Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 57 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aisha Safa Putri Calista
Abstrak :
Latar Belakang: Intermittent fasting (IF) dan prolonged fasting (PF) merupakan bagian dari puasa yang meliputi pola makan waktu puasa dan waktu tidak puasa dalam sehari. Ada banyak manfaat terkait puasa dan salah satunya adalah IF dapat mengurangi stres oksidatif yang bermanfaat bagi otak. Karbonil, biomarker stres oksidatif yang irreversible dan universal telah dikaitkan dengan penuaan sel, jaringan, organ, dan penyakit terkait usia. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah ada pengaruh puasa terhadap kadar protein karbonil di otak. Metode: Penelitian ini menggunakan sampel jaringan otak yang diperoleh dari 15 ekor kelinci white New Zealand yang dikelompokkan ke dalam tiga perlakuan pemberian pakan yang berbeda yaitu 5 kelompok kontrol, 5 kelompok IF (dipuasakan 16 jam), dan 5 kelompok PF (dipuasakan 40 jam). Sampel diperlakukan sesuai perlakuan masing- masing selama tujuh hari berturut-turut. Kadar karbonil kemudian diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 390 nm. Data dianalisis menggunakan IBM SPSS. Hasil Penelitian: Semua sampel terdistribusi normal (p>0,05), namun pengaruh puasa intermiten (IF) dan puasa berkepanjangan (PF) terhadap kadar karbonil otak pada kelinci White New Zealand tidak signifikan. Kadar karbonil sampel IF lebih rendah daripada PF dengan rata-rata dan standar kesalahan masing-masing 365,4 ± 24,2 dan 409,1 ± 44,7 nMol/mg protein. Kesimpulan: Meskipun tidak signifikan, perlakuan IF dan PF satu minggu yang dilakukan pada kelinci White New Zealand mampu menurunkan kadar karbonil pada otak. IF mampu menurunkan lebih banyak protein karbonil dibandingkan PF. ......Introduction: Intermittent fasting (IF) and prolonged fasting (PF) is a part of fasting that includes eating pattern of fasting-time and non-fasting time in a day. There are many benefits related to fasting and one of them is that IF can reduce oxidative stress that benefits the brain. Carbonyl, an irreversible and universal marker of oxidative stress has been linked to cell, tissue, organ aging and age-related diseases hence this research is conducted to see whether there are any effects of fasting towards protein carbonyl level in the brain. Methods: This research uses brain tissue sample obtained from 15 white New Zealand rabbit that are grouped into three different feeding treatments: 5 control groups, 5 IF (16 h fasting time) groups, and 5 PF (40 h fasting time). They are treated accordingly for seven days straight. Level of carbonyl then is measured by spectrophotometer at 390 nm wavelength. The data was analyzed using IBM SPSS. Result: All samples are normally distributed (p>0.05), however the effect of IF and PF towards brain carbonyl level in white New Zealand rabbit are not significant. The carbonyl level of IF group samples are reduced more than PF group with mean and standard of error of 365.4 ± 24.2 and 409.1 ± 44.7 nMol/mg protein respectively. Conclusion: Although insignificant, one-week treatment of IF and PF done on White New Zealand rabbit are able to decrease carbonyl level in their brain, with IF being able to reduce more protein carbonyl than PF.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harrison Handoko
Abstrak :

Glioma adalah tumor yang bermula dari tulang belakang atau otak yang berasal dari sel glial, dan merupakan salah satu keganasan yang sering ditemukan di Indonesia. TGF-I²1 mempunyai peran yang penting dalam mengontrol homeostasis jaringan dan peranjakan keganasan kanker, oleh sebab itu TGF-I²1 mempunyai potensi untuk menjadi biomarker untuk membedakan antar glioma keganasan tinggi dan rendah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis ekspresi relatif TGF-I²1 glioma tingkat tinggi dan rendah, untuk melihat potensi menjadi biomarker. Dalam eksperimen terdapat 28 sampel yang digunakan dalam studi ini,16 jaringan dengan keganasan rendah, 10 dengan keganasan tinggi dan 2 jaringan otak normal yang didapat dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Indonesia. Jaringan telah digolongkan berdasarkan klasifikasi yang diberikan oleh World Health Organization, derajat 1 dan 2 sebagai keganasan rendah dan derajat 3 dan 4 sebagai derajat tinggi. Ekspresi relatif dari TGF-I²1 dianalisa menggunakan Real-Time RT PCR dengan 18sRNA sebagai houskeeping gene. Dari hasil terlihat bahwa adanya penurunan ekspresi relatif TGF-I²1 di glioma keganasan tinggi saat dibandingkan dengan ekspresi di glioma keganasan rendah. Tetapi setelah dianalisis secara statistik, hasil penemuan ini tidak signifikan. Kegunaan dari TGF-I²1 sebagai biomarker belum terbukti, maka dari itu studi lebih lanjut harus dilakukan untuk menjelaskan fungsi dari TGF-I²1 sebagai biomarker untuk glioma.


