Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 23 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sarah Salim S. Alatas
"Biofilm merupakan struktur yang dibentuk oleh komunitas mikroorganisme yang saling terikat dan terfiksasi dengan melekat pada suatu permukaan dalam matriks polimer ekstraseluler yang dihasilkan oleh mikroorganime tersebut. Pembentukan biofilm dilaporkan cukup tinggi pada kanul trakeostomi dan berhubungan dengan inflamasi kronis, serta infeksi oleh mikroorganisme yang resisten terhadap antimikroba. Beberapa metode pemeriksaan deteksi biofilm telah diperkenalkan, termasuk diantaranya adalah metode microtiter plate assay (MPA), congo red agar (CRA), dan congo red agar modifikasi (CRA modifikasi). Penelitian ini merupakan uji diagnostik dengan desain potong lintang yang bertujuan untuk mengevaluasi kinerja diagnostik pemeriksaan deteksi biofilm bakterial metode CRA dan CRA modifikasi yang dianggap lebih sederhana dan mudah terhadap metode MPA yang dianggap sebagai baku emas. Deteksi biofilm bakterial metode MPA, CRA, dan CRA modifikasi pada penelitian ini dikerjakan pada 100 isolat bakteri yang diperoleh dari biakan spesimen swab kanul trakeostomi pasien dewasa Poliklinik Telinga Hidung Tenggorok Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Juni-Juli 2020. Pembentukan biofilm bakterial terdeteksi sebesar 25% berdasarkan metode MPA dengan bakteri penyusun terbanyak adalah Pseudomonas aeruginosa. Sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif (NPP), nilai prediksi negatif (NPN), dan akurasi metode CRA didapati sebesar 36%, 63%, 24%, 75%, 56%. Metode CRA modifikasi didapati tidak memiliki kinerja diagnostik yang lebih baik dibandingkan dengan metode CRA, yaitu dengan sensitivitas, spesifisitas, NPP, NPN, dan akurasi sebesar 52%, 35%, 21%, 68%, 39%. Kesesuaian hasil interobserver deteksi biofilm bakterial metode CRA dan CRA modifikasi didapati sangat kuat (Kappa 0,927, p = 0,035 untuk metode CRA dan Kappa = 0,856, p = 0,042 untuk metode CRA modifikasi).

Biofilm is a structured formed by a community of microorganisms that are bound to each other and fixated by adhering to a surface in the extracellular polymer matrix produced by these microorganisms. Biofilm formation has been reported high in tracheostomy cannule and related to chronic inflammation, as well as infection with antimicrobial-resistant microorganisms. There are several biofilm detection methods, including Microtiter Plate Assay (MPA) Method, Congo Red Agar (CRA)iMethod, and modified Congo Red Agar (modified CRA) Method. This study is a diagnostic study with cross sectional design that aims to evaluate the diagnostic performance of bacterial biofilm detection by CRA and modified CRA method, which are considered easier and simpler than MPA method, which is considered as the gold standard. Bacterial biofilm detection using CRA, modified CRA, and MPA method in this study was carried out on 100 bacterial isolates obtained from tracheostomy cannule swab cultures of adult patients at Otorhinolaryngology Outpatient Clinic Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital in June-July 2020. Bacterial biofilm formation was detected by 25% based on MPA methods with the most bacterial constituent is Pseudomonas aeruginosa. Sensitivity, specificity, positive predictive value (PPV), negative predictive value (NPV), and accuracy of CRA methods were 36%, 63%, 24%, 75%, 56%. Modified CRA method did not have a better diagnostic performance than CRA method, with sensitivity, specificity, NPP, NPN, and accuracy were 52%, 35%, 21%, 68%, 39%. The concordance of interobserver bacterial biofilm detection using the CRA and modified CRA methods was found to be very strong (Kappa 0.927, p = 0.035 for the CRA method and Kappa = 0.856, p = 0.042 for the modified CRA method)"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Donna Andresya
"Latar belakang: Banyak industri menggunakan jasa call center, untuk melayani para pelanggan dalam membantu kelancaran bisnis mereka. Dalam melakukan pekerjaannya pekcrja call center berbicara terus menerus dengan menggunakan telepon, dan mempengaruhi fisiko terjadinya gangguan suara yang lebih dikenal dengan disfonia. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui proporsi terjadinya gangguan suara pada pekerja call center yang dibandingkan dengan pekerja back office dan hubungan antara terjadinya gangguan suara dan faktor-faktor risiko yang mempengaruhinya pada pekerja call center.
