Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mardiati Nadjib
"Dalam kebijakan alokasi sumber daya kesehatan khususnya penyediaan pelayanan rawat jalan, kriteria penilaian keberhasilan adalah efisiensi, kualitas dan pemerataan. Pemerataan di bidang kesehatan telah menjadi aspek penting yang menjadi perhatian organisasi kesehatan dunia seperti Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Bank Dunia, namun aplikasinya belum berjalan dengan baik. Salah satu kendala yang dihadapi adalah cara mengukur pemerataan tersebut.
Pemerataan mengandung unsur keadilan (fairness), sehingga perhatian alokasi subsidi seharusnya diberikan menurut pertimbangan kebutuhan (need) dan kemampuan masyarakat. Mereka yang sakit dan miskin membutuhkan bantuan pemerintah agar dapat mencapai status kesehatan sama baiknya dengan mereka yang tidak miskin. Pemerataan yang berdasarkan unsur keadilan (equity) bukanlah pemerataan sumber daya yang berdasarkan asas ?sama rata' (equality), tetapi kondisi sama rata menurut standar kebutuhan (need). Kesetaraan (equality) merupakan bagian darn pemerataan yang adil (equity) tersebut.
Sebagai upaya untuk mencapai pemerataan akses (equity of access) maka alokasi sumber daya harus mengacu pada 3 kriteria: need, geografi dan sosioekonomi. Kebijakan alokasi sumber daya kesehatan di Indonesia cukup antisipatif terhadap kebutuhan masyarakat. Status kesehatan masyarakat telah meningkat pesat sampai dengan tahun 1997 yang lalu, dimana besaran Angka Kematian Bayi menurun dari 71 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1986 menjadi 43 per 1000 per kelahiran hidup pada tahun 1997. Demikian pula dengan indikator outcome lainnya. Penyediaan fasilitas meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1995 jumlah puskesmas tercatat sebanyak 7105 buah, sementara puskesmas pembantu berjumlah 20.672 buah, puskesmas keliling 6514 buah.
Meskipun demikian, ternyata hal tersebut belum menjamin sepenuhnya bahwa seluruh masyarakat di berbagai wilayah telah memiliki akses yang merata (equitable access). Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah: bagaimana gambaran pemerataan akses pelayanan rawat jalan di Indonesia dan apa determinannya? Penelitian ini bertujuan agar diperolehnya informasi mengenai pemerataan akses pelayanan rawat jalan di berbagai wilayah di Indonesia serta determinannya.
Hipotesis ditegakkan untuk membuktikan masih terdapatnya ketidakmerataan secara vertikal (vertical inequity) dan ketidakmerataan horisontal (horizontal inequity). Hipotesis pertama yang diajukan adalah probabilitas untuk akses ke pelayanan rawat jalan berbeda diantara kelompok sosioekonomi dan wilayah. Hipotesis kedua adalah akses pelayanan rawat jalan yang diukur dari penggunaan pelayanan menurut need di berbagai wilayah Indonesia belum merata, terdapat disparitas antarwilayah, yang berhubungan dengan faktor pengguna pelayanan, faktor ketersediaan pelayanan, faktor sosioekonomi, serta potensi wilayah.
Penelitian ini merupakan suatu studi cross sectional yang diharapkan dapat menghasilkan gambaran pemerataan pelayanan kesehatan_ Data yang digunakan adalah data sekunder dan suatu survei nasional rumah tangga di 13 propinsi, yaitu studi IFLS (Indonesia Family Life Survey) atau SAKERTI 1993 (Survai Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia) yang dilaksanakan pada tahun 1993?1994.
Dari jumlah populasi dewasa (14406 individu), setelah melalui proses pembersihan data diperoleh sampel penelitian 9616 individu yang mempunyai need (sepuluh macam gejala penyakit dalam empat minggu terakhir), dan 1627 atau 16,92% di antaranya adalah responden yang menggunakan pelayanan kesehatan rawat jalan. Untuk penyesuaian probabilitas sampel terhadap populasi propinsi, dilakukan pembobotan yang didasarkan atas penyesuaian dalam ekstrapolasi data yang berasal dari sampel cluster (normalized weighted).
Nilai rata-rata met need yang tinggi adalah pada mereka yang sosioekonominya tinggi/tidak miskin atau mereka yang tinggal di Jawa-Bali. Sebaliknya, nilai unmet need yang tinggi adalah pada mereka yang miskin dan tinggal di luar Jawa-Bali, baik didaerah urban maupun rural.
DKI Jakarta memiliki infrastruktur paling maju dan tingkat sosioekonomi masyarakat yang relatif tinggi. Pilihan pelayanan di DKI Jakarta terbanyak adalah pilihan swasta (69,2%) dengan rata-rata waktu menunggu yang tinggi. Hal ini menunjukkan tingginya demand masyarakat akan pelayanan modern, khususnya swasta.
Di propinsi Nusa Tenggara Barat, angka kunjungan sebenarnya relatif tinggi dibandingkan nilai rata-rata, namun pilihan fasilitas utama adalah fasilitas milik pemerintah dan tradisional. Selain itu Nusa Tenggara Barat juga mewakili daerah kemampuan dan kemauan membayar masyarakat untuk kesehatannya rendah, disamping potensi daerahnya juga relatif rendah.
