Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Achyar Asmu`ie
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menernukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap integrasi politik di Kabupaten Ketapang, sebagai satu-satunya kabupaten yang belum pernah mengalami konflik etnis di tengah stigma buruk yang disandang oleh Provinsi Kalimantan Barat sbagai daerah yang rawan konflik etnis. Oleh karena itu masalah penelitian difokuskan pada: Bagaimana faktor-faktor kondisi sosial dan karakter budaya masyarakat, peran aktif para pemimpin informal, dan pembinaan integrasi politik oleh pemerintah berpengaruh terhadap integrasi politik di kabupaten tersebut.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori sentimen primordial dari Clifford Geerthz yang menyatakan bahwa perbedaan suku, budaya, bahasa, dan agama merupakan sumber konflik. Kemudian teori kesetiaan fanatik ikatan primordial dari Maswacli Rauf, peran negara dari Arif Budirnan, intervensi birokrasi dari Burhan Magenda dan Howard Wriggin, serta peran informal leader dari Wriggin.
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Sedang tipe penelitiannya adalah studi kasus yang bersifat deskriptif eksplanatif. Unit analisisnya adalah masyarakat, elit informal, dan pemerintah dengan nara sumber para pejabat pemerintah, ketua partai politik, ketua organisasi adat dan budaya, pemimpin agama, dan tokoh masyarakat, serta tokoh pemuda yang ditetapkan secara purposif.
Pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan, wawancara mendalam dan observasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah causal comparative atau ex post facto dengan multi levels analisys. Penelitian ini menemukan bahwa kondisi sosial dan karakter budaya masyarakat sangat berpengaruh terhadap hubungan sosial antar etnis yang terjadi di Kabupaten Ketapang. Hal itu tergambar di dalam suasana kehidupan sosial mereka yang aloab, sebab tidak adajarak sosial yang menghambat. Suasan kehidupan sosial seperti itu, kemudian melahirkan suatu ikatan kesetiaan barn yang dalam istilah Clifford Geerthz disebut cross cutting loyalties, yakni ?Ketapangisasi?.
Beradasarkan temuan tersebut, maka teori Geerthz tentang sentimen primordial tidak terbukti keberlakuan pada masyarakat Ketapang, begitu pula teori Arif Budiman tentang peran negara yang memiliki kewenangan sah untuk memaksa, juga tidak terbukti, sebab pembinaan integrasi politik yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupten Ketapang lebih menggunakan cara-cara persuasif dengan memanfaatkan momentum Hari Besar Nasional sebagai media.

ABSTRACT
This research aims at discovering the influential factors of political integration in Ketapang Regency that the only Regency has no ethnic conflicts among the bad ? stigma ? of West Kalimantan as the potential etlmic conflict regions. Therefore, the research problem is focused on : How the factor of social condition and the cultural characteristic of community, the active participation of informal leaders, the political integration building by govemment influences the political integration in the Regency.
The used theory in this research is the primordial sentiment from Clifford Geerthz stated that the differences of races, cultures, languages and religions as the potential conilics. Besides, the loyal fanaticism of primordial bindings from Maswardi Rauf; the role of nation 'fiom Arif Budiman, the bureaucratic intervention from Burhan Magenda and Howard Wriggin, and the role of informal leader from Wriggin.
The research method is qualitative analysis. The research type is a descriptive explanation case study. The unit analysis is community, the informal elite and government. The source information is the government elite, the political party elite, the cultural organization leaders, the religion leaders, the community leaders, and the young people leaders detemiined by purposive sampling. Data collection was done by the library research, depth interview and observation.
The data analysis used is the causal comparative or ex post facto with the multi level analysis. The research results indicate that the social atmosphere and the cultural characteristic of the community are the most influential factors of the social relationship among tl1e ethnic happening in Ketapang Regency. It is described in the social life atmosphere, it then bears a new loyalty binding called by Clifford Geerth as cross cutting loyalties, that is ? Ketapanisasi?.
Based on the research results, the Geerthz theory on the primordial sentiment is not proved in Ketapang Community so is Arif Budiman theory on the role of govemment that has a legal power to press. The building of political integration done by Ketapang Regency Govemment uses more persuasive ways by advantaging the National?s day as a media."
Depok: 2006
D822
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jayadi Nas
"Konliik antar elit politik lokal pasca runtuhnya rezim Orde Baru merupakan suatu fenomena politik baru dalam lanscap perpolitikan di Indonesia yang jarang ditemukan pada masa sebelumnya. Pada masa sebelumnya, konflik yang sering terjadi adalah konflik antara elit politik di pusat dengan masyarakat di tingkat lokal atau konliik anlar elit politik pusat dalam memperebutkan pengaruh di tingkat lokal.
Dalam konteks Pemilihan Gubemur dan Wakil Gubemur Provinsi Sulawesi Selatan periode 2003-2008, studi ini menemukan berbagai pola konflik, baik yang bersifat kontinuitas maupun pergeseran pola konflik. Pertama, pola konflik yang bersifat kontinuitas adalah pola konflik yang bersifat ulangan dari pola konflik sebelumnya, yakni konflik antar elit politik lokal yang didasarkan pada kepenlingan aliran politik dan kesukuan/wilayah. Konflik kepentingan antar aliran politik dan kesukuan wilayah adalah konflik yang kerapkali terjadi pada mesa sebelumnya. Bahkan konfiik yang didasarkan atas kepentingan suku sudah terjadi sejak zaman penjajahan.
