Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Reni Rozanti Basyar
"Disfagia merupakan ketidakmampuan menelan dengan cara yang aman dan efisien, yang dihasilkan dari berbagai kondisi medis. Identifikasi awal gangguan menelan sangat penting untuk dilakukan karena dapat menyebabkan berbagai komplikasi seperti dehidrasi, malnutrisi, dan pneumonia aspirasi. Gugging Swallowing Screen (GUSS) merupakan suatu alat uji penapisan disfagia yang menggunakan 3 konsistensi berbeda untuk ditelan (semisolid, cair dan padat). Instrumen ini memungkinkan penilaian bertahap dari kemampuan menelan, memprediksi tingkat keparahan disfagia, dan memungkinkan rekomendasi tekstur diet. Penelitian ini bertujuan untuk menguji kesahihan dan keandalan instrumen GUSS yang diadaptasi dan diterjemahkan kedalam budaya dan bahasa Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan di poliklinik Departemen Rehabilitasi Medik RSCM dari 1 Oktober 2021 hingga 31 Desember 2021. Metode yang digunakan adalah desain potong lintang dengan sampel berjumlah 47 orang. Uji kesahihan konstruk dinilai dengan menghitung nilai r hitung pada corrected item total correlation yang berkisar antara 0,502-0,913 dengan rerata 0.783. Nilai keandalan GUSS didapatkan dari uji konsistensi internal, uji test-retest, serta inter-rater. Nilai konsistensi internal koefisien Cronbach’s α keseluruhan 0,939, sedangkan nilai masing-masing subtes 0,939 pada tes menelan tidak langsung, 0,793 tes menelan langsung. Uji test-retest dengan waktu minimum dari 1 uji ke uji berikutnya adalah 2 jam, didapatkan nilai intraclass correlation coefficient (ICC) 0,939 (95% confidence interval 0,910 – 0,962). Perhitungan uji statistik Kappa antar dua pemeriksa berdasarkan total item didapatkan nilai koefisien к=0,789 (p<0,001). Berdasarkan proses translasi, adaptasi bahasa, uji kesahihan dan keandalan maka dapat disimpulkan GUSS versi bahasa Indonesia merupakan instrumen yang sahih dan memiliki keandalan yang baik antara rater untuk digunakan sebagai alat uji penapisan tingkat keparahan disfagia di Indonesia.