Kalimantan Selatan meskipun memiliki angka rasio use/need yang tinggi, akses belum dapat dikatakan baik, mengingat masih banyak masyarakat menggunakan pelayanan tradisional (45,8%).
Hasil penelitian membuktikan bahwa semakin tinggi sosioekonomi individu, semakin rendah unmet need. Mereka yang tinggal di daerah urban dan memiliki jaminan asuransi kesehatan juga memiliki akses yang lebih baik. Dan seluruh responden yang menyatakan memanfaatkan pelayanan kesehatan milik pemerintah, 67% berasal dari daerah rural. Pada kelompok yang menyatakan tidak mengunjungi pelayanan kesehatan swasta selama empat minggu terakhir, 69,1% berasal dari daerah rural. Dari seluruh responden yang menyatakan pernah mencari pengobatan tradisional selama empat minggu terakhir, 76% berasal dari daerah rural.
Akses pelayanan rawat jalan di 13 propinsi dengan analisis kurva Lorenz menunjukkan gambaran ketidakmerataan horisontal (horizontal inequity) dimana rasio use/need yang tinggi dimiliki oleh kurang dari 20% penduduk terkaya.
Analisis multivariat pada total populasi dewasa sakit ditujukan untuk mendapatkan gambaran perbandingan antara unmet need (tidak akses) dan met need (akses). Analisis logistik regresi memberikan hasil bahwa individu yang tinggal di beberapa propinsi memiliki probabilitas untuk akses lebih tinggi. Namun, bila dilihat akses pada tiap jenis pelayanan, tampak adanya perbedaan. Variabel prediktor yang berhubungan dengan akses ke pelayanan milik Pemerintah adalah need, sosioekonomi, jenis kelamin, jaminan asuransi kesehatan dan status perkawinan. Variabel wilayah (urban-rural dan Jawa Bali-luar Jawa Bali) secara statistik tidak bermakna, berarti fasilitas milik Pemerintah cukup dimanfaatkan secara merata menurut wilayah. Untuk fasilitas swasta, probabilitas untuk akses tertinggi dimiliki oleh propinsi Bali, DKI Jakarta, dan Jawa timur.
Dibandingkan dengan individu yang tinggal di propinsi Sulawesi Selatan, mereka yang tinggal di propinsi Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Sumatra Barat terbukti memiliki probabilitas untuk memanfaatkan pelayanan tradisional 5 kali atau lebih. Jadi, pelayanan tradisional di beberapa propinsi masih memiliki daya ungkit tinggi terhadap pemerataan akses pelayanan kesehatan. Pada kelompok tidak miskin, mereka yang memiliki need tinggi memiliki probabilitas untuk akses 2,4 kali lebih tinggi dibandingkan mereka yang memiliki need rendah. Tetapi, pada kelompok miskin, mereka yang meiliki need tinggi memiliki probabilitas untuk akses 1,8 kali lebih tinggi dibandingkan mereka yang memiliki need rendah (p
Analisis regresi ganda pada tingkat individu sebelum distandardisasikan, pada kelompok need rendah variabel prediktor yang terbukti secara statistik bermakna adalah pilihan pelayanan, wilayah, waktu perjalanan dan kemauan membayar (R kuadrat= 0,191). Pada kelompok need tinggi, variabel prediktor yang secara statistik berhubungan bermakna dengan rasio use/need adalah umur, pilihan pelayanan, jenis kelamin, kemauan membayar, waktu perjalanan, dan waktu menunggu (R kuadrat~,223). Dengan menggunakan variabel terikat rasio use/need yang distandardisasikan dengan umur, variabel bebas yang terbukti bermakna adalah pilihan pelayanan, kemauan membayar, waktu perjalanan, dan waktu menunggu. Pada kedua subkelompok need, wilayah tidak berhubungan dengan akses (R kuadrat=0,120 dan 0,190), atau dengan kata lain terjadi pemerataan.
Analisis pada data kabupaten membuktikan bahwa variabel wilayah dan kemauan membayar mempengaruhi met need (akses) pada kelompok need rendah (R kuadrat--0,285), namun pada kelompok need tinggi variabel wilayah tidak bermakna secara statistik (R kuadrat=0,134) dengan nilai p<0,01. Analisis pada data kabupaten juga dilakukan dengan menggunakan variabel pengganti yang tersedia di BPS, yaitu PDRB perkapita, persentase penduduk miskin (yang terbukti bermakna secara statistik), dan persentase desa tertinggal (IDT). Hasil uji model membuktikan bahwa variabel yang bermakna secara statistik hanya persentase penduduk miskin pada kelompok need rendah (R kuadrat =0.207). Hal ini membuktikan bahwa status kesehatan belum merupakan salah satu kriteria alokasi sumber daya ekonomi secara makro, sehingga terdapat inequity.
