak bekerja, baik dilihat secara umum maupun ditinjau dari faktor-faktornya.

Nowadays many of married women who work outside the house. On the other side, many of women decide not to work. Both conditions of working employed and unemployed women have potential to positive or negative influences to what they feel in their married life. The satisfaction of marriage pursuant to Hawkins (in Olson & Hamilton, 1983:164) is happiness, satisfaction and gladness that being felt subjectively by spouse on various aspects in marriage. Duvall and Miller (1985) divided the factors that have impacts on marriage and the factors after marriage. Theresia (2002) elaborated the factors after marriage that mentioned by Duval & Miller (1985) in eleven factors. Those factors are interpersonal relationship, children, life sexual, communication, similar interest, suitable act and hope, participation on religion, financial, relationship with parents in law and brother/sister in law, how to deal with conflict also power and attitude in marriage.
The objective of this research is to find the different between employed women and unemployment woman. This research used quantitative approach. The data was gathered via questionnaire based on the scale of Likert. The analysis of research was conducted by using T-test significant independent trial. The result of this research has shown that no significant score of satisfaction on employed woman and unemployment woman. It was also found that no significant score of satisfaction between employed woman and unemployment woman that being reviewed in other factors."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Precha Elga
"Body dissatisfaction merupakan perasaan tidak puas yang bersifat subjektif yang dimiliki seseorang terhadap penampilan fisiknya (Littleton & Ollendick, 2003; dalam Skemp-Arlt, Rees, Mikat, & Seebach, 2006). Menurut penelitian Casper dan Offer (1990; dalam Markey & Markey, 2005), body dissatisfaction banyak dialami oleh remaja putri. Body dissatisfaction yang dialami seseorang diduga berperan dalam pembentukan perilaku diet mereka. Penelitian ini ingin mengetahui hubungan antara body dissatisfaction dan perilaku diet pada remaja putri. Perilaku diet sendiri dipisahkan menjadi dua kategori, yaitu perilaku diet yang sehat dan tidak sehat. Responden dalam penelitian ini adalah 114 orang remaja putri dengan kisaran usia antara 11 sampai 18 tahun. Penelitian ini menemukan adanya hubungan positif yang signifikan antara body dissatisfaction dan perilaku diet baik yang sehat maupun tidak sehat.

Body dissatisfaction is subjective feelings of dissatisfaction that a person has about his/her physical appearance (Littleton & Ollendick, 2003; in Skemp-Arlt, Rees, Mikat, & Seebach, 2006). According to a research by Casper and Offer (1990; in Markey & Markey, 2005), body dissatisfaction is experienced by a large number of adolescent girls. Body dissatisfaction is considered to be correlated to their dieting behaviors. This research is aimed to explore the relationship between body dissatisfaction and dieting behaviors in adolescent girls. The dieting behavior itself is distinguished to two categories, which are healthy and unhealthy behavior. The respondents involved in this research are 114 adolescent girls in the range of age 11 to 18 years old. This research found out that there is significant positive correlation between body dissatisfaction and both type of dieting behavior."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Chairuni
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2010
S3638
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Annisa Khairani
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2010
S3592
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lisa Diantika
"ABSTRAK
Masa dewasa muda merupakan masa perubahan yang dramatis dalam
hubungan interpersonal. Pada masa itu seseorang berusaha untuk membentuk
hubungan yang intim ('Intimacy). Intimacy dapat berupa hubungan persahabatan,
pacaran, maupun pernikahan. Intimacy merupakan salah satu bentuk hubungan
yang dikarakteristikkan ke dalam hubungan attachment yang terjadi pada masa
dewasa. Attachment itu sendiri dapat diartikan sebagai hubungan antara dua
orang yang merasakan ikatan yang kuat satu sama lain yang melakukan sejumlah
hal untuk mempertahankan hubungan tersebut. Pada dasarnya, attachment
berlangsung di sepanjang kehidupan seseorang semenjak ia bayi hingga dewasa.
Attachment pada masa kecil biasanya terbentuk antara seseorang dengan
orangtuanya atau pengasuhnya. Attachment yang terbentuk saat kecil merupakan
tahap awal pembentukan attachment dan menentukan hubungan interpersonal
seseorang selanjutnya dengan figur attachment yang lain. Pada masa dewasa
muda attachment dapat terbentuk antara seseorang dengan teman, sahabat,
maupun pacar. Attachment pada tiap orang terbentuk dengan cara yang berbeda
sehingga membentuk kualitas attachment yang berbeda pula pada tiap orang.