Dysphagia is the inability to swallow safely and efficiently, resulting from various medical pathologies. Early identification of swallowing disorders is very important because it can cause complications such as dehydration, malnutrition, and aspiration pneumonia. Gugging Swallowing Screen (GUSS) is a dysphagia screening tool that uses 3 different consistencies to be swallowed (semisolid, liquid and solid). This instrument allows a stepwise assessment of swallowing ability, predicts the severity of dysphagia, and allows recommendations for dietary texture. This study aims to examine the validity and reliability of the GUSS instrument which was adapted and translated into Indonesian culture and language using the WHO guideline. This research was conducted at the RSCM Medical Rehabilitation Department Polyclinic from 1 October 2021 to 31 December 2021. The method used was a cross-sectional design with a sample of 47 people. The validity test was assessed by calculating the value of corrected item total correlation 0.783(95% confidence interval 0.502-0.913). The reliability test of GUSS is obtained from internal consistency, test-retest, and inter-rater tests. The overall internal consistency value of Cronbach's α coefficient is 0.939, while the value of each subtest is 0.939 on the indirect swallowing test, 0.793 on the direct swallowing test. Test-retest test with a minimum time from 1 test to the next test is 2 hours, obtained an intraclass correlation coefficient (ICC) value of 0.939 (95% confidence interval 0.910 – 0.962). Calculation of the Kappa statistical test between two examiners based on total items obtained a coefficient value of к=0.789 (p<0.001). Based on the translation process, language adaptation, validity, and reliability tests, it can be concluded that the Indonesian version of the GUSS is a valid instrument and has good reliability among raters to be used as a screening test tool for the severity of dysphagia in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Priambodo Kusumo
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh latihan Chin Tuck Against Resistance (CTAR) dengan latihan Shaker terhadap peningkatan kekuatan kontraksi otot suprahyoid pada pasien karsinoma nasofaring dengan disfagia pasca kemoradiasi. Penelitian ini merupakan studi pendahuluan pada karsinoma nasofaring pasca kemoradiasi yang datang berobat ke Poliklinik Rehabilitasi Medik RSUPN Cipto Mangunkusumo. Pemeriksaan nilai kekuatan kontraksi otot suprahyoid dengan menggunakan alat Vitalstim. Data diambil pada baseline, minggu ke-2, dan minggu ke-4. Latihan dilakukan di rumah dan latihan biofeedback di Poliklinik Rehabilitasi Medik RSUPN Cipto Mangunkusumo 2 kali seminggu. Subjek penelitian terdiri dari 8 Latihan CTAR dan 6 latihan Shaker. Terdapat peningkatan kekuatan kontraksi otot suprahyoid pada Latihan CTAR pada minggu ke-2 dry swallowing : 93,5(51-118), p<0,05, isotonik : 114(48-140), p<0,05. Peningkatan kekuatan kontraksi otot suprahyoid Latihan Shaker terjadi pada minggu ke-4 dry swallowing :102,5(35-162), p<0,05, isometrik : 83(61-139), p<0,05, Isotonik : 121(73-151), p<0,05. Tidak didapatkan perbedaan yang signifikan jika dibandingkan antara Latihan CTAR dan Latihan Shaker. Kesimpulan penelitian ini adalah kedua kelompok menunjukkan peningkataan kekuatan kontraksi otot suprahyoid dari data baseline setelah 4 minggu latihan, namun perbandingan antar kedua kelompok tidak berbeda signifikan. Latihan CTAR memberikan perbaikan sejak minggu ke-2, sedangkan latihan Shaker pada minggu ke-4.

This study aims to determine the effect of Chin Tuck Against Resistance (CTAR) exercise with Shaker exercise on increasing the strength of suprahyoid muscle contraction in nasopharyngeal carcinoma patients with post-chemoradiation dysphagia. This research is a preliminary study on nasopharyngeal carcinoma after chemoradiation who came to the Medical Rehabilitation Polyclinic of Cipto Mangunkusumo Hospital. Examination of the strength value of suprahyoid muscle contraction using the Vitalstim tool. Data were taken at baseline, week 2, and week 4. Exercises were performed at home and biofeedback exercises at the Medical Rehabilitation Polyclinic of Cipto Mangunkusumo Hospital twice a week. The study subjects consisted of 8 CTAR exercises and 6 Shaker exercises. There was an increase in suprahyoid muscle contraction strength in CTAR Exercise at week 2 of dry swallowing: 93.5 (51-118), p<0.05, isotonic: 114(48-140), p<0,05. Increased suprahyoid muscle contraction strength Shaker exercise occurred at week 4 dry swallowing: 102.5 (35-162), p<0.05, isometric: 83 (61-139), p<0.05, Isotonic: 121(73-151), p<0,05. There was no significant difference when compared between CTAR Exercise and Shaker Exercise. This study concludes that both groups showed increased suprahyoid muscle contraction strength from baseline data after 4 weeks of training. Still, the comparison between the two groups was not significantly different. CTAR exercise provides improvement since week 2, while the Shaker exercise in week 4. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Atika Ghassani
"Menelan merupakan mekanisme neurologis dan perilaku kompleks dikontrol oleh otak. Kemampuan menelan memerlukan fungsi kognitif yaitu atensi, memori dan fungsi eksekusi. Disfagia pada stroke disebabkan oleh hilangnya jaringan konektivitas menelan karena berkurangnya aktivasi regio yang terkena dan hemisfer kontralateral. Pada stroke iskemik, lesi otak yang terkena dapat mempengaruhi menelan dan fungsi kognitif. Penurunan fungsi kognitif dapat mempengaruhi fungsi menelan dengan berkurangnya fungsi lipseal, pergerakan otot-otot lidah yang mengakibatkan adnya residu sehingga menjadi disfagia oral. Penelitian ini merupakan studi cross-sectional pada 72 subjek stroke subakut-kronik stroke iskemik. Subjek dengan nilai MoCA <26 akan dilakukan pemeriksaan disfagia dengan FEES (Flexible Endoscopic Evaluation of Swallowing). Hasil penelitian didapatkan 38 subjek dengan disfagia dan 34 orang dengan non-disfagia, dengan rata-rata nilai MoCA INA 23. Domain yang paling terganggu adalah visuospasial/fungsi eksekutif, memori dan atensi. Kesimpulan penelitian ini adalah tidak didapatkan hasil yang signifikan hubungan fungsi kognitif terhadap kejadian disfagia.