Metode penelitian: Penelitian ini menggunakan desain komparaJij cross sectional dengan analisis risiko relatif. Dengan menggunakan wawancara, pengisian kuesioner pemeriksaan fisiko pemeriksaan analisis suara, dan pemeriksaan lingkungan kerja. Subyek penelitian adalah pekerja call center dan back office yang sudah bekcrja minimal 3 bulan dan berumur minimal 17 tahun.
Dikatakan gangguan suara bila terjadi peningkatan dua dari em pat parameter akustik. Semua data dianalisis dengan uji bivariat menggunakan chi-square, Mann-Whitney, dan T-test. Variabel dengan nilai p~,25 dianalisis multivariat dcngan binary logistic regression. Basil penelitian: SUbjek penelitian berjumlah 82 responden. Berdasarkan penelitian didapatkan proporsi gangguan suara pada pekerja call cenler 78% dan pekerja back office 51%. Pekerja call center mempunyai risiko 3,39 kali lebih besar untuk mengalami gangguan suara dibandingkan dengan back office (OR = 3,39; CJ = 1,18 - 9,95); tidak didapatkan hubungan faktor risiko dengan gangguan suara. Didapatkan perbedaan bennakna rerata parameter apq dan nhr pada pekerja call center dan back office, didapatkan perbedaan bennakna parameter apq terhadap suhu lingkungan (WBG1), dan didapatkan perbedaan bermakna rerata parameter nhr ~ pekerja call center dan back office yang mengalami gangguan suara. Kesimpulan dan saran: Proporsi gangguan suara didapatkan pada responden call center sebesar 78% (32 responden) dan pada responden buck office 51% (21 responden). Suhu lingkungan berpengaruh terhadap peningkatan parameter akustik apq pada karyawan call center dan back office. Pada call center dan back office yang mengalami gangguan suara peningkatan parameter nhr (gangguan harmonik) yang utama. Penyedian air minum yang mudah dijangkau bagi karyawan call center sehingga mereka bisa lebih sering minum untuk mengurangi bidrasi. Pada karyawan back office dalani satu ruangan tidak terlalu banyak orang yang mengakibatkan penguapan gas amoniak sehingga bisa menimbulkan iritasi mukosa pita suara. Suhu ruangan dipertahankan pada suhu yang nyaman. Pada call cenler disamakan dengan back office sehingga dapat mengurangi risiko gangguan suara."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007
T58998
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Nurdiana
"Latar belakang: Trakeostomi merupakan pembuatan lubang pada anterior trakea untuk memintas jalan napas. Pada prosedur trakeostomi dapat timbul komplikasi selama operasi dan pascaoperatif.
Tujuan: Mengetahui proporsi komplikasi trakeostomi, sebaran jenis komplikasi yang terjadi dan hubungan karakteristik subjek dengan komplikasi trakeostomi.
Metode: Disain penelitian ini adalah studi potong lintang pada 125 subjek yang menggunakan data sekunder berupa rekam medis.
Hasil: Indikasi sumbatan jalan napas atas merupakan indikasi trakeostomi terbanyak (45,6%). Penyakit primer terbanyak adalah tumor kepala leher (74,4%). Tindakan trakeostomi lebih banyak dilakukan di IGD (63,2%) dan lebih banyak dilakukan dalam keadaan tidak terintubasi (74,4%). Proporsi komplikasi trakeostomi sebesar 44,8%. Komplikasi terbanyak adalah komplikasi dini pascaoperatif (60,7%) berupa emfisema subkutis (82,4%). Dari hasil analisis bivariat, pasien usia dewasa tua bermakna meningkatkan terjadinya komplikasi trakeostomi (p=0,035). Indikasi sumbatan jalan napas juga bermakna meningkatkan terjadinya komplikasi (p=0,048) dan merupakan faktor yang paling kuat meningkatkan terjadinya komplikasi trakeostomi (p=0,025) setelah dilakukan analisis multivariat.
Kesimpulan: Proporsi komplikasi trakeostomi sebesar 44,8% dengan komplikasi terbanyak adalah emfisema subkutis. Indikasi sumbatan jalan napas atas adalah faktor yang paling kuat meningkatkan terjadinya komplikasi trakeostomi sehingga pada kasus tersebut harus dikerjakan secara hati-hati.

