Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 26 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Lestari
Abstrak :
Obesitas dan asma maih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia. Meningkatnya prevalensi obesitas seiring dengan meningkatnya prevalensi asma, yang dapat mengganggu produktivitas dan menurunkan kualitas hidup penderita. Asma pada orang dewasa sering mengakibatkan perburukan pada prognosisnya yang disebabkan penurunan fungsi paru yang cepat. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan obesitas dengan asma pada penduduk dewasa umur 40 - 65 tahun di kelurahan Kebon Kalapa Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor tahun 2011, menggunakan data sekunder baseline data studi kohort PTM - Kementerian Kesehatan tahun 2011, dengan jumlah sampel 960 orang dan desain studi cross sectional. Pada analisis multivariat dengan cox regression menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara obesitas dengan asma setelah dikontrol dengan variabel umur, tingkat pendidikan, dan status merokok, dengan nilai PR sebesar 0,674 (95% CI 0,387 - 1,174). Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai obesitas dan asma dengan jumlah sampel yang lebih besar, menggunakan kelompok umur yang lebih muda dan disain studi yang lebih baik. ......Obesity and asthma reains a public health problem in the world. The increasing prevalence of obesity concomitant with increasing prevalence of asthma, which my interfere with productivity and lower the quality of life of patients. Asthma in adults often results in worsening the prognosis caused a rapid decline in lung function. This study aims to determmine the relationship of obesity with asthma in adults people aged 40 - 65 years at Kebon Kalapa Village, District of Central Bogor - Bogor City in 2011, using secondary baseline data NCD cohort study from Ministry of Health in 2011, with sample of 960 people's and a cros sectional desig study. In multivariate anaysis with cox regression showed no significant association between obesity and asthma after controlled with variabel aged, education level and smoking (PR = 0,674; 95% CI 0,387 - 1,174). for further need a research on obesity and asthma with a larger number of samples, younger age groups and a better design study.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nida Amalina
Abstrak :
ABSTRAK
Meningkatnya penduduk lansia mengakibatkan penaikan pada UHH dari 70,2 tahun menjadi 72 tahun di tahun 2014 .Berdasarkan Hasil Susenas tahun 2012 jumlah lansia yang bergantung dengan orang lain sebesar 934505 jiwa sedangkan di Kota Depok sebesar 15.369 jiwa. Tujuan Penelitian ini adalah untuk menilai dan mengetahui faktor faktor ysng mempengaruhi kemandirian lansia di Posbindu Kota Depok tahun 2012.Penelitian ini menggunakan data sekunder dari laporan bulanan kegiatan pelayanan lansia di Posbindu pada bulan desember tahun 2012.Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain ekologi . Prevalensi lansia yang mandiri sebesar 99%, prevaleni hipertensi sebesar 16 %, prevalensi obesitas sebesar 13,1%, prevalensi gangguan mental sebesar 9% dan prevalensi lansia yang mengikuti penyuluhan sebesar 27,5%.Tidak ada hubungan yang signifikan antara prevalensi mandiri dengan prevalensi hipertensi,gangguan mental,obesitas dan penyuluhan.
ABSTRACT
The increasing elderly population resulting in the increase of the life expectancy of 70.2 years to 72 years in 2014. Based on the results Susenas in 2012 the number of elderly who depend on others for life 934 505 while in Depok for 15 369 inhabitants. The purpose of this study was to assess and determine the factors affecting the independence of the elderly arrives in Depok Posbindu 2012.This research using secondary data from the monthly reports of activities at Posbindu elderly services in December 2012.Yhis research using ecological design. The prevalence of independent elderly at 99%, 16% prevalence hypertension, obesity prevalence of 13.1%, the prevalence of mental disorders was 9% and the prevalence of elderly who followed the extension of 27.5%. There was no significant association between the prevalence of self-prevalence hypertension, mental disorders, obesity, and counseling.