Swallowing is a complex neurological and behavioral mechanism controlled by the brain. Swallowing ability requires cognitive function consists attention, memory and execution function. Dysphagia in stroke is caused by loss of swallowing tissue connectivity due to decreased activation of the affected and contralateral hemispheres. In ischemic stroke, the affected brain lesion can simultaneously affect swallowing and cognitive function. Decreased cognitive function can affect swallowing function which decreased lipseal function, impaired movement of the tongue muscles affected residues in the mouth and result in oral phase dysphagia. The research method used was a cross-sectional on 72 subacute-chronic ischemic stroke subjects. Subjects with MoCA INA results <26 will be assessed for their dysphagia using FEES (Flexible Endoscopic Evaluation of Swallowing). Of the 72 subjects with MoCA INA score <26, 38 subjects had dysphagia and 34 Non-dysphagia. The mean value of the MoCA INA was 23. The most impaired of cognitive domains was visuospatial/executive function, memory and attention. There is no significant relationship between cognitive function and the incidence of dysphagia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mellisya Ramadhany
"Gangguan menelan atau disfagia sering dijumpai pada pasien stroke, kanker kepala dan leher, serta lansia. Disfagia dapat meningkatkan risiko malnutrisi, aspirasi, dan kematian. Pasien disfagia juga rentan mengalami ansietas atau depresi yang berdampak pada penurunan kualitas hidup. Dysphagia Handicap Index (DHI) merupakan instrumen swaisi yang dirancang khusus untuk menilai kualitas hidup pasien disfagia. Instrumen DHI terdiri dari 25 pertanyaan yang meliputi penilaian domain fisik, fungsional, dan emosional, serta telah diterjemahkan dan divalidasi dalam berbagai bahasa. Penelitian ini bertujuan untuk menguji validitas dan reliabilitas DHI versi Bahasa Indonesia. Kuesioner DHI diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia melalui proses forward translation dan backward translation, serta cognitive debriefing. Hasil terjemahan balik juga didiskusikan dan disetujui oleh penulis utama DHI. Kuesioner DHI versi Bahasa Indonesia (DHI-INA) final kemudian diujikan kepada 46 subjek dengan berbagai etiologi disfagia. Sebanyak 20 subjek kemudian melakukan pengisian ulang satu minggu setelah pengisian pertama. DHI-INA menunjukkan korelasi yang kuat antara masing-masing domain dan skor total [fisik (r = 0,93); fungsional (r = 0,97); emosional (r = 0,93); dan keparahan (r = 0,84)]. Konsistensi internal DHI-INA juga menunjukkan nilai yang baik (Cronbach's = 0,87), begitu pula uji tes-retest untuk skor total (ICC = 0,94). Tingkat keterbacaan DHI-INA setara dengan kelas 7 berdasarkan formula grafik Fry. Kuesioner DHI-INA merupakan kuesioner yang valid dan reliabel untuk menilai kualitas hidup pasien disfagia.

