Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 34 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Astri Novita
"ABSTRAK
Latar belakang : Etiologi trombositopenia sangat beragam sehingga sulit untuk
diidentifikasi. Sangat penting mengetahui penyebab terjadinya trombositopenia
karena berhubungan erat dengan rencana penatalaksanaan yang diberikan. Belum
tersedia tes diagnostik sederhana, cepat dan mudah untuk mengetahui aktivitas
trombopoiesis. Immature platelet merupakan trombosit muda yang berhubungan
erat dengan aktivitas trombopoiesis. Diharapkan pengukuran persentase immature
platelet dapat membedakan etiologi trombositopenia yang terjadi karena
gangguan produksi megakariosit di sumsum tulang atau karena meningkatnya
destruksi di perifer sehingga dapat menghindari tindakan pemeriksaan aspirasi
sumsum tulang.
Tujuan : Penelitian ini bertujuan menilai pemeriksaan IPF sebagai penanda
aktivitas trombopoiesis pada pasien trombositopenia. Mendapatkan nilai rujukan
parameter IPF pada orang dewasa normal di Jakarta menggunakan alat sel hitung
otomatik Sysmex XE-5000. Mendapatkan nilai cutt-off IPF untuk membedakan
trombositopenia yang disebabkan oleh gangguan produksi atau gangguan
destruksi.
Metode : Desain penelitian adalah potong lintang. Menggunakan 256 orang
peserta medical check up di RS MMC dan 203 pasien trombositopenia yang
berasal dari RSCM dan RS MMC.
Hasil : Nilai rujukan IPF orang dewasa di Jakarta menggunakan Sysmex XE-
5000 sebesar 0.64-3.20%. Nilai cutt-off IPF untuk membedakan trombositopenia
dengan aktifitas trombopoiesis meningkat atau trombositopenia dengan aktifitas
trombopoiesis normal atau rendah sebesar 7.65% dengan sensitivitas 91% dan
spesifisitas 92%.
Kesimpulan : Kami menyimpulkan bahwa IPF dapat dijadikan salah satu
penanda aktivitas trombopoiesis pada pasien trombositopenia sehingga dapat
membedakan penyebab trombositopenia karena gangguan produksi trombosit di
sumsum tulang atau gangguan destruksi perifer.

ABSTRACT
Background: It is difficult to identify the etiology of thrombocytopenia due to its
various types. A simple, fast and easy diagnostic test is not available yet to
identify thrombopoiesis activity. Immature Platelet Fraction is an
evaluation/assessment of immature platelet, which represents the state of
thrombopoiesis. It is expected that the immature platelet measurement will be able
to distinguish the etiology of current thrombocytopenic caused by defect
megakaryocytic production in the bone marrow or by the increased peripheral
platelet destruction, thereby avoiding the need for bone marrow aspiration
examination.
Aims: The IPF examination is a marker of thrombopoiesis activity on patients
with thrombocytopenia. This study was performed to establish reference range
of IPF on healthy adults in Jakarta and its cut-off values to distinguish
thrombocytopenia caused by production disturbance or destruction by using
Sysmex XE-5000 automated hematology analyzer.
Method: Cross-sectional study in thrombocytopenic patients. We have analyzed
IPF in 256 people who undergo medical check-up at MMC Hospital and 203
thrombocytopenia patients from RSCM and MMC Hospital.
Results: The reference range of adult IPF was 0.64-3.20%. The IPF cut-off to
distinguish thrombocytopenia caused by increasing thrombopoiesis activity or
thrombocytopenia with normal or low thrombopoiesis activity was 7.65% and its
sensitivity and specificity were 91% and 92% respectively.