Universitas Indonesia, 2014
S53661
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Ika Putri
Abstrak :
ABSTRAK
Stroke tercatat sebagai penyebab kematian kedua tertinggi pada usia 45-54 tahun di wilayah perdesaan Indonesia. Stroke merupakan penyakit gangguan fungsi otak akibat kelainan vaskuler yang bersifat multikausal. Penelitian ini bertujuan mengetahui frekuensi dan determinan kejadian stroke berdasarkan faktor risikonya pada penderita hipertensi berusia ≥ 45 tahun di wilayah perdesaan Indonesia. Penelitian ini merupakan analisis lanjut dari data Riskesdas 2013 yang menggunakan desain studi cross-sectional. Sampel dari penelitian ini adalah penderita hipertensi yang berusia ≥ 45 tahun, dan tinggal di wilayah perdesaan. Hasil penelitian ini menunjukkan, prevalensi stroke pada penderita hipertensi dewasa di perdesaan adalah sebesar 5,3%. Prevalensi stroke tertinggi ditemukan di provinsi Maluku Utara (7,2%) dan terendah di provinsi Papua (1,7%). Pada variabel yang diteliti, jenis kelamin, stress, aktivitas fisik, konsumsi obat anti-hipertensi, perilaku merokok dan tingkat pendidikan memiliki hubungan bermakna terhadap kejadian stroke pada penderita hipertensi dewasa (≥ 45 tahun) di wilayah perdesaan Indonesia.
ABSTRACT
Stroke was recorded as the second-highest mortality cause at the age of 45- 54 years in rural areas of Indonesia. Stroke is multicausal brain function disorder due to vascular abnormalities. This study aimed to determine the frequency and determinants of stroke based on risk factors in hypertensive patients aged ≥ 45 years in rural areas of Indonesia. This study is a further analysis of the Riskesdas 2013 data which used cross-sectional study design. The sample of this study is hypertensive patients who aged ≥ 45 years old and lived in rural areas. The results of this study showed that the prevalence of stroke in adult hypertensive patients in rural areas amounted to 5.3%. The highest prevalence of stroke was found in North Maluku province (7.2%) and the lowest in Papua province (1.7%). In the studied variables, gender, stress, physical activity, consumption of anti-hypertensive drugs, smoking and education have relation to the prevalence of stroke in adult hypertensive patients (≥ 45 years) in rural areas of Indonesia.
2015
S57339
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Helda
Abstrak :
ABSTRAK
Penyakit jantung koroner merupakan penyakit kronis yang menjadi penyebab utama kematian dan kesakitan di dunia. Prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia berdasarkan diagnosis dokter sebesar 0,5. Sedangkan berdasarkan diagnosis dokter dan gejala, prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia sebesar 1,5. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor risiko yang berhubungan dengan prevalensi penyakit jantung koroner menurut provinsi di Indonesia berdasarkan data agregat Riskesdas 2013, yang dikombinasikan dengan data BPS dan Profil Kesehatan Indonesia di tahun yang sama dengan studi korelasi. Hasil penelitian didapatkan bahwa faktor yang berkorelasi dengan prevalensi penyakit jantung koroner antara lain: tingkat pengangguran terbuka, status ekonomi kuintil indeks kepemilikan terbawah, konsumsi makanan berlemak lebih dari 1 kali/hari, proporsi mantan perokok, prevalensi gangguan mental, prevalensi hipertensi, dan prevalensi diabetes melitus.
ABSTRACT
Coronary heart disease is chronic disease as major cause of deaths and morbidities in the world. Prevalence of CHD in Indonesia as doctor diagnose is 0,5. Since, as dctor diagnose and symptom, prevalence of CHD in Indonesia is 1,5. The purpose of this study is to analyze related risk factors with prevalence of CHD within Indonesia Provinces based aggregate data from Basic Health Research 2013, combine statistic data from BPS and Health Profile of Indonesia at the same year using ecology study. Result shows that correlated factor of CHD prevalence are: unemployed rate, lowest social economy quintil possessed, fat consumption more than once a day, ex-smoker proportion, prevalence of mental disorder, hypertension prevalence, and diabetes mellitus prevalence.