Kedua, ditemukan pergeseran pola konflik, dari konflik yang bersifat vertikal (antara kelompok bangsawan dangan bukan bangsawan) berubah menjadi konflik horizontal (konflik antar kelompok kepentingan). Konfiik kepentingan antara kelompok bangsawan dengan masyarakat biasa yang selama ini dominan dalam setiap pemilihan dan pengangkatan seorang pemimpin di Sulawesi Selatan, secara perlahan tidak muncul Iagi. Temuan teresbut menunjukkan bahwa seiring dengan perkembangan dan tuntutan perubahan zaman, pemilihan pemimpir: di Sulawesi Selatan seyogianya disesuaikan dengan nilai-nilai lokal dan nilai-nilai global. Konsep ini didasarkan atas pemikiran bahwa masyarakat Sulawesi Selatan dikenal teguh dalam menjaga dan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya. Namun demikian tuntutan perubahan dan perkembangan zaman juga tidak dapat dinafikan.
Ketiga, studi ini juga menemukan bahwa konflik antar elit politik yang terjadi di tingkat lokal tidak sepenuhnya disebabkan oleh perbedaan, persaingan, dan pertentangan antar elit di tingkat lokal, tetapi juga dipengaruhi oleh sikap elit politik di tingkat pusat. Temuan tersebut menunjukkan bahwa konflik antar elit politik di tingkat lokal maupun pusat merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi. Meskipun elit politik di pusat memberikan kekuasaan kepada elit lokal maupun masyarakat unluk mengambil keputusan politik, tetapi elit politik di pusat masih tetap ingin berkuasa. Namun demikian, dalam kondisi tertentu elit poiitik lokal juga kerapkali mengambil keputusan sendiri dengan mengabaikan kebijakan elit politik pusat.
Berdasarkan temuan tersebut dirumuskan suatu konsep teori bahwa desentralisasi politik tidak serta merta dapat mendorong kebebasan dan kemandirian elit politik lokal dan masyarakat secara substansial dalam mengambil keputusan politik. Elit politik di pusat masih berpengaruh, bahkan dalam kondisi tertenlu dapat memaksakan keinginan politiknya. Namun demikian, adanya kekuasaan politik yang diberikan secara perlahan memungkinkan elit politik lokal dan masyarakal dapat mengambil keputusan secara otonom tanpa bergantung pada elit politik pusat.

Local elite conflict after New Order regime is a new political phenomenon in the Indonesian political landscape which uneasy to find previously. In previous period, the existing conflicts usually took place between central political elite with local community or among central political elite themselves.
In the context of local election in South Sulawesi to select new Govemor and Vice Governor for the period or 2003-2008, this study tries to identify several patterns of conflict which are continuously or altering pattern of political conflict. First, continuous conflict replicates from previous conflict, based on political tradition and ethnic. These conflicts existed even before the independence of the state.
Second, there is a political alteration from vertical conflict (among royal families with ordinary people) to horizontal conflict (among interest groups). Conflict between royal families and ordinary people which is common in the elite selection process, slowly decrease and fade away. This finding shows that parallel with the change of an era, the election of local elite in the province should consider both local and global culture. This concept is based on the fact that the community in the province is lcnown as a faithful society in holding their cultural value. However, the global changing cannot be denied by the people.
Third, this study also found that local political elite is not caused by differentiation, competition and contradiction in the local context, but it is also influenced by political opinion of elite in Jakarta. This finding shows that political conflict in local or central context is inter-connected and influential one to another. Even the political elites in Jakarta give power to the local elite to rule the province, but they still want to involve. However, in certain condition, local political elites sometimes make their own decision and disobey central elite?s policy.
Based on those findings, it can be formulated a theoretical concept that political decentralization is not automatically endorse local political elite and society freedom and autonomy to decide substantive political decision. Political elites in Jakarta are still influential, even in certain condition can endorse their interest. However, the transfer of political power slowly gives a chance to local political elite and society to make their own decision autonomously independent fiom political elite in Jakarta.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
D790
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heriyandi Roni
"Perubahan politik nasional di Indonesia pada tahun 1998 adalah runtuhnya rejim Orde Baru. Perubahan tersebut membawa implikasi kepada Golkar. Implikasi positif adalah terjadinya perubahan dalam pengambilan keputusan partai. Pengambilan keputusan dalam penentuan calon presiden dan ketua umum partai tidak lagi didasarkan kepada kekuasaan seseorang sebagaimana terjadi selama Orde Baru tetapi menggunakan mekanisme bottom up, melalui pemilihan dan kewenangan suara untuk menentukan pilihan melibatkan unit-unit organisasi di Partai Golkar. Studi ini bertujuan untuk menjelaskan demokratisasi dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan caIon presiden dan ketua umum partai, khususnya di Munaslub 1993, Munas VII 2004 dan di Konvensi Partai Golkar.
Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini adalah metode penelitian kualitatif dengan jenis studi kasus. Paradigma yang digunakan adalah paradigma kontruktivisme, dengan pengumpulan data digunakan melalui wawancara dan didasarkan kepada sumber-sumber lain. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis kualititatif.
Dalam menjelaskan proses demokratisasi yang berlangsung digunakan beberapa teori antara lain teori Demokrasi dan Demokratisasi, teori Partai Politik, dan Teori Elit. Temuan - temuan dalam studi ini dikemukakan sebagai berikut :
Pertama, penentuan ketua umum dalam masa transisi di Munaslub 1998, Munas VII 2004 dan penentuan calon presiden melalui model konvensi menggambarkan adanya proses demokratisasi internal di Pattai Golkar. Kedua, kasus pemilihan tersebut memberikan gambaran yang cukup kompleks tentang power strugle antar faksi di tingkat elit partai golkar. Peta faksi-faksi tersebut di setiap kasus berubah-ubah. Dalam studi ini, di kasus pemilihan ketua umum terlihat kelompok kepentingan pragmatis kekuasaan yang memenangkan power strugle tersebut. Ketiga, Dalam kasus Konvensi Partai Golkar, implementasi demokratisasi dalam proses pengambilan keputusan dengan cara pemilihan, dipercepat adanya kasus hukum Akbar Tanjung. Untuk menghindari perpecahan internal maka konvensi disepakati sebagai model untuk menentukan calon presiden dari Partai Golkar. Keempat, studi ini juga menemukan bahwa proses pelaksanaan konvensi partai meningkatkan citra (image building) Partai Golkar. Pada pemilihan umum legislatif 2004 di tengah kemorosotan perolehan suara partai-panai lain dilihat dari hasil pemilihan umum 1999, Partai Golkar berhasil mempertahankan perolehan suara.