Background: Tracheostomy is making holes in the anterior trachea to bypass the airway. In the tracheostomy procedure can arise complications during and postoperative.
Objective: To determine the proportion of complications, the distribution of types of complications, the characteristics of the subject and its relationship with the complications.
Methods: The study design was cross-sectional study on 125 subjects using secondary data from medical records.
Results: The most tracheostomy's indication are upper airway obstruction (45,6%) and the most primary disease is head and neck tumors (74,4%). Tracheostomy performed most often in emergency room (63,2%) and more likely in unintubated patients (74,4%). The proportion of tracheostomy's complications is 44,8%. Most complication was subcutaneous emphysema (82,4%) from early postoperative complications (60,7%). From the results of bivariate analysis, old adults patient giving the incidence of tracheostomy's complications increasing significantly (p=0,035). Upper airway obstruction's indications is the most powerful factor increased the occurrence of tracheostomy's complications (p=0,025) with multivariate analysis.
Conclusions: The proportion of tracheostomy's complications is 44,8%. Most complication was subcutaneous emphysema from early postoperative complications. Upper airway obstruction is the most dominant factor in increasing the tracheostomy's complications, therefore in these cases the procedure should be done carefully.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Monasari
"

Latar belakang: Kanul dalam trakea yang dibersihkan secara rutin sangat penting untuk pencegahan infeksi. Belum diketahui cara pencucian kanul trakea yang baik untuk mengurangi kemungkinan terjadinya koloni bakteri pembentuk biofilm dan pertumbuhan kuman serta pola kuman pada kanul trakea.

Tujuan penelitian: Memperbaiki tatalaksana perawatan kanul trakea terkait dengan penghambatan koloni bakteri pembentuk biofilm, resistensi kuman terhadap antibiotika dengan kombinasi pencucian kanul trakea menggunakan klorheksidin dan NaCl 0,9% pada pasien yang menggunakan kanul trakea.
Metode: Terdapat 40 subjek yang dikelompokkan menjadi 20 subjek kelompok kontrol (dilakukan pencucian kanul menggunakan NaCl 0,9 % dicuci 100 ml selama 10 menit) sedangkan kelompok studi (pencucian kanul menggunakan NaCl 0,9 % sebanyak 100 ml lalu dicuci dengan cairan klorheksidin 2,5 % minimal 20 ml secara merata selama 10 menit). Penelitian ini menggunakan uji klinis acak terkontrol paralel 2 kelompok dengan penyamaran tunggal.
Hasil: Dari 40 subjek yang diteliti, didapatkan 17 subjek (85 %) masing-masing kelompok yang menghasilkan bakteri pembentuk biofilm sebelum dilakukan intervensi. Setelah dilakukan intervensi pada kelompok studi didapatkan, 15 subjek negatif biofilm dan 5 subjek positif biofilm p=0,001. Bakteri paling banyak ditemukan pada kelompok kontrol adalah Pseudomonas aeruginosa sedangkan pada kelompok studi masih didapatkan bebrapa bakteri seperti Acinetobacter sp. dan Proteus mirabilis. Amoxicilin-Clavulanat memiliki resisten yang paling tinggi terhadap bakteri pembentuk biofilm pada kedua kelompok. Piperacilin, ceftazidime, ciprofloxacin dan meropenem memiliki sensitifitas yang paling tinggi terhadap bakteri pembentuk biofilm.
Kesimpulan: Terdapat penurunan yang bermakna jumlah koloni yang menghasilkan biofilm pada kanul trakea pada kelompok studi dibandingkan kelompok kontrol dalam pencucian kanul trakea (p=0,001).

Background: Regular cleaning of the cannula in the trachea is very important for infection prevention. How to wash the tracheal cannula which is good to reduce the possibility of colonies of biofilm-forming bacteria and the growth of germs and the pattern of germs on the tracheal cannula is still unknown.
Aim : To improve the treatment of tracheal cannula related to inhibition of biofilm-forming bacterial colonies, resistance to antibiotics with a combination of washing the tracheal cannula using chlorhexidine and NaCl 0.9% in patients using tracheal cannula.
Methods: There were 40 subjects who were grouped into 20 subjects in the control group (washing the cannula using 0.9% NaCl washed 100 ml for 10 minutes) while the study group (washing cannula using 0.9% NaCl as much as 100 ml then washed with 2.5% chlorhexidine solution at least 20 ml evenly for 10 minutes). This study used a parallel randomized controlled trial of 2 groups with a single blinded.