2015
S58818
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Pratiwi
Abstrak :
Penyakit kardiovaskular adalah penyebab nomor satu kematian akibat PTM, menurut WHO pada tahun 2015 kematian akibat penyakit kardiovaskular mewakili 31 17 juta dari total semua kematian secara global dan 7,4 juta diantaranya disebabkan oleh PJK. Di Indonesia, peningkatan angka kesakitan dan kematian akibat PTM mendapat sumbangsih terbesar dari penyakit kardiovaskular, dimana PJK adalah penyakit kardiovaskular yang memiliki angka kejadian tertinggi. PJK disebabkan oleh faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi. Angka kejadian PJK dapat dikendalikan apabila faktor risiko dapat terkendali, mengingat terdapat faktor risiko dari PJK yang dapat dimodifikasi atau dikendalikan kondisinya. DKI Jakarta menjadi daerah kedua tertinggi dengan kejadian PJK di Indonesia. Namun, hubungan antara faktor-faktor risiko yang dapat dimodifikasi dengan kejadian PJK serta faktor risiko yang paling dominan diantaranya masih belum diketahui di DKI Jakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan antara beberapa faktor risiko yang dapat dimodifikasi dengan kejadian PJK di DKI Jakarta serta menelusuri faktor risiko yang paling berhubungan dominan dari kejadian PJK tersebut dengan melakukan analisa lanjutan data Posbindu PTM tahun 2015-2018. Desain penelitian menggunakan desain cross sectional dan analisa dilakukan sampai tahap analisa multivariat menggunakan uji regresi logistik. Dari 30.459 responden usia ge;15 tahun diperoleh prevalensi PJK sebesar 3,4 . Perilaku merokok p value= 0,000; OR= 6,53 95 CI 4,826 ndash; 8,838, kurang aktivitas fisik p value= 0,045; OR= 0,745 95 CI 0,558 ndash; 0,993, konsumsi alkohol p value= 0,000; OR= 3057,076 95 CI 1786,92 ndash; 5230,06, diabetes melitus p value= 0,000; OR= 0,161 95 CI 0,161-0,508, dan hipertensi p value= 0,000; OR= 0,284 95 CI 0,284-0,526 menjadi faktor yang memiliki hubungan signifikan dengan kejadian PJK. Faktor risiko dominan dari kejadian PJK di DKI Jakarta adalah konsumsi alkohol. Upaya promotif dan preventif diharapkan lebih digencarkan guna menekan angka kejadian PJK serta perlu adanya survey lebih lanjut terkait konsumsi alkohol masyarakat mengingat konsumsi alkohol menjadi faktor dominan pada penelitian ini dan menurut literatur pengaruhnya memang besar terhadap kerusakan fungsi jantung. ......Cardiovascular disease is the number one cause of death from NCD, according to WHO in 2015 deaths from cardiovascular disease represent 31 17 million of total all deaths globally and 7.4 million are caused by CHD. In Indonesia, the increase in morbidity and mortality due to NCD has the greatest contribution from cardiovascular disease, where CHD is the highest prevalence of cardiovascular disease. CHD is caused by modifiable risk factors and unmodifiable risk factors. The prevalence of CHD can be controlled if risk factors can be controlled, considering there are risk factors from CHD that can be modified. DKI Jakarta becomes the second highest area with the prevalence of CHD in Indonesia. However, the relation between modifiable risk factors and CHD and the most dominant risk factors among them remains unknown in DKI Jakarta. The aim of this study is to know how the relation between some risk factors that can be modified with CHD in DKI Jakarta and find the most dominant risk factor associated with PJK by doing further analysis of data Posbindu PTM 2015 2018. This study used cross sectional design and the analysis was done until multivariate analysis stage using logistic regression test. From 30.459 respondents aged ge 15 years, the prevalence of CHD was 3.4. Smoking behavior p value 0,000 OR 6,53 95 CI 4,826 ndash 8,838 , physical inactivity p value 0,045 OR 0,745 95 CI 0,558 ndash 0,993, alcohol consumption p value 0,000 OR 3057,076 95 CI 1786,92-5230,06, diabetes mellitus, value 0,000 OR 0,161 95 CI 0,161 ndash 0,508, and hypertension p value 0,000 OR 0,284 95 CI 0,284 ndash 0,526 are factors that have significant relations with CHD. The dominant risk factor of CHD in DKI Jakarta is alcohol consumption. Promotive and preventive efforts are expected to be intensified in order to reduce the incidence of CHD and the need for further surveys related to alcohol consumption because alcohol consumption is the dominant factor in this study and according to the literature it has great effect on heart function damage.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Gaffar