Swallowing problem or dysphagia often found in stroke patients, head and neck cancer, and elderly. Dysphagia increases the risk of malnutrition, aspiration, and death. Patient with dysphagia also prone to have anxiety or depression which has an impact on decreasing quality of life. The Dysphagia Handicap Index (DHI) is a self-administered instrument specially designed to assess the quality of life of dysphagic patients. The DHI instrument consists of 25 questions covering physical, functional, and emotional aspects and has been translated and validated into various languages. This study aims to test the validity and reliability of the Indonesian version of DHI. The DHI questionnaire was translated into Indonesian through a forward and backward translation process, and cognitive debriefing. The backward translation results were discussed and approved by the lead author of DHI. The final Indonesian version of the DHI Questionnaire (DHI-INA) was then tested on 46 subjects with various etiologies of dysphagia. A total of 20 subjects were then refilled one week after the first administration. DHI-INA showed strong correlation between each domain and total score [physical (r = 0.93); functional (r = 0.97); emotional (r = 0.93); and severity (r = 0.84)]. The internal consistency of DHI-INA was also good (Cronbach's a = 0.87), as well as test–retest reliability for the total scores (ICC = 0.94). The readability level of DHI-INA is 7th grade using the Fry graph formula. The DHI-INA questionnaire is a valid and reliable questionnaire to assess the quality of life of dysphagia patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Michael Keenan Efendi
"Latar Belakang Salah satu komplikasi yang paling sering terjadi dari stroke adalah PSD (post-stroke dysphagia). Hingga saat ini, belum banyak penelitian yang dilakukan untuk membandingkan karakteristik klinis disfagia pada pasien stroke iskemik dan hemoragik dengan kuesioner EAT-10 (eating assessment test-10) dan FEES (flexible endoscopic examination of swallowing). Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk meneliti berbagai karakteristik klinis dari disfagia pada pasien stroke dengan kuesioner EAT-10 dan FEES. Metode Data rekam medis 50 pasien stroke dengan disfagia di Poli Endoskopi RSCM diambil secara konsekutif. Jenis stroke dan lesi otak dikonfirmasi dengan melihat hasil pemeriksaan radiologi (CT scan kepala). Hasil anamnesis dan pemeriksaan FEES dicatat untuk kemudian dianalisis secara statistik. Hasil Kondisi PSD lebih banyak ditemukan pada pasien lanjut usia (62%). Pasien stroke dalam studi ini paling banyak mengalami lesi pada area supratentorial, yaitu sejumlah 60%. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik dalam karakteristik disfagia pada pasien stroke iskemik dan hemoragik berdasarkan pemeriksaan fisik dan FEES (p > 0,05). Namun, terdapat perbedaan bermakna dalam skor residu pada pasien stroke dengan lesi infratentorial dan supratentorial (p = 0,034). Kesimpulan Masalah penurunan berat badan dan nyeri saat menelan paling jarang dialami pasien stroke menurut kuesioner EAT-10. Terdapat 80% pasien stroke yang mengalami kebocoran pra-menelan dan 32% pasien yang mengalami aspirasi. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada karakteristik disfagia antara pasien stroke iskemik dan hemoragik berdasarkan kuesioner EAT-10 dan FEES. Variabel standing secretion dialami oleh 88,9% pasien stroke lesi infratentorial. Sejumlah 50% pasien stroke lesi supratentorial tidak memiliki masalah penetrasi dan aspirasi.