Pengembangan model pemerataan akses pelayanan rawat jalan dalam penelitian ini didasarkan atas berbagai konsep mengenai akses. Konsep utama sebagai acuan adalah model Andersen (1968), Aday et al. (1980), Money (1987), Le Grand (1972), Wagstaff et al, (1989), Penchansky (1977), dan WHO (1995). Hongvivatana (1984) menilai akses sebagai suatu proses berkesinambungan (continuum process) mulai dari ketersediaan pelayanan hingga efektivitas pelayanan melalui pengukuran cakupan/hasil pemanfaatan pelayanan. Pengukuran pemerataan pelayanan hanya berdasarkan pencapaian cakupan yang dibandingkan dengan target populasi yang ditetapkan dari atas belum mencerminkan kenyataan yang sebenarnya pada tingkat pengguna (tingkat yang paling bawah dari proses pemanfaatan pelayanan yang disediakan).
Konsep pemerataan juga merupakan suatu proses berkelanjutan (continuum process). Pemerataan status kesehatan (diukur dengan meratanya angka mortalitas, morbiditas, dan akhirnya tercapainya `sehat untuk semua wellbeing dan kualitas hidup akan dapat dicapai bila pemerataan ketersediaan pelayanan, pemerataan akses, pemerataan kualitas pelayanan, dan pemerataan kemampuan dan kemauan membayar masyarakat telah tercapai.
Pemerataan secara mutlak atau absolut, baik pemerataan horisontal maupun vertikal, adalah tujuan akhir (ultimate goal) yang sulit dicapai. Hal ini disebabkan karena, pertama, banyaknya faktor yang mempengaruhi status kesehatan, dan kedua, kebijakan yang dikembangkan cenderung menekankan peran penyedia pelayanan saja. Negara-negara maju pun mempunyai masalah dengan ketidak merataan status kesehatan Mi. Meneliti pemerataan (equity) berarti meneliti ketidakmerataan (inequity), menilai ada tidaknya disparitas antarwilayah dan antarkelompok dalam masyarakat. Hal yang dapat dilakukan adalah mengurangi disparitas dengan mendorong masyarakat untuk memutuskan sendiri dalarn mencapai derajat kesehatan yang optimal.
Saran pertama yang diajukan adalah pemetaan pemerataan kesehatan dan pelayanan kesehatan. Perbandingan status kesehatan dan akses antar wilayah diusulkan untuk dilakukan secara rutin untuk memantau pemerataan hasil pembangunan.Penggunaan data set Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) dan SUSENAS diusulkan untuk dimanfaatkan secara rutin dalam menilai pemerataan akses. Penelitian lanjutan yang disarankan juga mencakup penilaian pemerataan bukan kuratif saja, tetapi juga preventif promotif dan pelayanan rawat inap.
Saran kedua adalah penelitian lanjutan dengan menyertakan variabel karakteristik dan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan. Untuk pemetaan pemerataan, variabel ini diusulkan untuk diukur dalam studi nasional seperti SUSENAS dan SKRT. Saran ketiga adalah peningkatan kemampuan untuk melaksanakan penelitian operasional dan survei cepat dalam mengidentifikasi need di wilayah masing-masing.
Saran keempat, agar dapat menjamin subsidi dapat dimanfaatkan oleh mereka yang miskin, diperlukan kemampuan para perencana kesehatan di daerah untuk mengidentifikasi wilayah-wilayah kantung kemiskinan (geographic targeting) serta analisis tingkat kemampuan masyarakat dan jumlah penduduk miskin di wilayah tertentu (individual targeting).
Saran kelima adalah realokasi sumber daya kesehatan yang adil. Di daerah-daerah dengan tingkat sosioekonomi relatif baik, subsidi pemerintah perlu direalokasi bagi daerah-daerah yang lebih membutuhkan dengan tingkat sosioekonomi rendah. Sektor swasta dapat meningkatkan perannya di daerah yang mampu. Sementara itu, pelayanan tradisional yang menjadi pilihan masyarakat di beberapa propinsi perlu ditingkatkan pembinaan dan pengawasan kualitas pelayanan medisnya. Demikian pula dengan peningkatan pengetahuan masyarakat mengenai swamedikasi.
Saran keenam, hambatan akses yang berasal dari faktor infrastruktur dapat diatasi apabila ada kerjasama lintas sektoral yang terpadu antara sektor kesehatan dengan sektor lainnya. Peningkatan status kesehatan merupakan salah satu indikator kesejahteraan masyarakat, sehingga upaya peningkatan status kesehatan masyarakat harus merupakan bagian integral dari upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan demikian pula sebaliknya, dalam upaya alokasi dalam sektor kesehatan sendiri, perlu memperhatikan faktor-faktor need, geografi dan sosioekonomi.
Saran ketujuh, pemerataan (equity) akan dapat dicapai melalui kerjasama yang baik antara pihak penyedia pelayanan dengan masyarakat. Kesenjangan antara perceived need dan normative need dapat dikurangi dengan peningkatan pendidikan formal masyarakat dan penyuluhan kesehatan masyarakat yang intensif.