Secara teoritis, studi ini menunjukan relevansi terhadap beberapa teori yang digunakan yaitu teori Larry Diamond, Juan Linz, Seymour M Lipset dan Jose Abueva tentang nilai-nilai demokrasi prosedural, teori Maswadi Rauf dan Anders Uhlin tentang adopsi nilai-nilai demokrasi sebagai proses dernokratisasi. Alan Ware tentang model keputusan organisasl, dan Gaetano Mosca tentang sirkulasi clit. Tetapi tcori Robert Michel tentang Oligarki dalam tingkat organisasi seeara luas bersifat terbatas dan perlu direvisi. Dalam sistem pengambilan keputusan yang semakin otonom di unit-unit organisasi, DPD I, DPD II dan Ormas-Ormas semakin berdaya menentukan pilihan sesuai dengan kepentingannya. Dengan demikian mekanisme demokrasi dalam proses pengambilan kepurusan dapat membatasi pengaruh dan intervensi pimpinan pusat partai."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
D810
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsuddin Haris
"Disertasi ini membahas dan menganalisis problematik format baru relasi Presiden-DPR pasoa-amandemen konstitusi (2004-2008) yang terperangkap situasi konflik. Konflik seperti apa yang terjadi, dan faktor-faktor apa saja yang melatarbelakanginya? Untuk menjawabnya, studi ini menggunakan metode kualitatif dengan pengumpulan data melalui kajian literatur, penelusuran dokumen, dan wawancara mendalam terutama dengan narasumber yang terlibat. Perspektif teori yang melatarinya adalah asumsi Juan J. Linz (1994) bahwa demokrasi presidensial adalah pilihan berisiko karena cenderung menghasilkan instabilitas dibandingkan sistem parlementer, serta asumsi Scott Mainwaling (1993) bahwa kombinasi presidensial dan sistem multipartai cenderung menghasilkan deadlock dan immobilism dalam relasi eksekutif-legislatif.
Studi ini menemukan: (1) format baru relasi Presiden-DPR hasil amandemen konstitusi cenderung ?sarat-DPR? (DPR heavy) sehingga memicu munculnya situasi konflik dan ketegangan politik; (2) personality dan kepemimpinan Presiden yang kompromistis dan tidak efektif, Serta sikap ?parlementarian? dan disorientasi partai-partai di DPR, adalah faktor signifikan lain yang turut mempengaruhi terbentulmya situasi konflik; (3) meskipun ada upaya penyelesaian konflik melalui mekanisme Rapat Konsultasi Presiden-Pimpinan DPR, faktor-faktor institusional yang melekat pada kombinasi sistem prosidensial-multipartai turut mempertajam situasi konilik; (4) namun situasi konflik tersebut tidak mengarah pada kebuntuan politik eksekutif-1egislatif seperti dikhawatirkan Mainwaring, ataupun risiko instabilitas demokrasi yang dikemukakan Linz.
Disertasi ini mengajukan perspektif teoritis baru: (1) meskipun perpaduan presidensial-multipartai merupakan kombinasi yang sulit, potensi jalan buntu politik dan instabilitas demokrasi terhindarkan apahila tersedia mekanisme konsultasi dan persetujuan bersama eksekutif-legislatif (2) walaupun menjanjikan stabilitas, mekanisme demikian cenderung menghasilkan relasi eksekutif-legislatif yang bersifat politik-transaksional ketimbang institusional, serta pemerintahan yang tidak efektif; (3) variabel personality dan kepemimpinan Presiden serta kualitas partai-partai berpengaruh signifikan bagi stabilitas dan efektititas demokrasi presidensial.
Namun perspektif teoritis baru di atas melahirkan implikasi teoritis lain bagi Indonesia ke depan: (1) konflik Presiden-DPR yang mengarah pada kebuntuan politik berpotensi muncul jika relasi keduanya lebih bersifat institusional ketimbang politik-transaksional seperti periode studi ini; (2) potensi kebuntuan politik tersebut cenderung membesar apabila kepemimpinan Presiden tidak melayani kompromi politik dengan DPR dan partai-partai di Dewan Semakin melembaga dan lebih ideologis."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
D934
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Adi Putri
"ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh keunikan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. Tingginya posisi perempuan Minang darin aspek sosial dan budaya tidak berbanding lurus dengan kedudukan dalam politik, yang terlihat dari masih sedikitnya perempuan yang memiliki powsisi menentukan dalam politik dan pemerintahan. Juga tercermin dari jumlah keterwakilan di DPRD yang masih jauh dari kuota 30 yang dinyatakan dalam undang-undang.Fokus penelitian ini adalah pada bagaimana perempuan caleg yang ada di Sumatera Barat menggunakan modal sosial yang sudah ada, untuk mendapatkan posisi politik di DPRD. Penelitian ini dilakukan terhadap tiga orang perempuan caleg yang berhasil mendapatkan kursi di DPRD Sumatera Barat dalam Pemilu 2014. Teori utama yang digunakan adalah teori modal sosial Putnam, didukung oleh teori dari ahli lain seperti Uphoff, Grootaert, Coleman dan Lawang.Metode penelitian ini adalah kualitatif dengan studi kasus, dimana data-data didapatkan dari wawancara terhadap tiga perempuan caleg yang menang, kepada anggota jaringan yang dimiliki oleh perempuan caleg yang berasal dari organisai sosial dan tokoh adat dan kepada pengurus partai Golkar dan Nasdem yang merupakan partai yang mencalonkan perempuan caleg.Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa perempuan caleg yang menang dalam Pemilu 2014 untuk DPRD SUmatera Barat, memiliki modal sosial yang terdiri dari jaringan, norma dan kepercayaan. Pola jaringan merupakan personal berbentuk duaan ganda berlapis. Norma sebagai modal sosial dikaitkan dengan peran Ninik Mamak dan bundokanduang dalam mendukung keterpilihan perempuan caleg. Kepercayaan dari anggota jaringan dan norma yang berlaku di masyarakat terhadap posisi perempuan di Minangkabau adalah modal sosial kognitif.Temuan penelitian adalah bahwa dengan cara-cara yang tepat, seperti pendekatan silaturahim dengan tokoh masyarakat dan tokoh adat, kampanye door to door maka modal sosial dapat memengaruhi kemenangan caleg perempuan di Sumatera Barat. Filosofi penggunaan modal sosial oleh perempuan caleg di Minangkabau adalah cancang aia ndak kaputuih, yang artinya bahwa hubungan yang terbangun dari kedekatan karena satu kaum, satu alumni organisasi dan satu kampung 3H: sadarah, sabagarah, sadaerah diibaratkan seperti mencincang air, yang tak akan pernah putus.