Conclusions: We conclude that IPF can be used as thrombopoiesis activity
marker in thrombocytopenic patients; hence, it can distinguish the cause of
thrombocytopenia caused by platelet production disorder in the bone marrow or
peripheral destruction."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arleen N. Suryatenggara
"Infeksi yang disebabkan oleh methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) telah menyebabkan beban mortalitas dan morbiditas yang bermakna. Mengingat hal tersebut, sangat penting untuk dapat mendeteksi MRSA dengan cepat dan akurat. Saat ini deteksi MRSA dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu metode fenotipik dan genotipik. Pada penelitian ini, metode fenotipik dilakukan dengan uji kepekaan antibiotik menggunakan oksasilin dan sefoksitin, sementara metode genotipik dilakukan dengan polymerase chain reaction (PCR) gen nuc dan mecA. Gen nuc merupakan penanda genetik S. aureus, sedangkan gen mecA adalah gen yang mengkode penicillin-binding protein 2a (PBP2a). Protein ini memiliki afinitas rendah terhadap antibiotik β-laktam, sehingga menyebabkan resistensi terhadap antibiotik seperti metisilin, oksasilin, dan sefoksitin.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan metode fenotipik terhadap metode genotipik yang merupakan baku emas dalam mendeteksi MRSA. Sebanyak 136 isolat S. aureus diikutsertakan dalam penelitian ini. Dilakukan PCR untuk mengamplifikasi gen nuc dan mecA dengan hasil: 37 sampel terdeteksi sebagai MRSA (nuc+, mecA+), 96 sampel sebagai methicillinsensitive Staphylococcus aureus atau MSSA (nuc+, mecA-), and 3 sampel sebagai bukan S. aureus (nuc-). Persentase MRSA yang dideteksi dengan metode genotipik adalah sebesar 27,8%.
Deteksi MRSA dengan metode fenotipik dilakukan dengan uji kepekaan antibiotik menggunakan oksasilin dan sefoksitin. Tidak terdapat perbedaan hasil uji kepekaan antara kedua antibiotik tersebut. Secara keseluruhan, hasil deteksi MRSA dengan metode fenotipik konsisten dengan metode genotipik, dengan dideteksinya MRSA sebesar 27,8%. Hal tersebut mengartikan bahwa sensitivitas dan spesifisitas metode fenotipik terhadap metode genotipik adalah sebesar 100%.

Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) infection has caused significant morbidity and mortality burden. Therefore, detecting MRSA accurately as early as possible is very important. There are two methods used in detecting MRSA, which are phenotypic and genotypic methods. In this study, phenotypic method was done by antibiotic susceptibility test using oxacillin and cefoxitin, while genytopic method was carried out by amplifying nuc and mecA gene with polymerase chain reaction (PCR). Nuc gene is a genetic marker for S. aureus, and mecA gene is responsible in the coding of penicillin-binding protein 2a (PBP2a). This protein has a low affinity to β-lactam antibiotics, thus causing antibiotic resistance to the antibiotics, such as methicillin, oxacillin, and cefoxitin.
This study was aimed to compare phenotycipic method to genotypic method as the gold standard, to detect MRSA. There were 136 S. aureus isolates included in this study. PCR to amplify nuc and mecA gene was conducted with the results of the following: 37 samples detected as MRSA (nuc+, mecA+), 96 samples as methicillin-sensitive Staphylococcus aureus or MSSA (nuc+, mecA-), and 3 samples as non-S. aureus (nuc-). The percentage of MRSA detected by genotypic method was 27,8%.
The detection of MRSA through the phenotypic method was done by antibiotic susceptibility test using oxacillin and cefoxitin. Susceptibility test between these antibiotics showed no difference in result. In general, the result of phenotypic method was consistent to the results from the genotypic method, by detecting 27,8% MRSA. Therefore, the sensitivity and specificity of phenotypic method compared to the genotypic method were 100%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransisca Putri Tungga Dewi
"ABSTRAK
Secondary iron overload pada thalassemia mayor terjadi karena eritropoiesis inefektif dan tranfusi berkala. Besi melebihi transferin sehingga banyak non transferin bound iron NTBI yang mengkatalisasi terjadinya ion radikal bebas yang merusak jaringan. Pengendapan besi pada saluran cerna mengakibatkan perubahan fungsi, kerusakan organ, gangguan ketersediaan asam amino. Iron overload dikurangi dengan kelasi besi. Transferin merupakan kelator alami tubuh terdiri asam amino dominan alanin, leusin, glisin, asam aspartat. Berdasarkan penelitian, pasien iron overload memiliki transferin lebih rendah dibandingkan non iron overload. Penelitian bertujuan mengetahi perubahan status besi, profil asam amino dan hubungan iron overload dengan profil asam amino. Parameter yang diteliti : besi serum, unsaturated iron binding capacity UIBC , total iron binding capacity TIBC , feritin, saturasi transferin, indeks transferin, alanin, leusin, glisin, asam aspartat. Desain penelitian kohort dengan 21 subjek, yaitu 13 thalassemia beta mayor dan 8 thalassemia beta HbE. Hasil penelitian didapatkan perubahan status besi bermakna yaitu peningkatan feritin pasca transfusi, penurunan feritin pasca kelasi 1 bulan, peningkatan kadar besi pasca kelasi 3 bulan. Perubahan asam amino bermakna yaitu penurunan alanin, leusin, serta peningkatan glisin pasca kelasi 1 bulan Terdapat hubungan kuat, bermakna searah antara indeks transferin dan alanin pre transfusi. Terdapat hubungan kuat, bermakna, searah antara indeks transferin dengan alanin dan glisin pasca transfusi.