Usulan peningkatan keterlibatan masyarakat dalam upaya peningkatan pemerataan juga diberikan dalam aspek kontrol sosial oleh masyarakat dalam pembangunan kesehatan (good governance). Misalnya, dengan membentuk suatu mekanisme koordinasi kesehatan di tingkat daerah yang terdiri dari unsur-unsur masyarakat dan penyedia pelayanan (institusi pelayanan dan penentu kebijakan). Hal ini sejalan dengan usul WHO untuk mendorong masyarakat untuk memutuskan sendiri dalam upaya meningkatkan pemerataan kesehatan. Saran lain adalah melibatkan masyarakat dalam pemantauan pengobatan tradisional dan pembiayaan pelayanan kesehatan/ kerja sama dana praupaya.
Saran kedelapan adalah bahwa upaya pemberian subsidi melalui sisi demand seperti yang telah dimulai melalui pemberian kartu sehat perlu diteruskan dengan perbaikan pada mekanisme distribusinya. Pemikiran lain adalah dengan memberikan subsidi melalui premi dana praupaya."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1999
D248
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhono Sumobaskoro
"ABSTRACT
The new approach to the Indonesia Air Transportation Policy, introduced in 1974, raises a number of issues which are of vital importance to the development of the country's air transportation system and the tourist sector. These issues concern the effectiveness of the alternative measures which were introduced as strategy in the new air transportation policy to achieve rational economic resource utilization as well as the influence of these measures on other national policy objectives, such as culture, security, foreign relations, and related national goals.
Indonesia's potential and resources for domestic and international tourism development are among the world's greatest. Yet the lack of an effective air transportation policy and system, which are the lifeblood of international tourism, has apparently prevented the country from further capitalizing on these generous natural capital endowments.
The study is an attempt to analyze whether the new policy approach has been effective in attaining the desired multi-objectives, and to advance some policy decision-making approaches towards solving the complex air transportation policy problems within the overall national setting .
The ultimate goals of the new policy in air transportation are the formulation and implementation of a policy which will be both conducive to the development of the national air transport industry and tourism, and at the same time give due protection against possible future pitfalls in other related sectors of the economy .however because of social, cultural, political, and other considerations or constraints, a certain trade-off among the objectives is inevitable. The policy-maker, striving towards an efficient management of air transport, tourist, and other related national resources has tried to devise a "policy-mix approach" to attain those multiple goals, some conflicting, some complementary, and a few irreconcilable or in-compatible.
In order to be able to more objectively evaluate how far the new policy has been able to achieve those policy goals, in other words, how far the policy has been formulated effectively so as to provide the best compromise between the conflicting policy objectives and accommodate most of the supplementary interests which are reconcilable, the dual trade-off analysis has been presented and developed in this study . This is further complemented with other policy decision-making approaches, including games theory, adapted in a participatory air access policy- options display.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1978
D343
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Simanjuntak, Edward G Hasiholan
"ABSTRAK
Dampak perubahan iklim mempengaruhi perekonomian dan masyarakat, tetapi saat ini belum tercermin dalam sistem akuntansi yang menjadi dasar pengambilan keputusan pembangunan ekonomi. Sistem akuntansi yang mengintegrasikan data ekonomi, sosial, dan lingkungan akan mendorong pembangunan berkelanjutan. Tujuan penelitian ini adalah membangun sistem akuntansi Social Environmental Economic Accounting Matrix SEEAM tahun 2008 yang mengintegrasikan Sistem Neraca Sosial Ekonomi SNSE , dengan dampak perubahan iklim yang ditimbulkan oleh emisi GRK dan menganalisis SEEAM untuk mengetahui dampak perubahan iklim pada ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Hasil penelitian berupa terbangunnya SEEAM perubahan iklim tahun 2008 yang mengambarkan penurunan PDB tahun 2008 sebesar Rp215.336,64 Miliar atau 4,18 PDB akibat dampak perubahan iklim. Lebih lanjut, analisis atas SEEAM menunjukkan bahwa pendapatan institusi, nilai tambah dan konsumsi atas output sektor produksi mengalami penurunan sebagai akibat dari dampak perubahan iklim. Kebaruan penelitian ini adalah pada penyusunan SEEAM yang mengintegrasikan kegiatan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup dengan menggunakan nilai moneter sehingga dapat menjadi alat analisis kebijakan pembangunan yang berkelanjutan.

ABSTRACT
Climate change have impacted to the economy and people but haven rsquo;t been incorporated in the national accounting system for decision making tool in the economic development. The accounting system that has already incorporated economy, social and environment data in it makes the development policy tend to more sustainable. This research want to develop the Social Environmental Economic Accounting Matrix SEEAM year 2008 by integrating Indonesia Social Accounting Matrix SAM 2008 with the impact of climate change to be used for decision making tool and, to know how the climate change will impact the economy and people walfare. The research has developed the Climate Change SEEAM year 2008 and shows that the decreasing of the GDP in 2008 by Rp215.336,64 Billion or 4,18 GDP caused by climate change. Furthermore, the climate change also decreases the income of the household, the value-added and the consumption of the production of the Sector. The novelty of the research is the development of the SEEAM that has already integrated the monetary value of the economy, social and environment activities for the economy development decision making tools. "
Jakarta: Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, 2018
D2493
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aca Sugandhy
"ABSTRAK
Pelestarian dan pemanfaatan kekayaan hayati kawasan fungsi lindung diperlukan bagi keseimbangan Iingkungan dan keberlanjutan pembangunan dalam pemenuhan kebutuhan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Salah satu cara pengelolaannya adalah dengan penetapan Taman Nasional.