......Glioma is a term used to describe tumors which originate from the spinal cord or brain, specifically the glial cells. This type of tumor is one of the most commonly found brain malignancies in Indonesia. TGFI²1 has a key role in the maintenance of tissue homeostasis and progression of cancer, due to this fact TGF-I²1 has the potential as a tissue biomarker to differentiate low grade and high grade gliomas. The goal of this study is to analyze the relative expression of TGF-²1 in both high grade and low grade glioma to explore its potential as a biomarker. In the experiment there was a total of 28 samples, 16 low grade glioma, 10 high grade glioma and 2 normal brain tissue obtained from Cipto Mangunkusumo Hospital, Indonesia. The sample was categorized to low grade and high grade glioma based on the guideline given by the World Health Organization. Grades 1 and 2 are considered to be low grade gliomas and grades 3 and 4 are considered to be high grade gliomas. The relative expression of TGF-I²1was measured through Real-Time RT-PCR with 18sRNA as a housekeeping gene. It was seen that there was a decrease in the expression of TGF-I²1 in high grade glioma as to low grade glioma. However, when the result was analyzed it is proven to be statistically insignificant.The role of TGF-I²1 as a definitive biomarker for glioma grading is yet to be proven, therefore further research must be conducted to elaborate the role of the gene as a glioma biomarker.

Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Ngadiono
Abstrak :
Pendahuluan: Ekspresi berlebih suatu molekul bernama survivin dapat mencegah terjadinya apoptosis dengan menghambat caspase 9 dan mempertahankan keganasan pada sel glioblastoma. Penggunaan secretome sel punca tali pusat dapat mencegah perkembangan glioblastoma meskipun penggunaanya masih kontroversial. Untuk menguji efektifitas apoptosis secretome sel punca tali pusat pada glioblastoma, dapat dilakukan pengukuran survivin dan caspase 9 yang merupakan komponen penting pada jalur apoptosis intrinsik. Dengan demikian penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh sekretom sel punca tali pusat terhadap ekspresi survivin dan caspase9 sebagai molekul yang mempengaruhi pertumbuhan glioblastoma Metode: Desain eksperimental in vitro dengan menggunakan galur sel glioblastoma T98G. Conditioned medium (CM) yang mengandung secretome sel punca tali pusat diperoleh dari medium sel punca  tali pusat yang dikultur selama 24 jam dengan  Î±MEM yang tidak mengandung serum. CM diencerkan 2 kali  dengan  medium tinggi glukosa Dulbecco's Modified Eagle Medium (DMEM) (50% konsentrasi). Perlakuan Sel glioblastoma T98G yang diberikan CM 50% dilakukan selama 24 jam, kemudian dilakukan ekstraksi RNA total dari sel T98G tersebut. RNA total digunakan untuk analisis ekspresi gen dengan menggunakan real-time quantitative reverse transcription polymerase chain reaction (qRT-PCR). Metode Livak dilakukan untuk menghitung ekspresi relatif  caspase 9 dan survivin dengan 18srRNA sebagai gen referensi.