ABSTRACT
Secondary iron overload in thalassemia major occurs due to ineffective erythropoiesis and periodic transfusions. The excess of iron exceed transferrin so there are many non transferrin bound iron NTBI that induce tissue damaging free radical ion. Accumulation of iron in intestine can lead to changes in the function, organ damage, lack of amino acid availability. Iron overload can be reduced by iron chelation. Transferrin is the body 39 s natural chelator comprising of dominant amino acid alanine, leucine, glycine, aspartic acid. Research found that transferrin were lower in iron overload patients. This study aims to acquire the changes of iron status, amino acid profile, and correlation between iron overload and amino acid profile. Studied parameter were serum iron, unsaturated iron binding capacity UIBC , total iron binding capacity TIBC , ferritin, transferrin saturation, transferrin index, alanine, leucine, glycine, aspartic acid. The study design were cohort with 21 subjects consisted of 13 beta major thalassemia and 8 beta Hbe thalassemia. The result showed significant iron status changes ferritin increased post transfusion, ferritin decreased after 1 month chelation and serum iron increased after 3 months chelation. Significant amino acid profile changes decreased of alanine and leucine, and glycin increased after 1 month chelation. There rsquo s significant correlation between transferrin index and alanine pre transfusion. There rsquo s significant correlation between transferrin index and alanine, glycine after 3 month chelation. "
2017
T55642
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tuty Rizkianti
"ABSTRAK
Infeksi Intra abdominal masih merupakan masalah karena angka mortalitas yang tinggi. Tatalaksana menggunakan antibiotik empiris didasarkan pada profil bakteri dan antibiogram di suatu wilayah. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan profil bakteri dan antibiogram pada infeksi intra abdominal di RSUPN Cipto Mangunkusumo yang dapat digunakan sebagai dasar pemilihan antibiotika untuk tatalaksana infeksi intra abdominal. Parameter yang diteliti adalah bakteri yang paling sering didapatkan pada kultur cairan asites dan jaringan yang berasal dari intra abdomen pasien dengan diagnosis infeksi intra abdominal dan pola kepekaan bakteri tersebut terhadap antibiotik. Desain penelitian adalah potong lintang dengan 73 subjek. Pada penelitian ini didapatkan bakteri yang paling sering diisolasi pada kultur adalah E.coli dan K. Pneumoniae dengan sensitivitas baik pada antibiotik golongan Karbapenem Meropenem, Doripenem, dan Imipenem , Amikacin, Tigecycline, dan Vancomycin. Angka mortalitas didapatkan 31.5

ABSTRACT
Intra abdominal infections remains a problem due to its high mortality rate. The empirical antibiotic is based on region database of the bacteria profile and its sensitivity to antibiotic. This study aims to get a bacteria profile of intra abdominal infections and antibiogram in Cipto Mangunkusumo which is can be use as a basis for selecting an antibiotic for the treatment of intra abdominal infections. Studied parameters were bacteria most often found in ascites fluid and tissue cultures derived from patients with a diagnosis of intra abdominal infections and their sensitivity pattern to antibiotics. The study design was cross sectional with 73 subjects. In this study, the most frequently isolated bacteria cultures are E. coli and K. pneumoniae with good sensitivity to antibiotics Meropenem, Doripenem, Imipenem, Amikacin, Tigecyclin, and Vancomycin. The mortality rate was 31.5 ."