Indonesia adalah negara kepulauan yang dinilai mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) baik di ekosistem daratan maupun lautan. Potensi kaanekaragaman hayati tersebut termasuk yang ada di kawasan taman nasional sangat penting bagi pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, papan dan obat-obatan dan ekowisata (ecotourism). Segara bioregional Indonesia terbagi dalam tujuh biogeografik region yaitu bio-regional Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Kepulauan Sunda Kecil, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya. Dalam Setiap bio-regional tersebut telah ditetapkan sejumlah taman nastonal.
Taman nasional adalah satu kawasan nasional yang ditetapkan sebagai salah satu kawasan konservasi fungsi ekosistem dan keanekaragaman hayati. Sebagai salah satu dari kawasan fungsi lindung yang merupakan subsistem dari suatu ruang wilayah mempunyal peran yang sangat strategis bagi pembangunan berkelanjutan.
Obyek penelitian adalah Taman Nasional menurut UU No. 5 tahun 1990 yaitu kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami; memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami; memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh; memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dlkembangkan sebagal pariwisata alam; merupakan kawasan yang dapat dibagl ke dalam zona Inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lainnya.

ABSTRACT
The conservation and utilization of biodiversity in the preservation area are needed for the environmental balance and sustainable development to meet the basic need and society welfare. One of the management effort is to designate the national park.
Indonesia is an archipelagic country which has domain the most richness of the biodiversity resources (mega biodiversity country) not only in the terrestrial ecosystem but also in the marine environment. The biodiversity potential includes those in the national park, is not USBU yet in an optimal way not only in direct use but also in an indirect way for meeting the need such as foods, clothes, shelters, medicines and ecotorism. Indonesia bio-region consist of seven biogeography region l.e. bioregional Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Kepulauan Sunda Kecil, Sulawesi, Maluku, dan lrian Jaya. In each bioregion consist of numbers of national park.
National park is a national area designated as an ecosystem and biodiversity conservation area. As one of the preservation area in a subsystem of the regional spatial structure it has a very strategic role for sustainable development.
As an object chosen for this study, a national park according to the Government of Indonesia Law Number 5 year 1990 is ah area which meet the criteria interalia as follows: appropriate size of land to maintain the sustainability of the natural ecological process; it has a unique and specific natural resources; it has one or more untouched ecosystem; it has an original natural conditions which are potential for developing the ecotourism. Internally national park area can be divided into various zone based on the function and it's structure of the ecosystem."
Depok: 2006
D720
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Yani
"ABSTRAK
Untuk mempertahankan manfaat ekosistem hutan dengan berbagai fungsinya, diperlukan suatu valuasi yang bersifat komprehensif dan terintegratif. Disamping itu, valuasi terhadap manfaat dari fungsi ekosistem hutan harus menganut prinsip nilai asuransi (insurance value).
Tujuan penelitian ini (1) Menghitung total nilai Manfaat bersih sekarang (NPV) kelayakan kegiatan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten. (2) Menghitung total nilai manfaat ekosistem hutan di Kabupaten Melawi (3) Menemukan model penentuan luas optimum areal perkebunan kelapa sawit pada suatu kawasan ekosistem hutan Hasil penelitian mendapatkan bahwa kegiatan perkebunan kelapa sawit tidak feasible untuk dilakukan dengan cara melakukan konversi terhadap ekosistem hutan. Jika hal ini dilakukan maka akan menimbulkan dampak kerugian lingkungan yang sangat signifikan dengan nilai NPV negatif sebesar Rp (248.349.067.033.000,-). Sementara itu analisis manfaat biaya mempertahankan ekosistem hutan adalah positif yaitu sebesar Rp 38.563.349.907.000,-.
Berdasarkan analisis suitabilitas menunjukkan bahwa dari total pencadangan areal perkebunan pada kawasan hutan seluas 234.348 ha, maka yang dapat dikonversikan untuk lahan perkebunan kelapa sawit hanya seluas 31.498 ha dan yang tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan seluas 202.850 ha.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah Konversi ekosistem hutan untuk dijadikan sebagai lahan perkebunan kelapa sawit dalam batas-batas tertentu di Kabupaten Melawi masih dapat dilakukan dengan syarat bahwa penentuan kelayakan luas areal perkebunan kelapa sawit harus menggunakan Indeks Ky. Indeks Ky adalah merupakan suatu indeks kompromi yang mengakomodasi 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan yaitu keberlanjutan lingkungan (ekologi), keberlanjutan sosial dan keberlanjutan ekonomi. Selain itu, indeks ini juga mendasari pada konsep pengelolaan sumbedaya hutan yaitu prinsip kehati-hatian (prudential principle) dan prinsip standar minimum yang aman ( safe minimum standar). Sehingga Indeks Ky ini dinamakan juga dengan Social, Economy and Environment Compromise Indeks (SEECI).