ABSTRACT
The background behind this dissertation is the unique culture of the Minangkabau people in West Sumatera. Viewed from a social and cultural aspect, women 39;s high social standing in the Minangkabau Society is incongruent to their position in politics, as women only hold a smal number of seats in the government. The number of female representatives in the Regional People 39;s Representatives Council DPRD is also far from the thirty percent quota that is written in the law.The main focus of this study is how women, as representatives in council, are able to gain gain their seats using pre-existing social capital. This study is centered around three female candidates that has managed to secure the seats in council.The main theory used in this study is Putnam 39;s social capital theory, and it is supported by theories from experts such Uphoff, Grootaert, Coleman and Lawang. This research uses qualitative method and executes it through interviews with three femal candidates who come from social organization, traditional leaders, and party officials from Golkar and Nasdem the parties which nominated these women .The principal findings of this study reveal that femal candidates who secured their seats in the 2014 regional election have one common similarity-all of these women have social capital consisting of network, norms, and trust. The network a person has is personal in nature and considered double-layared. a person 39;s belief and the norms a person upholds, if consistent with those of society 39;s, is considered as cognitive social capital.the theoretical implication of this study shows that, using the correct methods, such as personally approaching traditional leaders adn doing door to door campaign, could increase a person 39;s social capital. social capital can influence the victory of women candidates in West Sumatera. The philosophy behind the use of social capital is cancang aia dak kaputuih, which means mincing water that will never break "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
D2463
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samosir, Osbin
"ABSTRAK
Disertasi ini meneliti keterwakilan politik Kristen dalam Pileg 2004 dan 2009 melalui studi PDI Perjuangan dan Partai Golkar. Keterwakilan politik Kristen di DPR RI selama tiga kali Pemilu Era Reformasi (1999, 2004, dan 2009) ternyata justru bukan karena dukungan dari para pemilih Kristen. Para politisi Kristen terpilih menjadi anggota legislatif karena dukungan pemilih beragama Islam dan terutama justru dari basis Islam yang kuat. Maka pertanyaannya, bagaimana dan apa alasan PDI Perjuangan dan Partai Golkar menempatkan caleg Kristen di basis Islam, apa strategi caleg Kristen untuk keterpilihannya, dan bagaimana alasan pemilih beragama Islam sehingga menggalang dukungan untuk memenangkan caleg Kristen. Hasilnya, persentase keterpilihan orang-orang Kristen di DPR RI Pileg 1999 (16,48%), Pileg 2004 (14,90%), dan Pileg 2009 (12,86%) melampaui persentase penduduk Kristen di Indonesia (8,71%).
Penelitian ini menggunakan dua teori utama, yakni teori Alan Ware tentang keterpilihan seorang caleg dimana sosok personal/figur kandidat menjadi yang terpenting, program partai di level kedua, dan ideologi partai di level terendah; dan teori primordialisme politik dari Clifford Geertz yang mendapatkan catatan kritis dari Maswadi Rauf bahwa dua ikatan primordialisme terpenting konteks Indonesia adalah suku dan agama. Empat teori lain mendukung dua teori utama ini, yakni: teori Anne Philips tentang politik kehadiran secara konkrit di lembaga Negara, pandangan Affan Gaffar tentang aspek aliran dalam agama dan ketaatan terhadap pemimpin di Pulau Jawa, pandangan George McTurner Kahin tentang nasionalisme sebagai perekat kesatuan yang kuat yang mendapat peneguhan dari Burhan Djabir Magenda tentang peranan partai dalam penguatan nasionalisme, dan teori patron klien dari James Scott. Metode penelitian menggunakan literatur langsung dari kedua partai dimaksud dan melakukan wawancara mendalam terhadap 5 (lima) orang caleg terpilih, 4 (empat) pengurus pusat partai, dan 3 (tiga) orang pemilih beragama Muslim.
Penelitian ini secara khusus menyimpulkan bahwa ternyata aspek agama dan suku bukan variabel utama sebagai ukuran keterpilihan seorang caleg namun masih ada variabel lain yaitu tingkat penerimaan pemilih terhadap calon. Temuan penting penelitian ini bahwa figur atau sosok caleg sangat berpengaruh untuk keterpilihan seorang caleg Kristen, dan praktek tradisi agama dan budaya lokal tetap berpengaruh dalam pemilu. Implikasi teoritis penelitian ini memperlihatkan bahwa teori Alan Ware terkait peran ketokohan/figur caleg sangat menentukan untuk keterpilihan seorang caleg, dan teori primordialisme politik Clifford Geertz menunjukkan bahwa aspek tradisi agama dan budaya local yang dipraktekkan oleh caleg-caleg Kristen sangat berpengaruh untuk keterpilihan mereka di daerah berbasis Islam yang kuat.