2017
T55609
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyuni Handayani
"Resistensi terhadap antibiotik merupakan masalah besar dunia, berdampak pada penatalaksanaan pasien lebih sulit, lamanya perawatan di rumah sakit, dan meningkatnya mortalitas. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui proporsi mortalitas pasien yang terinfeksi kuman MDR, XDR, dan panresisten, mengetahui jenis kuman penyebab MDR, XDR, dan panresisten, serta jenis spesimen apa saja ditemukan kuman MDR, XDR, dan panresisten pada pasien yang mengalami mortalitas. Data penelitian didapatkan dari hasil kultur dan resistensi pasien di Laboratorium Mikrobiologi RSUPNCM mulai Juli 2015, dan dicari data mortalitasnya pada rekam medik.
Pada penelitian ini didapatkan proporsi mortalitas pasien yang terinfeksi kuman MDR adalah 24.8, jenis kuman terbanyak pasien yang terinfeksi kuman MDR yang meninggal adalah Klebsiella pneumoniae, dan jenis spesimen terbanyak adalah sputum. Untuk kuman XDR didapatkan proporsi mortalitas 40.4, jenis kuman terbanyak pada pasien yang meninggal adalah Acinetobacter baumannii anitratus, dan spesimen terbanyak adalah sputum. Pada penelitian ini tidak didapatkan pasien yang terinfeksi kuman panresisten.

Resistance to antibbiotics is a major world problem, have an impact on patient management that more difficult, lenght of hospitalization, and increased mortality. This study aimed to determine the proportion of the mortality of patient infected by MDR, XDR, and panresistant bacteria, knowing the bacteria that cause MDR, XDR, an panresistant, as well as any type of specimen discovered MDR, XDR, and panresistant bacteria in patients with mortality. The data obtained from culture and resistante results patients in the Laboratory of Microbiology RSUPNCM began in July 2015, and requested the mortality data on medical records.
In this study, the proportion of the mortality of patients with MDR bacteria is 24.8, Klebsiella pneumoniae is the most type of bacteria in patients who died with MDR bacteria, and sputum is the most common specimen. The proportion of of the mortality of patients with XDR bacteria is 40.4, Acinetobacter baumannii anitratus is the most type of bacteria in patients who died with XDR bacteria, and sputum is the most common specimen. In this study, no patients get infected by panresistant bacteria.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55608
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kumaat, Connie Frances
"American Diabetes Association ADA dan World Health Organization WHO merekomendasikan kadar glukosa vena plasma untuk diagnosis diabetes. Perbedaan hasil pengukuran kadar glukosa serum dan plasma heparin belum diketahui kemaknaan klinisnya.
Penelitian bertujuan untuk membandingkan hasil pengukuran kadar glukosa menggunakan tabung dengan clot activator tanpa gel pemisah tabung II , tabung berisi litium heparin tanpa tabung III dan dengan tabung IV gel pemisah. Penelitian ini juga ingin mengetahui perbedaan kadar glukosa darah pada serum dari tabung dengan clot activator tanpa gel pemisah pengambilan pertama tabung I dan kedua tabung II.
Desain penelitian adalah potong lintang, menggunakan 100 subjek penelitian. Median kadar glukosa pada tabung I, II, III, dan IV berturut-turut sebesar 147,5 68 ndash; 593 mg/dL, 150,5 68 ndash; 603 mg/dL, 150,5 72 ndash; 612 mg/dL, dan 152 72 ndash; 605 mg/dL.
Berdasarkan analisis statistik, tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kadar glukosa pada tabung II, III, dan IV. Perbedaan kemaknaan klinis juga tidak ditemukan pada ketiga tabung tersebut karena dari uji ketepatan ISO 15197:2013 didapatkan penyimpangan berada dalam rentang 15 mg/dL untuk kadar glukosa.

American Diabetes Association ADA and World Health Organization WHO have recommended plasma glucose levels for the diagnosis of diabetes. Clinical significance of different results between serum glucose levels and heparin plasma glucose levels have not known yet.
This study aimed to compare the results of glucose measurements using tubes with clot activator without separator gel tube II, tubes containing lithium heparin without tube III and with tube IV separator gel. This study also wanted to find out the difference of blood glucose level in serum from tubes with clot activator without separator gel on first tube I and second tube II blood collection.
The study design was cross sectional, using 100 subjects. The median of glucose levels in tube I, II, III, and IV were 147,5 68 ndash 593 mg dL, 150,5 68 ndash 603 mg dL, 150,5 72 ndash 612 mg dL, and 152 72 ndash 605 mg dL, respectively.