Hasil perhitungan dengan menggunakan pendekatan HHCA yang dilakukan di wilayah studi (Kabupaten Melawi) telah mendapatkan Indeks Ky sebesar 6,4401. Dengan menerapkan angka Indeks Ky ini, analisis suitabilitas terhadap total pencadangan areal perkebunan pada kawasan hutan di Kabupaten Melawi seluas 234.348 ha menemukan bahwa hanya 31.498 ha yang dapat dikonversi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit, dan 202.850 ha tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan. Dengan komposisi ini, nilai kerusakan akibat konversi kawasan hutan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit dapat diimbangi manfaat mempertahankan kawasan ekosistem hutan. Sehingga konsep pembangunan berkelanjutan dengan menciptakan keseimbangan lingkungan, ekonomi dan sosial dapat dicapai.

ABSTRACT
To maintain the benefits of forest ecosystems with a variety of functions, we need a valuation that is comprehensive and terintegratif. In addition, the valuation of the benefits of forest ecosystem function must adhere to the principle of insurance (insurance value).
The purpose of this study (1) Calculate the total net present value of benefits (NPV) Feasibility of oil palm plantations in the district. (2) Calculating the total value of the benefits of forest ecosystems in the District Melawi (3) Finding the optimum model for determining the area of oil palm plantations in an area of forest ecosystem.
The results find that the activities of oil palm plantations is not feasible to be done by way of conversion of forest ecosystems. If this is done it will cause environmental impacts are very significant losses with a negative NPV of USD (248.349.067.033.000, -). Meanwhile, the cost benefit analysis is positive to maintain the forest ecosystem that is Rp 38,563,349,907,000, -. Based suitabilitas analysis showed that of the total provisioning plantations on 234,348 ha of forest area, then that can be converted to oil palm plantations covering an area of only 31 498 ha and will be retained as an area of 202,850 ha of forest area.
The conclusion of this research is the Conversion of forest ecosystems to serve as oil palm plantations within certain limits in the District Melawi still can be done on condition that the determination of the feasibility of oil palm plantation area must use the Index Ky. Ky Index is an index of compromise that accommodates 3 (three) pillars of sustainable development is environmental sustainability (ecological), social sustainability and economic sustainability. In addition, this index also underlies the concept of management of forest resources towards the fulfillment of the principle of prudence (prudential principle) and the principle of minimum standards of safe (safe minimum standards). So the index is called Ky also with Social, Economy and Environment compromise Index (SEECI).
The result using the approach HHCA conducted in the study area (District Melawi) has gained Ky. index of 6.4401. By applying this Ky index numbers, analysis suitabilitas of the total plantation area in the reserve forest area in the district covering an area of 234,348 ha Melawi found that only 31 498 ha which can be converted into oil palm plantations, and 202,850 ha will be retained as forest area. With this composition, the value of damage caused by conversion of forests into oil palm plantations can offset the benefits of maintaining forest ecosystem area. Thus the concept of sustainable development by creating a balance environmental, economic and social development can be achieved."
Depok: 2011
D-Pdf
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Yani
"ABSTRAK
Untuk mempertahankan manfaat ekosistem hutan dengan berbagai fungsinya, diperlukan suatu valuasi yang bersifat komprehensif dan terintegratif. Disamping itu, valuasi terhadap manfaat dari fungsi ekosistem hutan harus menganut prinsip nilai asuransi (insurance value).
Tujuan penelitian ini (1) Menghitung total nilai Manfaat bersih sekarang (NPV) kelayakan kegiatan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten. (2) Menghitung total nilai manfaat ekosistem hutan di Kabupaten Melawi (3) Menemukan model penentuan luas optimum areal perkebunan kelapa sawit pada suatu kawasan ekosistem hutan Hasil penelitian mendapatkan bahwa kegiatan perkebunan kelapa sawit tidak feasible untuk dilakukan dengan cara melakukan konversi terhadap ekosistem hutan. Jika hal ini dilakukan maka akan menimbulkan dampak kerugian lingkungan yang sangat signifikan dengan nilai NPV negatif sebesar Rp (248.349.067.033.000,-). Sementara itu analisis manfaat biaya mempertahankan ekosistem hutan adalah positif yaitu sebesar Rp 38.563.349.907.000,-.
Berdasarkan analisis suitabilitas menunjukkan bahwa dari total pencadangan areal perkebunan pada kawasan hutan seluas 234.348 ha, maka yang dapat dikonversikan untuk lahan perkebunan kelapa sawit hanya seluas 31.498 ha dan yang tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan seluas 202.850 ha.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah Konversi ekosistem hutan untuk dijadikan sebagai lahan perkebunan kelapa sawit dalam batas-batas tertentu di Kabupaten Melawi masih dapat dilakukan dengan syarat bahwa penentuan kelayakan luas areal perkebunan kelapa sawit harus menggunakan Indeks Ky. Indeks Ky adalah merupakan suatu indeks kompromi yang mengakomodasi 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan yaitu keberlanjutan lingkungan (ekologi), keberlanjutan sosial dan keberlanjutan ekonomi. Selain itu, indeks ini juga mendasari pada konsep pengelolaan sumbedaya hutan yaitu prinsip kehati-hatian (prudential principle) dan prinsip standar minimum yang aman ( safe minimum standar). Sehingga Indeks Ky ini dinamakan juga dengan Social, Economy and Environment Compromise Indeks (SEECI).