Kualitas attachment yang terbentuk memiliki tiga tipe yaitu attachment yang
secure, avoidant, dan ambivalent/arvcious. Penelitian ini ingin melihat hubungan antara kualitas attachmenl dengan orangtua di masa kecil dan kualitas attachment
dengan pacar di usia dewasa muda. Salah satu tugas perkembangan dewasa muda
adalah memilih pasangan hidup dan belajar untuk hidup beradaptasi dengan
pasangannya. Mengingat hal tersebut, sangatlah penting untuk meneliti kualitas
attachment dengan pacar di usia dewasa muda dan hubungannya dengan kualitas
attachment dengan orangtua di masa kecil.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif.
Peneliti menggunakan kuesioner sebagai alat ukur, yang terdiri dari alat ukur
kualitas attachment dengan orangtua di masa kecil dan alat ukur kualitas
attachment dengan pacar di usia dewasa muda yang dibuat oleh peneliti
berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya dan sejumlah teori dan literatur
yang ada. Subjek dalam penelitian ini adalah individu dewasa muda yang berusia
22-28 tahun yang sedang menjalin hubungan pacaran kurang dari satu tahun serta
berada di dalam satu kota dengan pacarnya. Subjek dalam penelitian ini dipilih
dengan menggunakan metode incidental sampling.
Hasil penelitian yang diperoleh adalah sebagai berikut: pertama, tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas attachment yang secure dengan
orangtua di masa kecil dan kualitas attachment yang secure dengan pacar di usia
dewasa muda. Kedua, terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas
attachment yang arnious dengan orangtua di masa kecil dan kualitas attachment
yang anxious dengan pacar di usia dewasa muda. Dan Ketiga, tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara kualitas attachment yang avoidant dengan
orangtua di masa kecil dan kualitas attachment yang avoidant dengan pacar di
usia dewasa muda."
2004
S3373
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Sugianti
"ABSTRAK
Memiliki adik merupakan suatu pengalaman yang dapat memunculkan reaksi
berbeda-beda dari anak pertama, salah satunya adalah altruisme. Berkowitz
mendefinisikan altruisme sebagai pertolongan yang diberikan seseorang kepada
orang lain tanpa mengharapkan rewards dari sumber-sumber luar. Menurut
Severy, esensi dari altruisme adalah motivasi untuk menolong yang didasari oleh
penyebab sederhana, yaitu karena seorang individu melihat bahwa orang lain
membutuhkan pertolongan. Altruisme sudah mulai muncul dan berkembang sejak
anak berusia sekitar 18 bulan. Pada tahap prasekolah, anak secara bertahap mulai
mengerti kebutuhan orang lain dan mulai belajar mengenai altruisme.
Menurut Bandura, kebanyakan anak belajar mengenai perilaku menolong
dan perilaku sosial yang lain melalui observasi yang dilakukan anak terhadap
model-model di dalam lingkungan mereka. Grusec dan Moore dan Eisenberg
menemukan bahwa terdapat faktor-faktor yang dapat menyebabkan model yang
satu lebih efektif daripada model yang lain. Model yang mempengaruhi anak
paling kuat adalah model yang dipersepsi anak sebagai tokoh yang berkuasa
(powerful) dan memiliki kualitas hubungan yang hangat dengan anak. Hubungan
yang hangat antara anak dan orangtua dapat tergambar dari attachment yang
terjalin antara anak dan orangtua. Teori attachment mengatakan bahwa bentuk
attachment yang terjalin antara anak dan pengasuhnya mempengaruhi anak dari
segi emosi, keterampilan sosial, dan kompetensi kognitif. Melalui interaksi anak
dengan pengasuh utamanya, anak belajar untuk mengembangkan hubungan
mereka dengan orang lain. Dengan perkataan lain, pola perilaku yang terjadi
dalam hubungan orangtua dan anak dapat digeneralisasikan ke dalam hubungan
anak dengan saudara kandung mereka. Memunculkan altruisme pada anak
sebenarnya merupakan hal yang susah-susah gampang. Akan menjadi sulit kalau
sejak kecil anak tidak terbiasa untuk peka terhadap orang lain yang membutuhkan
pertolongan. Oleh karena itu penelitian ini ditujukan kepada anak pertama usia 3-
6 tahun yang memiliki adik bayi. Kualitas attachment merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi altruisme maka pada penelitian ini ingin dilihat gambaran
kualitas attachment, altruisme, serta gambaran kualitas attachment ibu-anak
dengan altruisme anak terhadap adik.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif melalui
metoda wawancara dan observasi singkat. Subjek wawancara adalah empat orang
anak berusia 3-6 tahun yang memiliki adik bayi. Kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori mengenai altruisme, teori attachment,
dan teori mengenai masa kanak-kanak awal.