Based on statistical analysis, there were no significant differences among glucose levels in tube II, III, and IV. Moreover, there were no clinical significance differences among them because according to ISO 15197 2013 accuracy test, the deviation was within 15 mg dL for glucose levels.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58571
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Wiradharma
"Pemeriksaan estradiol di laboratorium pusat RSUPNCM menggunakan serum. Walaupun pemeriksaan estradiol kurang memerlukan TAT yang cepat, namun seringkali pemeriksaan estradiol bersamaan pemeriksaan lain yang membutuhkan TAT cepat. Penggunaan plasma dapat menjadi alternatif karena TAT lebih cepat. Penelitian ini ingin mengetahui perbandingan kadar estradiol menggunakan serum dan plasma tanpa dan dengan gel pemisah serta melihat gambaran kadar estradiol pada laki-laki, perempuan pasca menopause dini, dan lanjut yang belum ada datanya di Indonesia. Pemeriksaan estradiol menggunakan alat Cobas c601 metode ECLIAs dari 60 subjek masing-masing ditampung dengan tiga tabung penampung berbeda, sampel serum dari tabung penampung dengan clot activator tabung I dan sampel plasma baik dari tabung penampung tanpa gel pemisah tabung II , dan dengan gel pemisah tabung III . Karakteristik kadar estradiol pada pria, wanita pasca menopause dini, dan lanjut disajikan secara deskriptif analitik. Median, nilai minimum ndash; maksimum, kadar estradiol tabung I 24,55 5 ndash; 472,60 pg/mL, tabung II 24,16 5 ndash; 468,60 pg/mL, tabung III 22,99 5- 438,8 pg/mL. Perbedaan kadar estradiol pada ketiga tabung penampung sampel didapatkan nilai p = 0,89. Pada penelitian ini kadar estradiol pada laki-laki memiliki median, nilai minimum-maksimum, 21,5 5 ndash; 40,33 pg/mL, perempuan pasca menopause dini dan lanjut masing-masing memiliki median 5 5 ndash; 191,7 pg/mL, dan 5 5 ndash; 34,8 pg/mL. Kesimpulan, tidak terdapat perbedaan bermakna kadar estradiol dari ketiga tabung penampung.

Examination of estradiol at central laboratory of RSUPNCM using serum. Although the examination of estradiol requires less rapid TAT, but often the examination of estradiol coincides with other tests requiring rapid TAT. The use of plasma can be an alternative because TAT is faster. This study wanted to know the comparison of estradiol levels using serum and plasma without and with gel separation and to see the estradiol content of male, early, and late post menopausal women who had no data in Indonesia. Examination of estradiol using the Cobas c601 method of ECLIAs of 60 subjects each was accommodated with three different tube containers, serum samples from the collecting tube with clot activator tube I and plasma samples from tubes without gel separator tube II , and with gel separator tube III . Characteristics of estradiol levels in men, early and late postmenopausal women presented in descriptive analytic. Median, maximum value maximum, tubular estradiol value I 24.55 5 472.60 pg mL, tube II 24.16 5 468.60 pg mL, tube III 22.99 5 438 , 8 pg mL. Differences of estradiol levels in the three sample container tubes obtained p value 0.89. In this study estradiol levels in males had median, maximum maximum values, 21.5 5 40.33 pg mL, early and late postmenopausal women had a median of 5 5 191.7 pg mL, and 5 5 34.8 pg mL respectively. In conclusion, there was no significant difference in estradiol levels from the three container tubes."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58570
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Novianingtyas
"Kanker kolorektal adalah salah satu kanker dengan prevalensi yang cukup tinggi di dunia. Kanker kolorektal terkait dengan reaksi inflamasi lokal akut dan dapat tergambarkan melalui neutrofil. Kalprotektin merupakan petanda spesifik yang stabil, dapat diperiksa pada sampel feses, mudah dan memiliki presisi yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui titik potong kadar kalprotektin fekal pada pasien terduga kanker kolorektal dan mengetahui peran diagnostik kalprotektin fekal dibandingkan dengan gambaran histopatologik sebagai baku emas. Desain penelitian adalah potong lintang dengan penyajian data secara deskriptif analitik. Penelitian melibatkan 84 pasien dewasa yang menjalankan kolonoskopi dan kadar kalprotektin fekal diperiksa menggunakan kit Calprest® Eurospital metode ELISA. Akurasi diagnostik kadar kalprotektin fekal berdasarkan analisis kurva ROC pada penelitian ini didapatkan sebesar 0,617 (95%CI: 0,483-0,75). Titik potong kadar kalprotektin fekal didapatkan 125 mg/kg dengan sensitivitas 60,71%, spesivisitas 60,71%, NPP 43,58% dan NPN 75,55%. Berdasarkan hasil uji diagnostik, kadar kalprotektin fekal dapat dipertimbangkan dalam penegakkan diagnosis pasien terduga kanker kolorektal sehingga pemeriksaannya dalam panel pemeriksaan pasien dengan terduga kanker kolorektal perlu dilakukan.