Hasil: Ekspresi mRNA survivin meningkat 3.5 kali (p=0.002) dan ekspresi mRNA caspase 9 meningkat 1.6 kali (p=0.017) pada sel T98G yang diberikan CM50% dibandingkan sampel kontrol. Kesimpulan : CM  sel punca pada tali pusat meningkatkan ekspresi survivin dan caspase 9 pada sel glioblastoma T98G. Penelitian selanjutnya diperlukan untuk mengetahui pengaruh peningkatan ekspresi gen tersebut terhadap proliferasi sel glioblastoma serta mekanisme molekulernya. ......Introduction: Aberrant expression of a molecule called survivin has been suspected to prevent apoptosis by indirectly inhibits a critical apoptosis enzyme called caspase 9, maintaining tumorigenicity of glioblastoma. Umbilical cord mesenchymal stem cells (UCMSC) has been discovered to inhibit glioblastoma growth but its usage is still controversial. To measure the apoptosis effectiveness of UCMSC-CM secretome against glioblastoma, measuring survivin and caspase 9, as essential components in intrinsic apoptosis pathway, are required. Therefore, this research aims to analyze the effect of UCMSC-CM against survivin and caspase 9 expression as the molecules that affect the growth of glioblastoma. Method: In vitro experimental design by using glioblastoma cell line T98G. Conditioned medium (CM) which contain umbilical cord mesenchymal stem cell (UCMSC) secretome was obtained from UCMSC-CM that was cultured for 24 hours with αMEM that does not contain serum. CM was diluted twice with high glucose Dulbecco’s Modified Eagle Medium (DMEM) (50% concentration). The treatment of T98G glioblastoma cell, that had been exposed to 50% CM, was performed for 24 hours, then total RNA extraction was carried out from the T98G cells. Total RNA was used to analyze genetic expression by using real-time quantitative reverse transcription polymerase chain reaction (qRT-PCR). Livak’s method was used to calculate relative expression of Survivin and Caspase 9 expression with 18srRNA as reference gene. Results: Survivin mRNA expression increased 3.5-fold (p=0.002) while caspase 9 mRNA expression increased 1.6-fold (p=0.017) in T98G cell that was given CM50% compared with control sample. Conclusion: UCMSC-CM increases survivin and caspase 9 expression in glioblastoma T98G cells. Future researches are required to identify the effect of the elevated genetic expressions against glioblastoma cell proliferation as well as their molecular mechanisms.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annada Sofia
Abstrak :
Latar Belakang: Prevalensi kanker di Indonesia meningkat menjadi 1,8 per 1000 penduduk pada 2018. Diagnosis dini yang tepat dibutuhkan untuk mengurangi angka mortalitas. Salah satu cara diagnosis tumor berupa pemeriksaan penanda tumor, seperti vanillylmandelic acid (VMA). Penanda tumor tersebut termasuk metabolit katekolamin yang akan meningkat produksinya pada beberapa tumor neuroendokrin. Kadar katekolamin sendiri dapat dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin. Belum ada data proporsi VMA positif dalam urin pada pasien dugaan tumor neuroendokrin di Jakarta serta hubungan VMA dalam urin dengan usia dan jenis kelamin. Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi VMA positif dalam urin pasien dugaan tumor neuroendokrin di Jakarta serta hubungannya dengan usia dan jenis kelamin. Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross-sectional. Data sekunder dikumpulkan berupa lembar hasil serta formulir pemeriksaan VMA pasien dugaan tumor neuroendokrin pada periode 2010 hingga April 2019. Data didapatkan dari Departemen Biokimia dan Biologi Molekuler, FKUI. Pengambilan data sekunder dilakukan pada Oktober 2019 dengan total subjek penelitian 295. Pemeriksaan kualitatif VMA dalam urin dilakukan dengan metode spot test. Hasil pemeriksaan positif menunjukkan kadar VMA dalam urin > 8 mg/24 jam, sedangkan hasil negatif menunjukkan kadar VMA dalam urin  8 mg/24 jam. Kriteria inklusi berupa data subjek dengan diagnosis sementara neuroblastoma, pheochromocytoma, dan paraganglioma. Hasil: Proporsi VMA positif dalam urin pasien dugaan tumor neuroendokrin dalam penelitian ini adalah 14,2% (IK95%, 10,2 – 18,2%). Analisis hubungan VMA dalam urin dengan usia memberikan hasil p 0,023. Analisis hubungan VMA dalam urin dengan jenis kelamin menunjukkan hasil p 0,885. Kesimpulan: Terdapat hubungan antara VMA dalam urin dengan usia dan tidak terdapat hubungan antara VMA dalam urin dengan jenis kelamin.