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah dua orang subjek
cenderung memiliki kualitas secure attachment dan dua orang subjek lainnya
cenderung memiliki kualitas insecure-avoidcmt attachment. Kualitas attachment
yang dimiliki masing-masing subjek dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya
adalah sensitivitas dan responsivitas ibu. Pada penelitian ini, subjek yang
cenderung memiliki kualitas secure attachment memiliki ibu yang lebih sensitif
dan responsif dibandingkan ibu dari subjek yang cenderung memiliki kualitas
insecure-avoidant attachment. Subjek yang cenderung memiliki kualitas secure
attachment memiliki hubungan yang lebih hangat dengan ibu. Adanya hubungan
yang hangat menyebabkan ibu dapat menjadi model altruisme yang efektif bagi
anak sehingga anak dapat menginternalisasi perilaku tersebut dengan baik.
Altruisme yang muncul pada semua subjek adalah mengambilkan popok
untuk adik. Adapun bentuk-bentuk altruisme lainnya, seperti mengajak adik
bermain, membawakan tas yang berisi barang-barang adik, menahan tangis agar
adik tidak terbangun, serta memberikan bedak dan menyisiri rambut adik
merupakan altruisme yang dapat dijumpai secara bervariasi pada subjek-subjek
dalam penelitian ini. Kurangnya variasi altruisme pada subjek dapat disebabkan
oleh kurang tergalinya altruisme yang lain dalam wawancara dan observasi yang
dilakukan. Pada penelitian ini juga terlihat adanya pengaruh kualitas attachment
terhadap altruisme. Pada subjek dengan kualitas secure attachment, altruisme
lebih bertalian dan frekuensi anak melakukan altruisme terhadap adik mereka
lebih sering. Altruisme tetap muncul pada anak dengan kualitas insecure-avoidant
attachment karena perilaku tersebut tidak terbentuk semata-mata dari faktor
tunggal, dalam hal ini oleh attachment antara ibu dan anak. Banyak faktor lain
yang mempengaruhi terbentuknya altruisme, seperti empati, perasaan tanggung
jawab, perasaan kompeten, mood, pengorbanan, reinforcement langsung,
modeling, dorongan verbal, dan perasaan iri. Di samping itu, adanya hubungan
yang hangat dengan ayali dapat memperkuat munculnya altruisme pada anak
sekalipun ia memiliki hubungan yang insecure dan kurang hangat dengan ibu.
Untuk penelitian lanjutan, disarankan agar observasi dilakukau dalam
waktu yang lebih lama dan dengan kemampuan wawancara yang lebih memadai.
Selain itu, untuk penelitian lanjutan dapat dilakukan penelitian mengenai
perbedaan kualitas attachment antara anak-ayah dan anak-ibu serta melihat
pengarulinya terhadap altruisme anak."
2004
S3409
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sienni Sanchia Santoso
"Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai hubungan antara keterlibatan orang tua dan kompetensi sosial remaja down syndrome. Kompetensi sosial diukur berdasarkan keterampilan sosial dan perilaku adaptif, yang tergambarkan dari ada tidaknya perilaku maladaptif. Pengukuran keterlibatan orang tua menggunakan alat ukur Alabama Parenting Questionnaire (APQ) (Frick, 1990) dan pengukuran kompetensi sosial menggunakan alat ukur Social Skills Rating System (SSRS) (Gresham & Elliott, 1990). Partisipan berjumlah 31 orang tua dan pengasuh utama dari remaja down syndrome berusia antara 11 hingga 24 tahun. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan antara keterlibatan orang tua dan keterampilan sosial remaja down syndrome (r = 0.422; p = 0.018, signifikan pada L.o.S 0.05). Artinya semakin tinggi keterlibatan orang tua, semakin tinggi keterampilan sosial remaja down syndrome. Akan tetapi, terdapat hubungan yang tidak signifikan antara keterlibatan orang tua dan perilaku maladaptif (r = 0.063; p = 0.737, tidak signifikan pada L.o.S 0.05). Berdasarkan hasil tersebut, orang tua disarankan untuk terlibat dalam kehidupan anaknya yang menyandang down syndrome dengan mengajarkan keterampilan sosial dan perilaku adaptif sesuai norma sosial.