ABSTRACT
This dissertation studies about political representation of Christian through the study of the PDI-P and Golkar Party. Political Representation of Christian for three times of General Election in Reformation Era (1999, 2004, and 2009) actually had been not from the Christian voters as supposed. The Christian representatives were elected because of Islamic voters support and uniquely the voters are from the strong Islamic based. Then, the question is how and what the reason of the PDI-P and Golkar Party placed the Christian representative as legislative candidates in Islamic based electoral district, and what is the reason of Islamic voters to support Christian legislative candidates. The result is the percentage of the Christian representative in DPR-RI in legislative election 1999 (16,48%), Legislative Election 2004 (14,90%) and Legislative Election 2009 (12,86%) beyond the percentage population of Christian citizen in Indonesia (8,71%).
This research applied two primary theories, they were Alan Ware theory on the role of the party in recruitment where personal feature is the most important, program party at the second level, ideology party at the lowest level; and politic primordial?s from Clifford Geertz which noticed by Maswadi Rauf that there are two important binds of primordialism of Indonesian context are tribe and religion. Four other theories are Anne Philips theory on presentation politic concretely in state institution, Affan Gaffar?s point of view on the flow aspect in religion and obedient to the leaders in Java Island, George McTurner Kahin on nationalism as a strong unity glue that gets confirmation from Burhan Djabir. Burhan Djabir Magenda on important role of political party in strengthening nationalism, and the theory of James Scott on patron client relation.
Research Method applied direct literature by the relevant political party and depth interview for five (5) representative, four (4) political party officer, three (3) Islamic voters. The research specified concluded that religion and tribes are not the dominant factor in determining the electability of candidates but the candidates? acceptability in the society. The finding of this research is that the figure representative candidates are strongly influenced in Christian representative electability and the practice of religion and local cultural still an influence in election. Theoretical implication shows that Alan Ware Theory on the role of figure representative is really strong in electability of candidate; and theory of political primodialism by Clifford Geertz that religion tradition aspect and local cultural that have been practiced by Christian representatives in the strong Islamic based electoral district.
"
2013
D1374
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Valina Singka Subekti
"ABSTRAK
Disertasi ini membahas dinamika politik proses perubahan UUD 1945 di MPR 1999-
2002 pada masa transisi demokrasi, terhadap lima isu utama, yaitu : 1) dasar negara dan
agama, 2) DPR 3) DPD, 4) MPR dan 5) sistem pemilihan Presiden langsung. Tujuan
penelitian, pertama, melihat bagairnana pandangan dan sikap fraksi-fraksi di PAH BP
MPR terhadap lima isu tersebut, dan bagaimana perdebatan itu berlangsung. Kedua,
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pandangan dan sikap fraksi. Apakah
dipengaruhi oleh latar belakang sejarah ideologis partai, atau oleh latar belakang
kepentingan partai. Ketiga, menjelaskan dan mengnalisis perkembangan ilmu politik
melalui studi proses perubahan UUD 1945.
Metode penelitian adalah kualitatiff Posisi peneliti sebagai participant-observer,
mempengaruhi otentisitas penelitian. Pendekatan struktural dan kultural digunakan unmk
memperoleh refleksi mendalam atas fenomena yang diteliti. Teori transisi demokrasi
digunakan untuk menjelaskan setting politik perubahan UUD 1945. Teori elite oleh
Robert Michell, teori aliran politik oleh Geertz dan Feith, dan teori lconflik oleh Maurice
Duvergor dan Maswadi Rauf untuk menjelaskan proses dan dinamika interaksi politik
fraksi-fraksi di MPR.
Hasil penelitian menunjukkan, pertama, peran elite fraksi di PAH BP MPR dan DPP
partainya sangat besar, juga masyarakat sipil dalam mempengaruhi proses pembahan
UUD 1945. Kedua, fraksi-fraksi bersikap bahwa Pancasila sebagai dasar negara sudah
final sehingga yang diperdebatlcan bukan substansi Pancasila, tetapi masalah
penempatannya saja. Ketiga, dalam masalah agama (Pasal 29) masih nampak wama
aliran mempengaruhi secara terbatas pandangan dan sikap fraksi. ?Aliran? disini berbeda
wujudnya dari aliran politik yang menjadi mainstream utama politik Indonesia masa lalu.
Aliran lebih bermakna sebagai identitas politik partai. Keempat, pada lima isu yang
dibahas, posisi fraksi-fraksi bergerak antara reformis moderat dan refomis progresif;
berlainan dengan temuan Blair mengenai dikotomi konservatif-progresif dalam
pengelompokan fraksi-fraksi di PAH BP MPR.
Implikasi teoritis memperlihatkan adanya perubahan dan kontinuitas dalam aliran politik
di Indonesia. Aliran politik tidak dapat lagi seutuhnya dilihat seperti yang dimaksudkan
Geertz maupun Feith. Aliran politik dewasa ini lebih digunakan sebagai alat identitas
politik partai. Fenomena perubahan ideologi di tingkat global dan menguatnya
pragmatisme di kalangan umat Islam akibat proses deideologisasi dan modernisasi
ekonomi selama Orde Baru telah memunculkan masyarakat Islam yang lebih
mengutamakan Islam kultural daripada Islam sebagai ideologi."
2006
D796
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kamarudin
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh konflik internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada tahun 2004 - 2007 yang lebih berat ketimbang konflik internal yang melanda partai ini pada tahun 2001 - 2002. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mencari jawaban mengapa konflik tahap kedua itu dapat terjadi. Peneliti menempatkan reposisi Saifullah Yusuf dan penonaktifan Alwi Shihab dan Saifullah Yusuf sebagai faktor pemicu terjadinya konflik intemal PKB.