Introduction One of the most frequent complications of stroke is post-stroke dysphagia. There have not been many studies conducted to compare the characteristics of dysphagia in ischemic and hemorrhagic stroke patients based on EAT-10 (eating assessment test-10) and FEES (flexible endoscopic examination of swallowing). Hence, this study aims to examine various clinical characteristics of dysphagia in stroke patients based on EAT-10 and FEES. Method Medical record data of 50 stroke patients from Poli Endoskopi RSCM were collected consecutively. Stroke types and lesions were confirmed by looking at radiological examinations. The results of history taking and FEES were written down to be analyzed statistically. Results Post-stroke dysphagia occurs more often in older patients (62%). In this study, the most prevalent location of lesions in stroke patients was lesions in supratentorial area (60%). There was no significant difference in dysphagia characteristics between ischemic and hemorrhagic stroke patients based on EAT-10 and FEES (p > 0,05). However, there was a significant difference in residual scores between stroke patients with supratentorial lesions and infratentorial lesions (p = 0,034). Conclusion Weight loss and pain during swallowing were the least problems experienced by stroke patients according to the EAT-10 questionnaire. There were 80% of stroke patients who experienced pre-swallowing leakage and 32% of them experienced aspiration. There was no significant difference in dysphagia characteristics between ischemic and hemorrhagic stroke patients based on the EAT-10 questionnaire and FEES. Standing secretion was experienced by 88.9% of infratentorial lesion stroke patients. Half of supratentorial lesion stroke patients did not have penetration and aspiration."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasnan Habib
"Latar belakang: Difagia atau gangguan menelan merupakan gejala yang dapat memperburuk morbiditas dan mortalitas pasien yang mengalaminya baik yang bersifat mekanik maupun neurogenik. Keluhan ini sering ditemui pada poli rawat jalan THT RSCM terutama di poli THT divisi Bronkoesofagologi. Sampai saat ini belum ada instrumen yang bersifat patient reported outcome untuk skrining disfagia, sehingga dalam penelitian ini dilakukan adaptasi kuesioner EAT-10 ke bahasa Indonesia. Kuesioner ini dirancang untuk menilai keparahan gejala disfagia yang sudah banyak digunakan di berbagai negara yang sudah diadapatasi ke bahasa masing-masing negara.
Tujuan: Mengetahui validitas dan reliabilitas kuesioner EAT-10 versi bahasa Indonesia serta mengetahui nilai kepositifan EAT-10 versi bahasa Indonesia terhadap pemeriksaan FEES.
Metode: Pasien-pasien dengan gejala disfagia atau gangguan menelan yang terlebih dahulu didiagnosis dengan pemeriksaan FEES yang datang ke poli THT divisi Bronkoesofagologi. Pemeriksaan FEES dengan serat optik lentur untuk melihat kriteria objektif secara struktur anatomi dan gerakan refleks menelan daerah orofaring, kemudian dilakukan anamnesis dan diminta untuk mengisi kuesioner EAT-10 yang sudah diadaptasi ke bahasa Indonesia dengan metode WHO. Uji validitas dilakukan dengan uji korelasi spearman correlation coefficient, dianggap signifikan bila nilai p<0,05. Uji reliabilitas dengan konsistensi internal mencari nilai Cronbach α di atas 0,6 untuk masing-masing dan keseluruhan pertanyaan.
Hasil: Penelitian melibatkan 50 subjek yang memenuhi kriteria inklusi. Kuesioner EAT-10 ini memiliki nilai p dan korelasi yang signifikan (0,00) untuk setiap pertanyaan walaupun pada pertanyaan keenam yaitu “rasa sakit saat menelan” memiliki kekuatan korelasi yang lemah (0,408). Kuesioner ini juga memiliki Cronbach α di atas 0,6 untuk masing-masing pertanyaan (0,9) dan memiliki kepositifan 80% terhadap pemeriksaan FEES.
Kesimpulan: Instrumen EAT-10 versi bahasa Indonesia telah diadaptasi lintas budaya (transcultural), valid dan reliabel sebagai instrumen untuk menilai gejala pada disfagia serta memiliki nilai kepostifan yang baik terhadap pemeriksaan FEES.