This research was conducted to find the correlation between parental involvement and social competence behavior in adolescent with down syndrome. Social competence is measured based on social skills and adaptive behavior, which is illustrated from the absence of maladaptive behaviors. Parental involvement was measured using an instrument called Alabama Parenting Questionnaire (APQ) (Frick, 1990), and social competence was measured using Social Skills Rating System (SSRS) (Gresham & Elliott, 1990). The participants of this research are 31 parents and primary caregiver of adolescent with down syndrome at the age of 11 to 24 years old. The result of this research show that parental involvement positively correlated significantly with social skills (r = 0.422; p = 0.018, significant at L.o.S 0.05). This means that the higher the parental involvement, the higher the social skills of adolescent with down syndrome. However, there is no significant correlation between parental involvement and maladaptive behavior (r = 0.062; p = 0.737, not significant at L.o.S 0.05). Based on these results, it is advisable for parents to become involved in their child?s life to teach appropriate social skills and adaptive behavior according to social norms."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
S45232
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iletta Nathania Tjioe
"Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai pengaruh parental autonomy support, parental involvement, dan parental structure terhadap domain kemandirian pada remaja penyandang sindroma down. Penelitian ini juga melihat variabel yang memiliki pengaruh paling signifikan terhadap domain remaja penyandang sindroma down. Pengukuran parental autonomy support, parental involvement, dan parental structure menggunakan alat ukur Parents as Social Context Questionnaire (PSCQ) (Skinner, dkk., 2005) dan pengukuran kemandirian remaja penyandang Sindroma Down menggunakan alat ukur AAMD Adaptive Behavior Scale (Bagian Psikologi Anak dan Perkembangan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1983). Partisipan berjumlah 32 orang dengan karakteristik sebagai orang tua dari remaja penyandang sindroma down. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat pengaruh parental autonomy support, parental involvement, dan parental structure terhadap kemandirian pada fungsi berdikari, aktivitas ekonomi, perkembangan bahasa, perkembangan angka dan waktu, kegiatan rumah tangga, dan sosialisasi remaja penyandang sindroma down. Parental structure secara signifikan mempengaruhi domain perkembangan bahasa (Beta = 0.517; p = 0.014; signifikan pada L.o.S 0.05) dan perkembangan angka dan waktu (Beta = 0.560; p = 0.011; signifikan pada L.o.S 0.05), sedangkan parental involvement secara signifikan mempengaruhi sosialisasi (Beta = 0.482; p = 0.013; signifikan pada L.o.S 0.05) pada remaja penyandang Sindroma Down. Berdasarkan hasil tersebut, orang tua perlu meningkatkan parental autonomy support, parental involvement, dan terutama parental structure untuk membantu meningkatkan kemandirian anak.

This research was conducted to find the effects of parental autonomy support, parental involvement, and parental structure on domains of independence on adolescents with Down Syndrome and to find out which variable contributes significantly. Parental autonomy support, parental involvement, and parental structure was measured using an adapted instrument called Parents as Social Context Questionnaire (PSCQ) (Skinner, et al., 2005) and independence of of adolescents with Down Syndrome was measured using an adapted instrument called AAMD Adaptive Behavior Scale (Bagian Psikologi Anak dan Perkembangan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1983). The participants of this study are 32 parents of adolescents with Down Syndrome. The main results of this study show that parental autonomy support, parental involvement, and parental structure significantly affect domains of independence namely independent functioning, economic activity, language development, numbers and time, domestic activity, and socialization of adolescents with Down Syndrome. Parental structure significantly affects two domains which are language development (Beta = 0.517; p = 0.014; significant on L.o.S 0.05) and numbers and time (Beta = 0.560; p = 0.011; significant on L.o.S 0.05), while parental involvement significantly affects socialization domain (Beta = 0.482; p = 0.013; significant on L.o.S 0.05). Based on those results, it is necessary for parents to increase their parental autonomy support, parental involvement, and especially parental structure to help increase their children’s independence."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45185
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9   >>