Kata kunci: Vanillylmandelic Acid, Tumor Neuroendokrin, Neuroblastoma, Pheochromocytoma, Paraganglioma. ......Background: Cancer prevalence in Indonesia increased to 1.8 per 1000 population in 2018. Early diagnosis is needed to reduce mortality rate. One of the ways to diagnose tumors is by examining tumor markers, such as vanillylmandelic acid (VMA). VMA is catecholamine metabolites which will increase their production in several neuroendocrine tumors. Catecholamine level can be influenced by age and gender. There is no data about proportion of positive VMA in urine of patients with suspected neuroendocrine tumors in Jakarta and the association of VMA in urine with age and gender. Objective: The objective of this study was to determine the proportion of positive VMA in urine of patients with suspected neuroendocrine tumors and its association with age and gender. Methods: This study used a cross-sectional study design. Secondary data were collected in the form of VMA examination forms and result sheets from patients with suspected neuroendocrine tumors in the period 2010 to April 2019. Data were obtained from the Department of Biochemimstry and Molecular Biology, FKUI. Collection of secondary data conducted in October 2019 with a total of 295 study subjects. Qualitative examination of urinary VMA used spot test method. Positive examination result  showed levels of VMA in urine >8mg/24 hours, while negative result showed levels of VMA in urine  8mg/24 hours. Inclusion criteria were subject data with a provisional diagnosis of neuroblastoma, pheochromocytoma, and paraganglioma. Results: The proportion of positive VMA in urine of suspected neuroendocrine tumor patients in this study was 14,2% (CI95%, 10,2 – 18,2%). Analysis of the association between VMA in urine and age result was p value 0,023. P value form analysis of the association between VMA in urine and gender was 0,885. Conclusion: There is an association between VMA in urine with age and there is no association between VMA in urine with gender.

Keywords: Vanillylmandelic Acid, Neuroendocrine Tumors, Neuroblastoma, Pheochromocytoma, Paraganglioma.

Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Retno Yova Meidina
Abstrak :
Latar Belakang: Batu empedu merupakan penyakit yang sering dijumpai di negara-negara Barat. Namun dengan adanya perubahan sosial ekonomi, penyakit ini mulai ditemukan juga di negara berkembang. Komposisi batu empedu dapat dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin. Tujuan: Mengetahui distribusi komposisi batu empedu dan hubungannya dengan umur dan jenis kelamin di Jakarta. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan jumlah sampel 230 sampel data analisis komposisi batu empedu di Laboratorium Biokimia dan Biologi Molekuler FKUI. Data dianalisis menggunakan SPSS tipe 20 menggunakan uji Mann Whitney untuk melihat hubungan antara kelompok umur terhadap komposisi Fe, pigmen empedu, dan fosfat serta uji chi square untuk melihat hubungan antara jenis kelamin dengan komposisi batu empedu dan untuk melihat hubungan antara kelompok umur dengan komposisi. kolesterol, kalsium, dan karbonat. Hasil: Batu empedu paling banyak ditemukan pada wanita dibandingkan pria (1,7:1) dan pada kelompok usia 40-49 tahun (27,00%). Komposisi yang paling banyak ditemukan adalah kolesterol (83,91%). Hubungan antar kelompok umur terhadap komposisi kolesterol menunjukkan hasil yang signifikan (p<0,05) tetapi tidak signifikan (p>0,05) terhadap komposisi lainnya. Hubungan antara jenis kelamin dan komposisi batu empedu menunjukkan hasil yang tidak signifikan (p>0,05). Kesimpulan: Kolesterol merupakan komposisi batu empedu yang paling umum. Wanita dan kelompok usia yang lebih tua adalah orang-orang yang paling menderita dari batu empedu. Ada hubungan antara kelompok umur dengan komposisi kolesterol tetapi tidak pada komposisi lainnya. Juga tidak ada hubungan antara jenis kelamin dan komposisi batu empedu.