Backround: Disphagia or swallowing disorder is a symptom that can exacerbate the morbidity and mortality of patients who experience it, both mechanical and neurogenic type. This complaint is often found in the RSCM ENT outpatient clinic, especially in the ENT polyclinic Bronchoesophagology division. Until now there was no patient reported outcome instrument that used for screening of dysphagia, so in this study an adaptation of the EAT-10 questionnaire to Indonesian version was carried out. This questionnaire is designed to assess the severity of dysphagia symptoms which have been widely used in various countries that have been adapted to the language of each country.
Objective: To determine the validity and reliability of the Indonesian version of the EAT-10 questionnaire and also to determine the positivity value between EAT-10 Indonesian version towards FEES examination.
Methods: Patients with symptoms of dysphagia or swallowing disorders diagnosed by FEES examination who came to the ENT Bronchoesophagology outpatient clinic and has been diagnosed with dysphagia by FEES examination. First of all FEES examination objectively evaluate anatomical structure and swallowing reflex in the oropharynx, then anamnesis was carried out and asked to fill out the EAT-10 questionnaire which had been adapted to Indonesian using the WHO method. The validity test was carried out using the Spearman correlation coefficient test. It was considered significant if the p value <0,05. The reliability test with internal consistency looks for a Cronbach α value above 0,6 for each and all questions.
Results: The study involved 50 subjects who met the inclusion criteria. This EAT-10 questionnaire has a significant p-value (0,00) and correlation for each question even though the sixth question “pain when swallowing” has a weak (0,408) correlation strength. This questionnaire also has a Cronbach α above 0,6 for each question (0,9) and has 80% positivity value towards FEES examination.
Conclusion: The Indonesian version of the EAT-10 instrument has been adapted cross-culturally, is valid and reliable as an instrument for assessing symptoms of dysphagia and also has a good positivity value towards FEES examination
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Hajarani
"ABSTRAK
Latar belakang:Bayi laringomalasia primer memiliki komorbiditas yang tinggi akibat silent aspiration. Hingga saat ini, belum diketahui prevalensi disfagia dan data mengenai gambaran fungsi menelan bayi laringomalasia primer. Tujuan penelitian: Mengetahuiprevalensi disfagia dan gambaran fungsi menelanpada bayi laringomalasia primersertamengetahui kesesuaian antara SEES dan FEES.Metode: Penelitiancross-sectional yang bersifat deskriptifdan analitik komparatif terhadap 34subjek bayi laringomalasia primersecara konsekutif di RS Dr. Cipto Mangunkusumoperiode Januari-Maret 2020. Hasil:Prevalensi disfagiapada bayi laringomalasiaprimersebanyak 9 dari 34 subjek (26,5%). Gejala disfagia pada bayi< 6 bulan tersering adalah regurgitasi dan apneasaat menyusu (5/6), sedangkan pada bayi>6 bulan adalah terdengar banyak lendir di tenggorok (3/3). Komorbid terbanyak adalah kelainan genetikdan PRGE(3/9). Komplikasi terseringadalah pneumonia aspirasi (6/9). Pada pemeriksaan awal FEES, kontrol postural terganggu(7/9) merupakantanda yang paling sering ditemukan. Pada pemeriksaan FEES, preswallowing leakagedidapatkan pada konsistensi puree, tim saring, dan tim kasar. Pada pemeriksaan SEES dan FEES, residu, penetrasi,dan aspirasipalingbanyak didapatkan pada konsistensi susu. Silent aspirationdidapatkan pada4 dari 9subjek dengan disfagia. Pemeriksaan SEES memiliki kesesuaian dengan FEES berdasarkanuji McNemarpadaparameter ada tidaknya penetrasi, residu, dan aspirasi.Kesimpulan:Prevalensi disfagia pada bayi laringomalasia primersebanyak 9 dari 34 subjek(26,5%), penetrasi dan aspirasi didapatkan pada konsistensi air dan susuterutama pada bayi< 6 bulan, dan SEES memiliki kesesuaian dengan FEESdalam menilai fungsi menelanberdasarkan parameter ada tidaknya residu, penetrasi, dan aspirasi.