Abstrak :
Penyakit Tuberkulosis Paru (TB Paru) sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Hasil SKRT tahun 1995 menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua golongan umur dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Diperkirakan 450.000' kasus baru tuberkulosis setiap tahun, dimana 1/3 penduduk terdapat disekitar Puskesmas, 1/3 lagi ditemukan pada pelayanan Rumah Sakit/Klinik Pemerintah dan Swasta, praktek swasta dan sisanya belum terjangkau unit pelayanan kesehatan dengan kematian diperkirakan 175.000 setiap tahun. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai perilaku pencarian pertolongan pengobatan tersangka penderita TB Paru di wilayah kecamatan Banggai kabupaten Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah. Penelitian ini dilakukan pada semua desa (20 desa) dalam wilayah kecamatan Banggai kabupaten Banggai Kepulauan dari bulan Maret 2000 sampai dengan April 2000. Penelitian ini menggunakan metode disain Cross Sectional . Sampel adalah seluruh tersangka penderita TB Paru yang ditemukan melalui skrining sebanyak 435 penderita. Pada tersangka penderita TB Paru dilakukan wawancara melalui kuesioner untuk mengetahui kemungkinan beberapa faktor yang berhubungan dengan perilaku pencarian pertolongan pengobatan tersangka penderita TB Paru. Hasil yang diperoleh yaitu tindakan pertama perilaku pencarian pertolongan pengobatan tersangka penderita TB Paru 73,33 % ke fasilitas pelayanan pengobatan moderen (swasta dan pemerintah), 26,67 % ke fasilitas pelayanan tidak moderen (tidak berobat, mengobati sendiri dan pengobatan tradisional). Faktor persepsi akibat, persepsi kegawatan dan tingkat pendidikan berhubungan dengan perilaku pencarian pertolongan pengobatan tersangka penderita TB Paru di wilayah kecamatan Banggai kabupaten Banggai Kepulauan. Selanjutnya yang dapat disarankan adalah penyuluhan tentang TB Paru (gejala-gejala, cara penularan, akibat yang dapat ditimbulkan dan pengobatan) di masyarakat perlu ditingkatkan, juga dalam pelaksanaan program P2 TB Paru selain fasilitas pelayanan pemerintah juga perlu melibatkan fasilitas pelayanan swasta (dokter praktek swasta dan Paramedis/Bidan praktek swasta).
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T2090
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Rozali Namursa
Abstrak :
ABSTRAK
Penyakit Tuberkulosis Paru (TB Para) sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Kunci utama dalam pemberantasan penyakit ini adalah keteraturan berobat penderita. Oleh karena itu perlu diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan keteraturan berobat penderita TB Paru.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni dan Juli tahun 2000. Disain penelitian adalah cross sectional. Populasi penelitian adalah penderita yang mulai berobat di BP4 kota Palembang selama bulan Januari - Desember 2000 dan di diagnose sebagai penderita TB Paru. Sample diambil secara purposif berjumlah 221 orang, merupakan seluruh penderita yang berobat di BP4 kola Palembang pada bulan Januari - Desember 1999 dan di diagnose sebagai penderita TB Paru.

Dari 221 responden dalam penelitian, 35% diantarannya tidak teratur minum obat. Hasil analisis bivariat terhadap 14 variabel bebas dengan variabel terikat, menghasilkan 5 variabel yang mempunyai hubungan bermakna (p<0,05) dengan keteraturan berobat, yaitu : sikap pengobat Odds Rasio = 1,987 (95% CI 1.112 - 3.549), jarak ke tempat pengobatan Odds Rasio = 2,171 (95% CI 1.173 - 4.017), persepsi tentang TB Paru Odds Rasio = 3,125 (95% CI 1.138 -- 8.581), manfaat berobat teratur Odds Rasio = 3,648 (95% CI 1.870 - 7.115) dan biaya pengobatan Odds Rasio = 2,754 (95% CI 1.542 - 4.919).