Results: Of the 40 subjects studied, 17 subjects (85%) each group produced biofilm-forming bacteria prior to intervention. After intervention in the study group, 15 subjects were biofilm negative and 5 biofilm positive subjects p = 0.001. The most common bacteria found in the control group is Pseudomonas aeruginosa, while in the study group some bacteria such as Acinetobacter sp. and Proteus mirabilis. Amoxicilin-Clavulanate had the highest resistance to biofilm forming bacteria in both groups. Piperacillin, ceftazidime, ciprofloxacin and meropenem have the highest sensitivity to biofilm-forming bacteria.
Conclusion: There was a significant decrease in the number of colonies that produced biofilm in the tracheal cannula in the study group compared to the control group in tracheal cannula washing (p = 0.001).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siagian, Amanda A.T.
"Latar belakang: Trakeostomi adalah tindakan membuka leher anterior pada trakea untuk memintas saluran napas atas. Jumlah prosedur trakeostomi anak semakin meningkat setiap tahunnya dan prosedur trakeostomi pada anak dapat mengakibatkan komplikasi intraoperatif, dini  pascaoperatif, dan lanjut pascaoperatif. Tujuan: Mengetahui karakteristik trakeostomi anak, proporsi kejadian komplikasi, sebaran komplikasi dan faktor yang berpengaruh dan hubungannya dengan dua komplikasi yang tersering, sehingga dapat menurunkan angka kejadian komplikasi trakeostomi pada anak. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dari 97 subjek, data yang diambil berupa data sekunder rekam medik manual dan elektronik. Hasil: Karakteristik subjek trakeostomi yang paling sering adalah pada kelompok usia 28 hari-< 12 bulan (42,3%), jenis kelamin laki-laki (56,7%), status gizi baik (64,3%), dengan penyakit dasar masalah jalan napas (29,9%), dua komorbid (26,8%). Penyakit dasar tersering pada indikasi prolong intubasi adalah penyakit paru (n=26), pada indikasi sumbatan jalan napas adalah stenosis subglotis (n=13), dan pada indikasi proteksi jalan napas inadekuat adalah defisit neurologis (n=7). Indikasi trakeostomi terbanyak adalah prolong intubasi (57,7%), sebagian besar subjek dilakukan trakeostomi terintubasi (86,6%). Rata-rata intubasi terlama adalah  lebih dari 7 hari (57,7%), dengan rata-rata 20,1 hari (1─99 hari). Teknik insisi trakea tersering adalah vertical (81,4%), Sebagian besar subjek dilakukan stay suture (66%), dan hanya Sebagian kecil subjek yang dilakukan safety suture (3,1%). Ukuran kanul yang tersering digunakan adalah nomor ≤ 4 (46,4%), dengan jenis kanul terbanyak adalah tanpa balon (74,2%). Waktu penggantian kanul terbanyak adalah dalam jangka waktu lebih dari 3 bulan (27,8%), namun terdapat subjek yang tidak sempat dilakukan penggantian karena meninggal atau sudah dapat dilakukan dekanulasi (31,9%). Tindakan trakeostomi tersering dilakukan di ruang rawat intensif (60,8%). Dekanulasi dilakukan pada 12,4% subjek, dengan rata-rata waktu dekanulasi 212,67 hari. Proporsi komplikasi yang terjadi adalah 41%. Jenis komplikasi yang terbanyak adalah komplikasi lanjut pascaoperatif (25,8%), yaitu oklusi kanul (12,4%), dan dekanulasi spontan (9,3%). Dua komplikasi tersering adalah oklusi kanul (n=14), dan dekanulasi spontan (n=13). Jenis kelamin bermakna secara statistik (p=0,007)  terhadap terjadinya komplikasi trakeostomi anak pada penelitian ini dengan proporsi laki-laki 50% dan perempuan 23,8%. Kelompok umur bermakna secara statistik (p=0,036) terhadap terjadinya komplikasi dekanulasi spontan dengan proporsi 0-12 bulan sebesar 28,57%, 1-< 5 tahun sebesar 14,28%, dan 5-<18 tahun sebesar 0%. Kesimpulan: Proporsi komplikasi trakeostomi pada anak adalah 41%, dengan komplikasi tersering adalah oklusi kanul dan dekanulasi spontan. Kelompok umur bermakna secara statistik terhadap terjadinya dekanulasi spontan, dengan proporsi 0-12 bulan sebesar 28,57%. Perawatan pasca operasi harus dilakukan dengan teliti terutama pada kelompok usia 0-12 bulan