Background:Silent aspiration is oftenunrecognized comorbidity in infants with congenital laryngomalacia with serious medical consequence. However, prevalence of dysphagia and characteristic of dysphagia ininfants with congenital laryngomalacia is still unknown. Aim: To find the prevalence and the overview of swallow function in infants with congenital laryngomalacia and also to know the conformity between SEES and FEES in assessing swallow function. Methods:This is a descriptive cross-sectional and comparative analytic study involving 34 infants with congenital laryngomalacia who came consecutivelytoDr. Cipto Mangunkusumo Hospitalon January-March 2019. Results: The prevalence of dysphagia was 9 out of 34 subjects (26,5%).Dysphagia symptom in infants<6 months was regurgitation and apneawhile bottle/breast feeding (5/6). Meanwhile, in infants>6 monthswaswet sounding voice (3/3). The comorbidities found mostly were geneticanomaly and GERD(3/9). The complication mostly was aspiration pneumonia (6/9). In pre-FESS examination, poor postural controlwas dominant(7/9). In FEES examination, preswallowingleakagewas found in puree, soft steam porridge, and rough steam porridge. In FEES and SEES examination, residue, penetration, and aspirationwas mostly found inthick liquid. Silent aspiration was found in 4 out of 9subjects with dysphagia. SEES has a conformity to FEES based on McNemar test in the presence of residue, penetration, and aspiration. Conclusion: The prevalence of dysphagia in infants with congenital laryngomalaciawas9 out of 34 subjects(26,5%). In FEES examination, penetration,and aspiration were found mostly in thin liquid, <6months of age predominantly.SEES has a conformity to FEES based on presence of residue, penetration, and aspiration in assessing swallow function."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Handayani
"Latar belakang: Kualitas suara ditentukan oleh karakteristik elastisitas pita suara, resonansi dan struktur di saluran vokal. Produksi suara merupakan salah satu komponen yang berperan penting dalam komunikasi verbal, interaksi sosial serta merupakan identitas dan kepribadian tiap individu yang berkontribusi pada kesejahteraan dan kualitas hidup seseorang. Pasien karsinoma nasofaring pasca radiasi tanpa adanya residu dapat mengalami fibrosis pada velofaring dan memicu gangguan penutupan velofaring selama bicara sehingga menimbulkan hipernasal.

Tujuan: Mengetahui karakteristik dan proporsi skor nasalance pada pasien KNF pasca radiasi dengan atau tanpa gangguan persepsi bicara.

Metode: Penelitian ini merupakan studi survei deskriptif dengan teknik cross sectional dan kemudian dilanjutkan pengambilan data retrospektif pasien karsinoma nasofaring pasca radiasi di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo periode Juli – Agustus 2023. Parameter yang dinilai adalah skor nasalance dengan menggunakan nasometer.

Hasil: Skor nasalance pasien karsinoma nasofaring pasca radiasi pada uji gajah 1 didapatkan median 14 (7-22), rerata uji hantu 1 39,8% + 4,5, dan rerata uji sengau 62,2 + 6,9, dengan titik potong skor nasalance pada uji gajah 1 antara persepsi bicara normal dengan gangguan persepsi bicara hipernasal adalah 15.5% dan pada uji hantu 1 adalah 42.5%. Jenis kelamin dan dosis radiasi pada otot konstriktor faring memiliki kecenderungan hubungan yang bermakna terhadap gangguan persepsi bicara pada pasien karsinoma nasofaring pasca radiasi.

Kesimpulan: Diperlukan studi prospektif pada pasien karsinoma nasofaring dengan penilaian sebelum dan sesudah radiasi serta evaluasi follow-up untuk menilai efek radiasi yang mencakup semua aspek fungsional suara dan ucapan yang relevan.


Background: Voice quality is determined by the elasticity of the vocal cords, resonance, and structures in the vocal tract. Voice production is a component that plays an important role in verbal communication and social interaction. It is the identity and personality of each individual that contribute to their welfare and quality of life. Post-radiation nasopharyngeal carcinoma patients without any residue can experience fibrosis in the velopharynx and trigger disruption of the velopharyngeal closure during speech, causing hypernasality.

Objective: To determine the characteristics and proportions of the nasalance score in post-radiation NPC patients with or without impaired speech perception.

Methods: This research is a descriptive study using cross-sectional techniques, followed by retrospective data collection of post-radiation nasopharyngeal carcinoma patients at CMGH Dr. Cipto Mangunkusumo for the period July–August 2023. The parameter assessed is the nasalance score using a nasometer.

Results: The nasalance score in the Gajah 1 test obtained a median of 14 (7-22), for the mean value of Hantu 1 test was 39.8% + 4.5, and for the mean value of Sengau test was 62.2 + 6.9, with a nasalance score cut point in Gajah 1 test between normal speech perception and hypernasal was 15.5% and in Hantu 1 test was 42.5%. Gender and radiation dose to the pharyngeal constrictor muscle tend to have a significant relationship with impaired speech perception in post-radiation nasopharyngeal carcinoma patients.