Sebagai pijakan teoritis, penelitian ini menggunakan teori politik sebagai berikut; Pertama, konflik polltik yang diaiukan oleh Lewis A. Coser, George Simmel, Austin Ranney, Albert F. Eldridge, Ralf Dahrendorf, Jacob Bercovitch, Paul Conn, dan Maurice Duverger. Kedua, tentang konflik yang melanda NU saat berkiprah di lapangan politik, baik dalam hubungannya dengan pihak luar maupun konllik yang terjadi diantara sesama fungsionaris NU, dipicu oleh faktor pragmatis yang terkait dengan perebutan posisi atau kursi kekuasaan diantara elite partai. Analisis ini dikemukakan oleh Deliar Noer, Bahtiar Effendy, dan Kang Young Soon. Kajian ini juga menggunakan konsep faksionalisme politik yang diajukan oleh Frank P. Belloni dan Dennis C. Buller serta Jacob Beroovitch. Ketiga, pergeseran nilai ketaatan antara di pesantren yang berlangsung dengan model patron - client dimana kiai menduduki posisi sentral (ditaati) namun hal itu tidak otomatis terjadi ketika berada di dunia politik. Teori yang dipergunakan adalah James Scott, Maswadi Rauf, Robert Michele, Karl D. Jackson dan Lucian W. Pye, serta Machrus lrsyam.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, sedangkan teknik analisis data menggunakan deskriptif analitis. Dalam penelitian ini digunakan dua metode pengumpulan data yaitu: Pertama, studi literatur yang meliputi penelusuran buku-buku, dokumen/arsip partai politik, klipping koran, majalah, jurnal, dan berbagai sumber Iainnya yang relevan dengan masalah penelitian ini. Kedua, wawancara mendalam (indepth interview) terhadap informan terpilih dengan menggunakan pedoman wawancara.
Temuan di lapangan menunjukkan: (1) Faktor pemicu terjadinya konflik internal PKB adalah reposisi Saifullah Yusuf dari jabatan Sekretaris Jenderal Dewan Tanfidz DPP PKB dan penonaktifan Alwi Shihab dan Saifullah Yusuf dari jabatan Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB dan Ketua Dewan Tamidz DPP PKB; (2) Keberpihakan kiai khos yang tergabung dalam Forum Langitan dan Abdurrahman Wahid kepada salah satu kubu memperberat bobot konflik internal PKB; (3) Penyelesaian konflik secara organisasi, hukum, politik, dan kultural tidak mampu menghindarkan PKB dan perpecahan; (4) Keluarnya kubu Alwi Shihab dan Saifullah Yusuf dari PKB menunjukkan kemenangan kubu Abdurrahman Wahid dan Muhaimin Iskandar.
Implikasi teoritis menunjukkan: Pertama, konflik internal yang melanda PKB dipicu oleh masalah yang bersifat pragmatis yakni terkait dengan perebutan posisi atau jabatan didalam partai. Faktor pemicu yang bersifat pragmatis itu tidak hanya berlaku katika kalangan nahdliyin bergabung dengan komponen bangsa yang Iain, seperti ditunjukkan oleh studi Deliar Noer (kasus NU keluar dari Masyumi) dan Bahtiar Effendy (kasus NU keluar dari PPP), namun studi ini menunjukkan bahwa faktor pragmatis itu juga berlaku saat konflik diantara sesama fungsionaris partai yang dilahirkan oleh kalangan nahdliyin terjadi. Studi Kang Young Soon yang menyimpulkan bahwa Konfiik merupakan ?saIah satu tradisi NU? pada akhirnya perlu ditambah dengan penjelasan bahwa ?konflik yang dipicu oleh masalah pragmatisme kekuasaan merupakan salah satu tradisi NU". Memang pernah ada konflik karena faktor ideologi, namun pragmatisme kekuasaan seringkali menjadi motif di balik perseteruan NU dengan pihak lain ataupun dengan sesama kalangan nahdliyin seperti terlihat pada kasus konflik internal PKB.
Kedua, terjadi pergeseran nilai dalam hubungan kiai - santri dalam tradisi pesantren yang menganut pola hubungan patron - klien ketika kalangan nahdliyin berkiprah di wilayah politik. Kasus konflik internal PKB ini menunjukkan bahwa sikap saling percaya yang menjadi unsur pembentuk budaya pesantren bisa berubah karena masalah pragmatisme kekuasaan. Perubahan itu terlihat dengan posisi dan sikap yang diambil kiai khos yang tergabung dalam Forum Langitan yang semula menjadi pendukung Abdurrahman Wahid kini berbalik menjadi saling berhadapan. Alwi Shihab yang dulu didukung Abdurrahman Wahid untuk menjadi Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB pada muktamar Iuar biasa PKB di Yogyakarta juga kini berbalik menjadi lawan politik Abdurrahman Wahid.

The research is based on the internal conflict of the Nation Awakening Party (PKB) 2004 - 2007. This conflict is more serious than the conflict within the party that occurred in 2001 - 2002. lt aims to answer the reason behind the second phase of the conflict. The researcher considers the reposition of Syaifullah Yusuf and the termination of Alwi Shihab dan Saifuilah Yusuf from their position in the Central Board of PKB as the main factor that triggers the conflict.
To strengthen the study, the researcher applies some political theories in supporting his argument and analysis. First, the theory of political conflict by Lewis A. Coser, George Simmel, Austin Ranney, Albert F. Eldridge, Ralf Dahrendorf, Jacob Bercovitch, Paul Conn, and Maurice Duverger. Second, the tradition of pragmatism within NU elites in gaining political powers is a crucial aspect in analyzing this issue. This analysis is introduced by Deliar Noer, Bahtiar Effendy, and Kang Young Soon. The study also uses the concept of political factionalism initiated by Frank P. Belloni and Dennis C. Buller and Jacob Bercovitch. Third, the changing of obedience concept (patron-client relation) in pesantren tradition in which the high authoritative role of kyai within religious circles no longer guarantee the same respectful attitudes of his followers in political practices. This approach has been used by James Scott, Nlaswadi Rauf, Robert Michele, Karl D. Jackson, Lucian W. Pye, and Nlachrus lrsyam.