Background: Tracheostomy is the act of opening the anterior neck of the trachea to bypass the upper airway. The number of pediatric tracheostomy procedures is increasing every year and tracheostomy procedures in children can result in intraoperative, early postoperative, and late postoperative complications. Objective: To determine the characteristics of pediatric tracheostomy subjects, the proportion of complications, the distribution of complications and relevant factors and their association with the two most common complications, so as to reduce the incidence of pediatric tracheostomy complications. Methods: This study was a cross-sectional study of 97 subjects, the data taken were secondary data from manual and electronic medical records. Results: The most frequent characteristics of tracheostomy subjects were in the age group of 28 days-< 12 months (42.3%), male gender (56.7%), good nutritional status (64.3%), with underlying disease airway problems (29.9%), two comorbidities (26.8%). The most common underlying disease in the indication of prolonged intubation was pulmonary disease (n=26), in the indication of airway obstruction was subglottic stenosis (n=13), and in the indication of inadequate airway protection was neurological deficit (n=7). The most common indication for tracheostomy was prolonged intubation (57.7%), and most subjects underwent intubated tracheostomy (86.6%). The longest average intubation was more than 7 days (57.7%), with a mean of 20.1 days (1─99 days). The most common tracheal incision technique was vertical (81.4%), most subjects had a stay suture (66%), and only a small number of subjects had a safety suture (3.1%). The most commonly used cannula size was number ≤ 4 (46.4%), with the most common cannula type being uncuffed(74.2%). The most common time of cannula replacement was within a period of more than 3 months (27.8%), but there were subjects who did not have time for replacement because of death or could be decanulated (31.9%). Tracheostomy was most commonly performed in the intensive care unit (60.8%). Decanulation was performed in 12.4% of subjects, with an average decanulation time of 212.67 days. The proportion of complications that occurred was 41%. The most common types of complications were late postoperative complications (25.8%), such as cannula occlusion (12.4%), and spontaneous decanulation (9.3%). The two most common complications were cannula occlusion (n=14), and spontaneous decanulation (n=13). Gender was statistically significant (p=0.007) for the occurrence of pediatric tracheostomy complications in this study with a proportion of 50% males and 23.8% females. Age group was statistically significant (p=0.036) to the occurrence of spontaneous decanulation complications with the proportion of 0-12 months by 28.57%, 1-< 5 years by 14.28%, and 5-< 18 years by 0%. Conclusion: The proportion of tracheostomy complications in children was 41%, with the most common complications being cannula occlusion and spontaneous decanulation. Age group was statistically significant for spontaneous decanulation, with the proportion of 0-12 months at 28.57%. Postoperative care should be done carefully especially in the age group of 0-12 months."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Najib Ali
"Kanul trakeostomi merupakan salah satu alat medis yang umum diaplikasikan pada pasien. Pemasangan kanul trakeostomi berisiko menyebabkan pembentukan biofilm, terutama pada pemasangan jangka panjang. Pembentukan biofilm pada kanul trakeostomi dapat menimbulkan infeksi kronis dengan angka kekambuhan yang tinggi dan tata laksana yang sulit. Keberadaaan biofilm ini dapat diperiksa dengan beberapa metode, misalnya metode tabung dan microtiter plate (MTP). Penelitian ini bertujuan untuk menilai performa diagnostik metode tabung menggunakan media tryptic soy broth (TSB) dengan dan tanpa suplementasi glukosa 1% terhadap metode MTP sebagai baku emas. Diperoleh 100 isolat bakteri hasil biakan spesimen swab kanul trakeostomi yang berasal dari pasien dewasa Poliklinik Telinga Hidung Tenggorok Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Juni-Juli 2020. Total isolat bakteri yang menghasilkan biofilm berdasarkan metode MTP adalah 25%. Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri dengan tingkat produksi biofilm yang paling tinggi (66,7%). Metode tabung TSB murni dan TSB glukosa 1% memiliki sensitivitas yang sama (96%), namun metode TSB glukosa 1% lebih unggul dalam hal spesifisitas (29,3% berbanding 24%), nilai duga positif (31,2% berbanding 29,6%), nilai duga negatif (95,6% berbanding 94,7%), dan akurasi (46% berbanding 42%). Nilai kappa metode tabung TSB murni adalah 0,893 (IK 0,791-0,995) sedangkan TSB glukosa 1% adalah 0,890 (IK 0,785-0,995). Berdasarkan hasil tersebut, pemeriksaan biofilm metode tabung TSB glukosa 1% dapat digunakan sebagai skrining deteksi biofilm pada kanul trakeostomi.