Hasil analisis multivariate dengan menggunakan regresi logistik metode Backward Stepwise dari 5 variabel bebas yang berhubungan bermakna pada analisis bivariat, ternyata hanya 2 variabel yang mempunyai hubungan bermakna (p<0,05) dengan keteraturan berobat,yaitu" biaya pengobatan Odds Rasio 2,2605 (95% CI 1.2370 - 4.1310) dan manfaat berobat teratur Odds Rasio = 2,9716 (95% CI 1.4900 - 5.9267).

Disarankan perlu penyuluhan tentang manfaat berobat teratur bagi penderita TB Paru dan penelitian lebih lanjut mengenai pembiayaan pengobatan TB Paru. Daftar Pustaka 44 : (1974 - 2000).

abstract
Pulmonary Tuberculosis has been a serious public health problem among people in the developing countries as well as Indonesia. The primary key to eliminating this disease is the regularity of taking medicine (compliance).

This research aimed to discover the factors related to the regularity of taking medicine among Pulmonary Tuberculosis patients who were undergoing treatment at Lung Clinic or BP4 Palembang from January through December 1999. The research was done in June and July 2000 with cross sectional method. The population was all patients under treatment of Pulmonary Tuberculosis in January through December 2000. The sample was taken purposively as many as 221 people.

Multivariate analysis shows that patients (33.5%) are irregularity taking medicine. Bivariate analysis towards 14 independent variables with dependent variables indicates 5 variables which have significantly relationship (p<0.05) with the regularity of taking medicine, that is : the attitude of provider Odds ratio = 1.987 (95% CI 1.112 - 3.549), the distance to the medical facility Odds ratio = 2.171 (95% CI 1.173 - 4.017), the perception about Pulmonary Tuberculosis Odds ratio = 3.125 (95% CI 1.138 - 8.581), the effectiveness of the regularity of taking medicine Odds ratio = 3.648 (95% CI 1.870 - 7.115) and medical cost Odds ratio = 2.754 (95% CI 1.542 - 4.919).

The multivariate analysis, using logistic regression of Backward Stepwise method, towards 5 independent variables having significant relationship (p<0.05) with the regularity of taking medicine, both are the medical treatment cost Odds ratio = 2.2605 (95% CI 1.2370 - 4.1310) and the effectiveness of the regularity of taking medicine Odds ratio .- 2.9716 (95% CI 1.4900 -5.9267).

The conclusion is that the factor of the regularity of taking medicine among patients of Pulmonary Tuberculosis is strongly influenced by the factor of the effectiveness of the regularity of taking medicine.

It is necessary to recommend more information about the effectiveness of the regularity of taking medicine to the patients of Pulmonary Tuberculosis as well as further research action, to get more knowledge about how strong the influence of medical cost is.