Background: Gallstones are a disease that is often found in Western countries. However, with the socio-economic changes, this disease began to be found also in developing countries. The composition of gallstones can be affected by age and gender. Objective: To determine the distribution of gallstone composition and its relationship with age and sex in Jakarta. Methods: This study was a cross-sectional study with a total sample of 230 samples of gallstone composition analysis data at the Laboratory of Biochemistry and Molecular Biology, Faculty of Medicine, Faculty of Medicine. Data were analyzed using SPSS type 20 using the Mann Whitney test to see the relationship between age groups on the composition of Fe, bile pigments, and phosphates and the chi square test to see the relationship between gender and gallstone composition and to see the relationship between age groups and composition. cholesterol, calcium, and carbonate. Results: Most gallstones were found in women compared to men (1,7:1) and in the 40-49 year old group (27.00%). The most common composition found was cholesterol (83.91%). The relationship between age groups on cholesterol composition showed significant results (p<0.05) but not significant (p>0.05) against other compositions. The relationship between gender and gallstone composition showed insignificant results (p>0.05). Conclusion: Cholesterol is the most common composition of gallstones. Women and older age groups are the ones who suffer the most from gallstones. There is a relationship between age group with cholesterol composition but not on other compositions. There was also no relationship between gender and gallstone composition.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Ramasha Amangku
Abstrak :
HIF-2α adalah mediator yang penting dalam reaksi hipoksia di situasi keganasan dan tingginya tingkat ekspresi HIF-2α berkorelasi dengan konsep metastasis, resistensi terapi dan penurunan kualitas prognosis dalam berbagai bentuk pertumbuhan kanker. Karena kemampuan sel glioma otak yang sangat infiltratif, glioma tidak dapat sepenuhnya dihilangkan dengan pembedahan dimana tingkat kekambuhan juga tinggi. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi ekspresi relatif dari gen HIF-2α dihubungkan dengan keganasan glioma. Spesimen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 22 sampel yang diperoleh dari Departemen Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia- Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Ekspresi relatif HIF-2α dianalisis dengan menggunakan quantitative RT-PCR. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan ekspresi relatif HIF-2α pada glioma derajat tinggi dibandingkan dengan glioma derajat rendah, namun tidak bermakna secara statistik. Dengan demikian kemungkinan HIF-2α dapat digunakan sebagai penanda prognostik untuk pasien yang didiagnosis glioma, meskipun eksperimen tambahan perlu dilakukan untuk memperkuat fakta ini.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Christin Natalia
Abstrak :
Hipertensi adalah penyakit degeneratif yang salah satu faktor penyebabnya adalah penuaan. Penuaan dapat dipicu oleh stres oksidatif, yang mana merupakan ketidakseimbangan antara antioksidan dan RONS (reactive oxygen-nitrogen species). Antioksidan di dalam tubuh ada banyak, salah satunya adalah enzim katalase. Enzim katalase berperan dalam mengubah hidrogen peroksida menjadi air. Sebelumnya, belum diketahui hubungan antara enzim katalase dengan penyakit degeneratif, dalam hal ini adalah hipertensi. Sampel yang digunakan berjumlah 94 sampel. Penelitian dilaksanakan dengan metode cross-sectional. Data yang dibutuhkan adalah tekanan darah dan aktivitas enzim katalase eritrosit. Aktivitas enzim katalase didapatkan dari lisat eritrosit sampel dengan bantuan spektrofotometer yang mana perhitungan absorbansinya dilakukan pada panjang gelombang 210 nm. Keseluruhan