Cancer colorectal has high prevalence worldwide. Colorectal cancer is associated with local acute inflammatory reaction so that in some cases it can be visualized by white cell neutrophil scanning. Calportectine is a stable neutrophil specific marker which can be easily evaluated in stool with a high precision. This study aims to find out fecal calprotectine cut off on suspected colorectal cancer and to establish its diagnostic role with histopathologic findings as a gold standart. The study design was cross sectional with descriptive analytic data presentation. The study involved 84 adult patients who performed colonoscopy and fecal calprotectine consentration was examined with ELISA kit Calprest® Eurospital. Diagnostic accuracy of fecal calprotectine based on ROC curve analysis in this study was 0,617 (95% CI: 0,483-0,75). Cut off fecal calprotectine was 125 mg/kg with sensitivity 60,71%, spesivicity 60,71%, PPV 43,58% and NPV 75,55%. Based on diagnostic accuracy, fecal calprotectine was considered in diagnosting suspected colorectal cancer and that should be tested on the panel of suspected colorectal cancer.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57605
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stella Marsudidjaja
"Latar Belakang: Pre-eklampsia adalah suatu sindrom yang berhubungan dengan kehamilan yang disebabkan oleh kecacatan dalam pembaharuan arteri spiral dalam pembentukan jaringan plasenta. Sebagai hipotesis utama, telah diusulkan bahwa pre-eklampsia terjadi akibat iskemia seluler di placenta. Dimana, hal itu mengarah ke produksi spesies oksigen reaktif (ROS) yang dapat menganggu fungsi jaringan plasenta. Superoksida dismutase (SOD) merupakan salah satu mekanisme pertahanan yang melindung sistem vaskular placenta terhadap ROS.
Metode: Sebanyak 28 sampel jaringan plasenta (terdiri dari kehamilan normal, pre-eklampsia awal dan pre- eklampsia lambat) telah dihomogenisasi dan dipelajari untuk menguji aktivitas enzim SOD. Aktivitas spesifik SOD diukur dengan xanthine, xanthine oksidase (XOD) dan INT dimana aktivitas SOD dihitung melalui tingkat penghambatan atas reaksi superoksida (dihasilkan oleh substrat xanthine) dengan INT untuk membentuk warna formazan merah. Lalu, jumlah zat warna yang dihasilkan tersebut dihitung dengan spektrofotometri UV (505 nm).
Hasil: Rata-rata log aktivitas spesifik SOD untuk kehamilan normal, pre-eklampsia lambat dan pre-eklampsia awal masing-masing adalah 6.43 U/mg, 3.46 U/mg dan -0.18 U/mg. Analisis statistik juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara aktivitas SOD dalam onset pre-eklampsia (dini dan akhir) dan juga antara kedua onset pre-eklampsia dengan kehamilan normal.
Kesimpulan: Aktivitas SOD pada pre-eklampsia awal mempunyai nilai terendah diikuti oleh nilai aktivitas SOD pada pre-eklampsia lambat. Dengan demikian, jaringan plasenta dalam pre-eklampsia awal memiliki stres oksidatif tertinggi dibanding dengan dalam kehamilan normal dan pre-eklampsia lambat.

Background: Pre-eclampsia is a pregnant-related syndrome caused by a defect in spiral arterial remodeling in placenta formation. It has been proposed as central hypothesis that pre-eclampsia is a product of cellular ischemia in the placenta. Therefore, leading to production of Reactive Oxygen Species (ROS) which began the disruption of the placental function. Superoxide dismutase (SOD) is one of the defense mechanism that protect the placental vascular system against ROS.