1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wirdani
Abstrak :
Pemerintah telah menyediakan paduan obat yang efektif untuk membunuh kuman tuberkulosis dalam waktu yang relatif singkat, sekitar enam bulan secara cuma-cuma dengan penerapan Pengawas Menelan Obat (PMO) atau strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS). Di Kabupaten Pandeglang penemuan kasus meningkat dari tahun 1999 sampai tahun 2000, namun angka konversi masih rendah dimana angka konversi tahun 1999 baru 48% dan tahun 2000 adalah 54,5%. Ketidakteraturan minum obat merupakan salah satu penyebab kegagalan program penanggulangan TB Paru. Semenjak tahun 1995 Program Penanggulangan TB Paru strategi DOTS yang salah satu komponennya PMO di Kabupaten Pandeglang sudah diterapkan. Namun hubungan keberadaan PMO dengan keteraturan minum obat penderita TB Paru terutama fase intensif belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan keberadaan PMO dengan keteraturan minum obat fase intensif penderita TB Paru di Puskesmas Kabupaten Pandeglang tahun 2000. Rancangan penelitian adalah kasus kontrol dengan perbandingan jumlah kasus dan kontrol 1 : 2. Jumlah sampel keseluruhan adalah 213 prang, yang terdiri dari 71 kasus dan 142 kontrol. Sampel adalah penderita TB Paru yang berumur 15 tahun atau lebih yang mendapat terapi strategi DOTS kategori 1 atau kategori 3 yang berobat ke puskesmas sejak 1 Januari 2000 sampai 31 Desember 2000 dan telah menyelesaikan pengobatan fase intensif. Kasus adalah sampel yang tidak teratur minum obat dihitung dari tanggal mulai minum obat sampai tanggal selesai minum obat fase intensif dimana penderita minum obat kurang dari 60 hari atau lebih dari 70 hari termasuk penderita putus obat, sedangkan kontrol adalah sampel yang minum obat teratur selama 60 - 70 hari pada fase intensif. Hasil penelitian, variabel yang berhubungan dengan keteraturan minum obat secara bermakna adalah keberadan PMO di mana penderita tanpa PMO berisiko tidak teratur minum obat 2,13 kali dibanding ada PMO, penderita yang merasakan efek samping obat berisiko 3,93 kali tidak teratur dibanding penderita tanpa efek samping, dan penderita tidak mengerti penyuluhan berisiko 4,27 kali tidak teratur dibanding penderita mengerti penyuluhan secara bersama-sama, sedangkan yang tidak bermakna adalah umur, jenis kelamin, pendidikan, jenis kategori obat dan frekuensi penyuluhan. Disimpulkan bahwa tidak ada PMO (OR:2,13 ; 95%CI:1,00-4,53), ada efek samping obat (OR:3,93 ; 95%CI:2,00-6,82), dan tidak mengerti penyuluhan (OR:4,27 ;95%CI:2,05-8,93) bersama-sama berhubungan secara bermakna dengan ketidakteraturan minum obat (p<0,05) di Puskesmas Kabupaten Pandeglang tahun 2000. Disarankan keberadaan PMO masih sangat diperlukan. Disamping itu perlu penyuluhan yang sederhana sesuai bahasa dan tingkat pendidikan penderita yang sebagian besar rendah agar bisa dimengerti serta perlu waktu khusus untuk konseling. Selain itu perlu penanganan yang serius terhadap efek samping yang dirasakan penderita untuk meningkatkan keteraturan minum obat penderita TB Paru. ...... The Relationship between Treatment Observer with the Regulate Took Medicine, Intensive Phase for Lung Tuberculosis Sufferer in Community Health Center, Pandeglang Distric, 2000The Government has provided the effective drug manual to kill bacteria of tuberculosis within a short time, nearly six months given to them free of charged by using application of Treatment Observer as Directly Observed Treatment Short course (DOTS) strategy. In Pandeglang district the case findings increased from 1999 to 2000, however, the conversion rate were still low, where the conversion rate in 1999 were just 48% and in 2000 were 54,5%. Irregular of drug swallow was as one of the failures of The Lung Tuberculosis Programs. Since 1995 the program on overcame the Lung Tuberculosis used DOTS strategy which one of the components was Application of the Treatment Observer, it has been applied in Pandeglang District. However, the availability of it in giving the revision of obedience took the medicine for sufferers of Lung Tuberculosis especially to intensive phase have unknown yet. The Objective of study knew the relationship between the availability of the Treatment Observer with regulate took the medicine for Lung Tuberculosis intensive phase in Community Health Center, Pandeglang District in 2000. The Design of study is case-control with the comparison that the cases amount and control 1:2. Total sample were 213, which total cases 71 and total control 142. The sample were the Lung Tuberculosis sufferers whose 15 years old or greater that obtained the therapy DOTS strategy, category one or three that took treatment to Community Health Center since January 1st - December 31st, 2000 and finished the treatment of intensive phase. Case was the sample who irregular took medicine, it calculated from the date of starting took the medicine from 60 days or more than 70 days, it was including the dropped out sufferer, while the control was the sample who took medicine regularly during 60-70 days on intensive phase. The result of this research, the variable that related to regulate in taking medicine significantly were the availability of treatment observer which wasn't the treatment observer have 2.13 times risk for irregular took medicine than was the treatment observer, side effect of medicine which was side effect of the drug have 3.93 times risk for irregular took medicine than wasn't side effect of the drug, and illumination which didn't know the illumination have 4.27 times risk for irregular took medicine than knew the illumination, while that insignificantly were age, sex, education, kind of drug category and the frequency of illumination. The conclusion, that there wasn't the treatment observer (OR:2.13 ; 95%CI: 1.00-4.53), there was side effect of the drug (OR:3.93 ; 95%CI: 2.00-6.82), and didn't know the illumination (OR:4.27 ; 95%CI:2.05-8.93). They were together connecting significantly to irregular took the medicine (P<0.05) in Community Health Center, Pandeglang District, 2000. Considering, it's suggested that the availability of treatment observer is still needed. It also needs simply illumination that appropriates to language and education level of the sufferers who mostly lower education can easily understand the message. Besides those mentioned above, it needed management seriously to the side effect that felt by the sufferers to increase there regulate to take the medicine.
Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T10009
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Par`i, Holil M
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian obat cacing terhadap perubahan status gizi pada anak sekolah dasar. Variabel yang diteliti meliputi status gizi awal dan akhir, status kecacingan awal dan akhir, variabel lain yang diteliti (konfounding) adalah pendapatan orang tua anak, tingkat pendidikan ibu, pola makan anak, tingkat kebersihan anak dan jenis kelamin. Jenis penelitian adalah pre experimental one group pre post test (perlakuan ulang), memberikan perlakuan berupa pemberian obat cacing kepada anak SD. Pengambilan sampel sekolah dilakukan dengan cara purposive, yaitu diambil SD III Pasir Kaliki kecamatan Cimahi Utara, kabuapten Bandung. Sedangkan sampel penelitian diambil dari semua murid kelas II sampai dengan kelas VI. Pengumpulan data dilakukan melalui pengisian kuesioner, pengukuran berat dan tinggi badan anak, pengamatan keadaan kuku, pengambilan dan pemeriksaan feces anak pada laboratorium, serta catatan yang ada. Analisa statistik dilakukan dengan uji Chi Square test, untuk melihat hubungan antara variabel konfounding dengan status gizi dan status kecacingan anak. Uji Mc Nemar dilakukan untuk melihat perbedaan data status gizi clan status kecacingan anak sebelum dan sesudah mendapat intervensi. Disamping itu uji Mc Nemar dilakukan untuk melihat perbedaan data status gizi sebelum dan sesudah mendapat intervensi pada setiap variabel konfounding (analisa stratifikasi). Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara status gizi dan status kecacingan dengan tingkat pendapatan orang tua anak Hal ini menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat pendapatan orang tua, semakin rendah status gizi anak dan semakin mungkin anak untuk menderita kecacingan. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna status gizi anak sebelum dan sesudah mendapat obat cacing, tetapi terdapat kecenderungan bahwa status gizi anak setelah mendapat obat cacing lebih baik dari pada status gizi anak sebelum mendapat obat cacing. Dan setelah dikontrol dengan keadaan status gizi anak pada awal penelitian, temyata pemberian obat cacing kepada anak yang menderita gizi kurang dan buruk, menunjukkan perbedaan yang bermakna. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian obat cacing kepada anak yang berstatus gizi kurang dan buruk, akan memberikan pengaruh pada perbaikan status gizi yang lebih nyata. Untuk memperbaiki status gizi terutama pada anak SD, pemberian obat cacing akan memberikan hasil yang nyata jika diberikan kepada anak yang menderita gizi kurang dan buruk. Oleh karena itu program pemberantasan kecacingan pada anak SD yang sudah dilakukan, walupun tidak rutin harus lebih ditingkatkan lagi, dan pemberian obat cacing terutama diprioritaskan kepada anak yang menderita gizi kurang dan gizi buruk.