data kemudian dianalisis korelasinya menggunakan Uji Korelasi Pearson karena distribusi keseluruhan data normal. Uji T-test juga dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan antara nilai mean dari data aktivitas enzim katalase kelompok sampel hipertensi dan normotensi. Tidak ada korelasi antara aktivitas enzim katalase dengan tekanan darah sistolik dan diastolik populasi lansia secara keseluruhan (p>0,05). Akan tetapi, ditemukan korelasi lemah pada hubungan antara aktivitas enzim katalase dengan tekanan darah sistolik kelompok populasi normotensi, juga antara aktivitas enzim katalase dengan tekanan darah diastolik kelompok populasi hipertensi (p<0,05). Hasil uji T-test menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan antara nilai mean dari data aktivitas enzim katalase kelompok hipertensi dan normotensi (p>0,05). Aktivitas enzim katalase eritrosit berkorelasi lemah dengan tekanan darah sistolik pada kelompok populasi lansia dengan normotensi, juga dengan tekanan darah diastolik pada kelompok populasi lansia dengan hipertensi. ......Hypertension is a degenerative disease which one of the causes being aging. Aging can be triggered by oxidative stress, which is an imbalance between antioxidants and RONS (reactive oxygen-nitrogen species). There are many antioxidants in the body, one of which is the enzyme catalase. Catalase enzyme plays a role in converting hydrogen peroxide into water. Previously, there was no known relationship between the catalase enzyme and degenerative diseases, in this case hypertension. The sample used is 94 samples. The research was carried out using a cross-sectional method. The data needed are blood pressure and erythrocyte catalase enzyme activity. The activity of the catalase enzyme was obtained from the sample erythrocyte lysate with the help of a spectrophotometer where the absorbance calculation was carried out at a wavelength of 210 nm. The entire data was then analyzed for correlation using the Pearson Correlation Test because the overall data distribution was normal. T-test was also performed to see whether or not there was a difference between the mean values of the catalase enzyme activity data for the hypertensive and normotensive groups. There was no correlation between catalase enzyme activity and systolic and diastolic blood pressure in the elderly population as a whole (p>0.05). However, a weak correlation was found in the relationship between catalase enzyme activity and systolic blood pressure in the normotensive population group, as well as between catalase enzyme activity and diastolic blood pressure in the hypertensive population group (p<0.05). The results of the T-test showed that there was no significant difference between the mean values of the catalase enzyme activity data in the hypertension and normotensive groups (p>0.05). The activity of the erythrocyte catalase enzyme was weakly correlated with systolic blood pressure in the normotensive elderly population group, as well as with diastolic blood pressure in the elderly population group with hypertension.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Afifa Aghnat
Abstrak :
Akumulasi lemak berlebih merupakan masalah kesehatan global yang disebut obesitas. Peningkatan lemak ini meningkatkan produksi ROS (Reactive Oxygen Species) sehingga terjadinya stress oksidatif. Protein karbonil merupakan produk ROS yang menjadi marker oksidasi seluruh protein. Peningkatan kadar protein karbonil berhubungan dengan berbagai penyakit yang dapat mengganggu kualitas hidup. Salah satu metode menurunkan stress oksidatif adalah dengan melakukan puasa intermiten Uji klinis dengan kelompok kontrol merupakan metode yang digunakan. Sampel penelitian tersimpan dari penelitian sebelumnya dengan subjek yaitu karyawan pria obesitas (IMT ≥ 25 kg/m2 ) berusia 19-59 tahun yang kemudian melalui randomisasi sederhana dibagi menjadi