Tracheostomy cannula is one of the medical devices commonly applied to patients. Application of tracheostomy cannula is at risk of causing biofilm formation, especially in long-term use. Biofilm formation in the cannula may cause chronic infection, which has a high relapse number and difficult treatment. The presence of biofilm can be detected by several methods, including the tube method and the microtiter plate (MTP) method. This study aimed to assess the diagnostic performance of the tube method using tryptic soy broth (TSB) with or without glucose supplementation to the MTP method as the gold standard. There were 100 bacterial isolates obtained from tracheostomy cannula swab culture from adult patients in Otorhinolaryngology Outpatient Clinic in Cipto Mangunkusumo Hospital from June to July 2020. Twenty-five percent of isolates were biofilm-producing bacteria. Pseudomonas aeruginosa had the highest biofilm production rate (66,7%). Both tube methods using TSB with or without 1% glucose supplementation had the same sensitivity (96%); however, TSB with 1% glucose supplementation was better in specificity (29,3% versus 24%), positive predictive value (31,2% versus 29,6%), negative predictive value (95,6% versus 94,7%), and accuracy (46% versus 42%). Kappa value of tube method of TSB only was 0,893 (CI 0,791-0,995) while TSB with 1% glucose supplementation was 0,890 (CI 0,785-0,995). Based on those results, the tube method of TSB with 1% glucose supplementation can be used as a screening tool to detect biofilm in tracheostomy cannula"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Meirida
"ABSTRAK
Latar belakang: Paparan cairan refluksat di daerah laring menyebabkan trauma pada mukosa laring baik secara langsung ataupun melalui mekanisme sekunder yang menyebabkan batuk kronis. Hal tersebut dapat menyebabkan gangguan suara yang memang sering dikeluhkan penderita RLF. Salah satu pemeriksaan penunjang diagnosis gangguan suara adalah analisis akustik suara dengan program komputer Multi-Dimensional Voice Program MDVP . Pemeriksaan ini relatif mudah dilakukan dan bersifat objektif. Tujuan penelitian: Mengetahui perbedaan nilai parameter akustik suara pada kelompok penderita RLF dibandingkan dengan kelompok bukan RLF. Metode: Penelitian komparatif cross sectional yang dilakukan di URJT Departemen THT FKUI-RSCM pada bulan Mei hingga November 2016 dengan subjek penelitian terdiri dari 40 orang pada kelompok penderita RLF dan 20 orang pada kelompok bukan RLF. Hasil: Beberapa nilai parameter akustik suara kelompok penderita RLF lebih tinggi secara bermakna daripada kelompok bukan RLF, pada subjek laki-laki terdapat pada parameter jitter, PPQ dan NHR sedangkan pada subjek perempuan terdapat pada parameter shimmer dan APQ. Selain itu juga terdapat perbedaan bermakna nilai parameter akustik suara jitter, PPQ, APQ dan NHR pada subjek laki-laki antara kelompok penderita RLF derajat ringan dan derajat sedang berat. Kata kunci: Analisis akustik suara, disfonia pada refluks laringitis, refluks laringofaring

ABSTRACT
Background Exposure gastric juice in the larynx causes trauma in laryngeal mucosa either directly or through secondary mechanism causes chronic cough. Trauma in laryngeal mucosa can cause voice problems, frequent complaint in patients with LPR. One of diagnostic examination of voice problem is acoustic voice analysis with Multi Dimensional Voice Program MDVP . This examination is relatively easy to do and give objective result. Purpose To determine differences a value of acoustic voice parameter in LPR patients compared with normal control group. Method Comparatif cross sectional study was conducted in Outpatient Clinic Cipto Mangunkusumo Hospital since May until November 2016 with 60 subjects, 40 subjects in LPR group and 20 subjects in control groups. Result Some values of acoustic voice parameter in LPR patients group are higher than normal control group. Male subjects were significant higher in jitter, PPQ and NHR. While on female were significant higher in t shimmer and APQ. There are also significant differences in value of acoustic voice parameter jitter, PPQ, APQ and NHR between groups of patients with mild LPR and moderate severely LPR in male subjects. Keywords Accoustic voice analysis, dysphonia in laryngopharyngeal reflux, laryngopharyngeal reflux."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nimim Putri Zahara
"ABSTRAK