Method: A total of 28 placenta tissue samples (consist of normal pregnancy, early pre-eclampsia and late pre- eclampsia) were homogenized and studied for SOD enzyme activity assay. The specific activity of SOD was measured by xanthine, xanthine oxidase (XOD) and INT as the SOD activity is calculated by degree of inhibition of reaction of generated superoxide (produced by xanthine substrate) with INT to form red formazan dye. In which, the amount of dye is calculated by spectrophotometry UV (505 nm).
Result: The average log of specific activity of SOD is 6.43 U/mg, 3.46 U/mg and -0.18 U/mg for normotensive pregnancy, late pre-eclampsia and early pre-eclampsia respectively. The statistical analysis also revealed that there is significant difference between SOD activities of onset of pre-eclampsia (early and late) and also between both onset of pre-eclampsia with normal pregnancy (p<0,05).
Conclusion: SOD activity in early pre-eclampsia has the lowest value, seconded by late pre-eclampsia. Thus, placenta of early pre-eclampsia has the highest oxidative stress compare to in normal pregnancy and in late pre- eclampsia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifqha Aulina
"Latar belakang: Preeklampsia mengakibatkan 225 kematian dari 100.000 kelahiran di Indonesia. Salah satu teori terjadinya preeklampsia adalah peningkatan antioksidan yang tidak adekuat, contohnya glutation peroksidase GPx , untuk mengimbangi peningkatan stres oksidatif yang terjadi selama kehamilan. GPx adalah antioksidan enzimatik yang mengubah peroksida menjadi tidak berbahaya, sehingga mengurangi stres oksidatif. Beberapa penelitian yang menyelidiki GPx menghasilkan hasil yang bertentangan, dan belum ada yang dilakukan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan aktivitas spesifik GPx pada kehamilan normal, preeklampsia onset awal, dan preeklampsia onset akhir.
Metode: Studi ini adalah penelitian observasional dengan menggunakan desain potong lintang komparatif. Jaringan plasenta diperoleh dari Rumah Sakit Ibu dan Anak Budi Kemuliaan dan RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2015. Aktivitas umum U/mL GPx diukur dengan menggunakan GPx Randox Ransel Kit berdasarkan metode Paglia dan Valentine, yang kemudian dibagi dengan determinan protein mg/mL untuk mendapatkan aktivitas spesifik U/mg . Data kemudian dianalisis dengan menggunakan SPSS 20 dengan uji Kruskal-Wallis.
Hasil: Kehamilan normal memiliki aktivitas spesifik tertinggi 8.562 3.93320.00 , diikuti oleh preeklamsia onset akhir 6.655 2.646-32.93 dan preeklampsia onset dini 6.328 5.873-13.17. Namun, perbedaan ini tidak signifikan menurut uji Kruskal-Wallis p = 0,399.
Kesimpulan: Tidak ada perbedaan yang signifikan antara aktivitas spesifik GPx antara kehamilan normal, preeklampsia onset awal, dan preeklampsia onset akhir.

Background: Preeclampsia is responsible for the mortality rate of 225 out of 100,000 deliveries in Indonesia. It is theorized that preeclampsia is caused by inadequate increase of antioxidant, one of which is glutathione peroxidase GPx, to compensate with increasing oxidative stress during pregnancy. GPx is an enzymatic antioxidant which converts peroxides to its harmless counterparts, thus limiting oxidative stress. Several studies investigating GPx produced conflicting results, and none of them were done in Indonesia. This study aimed to compare GPx specific activity in normal pregnancy, early onset, and late onset preeclampsia.
Methods: This was an observational study using comparative cross sectional design. The placental tissues were obtained from Budi Kemuliaan Hospital and Cipto Mangunkusumo Hospital in 2015. General activity U mL was measured using GPx Randox Ransel Kit based on Paglia and Valentine method, which was then divided by protein determinant mg ml to find out the specific activity U mg. The data was then analyzed using SPSS 20 with Kruskal Wallis test.
Results: Normal pregnancy had the highest specific activity 8.562 3.93320.00, followed by late onset preeclampsia 6.655 2.646 32.93 and earlyonset preeclampsia 6.328 5.873 13.17 . However, these differences were ruled insignificant using Kruskal Wallis test p 0.399 .
Conclusion There was no significant difference of GPx specific activity between normal pregnancy, early onset preeclampsia, and late onset preeclampsia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>