kelompok puasa dan kontrol. Puasa dilakukan selama 8 minggu setiap Senin dan Kamis. Kadar protein karbonil dihitung sebelum dan sesudah puasa dengan spektrofetrometer dan dianalisis dengan SPSS versi 24.0 dengan batas kemaknaan 5% untuk mengetahui pengaruh puasa intermiten 5:2 terhadap kadar protein karbonil plasma. Kadar protein karbonil menurun signifikan (p=0,004) pada kelompok puasa, sedangkan meningkat signifikan pada kelompok tidak puasa (p=0,007). Perbedaan bermakna (p = 0,011) ditemukan pada penurunan kadar protein karbonil antara kelompok puasa dan kontrol. Kelompok puasa memiliki kadar protein karbonil yang lebih rendah secara signifikan (p = 0,000) dibandingkan kelompok kontrol. Puasa intermiten 5:2 yang dilakukan selama 8 minggu menurunkan kadar karbonil plasma pada karyawan pria obesitas secara signifikan ......Excessive fat accumulation is a global health problem called obesity. Fat accumulation makes the production of Reactive Oxygen Species (ROS) rise and stimulates oxidative stress. Protein carbonyl is a product of ROS and a marker for whole protein oxidation. Increased levels of protein carbonyl are related to various diseases that influence the quality of life. Intermittent fasting is one method to lower oxidative stress. A randomized controlled clinical trial was used in this study. The sample stored from previous studies with the subject is an obese male employee (IMT ≥ 25 kg/m2) aged 19-59 years old then divided into fasting and control groups through simple randomization. Fasting every Monday and Thursday for 8 weeks. Carbonyl protein levels were measured before and after fasting with spectrophotometry and analyzed by SPSS version 24.0 with a significance limit of 5% to determine how intermittent fasting 5:2 effect protein carbonyl levels in plasma. Protein carbonyl levels in the fasting group decreased significantly (p=0.004), while the control group increased significantly (p=0,007) after fasting. Meaningful difference (p = 0.011) was found in decreased protein carbonyl levels between the fasting and control groups after the intervention. Protein carbonyl levels were significantly lower (p=0.000) in the fasting group compared to the control group after intervention. Intermittent fasting 5:2 significantly reduces plasma protein carbonyl levels in male employees with obesity.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fergie Marie Joe Grizella Runtu
Abstrak :
Gen NANOG berperan dalam pembentukan faktor transkripsi yang memiliki DNA binding domain. Protein yang dibentuk oleh gen ini memiliki kemampuan untuk menimbulkan dan mempertahankan sifat pluripotent dari sebuah sel. Dikarenakan sifat sel tumor yang pluripotent, banyak studi telah dilakukan untuk menilai peran NANOG dalam keganansan tumor. Namun, data mengenai peran NANOG pada keganansan gliom belum cukup untuk mengklarifikasi efek NANOG pada perkembangan glioma. Glioma merupakan tumor otak yang paling dijumpai dalam praktik klinis. Tantangan dalam penanganan glioma terletak pada lokasi tumor yang susah dan beresiko untuk dijangkau. Penanganan glioma, beresiko tinggi untuk mengakibatkan kerusakan pada jaringan otak yang dapat berakibat pada kehilangan fungsi tubuh dan bahkan berakibat pada kematian. Dalam kesempatan ini, studi ini dilakukan untuk meninjau peran NANOG dalam keganasan glioma untuk menunjang penanganan dini dan mengurangi mortalitas dan morbiditas penderita. Studi dilaksanankan melalui kuantifikasi gen dengan metode real-time RT-PCR atas specimen glioma yang diperoleh melalui operasi pengangkatan tumor di Departemen Bedah Saraf FKUI-RSCM. Hasil yang diperoleh menunjukan adanya kecenderungan ekspresi NANOG untuk lebih tinggi di glioma tingkat tinggi dibandingkan glioma tingkat rendah walau tidak signifikan menurut statisitik. Diperlukan studi yang lebih besar untuk menunjang peran NANOG sebagain penanda keganasan pada kasus glioma.