Latar Belakang: Angifibroma nasofaring belia ANB adalah tumor fibrovaskular yang jarang, secara histologi bersifat jinak tetapi secara klinis ganas dengan angka kekambuhan yang masih tinggi. Angka kekambuhan pada tumor ini banyak dihubungkan dengan karakteristik tumor yang dapat dilihat dari sosiodemografi, klinis, gambaran radiologi, teknik pembedahan dan derajat vascular endothelial growth factor VEGF . Tujuan: Mengetahui hubungan antara karakteristik sosiodemografi, klinis, gambaran radiologi, teknik pembedahan dan derajat VEGF terkait kekambuhan ANB sebagai upaya untuk memprediksi adanya kekambuhan. Metode: penelitian dengan rancangan observasional pendekatan kohort retrospektif yang mengevaluasi karakteristik sosiodemografi, klinis, gambaran radiologi, teknik pembedahan dan derajat VEGF terkait kekambuhan. Hasil: didapatkan 38 jumlah kasus ANB, dengan kasus kambuh sebanyak 11 kasus dan tidak kambuh sebanyak 27 kasus. Insiden ANB terbanyak pada usia dekade kedua 12-30 tahun dengan rerata 15,8 tahun. Keseluruhan kasus berjenis kelamin laki-laki. Sumbatan hidung dan epistaksis merupakan keluhan utama pada semua kasus. Kekambuhan banyak ditemukan pada kasus usia muda, dengan onset cepat, stadium lanjut dan intensitas pewarnaan VEGF tinggi. Proporsi kekambuhan tidak berbeda secara statistik antara karakteristik sosiodemografik, klinis, gambaran radiologi, teknik pembedahan dan derajat ekspresi VEGF. Onset, massa tenggorok, stadium, embolisasi dan intensitas perwarnaan VEGF secara klinis mempunyai perbedaan yang bermakna. Pada penelitian ini embolisasi sebelum pembedahan tidak menurunkan angka kekambuhan. Kesimpulan: proporsi kekambuhan ANB sangat dipengaruhi oleh adanya residu tumor pasca operasi. Semakin bersih tumor diangkat, angka kekambuhan akan semakin menurun

ABSTRACT
Background Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma JNA is rare of fibrovascular tumor, histologically benign but clinically malignant with high recurrency rate. The recurrency rate of JNA was influenced by its characteristics that can be seen from sociodemografical, clinical, radiological, surgical and vascular endothelial growth factor VEGF . Objective the aim of this study is knowing the relation between sociodemographic, clinic, radiologic, surgical technique and expression of VEGF characteristic that influenced recurrency to predict the recurrency of JNA. Methods observasional design with retrospective cohort approach to evaluate the characteristic of sociodemografical, clinical, radiological, surgical technique, and expression of VEGF of JNA and the connection with recurrency. Result 38 cases, with 11 recurrence cases and 27 cases with disease free survival. The incidence of JNA mostly found in second decade 12 30 year with mean age 15,8 year old. All of the cases were male. Nasal blockage and epistaxis were the most common complaint in all cases. Recurrency rate is higher in young age, early onset, late stage and high expression of VEGF. Proportion of recurrency was not statistically significant among characteristics. Onset, oropharyngeal mass, stage, preoperative embolization and intensity of VEGF have clinically difference. In this study, preoperative embolization does not decrease recurrency rate. Conclusion the JNA rsquo s recurrence proportion was influenced by the residual tumor. The less residual tumor will dicrease the recurrency."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58668
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Natasha Supartono
"ABSTRAK
Laringektomi total merupakan prosedur yang umum dilakukan pada karsinoma sel skuamosa laring. Infeksi luka operasi merupakan salah satu komplikasi yang sering dan dapat memberikan dampak yang besar terhadap kualitas hidup pasien. Penggunaan antibiotika profilaksis merupakan salah satu cara pencegahan ILO namun belum ada literatur pasti yang menyebutkan penggunaan antibiotika profilaksis pada laringektomi total sebaiknya digunakan selama berapa lama. Penelitian ini merupakan suatu studi eksperimental kuasi dengan kontrol yang diambil secara retrospektif untuk melihat kejadian infeksi pasca operatif pada penggunaan Sefazolin sebagai antibiotika profilaksis perioperatif selama 5 hari pada kelompok eksperimen dibandingkan dengan kelompok kontrol statik dari data retrospektif yang menggunakan Sefazolin 30 menit sebelum insisi dan diteruskan dengan antibiotika yang berbeda selama lebih dari 12 hari di Divisi Laring Faring Departemen THT-KL FKUI-RSCM. Tiga dari 12 subyek mengalami infeksi pada kelompok eksperimen dan 2 dari 24 subyek mengalami infeksi pada kelompok kontrol. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna proporsi angka kejadian ILO pada kedua kelompok. Analisis univariat dan bivariat dilakukan untuk menilai beberapa faktor risiko dan studi ini menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara penyakit ginjal dan penyakit komorbid >1 dengan angka kejadian ILO.