Hasil perhitungan dengan menggunakan pendekatan HHCA yang dilakukan di wilayah studi (Kabupaten Melawi) telah mendapatkan Indeks Ky sebesar 6,4401. Dengan menerapkan angka Indeks Ky ini, analisis suitabilitas terhadap total pencadangan areal perkebunan pada kawasan hutan di Kabupaten Melawi seluas 234.348 ha menemukan bahwa hanya 31.498 ha yang dapat dikonversi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit, dan 202.850 ha tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan. Dengan komposisi ini, nilai kerusakan akibat konversi kawasan hutan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit dapat diimbangi manfaat mempertahankan kawasan ekosistem hutan. Sehingga konsep pembangunan berkelanjutan dengan menciptakan keseimbangan lingkungan, ekonomi dan sosial dapat dicapai.

ABSTRACT
To maintain the benefits of forest ecosystems with a variety of functions, we need a valuation that is comprehensive and terintegratif. In addition, the valuation of the benefits of forest ecosystem function must adhere to the principle of insurance (insurance value).
The purpose of this study (1) Calculate the total net present value of benefits (NPV) Feasibility of oil palm plantations in the district. (2) Calculating the total value of the benefits of forest ecosystems in the District Melawi (3) Finding the optimum model for determining the area of oil palm plantations in an area of forest ecosystem.
The results find that the activities of oil palm plantations is not feasible to be done by way of conversion of forest ecosystems. If this is done it will cause environmental impacts are very significant losses with a negative NPV of USD (248.349.067.033.000, -). Meanwhile, the cost benefit analysis is positive to maintain the forest ecosystem that is Rp 38,563,349,907,000, -. Based suitabilitas analysis showed that of the total provisioning plantations on 234,348 ha of forest area, then that can be converted to oil palm plantations covering an area of only 31 498 ha and will be retained as an area of 202,850 ha of forest area.
The conclusion of this research is the Conversion of forest ecosystems to serve as oil palm plantations within certain limits in the District Melawi still can be done on condition that the determination of the feasibility of oil palm plantation area must use the Index Ky. Ky Index is an index of compromise that accommodates 3 (three) pillars of sustainable development is environmental sustainability (ecological), social sustainability and economic sustainability. In addition, this index also underlies the concept of management of forest resources towards the fulfillment of the principle of prudence (prudential principle) and the principle of minimum standards of safe (safe minimum standards). So the index is called Ky also with Social, Economy and Environment compromise Index (SEECI).
The result using the approach HHCA conducted in the study area (District Melawi) has gained Ky. index of 6.4401. By applying this Ky index numbers, analysis suitabilitas of the total plantation area in the reserve forest area in the district covering an area of 234,348 ha Melawi found that only 31 498 ha which can be converted into oil palm plantations, and 202,850 ha will be retained as forest area. With this composition, the value of damage caused by conversion of forests into oil palm plantations can offset the benefits of maintaining forest ecosystem area. Thus the concept of sustainable development by creating a balance environmental, economic and social development can be achieved."
Depok: 2011
D1293
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dadang Sudirman
"Disertasi ini membahas biaya kompensasi kegiatan pertambangan di hutan lindung dalam rangka mencari biaya kompensasi optimal karena hilangngnya fungsi ekosistem. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain ekploratory dan pengembangan. Pemanfaatan hutan lindung untuk kegiatan pertambangan batubara membawa konsekuensi terhadap keberlanjutan fungsi ekosistem hutan lindung yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan. Diperlukan adanya biaya kompensasi yang mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan ekologi atas pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan.
Hasil penelitian ini menyarankan untuk diterapkannya biaya kompensasi terhadap perusahaan pertambangan batubara atas kerusakan ekosistem. Penggunaan biaya kompensasi, prioritas diberikan kepada masyarakat sekitar tambang dan pemulihan (restorasi) ekosistem.

This dissertation discusses the compensation cost for mining activity in protected forest for the purpose of seeking the optimal compensation cost due to the loss of the ecosystem function. It is a quantitative research with an exploratory and development design. The utilization of protected forest for coal mining activity will have a consequence on the continuity of its ecosystem function, whose primary function is to protect the life support system. Therefore, it is necessary to have a compensation cost scheme that takes into account the social, economy and ecological aspects of the utilization of protected forest for mining activity.