NANOG gene codes for a transcription factor with a DNA binding domain that has been found to contribute in maintenance and induction of cell pluripotency. Due to this characteristic, extensive studies have been done to evaluate its function as biomarker of tumor malignancy. However, the role of NANOG in glioma malignancy is not yet elucidated. Glioma, a leading tumor of the brain remains a challenging medical condition due to the location of the tumor. Treatment is complicated due to the high chance of compromising the brain structure which could lead to detrimental effects in body functions. The study conducted is to determine the role of NANOG in glioma malignancy by performing NANOG gene quantification using real-time RT-PCR in low-grade and high-grade glioma samples that was obtained from resection surgery in the Neurosurgery Department of FKUI-RSCM. Statistical analysis, showed that there was not significant difference in NANOG expression between the low-grade and high-grade glioma. Despite the absence of significance, there is a trend for higher expression of NANOG in high-grade glioma compared to low-grade glioma. The result, supports the proposition of NANOG as glioma malignancy biomarker. Further studies need to be conducted with greater sample to bolster the NANOG role in glioma malignancy.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edward Christopher Yo
Abstrak :
Pendahuluan: Sejumlah penelitian menunjukkan potensi sel punca mesenkimal untuk terapi pada glioblastoma multiforme (GBM), namun kajian terbaru menunjukkan bahwa efek terapeutik utamanya terdapat pada sekretomnya. Salah satu komponen pada sekretom sel punca mesenkimal adalah TNF-related apoptosis-inducing ligand (TRAIL). TRAIL dapat menyebabkan kematian sel kanker jika berikatan dengan reseptor agonis/death receptor-4 (DR4), namun kehilangan fungsinya jika berikatan dengan reseptor antagonis/decoy receptor-1 (DcR1). Studi ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh sekretom sel punca mesenkimal terhadap tingkat ekspresi DR4 dan DcR1 pada sel glioblastoma multiforme (GBM). Metode: Conditioned medium (CM) yang mengandung sekretom disiapkan dengan cara menumbuhkan sel punca mesenkimal tali pusat dalam serum-free aMEM selama 24 jam. Setelah itu, sel glioblastoma T98G dikultur bersamaan dengan CM selama 24 jam. Quantitative real time polymerase chain reaction (qRT-PCR) digunakan untuk mengukur tingkat ekspresi mRNA dari DR4 dan DcR1. Student’s t-test dengan aplikasi IBM SPSS digunakan untuk perhitungan statistik. Hasil: Ekspresi mRNA DR4 dan DcR1 meningkat pada sel GBM yang dikultur dengan CM dibandingkan kontrol, namun ekspresi DcR1 jauh lebih tinggi (1368.5-kali) dibandingkan ekspresi dari DR4 (3.5-kali). Melalui perhitungan statistik, seluruh hasil yang ditemukan terbukti signifikan (P < 0.05 untuk semua angka). Kesimpulan: Ekspresi DR4 pada sel GBM yang dikultur dengan sekretom sel punca mesenkimal dalam CM jauh lebih rendah dibandingkan dengan ekspresi DcR1. Temuan tersebut menandakan bahwa terapi pengobatan kanker khususnya GBM menggunakan sekretom sel punca mesenkimal belum tentu efektif dan perlu dievaluasi kembali. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mempelajari mekanisme dari peningkatan pesat reseptor antagonis TRAIL dalam studi kami beserta efeknya terhadap perkembangan kanker dan GBM. ......Introduction: Mesenchymal stem cell-based therapy has been proposed to treat glioblastoma multiforme (GBM), but recent evidence has pointed to its secreted factors – the secretome – as the main therapeutic substance. One of the secreted factors is TNFrelated apoptosis-inducing ligand (TRAIL), which promotes cancer cell death when bound to its agonistic receptor/death receptor-4 (DR4) on the cell surface but becomes dysfunctional when bound to antagonistic receptor/decoy receptor-1 (DcR1). This study aims to analyze glioblastoma multiforme (GBM) cell’s expression level of DR4 and DcR1 following treatment with MSCs secretome. Methods: Conditioned medium of umbilical cord-derived MSCs (UCSC-CM) was generated by culturing the cells on serum-free aMEM for 24 hours. Following this, Human GBM T98G cells were treated with UCSC-CM for another 24 hours. Quantitative RT-PCR was then performed to measure mRNA expression of DR4 and DcR1. Finally, data analysis was carried out using Student’s t-test using IBM SPSS Statistics software. Results: Both mRNA expression of DR4 and DcR1 increased in CM-treated cells compared to control, but DcR1 expression level was higher (1368.5-fold) than that of DR4 (3.5-fold). The result was statistically significant (P < 0.05 for all values). Conclusion: Expression of DR4 in GBM cell was significantly lower than that of DcR1 following UCSC-CM treatment, suggesting that MSC secretome-based therapy for cancer could actually be less effective than claimed. Further research is needed to clarify the mechanism behind the sharp rise in TRAIL antagonistic receptor expression and its effect on GBM progression.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>