In conducting the study the researcher uses a qualitative method while descriptive analysis is applied in examining the data. Two approaches are used in collecting data- First, the literature research through searching and classifying all relevant documents such as pnmary books, political documents, newspapers' coverage and joumals. Second, in-depth interview that involves selective respondents by asking some structured questions.
The research offers significant findings that are; (1) the triggering factor toward the intemal conflict of PKB is mainly caused by the reposition of Saifullah Yusuf as the Secretary General of the Central Board of PKB and termination Alwi Shihab and Saifullah Yusuf as the General Chairman and Chairman of the Central Board of PKB (2) The support to one of the conflicting parties from the special charismatic kyai (Kyai Khos) either from Forum Langitan's and Abdurahman Wahid's faction has contributed in increasing tension and conflict (3) Conflict resolutions through organizational, legal and cultural approaches are not able to resolve the friction (4) The decision of Alwi Shihab and Saifullah Yusuf 's faction to form a new party apart from PKB has showed the success of Abdurrahman Wahid dan Muhaimin Iskandar`s faction in winning the conflict.
In general this study shows significant theoretical implications: First, the internal conflict that occurred within PKB is more triggered by pragmatic issues that are related to power distributions in structural positions. This pragmatic issue not only always occurs when the party worked together with other groups as indicated by Deliar Noer (the withdrawal of NU from Masyumi) and Bahtiar Effendy (the withdrawal of NU from PPP) but also happened when it fonned its own party (PKB) The study of Kang Young Soon which concludes that conflict is ?one of NU tradition' finally should be given a further explanation that ?the conflict that is triggered by pragmatic interests toward the power is one of NU tradition." it is true that an ideological factor also contributes to the conflict but again the pragmatism in achieving the power still dominate the motive of friction between NU and other groups or even within NU's elites as indicated in almost internal conflict of PKB.
Second, the involvement of kyai in political arena causes the changing pattem and values of relation (kyai-santri patron). The case of the internal conflict among PKB?s elites shows that the mutual trust as a symbol of pesantren tradition which has been established for long may change merely caused by the pragmatic power. This change can be observed from the stance and position of the Kyar' Khos who form Forum Langitan that initially supported Abdurahman Wahid but drastically against him. Alwi Shihab who was supported by Wahid in securing the position of the General Chairman of PKB in an extraordinary congress in Yogyakarta then has showed his resistance as well.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
D838
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gede Wardana
"Disertasi ini merupakan studi tentang konflik politik yang mengiringi proses pemilihan gubernur dan wakil gubernur Bali tahun 2013. Studi ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan tentang: (1) Sebab konflik internal PDI-P dalam pemilihan gubernur Bali (2) Strategi yang digunakan Made Mangku Pastika maupun Anak Agung Ngurah Puspayoga sebagai mantan pasangan petahana Gubernur dan Wakil Gubernur periode 2008-2013 untuk saling berkompetisi di dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bali periode tahun 2013 (3) Implikasi dampak kemenangan Made Mangku Pastika pada dinamika politik di Bali.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan metode wawancara mendalam (in depth-interview) terkait konflik pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur Bali tahun 2013. Penelitian ini menggunakan teori konflik dari Rauf, Dahrendof dan Coser, teori politik dari Parson, teori elite dari Mosca dan Keller, teori politik lokal dari Smith dan Stewart, teori oligarki dari Winter, teori perilaku pemilih dari Firmanzah dan teori strategi dari Schroder. Adapun teori utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori konflik Rauf dan teori-teori lain yang digunakan sebagai teori pendukung.
Temuan utama yang diperoleh dari penelitian ini adalah kekalahan telak PDI-P di kandang Banteng PDI-P Bali yang merupakan basis PDI-P terbesar di wilayah Indonesia Tengah dan Timur.Temuan menarik lainnya adalah tumbangnya dominasi kalangan puri/ bangsawan sebagai gubernur Bali. Sejak dulu, posisi gubernur Bali selalu diisi oleh orang-orang dari kalangan puri sebagai bentuk tradisi mempertahankan keturunan raja-raja. Namun, dalam dua periode ini pemimpin Bali terpilih berasal dari kalangan non-puri (non bangsawan), yakni Jabawangsa dari wangsa/soroh Pasek sebagai hal yang tidak pernah diduga sebelumnya. Temuan lainnya adalah kekalahan PDI-P yang mengusung ideologi "wong cilik" dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bali periode 2013-2018, dikarenakan calon yang diusung justru tidak menunjukkan keberpihakannya pada ideologi tersebut.
Implikasi teoritis dari penelitian ini adalah memperkuat teori konflik dari Dahrendof dan Rauf bahwa konflik yang semula bersifat individu dan meluas menjadi konflik kekuasaan bilamana masing-masing pihak yang berkonflik memiliki posisi dan kewenangan yang cukup untuk mengendalikan pendukungnya di dalam struktur pemerintahan.

Centered around the gubernatorial elections in Bali (2009-2013 Period), this dissertation is a study on the political conflicts that transpired during the elections. It aims to answer a series of questions regarding several matters. Firstly, the cause of PDI-P's internal conflict in the gubernatorial elections. Secondly, the strategies implemented by Made Mangu Pastika and Anak Agung Ngurah Pruspayoga, the former governor and vice-governor pair of the 2008-2013 period, as they compete against one another in the gubernatorial elections of the 2013 period. Lastly, the political implications of Made Mangku Pastika's victory on the political dynamics in Bali.