This research recommends that coal-mining company should be obliged to disburse some compensation cost for the damage they caused to the ecosystem. The community around the mines and the efforts for restoring the ecosystem shall be given the priority to receive the fund collected.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2011
D1303
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Herdianto Wahyu Kustiadi
"ABSTRAK
Disertasi ini mengaji tentang konsep dan model keberlanjutan ibukota negara sebagai kota tempat penyelenggaraan pusat pemerintahann nasional dalam mengambil kebijakan nasional. Ibukota negara memiliki fungsi, infrastruktur dan fasilitas, kebutuhan security dan amenity yang berbeda dengan kota (indikator FISA). Agar ibukota negara berkelanjutan dibutuhkan kegiatan yang mengutamakan fungsi pemerintahan dan jasa pendukung, infrastruktur dan fasilitas, kebutuhan security dan amenity (keberlanjutan FISA). Membangun ibukota negara dengan mengutamakan pertumbuhan ekonomi justru menimbulkan bangkitan dan tarikan pertumbuhan penduduk yang berdampak pada meningkatnya kebutuhan pembangunan infrastruktur, mengurangi luasan lahan untuk fungsi ekosistem, meningkatnya kepadatan kota dan mempengaruhi kondisi sosial kota. Umpan balik dari menurunnya kualitas lingkungan dan kondisi sosial ini menjadi faktor pembatas yang menekan perkembangan ekonomi dan keberlanjutan ibukota negara. Implikasi konsep keberlanjutan FISA untuk pembangunan berkelanjutan Jakarta sebagai ibukota NKRI adalah dilakukan distribusi fungsi untuk memperkuat fungsi pusat pemerintahan dan jasa pendukungnya, penguatan kawasan pusat pemerintahan nasional di Kawasan Monas dan Lapangan Banteng, dan membangun kelembagaan Pemerintahan Kota Jakarta Pusat dengan tugas khusus sebagai pengelola fasilitas ibukota negara."
Depok: 2011
D1307
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Soemarno Witoro Soelarno
"Pertambangan mempunyai kekuatan yang signifikan untuk dikembangkan sebagai penggerak pembangunan di daerah terpencil dimana pertambangan itu berada. Namun, apabila kebergantungan daerah tersebut cukup besar pada pertambangan, pada suatu saat apabila kegiatan pertambangan berakhir maka dapat menyebabkan shock pada banyak aspek, misalnya terhentinya kegiatan perekonomian, pengangguran, meningkatnya kriminalitas, dan keresahan sosial lainnya.
Hasil Proses Hierarki Analisis menunjukkan bahwa pada perencanaan penutupan tambang yang menunjang pembangunan berkelanjutan, para pihak pemangku kepentingan sepakat faktor perlindungan dan kelestarian fungsi lingkungan mendapat bobot paling besar untuk diperhatikan, kemudian diikuti oleh pembangunan dan keberlanjutan ekonomi, serta sosial dan kesehatan masyarakat. Para pihak pemangku kepentingan sepakat bahwa penggunaan lahan bekas tambang diprioritaskan untuk kawasan perkebunan, dengan alternatif lain untuk dikembangkan adalah budidaya perairan Sena kawasan wisata. Pemerintah Daerah dan perusahaan tambang dipandang sebagai pihak yang mempunyai peran besar pada keberhasilan perencanaan dan plaksauaan penutupan tambang. Sektor pertanian menjadi sektor yang paling konvergen (sesuai) untuk menggantikan sektor pertambangan pada masa pasca tambaug.
Permodelan system dynamics menunjukkan bahwa kombinasi pengusahaan tanaman karet, kelapa sawit, dan hutan dengan dana investasi dari royalti batubara, dapat mendukung pembangunan berkelanjutan di wilayah Kabupaten Kutai Timur pada masa pasca tambang. Manfaat ekonomi dari penanaman hutan diperoleh dari kompensasi penyerapan karbon melalui Mekanisme Pembangunan Bersih, basil hutan non kayu, dan pemanenan hasil kayu secara berkelanjutan. Reinvestasi dari bagian pendapatan hasil tambang melalui mekanisme Dana lnvestasi Pembangunan Berkelanjutan (DIPB), mampu difungsikan sebagai MODAL untuk pembangunan berkelanjutan.
Daerah-daerah yang mempunyai kebergantungan yang tinggi pada hasil tambang, perlu menyusun kebijakan tentang alokasi pemanfaatan pendapatan dari pertambangan, agar pembangunan dapat berlaujut pada periode pasca tambang.

Mining industry has a significant potency as the prime mover of the development in the area where mining is developed, especially in remote area. But if the region too dependent on mining revenue, some day, whenever the mining is ceased it will shock some aspects; it could stop the economic activities, it will cause unemployment, the raise of crime, and some other social disquiets.
Result of Analytical Hierarchy Process shows that factor of protection and continuation of environmental functions gets the largest portion to be concerned in mining closure plan that supporting the sustainable development, followed by the social, economic and public health development and continuation. Stakeholders agreed to define post mining land use for plantations and water preserve and also as a tourism site. Local Government and mining company were assumed have very important role on the efficacy ofthe planning and the practice of mining closure. In the period of post mining, agriculture sector is the most convergent sector to replacing the mining sector.
Simulation with system dynamics shows that a combination of palm oil and rubber plantation, and forestry funded by invested fund ji-om the coal royalty, so called as Investment Fund for Sustainable Development, could support the sustainable development in the period of post mining. Economic rent from forestry obtained by compensation through Clean Development Mechanism, sustainable forest products, non timber forest products, and environmental services provided by forest. Reinvestment of fund generated from mineral royalty through Investment Fund for Sustainable Development is able to be functioned as CAPITAL for sustainable development.
Regions with high dependency to mineral revenue, need to formulate policy with regard to mineral revenue allocation and utilization for supporting sustainable development in the post mining period.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
D1540
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>