ABSTRACT
Total laryngectomy is a common procedure in laryngeal squamous cell carcinoma. Surgical site infection is one frequent complication and it can have a major impact on patient rsquo s quality of life. The use of prophylactic antibiotics is one of the prevention of surgical site infections but there is no definite literature mentioning the use and how long should the prophylactic antibiotics be used in total laryngectomy. This study was a quasi experimental study with retrospective controls to look at the incidence of postoperative infection on the use of Cefazolin as the perioperative prophylactic antibiotics for 5 days on the experimental group compared to the static control group from retrospective data using Cefazolin 30 minutes before incisions and continued with different antibiotics for more than 12 days in Larynx Pharynx Division of ORL HNS Department of Medical Faculty of Universitas Indonesia. Three of 12 subjects had an infection in the experimental group and 2 of 24 subjects had an infection in the control group. There was no significant difference in the proportion of incidence of surgical site infections in both groups. Univariate and bivariate analyzes were performed to assess several risk factors and this study showed a significant association between renal disease and comorbid disease 1 with the incidence rate of surgical site infections.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58971
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silvina Natalia Setyoso
"Latar belakang: Refluks laringofaring LPR merupakan penyakit komorbid laringomalasia terbanyak, sehingga tata laksana laringomalasia mencakup penanganan LPR. Tujuan: Mengetahui karakteristik pasien, hubungan keteraturan berobat, dosis penghambat pompa proton PPI , dan faktor lain yang memengaruhi perbaikan klinis laringomalasia. Metode: Penelitian kohort retrospektif berdasarkan rekam medis. Subjek penelitian dipilih secara total sampling. Hasil: Total subjek adalah 95 rekam medis. Usia median pasien 3 bulan. Mayoritas pasien adalah lelaki, lahir cukup bulan, berat lahir cukup. Pada awal diagnosis, sebagian besar berstatus gizi baik, tidak gagal tumbuh, mengalami laringomalasia tipe 1, berderajat klinis sedang, skor gejala laringomalasia positif LSS , mengalami gejala refluks, tanpa pipa nasogastrik, tidak teratur berobat, dan mendapat PPI ge;1,0mg/kg/hari. Penyakit penyerta yang terbanyak adalah kelainan neurologi dan yang terjarang adalah penyakit refluks. Pasien yang berobat teratur mengalami perbaikan status gizi p=0,020 , derajat laringomalasia p=0,043 , nilai LSS p=0,002 , gejala refluks.

Background Laryngopharyngeal refluks LPR is laryngomalacia rsquo s most common comorbidity. Laryngomalacia management includes LPR treatment. Aim To describe the characteristics of patients, relationships of compliance, proton pump inhibitor PPI dosage, and other factors that contribute to clinical improvements. Methods Cohort retrospective study based on medical records. Subjects is recruited by total sampling. Results Total subject consists of 95 medical records. Median age is 3 months, majority are boys, born aterm, normal birth weight. Most patients are well nourished, thrive well, experienced type 1 laryngomalacia, moderate degree, positive laryngomalacia symptom score LSS , experienced reflux symptoms, did not require feeding tube, poor compliance to medication, and prescribed PPI ge 1,0mg kg day. The most common recorded comorbidity is neurologic abnormality, while the most infrequent is reflux. Good compliance is related to improvements of nutritional status p 0,020 , degree p 0,043 , LSS p 0,002 , reflux symptom p"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>