This research uses the qualitative and in-depth interview method in studying the conflicts in the 2013 gubernatorial elections in Bali. This research uses several theories: (1) The conflict theory by Rauf, Dahrendof, and Coser, (2) the political theory by Parson, (3) the elite theory by Mosca and Keller, (4) the local politics theory by Smith and Stewart, (5) the oligarchy theory by Winter, (6) the voter's behavior theory by Firmanzah, and (7) the strategy theory by Schroder. The main theory will be Rauf's conflict theory while the remaining theories are used as supporting theories.
The principal finding of this research is PDIP-P's loss in Bali, which is the central base of PDI-P in Indonesia's central and eastern regions. This research also shows the collapse of the aristocrats power as the governor of Bali. Once, the position of the governor was filled with Balinese aristocrats, an act that demonstrates the preservation of the royal lineage. However, the last two periods shows a collapse in this preservation act. The Governor's office was taken by Jaba Wangsa from Pasek, a man from the lowest of the four Hindu caste, the Sudra. Another finding was that the loss of PDI-P, a party which upholds the common people ideology, in the Bali gubernatorial elections of the 2013-2018 period is resulted by the candidate's failure to project the ideology.
The theoretical implication of this research upholds Dahrendof's and Rauf's conflict theory which states that a personal conflict may become a struggle of power if the two sides have the position and authority to control its supporters in the government.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
D2239
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Tenri Sompa
"ABSTRAK
Kegiatan investasi pertambangan batubara di Kabupaten Tanah Bumbu
ternyata tidak hanya bersifat ekonomi-bisnis melainkan juga mengandung
dimensi-dimensi politik dan memberi pengaruh tersendiri terhadap dinamika
kekuasaan di arena politik lokal. Kenyataan itulah yang melatarbelakangi studi
ini.Tiga pertanyaan utama yang dijawab dan dibahas dalam studi ini. Pertama,
bagaimana pola hubungan pemerintah daerah dengan pengusaha tambang
batubara serta dampak hubungan tersebut terhadap kebijakan investasi tambang
batubara di Kabupaten Tanah Bumbu? Kedua, bagaimana peran politik pengusaha
tambang batubara dalam proses pemilihan kepala daerah di Kabupaten Tanah
Bumbu? Ketiga, bagaimana dinamika konflik berbasis tambang batubara antara
masyarakat lokal dan pelaku usaha serta bagaimana peran pemerintah daerah di
dalamnya?
Di tataran teoretik, studi ini menggunakan teori oligarki dari Osterman
sebagai acuan utama. Selain itu juga menggunakan teori negara Marxis dari
Mandel dan Althusser, teori desentralisasi dan politik lokal dari Smith dan Stoker,
dan teori konflik dari Rozen, sebagai acuan pendukung.Pada tataran metodologis,
studi ini menggunakan pendekatan kualitatif.
Temuan pokok studi ini menunjukkan bahwa hubungan pengusaha
tambang dengan penguasa lokal dan pejabat-pejabat birokrasi berlangsung dekat
karena antarpihak meskipun berbeda kepentingan namun mampu mempertemukan
kepentingan tersebut dan sama-sama mengambil keuntungan. Pengusaha tambang
mendapatkan kemudahan-kemudahan serta keuntungan ekonomi, sedangkan
pengusasa lokal dan pejabat birokrasi mendapatkan keuntungan politik dan
ekonomi sekaligus.
Hubungan antara pengusaha tambang dengan penguasa lokal terlihat
sangat jelas pada saat pemilihan kepala daerah. Dalam sejarah pemilihan kepala
daerah langsung di Kabupaten Tanah Bumbu selama ini, pasangan kandidat yang
memenangkan kontestasi selalu saja yang mendapat dukungan penuh dari para
pengusaha tambang. Pengusaha tambang yang cukup berpengaruh dalam setiap
momen pemilihan kepala daerah langsung serta dalam dinamika politik lokal
Kabupaten Tanah Bumbu merupakan para pengusaha lokal.
Teori-teori yang digunakan dalam studi ini, baik teori utama maupun teori
pendukung, sangat membantu dalam memberikan penjelasan terhadap temuantemuan
penelitian, serta dalam membentuk kerangka berpikir ketika membangun
interpretasi-interpretasi. Memang, satu teori tidak secara utuh bisa menjadi
sandara penjelasan, dan karena itu dilengkapi dengan teori-teori yang lain

ABSTRACT
This research is based on the activity of coal mining investment in Tanah Bumbu District
that is not merely for economic and business purposes, butalso contains the dimensions of
politics which affect the power dynamics in the local politics. Three major questions are
answered and discussed by this study. First, what is the relationship pattern between the local
government and the coal mining businessmen and how does it affect the policies of coal mining
investment in Tanah Bumbu? Second, what is the political role of the coal mining businessmen
in the local elections? Third, how is the coal mine-based conflict between the local communities
and the coal mining businessmen, and what is the government?s role in it?
In a theoretical level, this study uses Osterman?s theory of oligarchy as the main theory.
In addition, Mandel?s and Althusser?s theory of Marxist states, Smith?s and Stoker?s
decentralization theory and local politics theory, and Rozen?s conflict theory are used as its
supporting theories. Furthermore, this study uses a qualitative approach.
The principal finding of this study shows that the close relationship between the coal
mining businessmen and the local authorities as well as the bureaucratic officers is the result of
each party?s interest. Although they have different interests, they managed to combine it and
benefit from it. The coal mining businessmen are guaranteed facilities and economic benefits,
while the local authorities and bureaucratic officers gains political and economic benefits.
The relationship between the coal mining businessmen and the local authorities can be
seen clearly during the local elections. Throughout the years, the winning candidates of the
Tanah Bumbu local elections are those who gain the support of the coal mining businessmen.
Therefore, it is evident that the coal mining businessmen have influence over the local elections
and over the dynamics of the local politics in Tanah Bumbu.
Both the main and supporting theories used in this study are helpful in giving a clear
explanation of the research findings and in forming a framework while constructing the
interpretations. In order to give a thorough explanation, several theories are needed"
2016
D1706
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>