The objectives of the study are to find out the effect of deworming on nutritional status of schoolchildren. Nutritional status and intestinal worm infection is the height problem in schoolchildren in Indonesia. From the last study find that have the relationship between nutritional status and intestinal worm infection, so that problem must be attention seriously. Nutritional status after intervention was dependent variable while the confounding variables were nutritional status before intervention, intestinal worm infection, in come parents per 'month, degree of mother's study, habits eating, hygiene personal and sex. Study design was a pre experimental one group pre post test, which treatment Albendazole on schoolchildren as intervention. School sampling was conducted purposively that SD III Pasir Kaliki north Cimahi Bandung. Where are sample size all of student levels II to VI. Data collecting was conducted by interview, weight and height measurement, stool examination and available record. Statistical analysis was done by Chi Square test, to asses relationships between confounding variables with nutritional status and intestinal worm infection. Mc Nemar test was done to asses different nutritional status and intestinal worm infection before and after intervention on every confounding variables as stratification analysis. The result of the study was there is a relationship between nutritional status and intestinal worm infection with income parents per month. This find show that the lower income parents per month, is lower nutritional status and more high intestinal worm infections. There no significant difference between nutritional status before and after intervention, but the nutritional status after intervention was more high that before. However, after controlling for confounding factors, there was significant difference between before and after intervention on malnutrition mild and high intervention. For improvement nutritional status on schoolchildren, intervention for deworning on malnutrition mild and hight can be more effectiveness. Therefore, program deworming on schoolchildren will be more improve , and intervention must be on mild and hight malnutrition.
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Indira Puspasari M.
Abstrak :
Perkembangan dibidang perumahsakitan di Indonesia akhir-akhir ini menunjukan bahwa masih banyak kendala yang harus dihadapi oleh rumah sakit, baik dalam hal tenaga, biaya dan fasilitas disamping pemanfaatan yang belum memenuhi harapan, karena hambatan ekonomi masyarakat. Dalam kaitan dengan efisiensi rumah sakit, rata-rata lama hari rawat merupakan suatu hal yang perlu mendapat perhatian, karena merupakan salah satu unsur dari rangkaian parameter yang dipakai dalam menilai efisiensi dari pengelolaan rumah sakit. Lama hari rawat untuk jenis penyakit tertentu pada bagian anak RSU Bhakti Yudha terlihat lebih singkat dari standar perawatan. Pada bulan Nopember 1992 - Januari 1993, dari sejumlah 99 anak yang dirawat inap ternyata lama hari rawat tidak sesuai standar sebanyak 63 orang. Jenis penyakitnya adalah sebagai berikut : untuk jenis penyakit gastroenteritis sebanyak 18 orang, untuk jenis penyakit bronkhopneumonia sebanyak 26 orang dan typhoid 19 orang yang bila dibandingkan dengan jumlah penderita yang lama hari rawatnya sesuai standar untuk jenis penyakit yang sama, angka tersebut lebih tinggi, sehingga pengobatan yang diberikan dirasa kurang adekuat. Penelitian ini bertujuan memperoleh gambaran mengenai hubungan antara karakteristik penderitalpenanggung biaya dengan lama hari rawat dari beberapa jenis penyakit tertentu. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan cross sectional dari data primer yang didapat melalui kuesioner serta data sekunder. Tehnik analisis yang digunakan adalah tabulasi silang/chi square. Tujuan dari analisa ini untuk membuktikan faktor-faktor apa saja yang mempunyai hubungan dengan lama hari rawat . Dan hasil penelitian disimpulkan, bahwa lama hari rawat berhubungan dengan jenis penyakit, penghasilan, jenis penanggung biaya rumah sakit dan alasan keluar dari rumah sakit. Untuk itu disarankan perlunya mekanisme penseleksian (screening) terhadap pasien yang masuk RSU Bhakti Yudha, dengan demikian pasien dapat dirawat di ruang perawatan yang sesuai kemampuannya untuk mendapatkan lama hari rawat yang optimal. Disamping itu penyuluhan untuk pemeriksaan kembali dan operasionalisasi asuransi kesehatan juga perlu ditingkatkan.
Depok: Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>