Conclusion: A prospective study is needed in nasopharyngeal carcinoma patients with pre- and post-radiation assessment and follow-up evaluation to assess radiation's effects, including all relevant functional aspects of voice and speech."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Khoirul Anam
"Latar Belakang: Perubahan aktivitas saraf vagal yang disebabkan oleh gangguan regulasi otonom diduga bertanggung jawab atas disfungsi sfingter esofagus bagian bawah pada Penyakit Refluks Gastroesofagus (PRGE). Namun, peran disfungsi saraf otonom (DSO) dalam patogenesis refluks laringofaring (RLF) masih belum jelas. Hubungan antara RLF dengan DSO juga diduga terkait dengan kondisi klinis lainnya, seperti gangguan cemas dan depresi, serta gangguan bernapas saat tidur (Sleep Disordered Breathing / SDB). Tujuan: Menentukan proporsi dan karakteristik DSO berdasarkan temuan Heart Rate Variability (HRV) pada pasien RLF dan kelompok kontrol. Faktor risiko lain yang dapat berkontribusi terhadap kejadian RLF dan DSO, seperti risiko terjadinya SDB dan status kecemasan-depresi, juga dinilai. Metode: Empat puluh subjek dilibatkan pada kelompok RLF dan 33 subjek pada kelompok kontrol. Laringoskopi serat optik lentur, analisis HRV, penilaian risiko SDB (Kuesioner ESS dan PSQI) serta gangguan cemas dan depresi (kuesioner HADS) dilakukan pada kedua kelompok. Hasil: Terdapat perbedaan signifikan pada proporsi disfungsi saraf otonom antara kelompok RLF dan kelompok kontrol (p=0.001), dengan proporsi disfungsi SSO pada kelompok RLF mencapai 71.4%. Perbedaan risiko SDB dan gangguan tidur berdasarkan ESS dan PSQI juga signifikan pada kelompok RLF dibandingkan kelompok kontrol (p£0,05). Status kecemasan berdasarkan HADS pada kelompok RLF juga berbeda signifikan dibandingkan kelompok kontrol (p=0,001). Kesimpulan: Proporsi disfungsi SSO pada kelompok RLF lebih tinggi daripada kelompok kontrol, dengan temuan HRV didominasi oleh penurunan SDNN dan rasio LF/HF, dan berjenis parasimpatis dominan. Risiko terjadinya SDB dan kejadian ansietas-depresi juga berhubungan dengan RLF dan DSO.

Background: Altered vagal nerve activity caused by impaired autonomic regulation was thought to be responsible for esophageal sphincter dysfunction in Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). Yet the role of autonomic nerve dysfunction (AND) in the pathogenesis of Laryngopharyngeal Reflux (LPR) remains unclear. LPR and AND is also thought to be associated with other entities, such as anxiety-depression and sleep-disordered breathing (SDB). Aim: To determine the proportion and characteristics of AND based on Heart Rate Variability (HRV) analysis in patients with LPR and control group. Other risk factors that might contribute to the incidence of LPR and AND, such as the risk of SDB and anxiety-depression, were also assessed. Methods: Forty subjects were enrolled in the LPR group and 33 subjects as control. Fiberoptic laryngoscopy, HRV analysis, SDB risk assessment (ESS and PSQI questionnaire), and anxiety-depression status (HADS questionnaire) were performed on both groups. Result: The difference in proportion of AND between LPR and the control group was significant (p=0.001). The proportion of AND in the LPR group was 71.4%. The difference in the risk of SDB based on ESS and PSQI was significant in the LPR group compared to control group (p≤0,05). The status of anxiety based on HADS in the LPR group was also significantly different compared to control (p=0,001). Conclusion: The proportion of AND in the LPR group was greater than control. HRV findings were characterized by reduction of SDNN and LF/HF ratio, with the domination of parasympathetic properties. The risk of SDB and the inclination towards anxiety-depression were related to LPR and AND."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astri Febryana
"Pendahuluan: Pergerakan pita suara paradoks atau paradoxical vocal cord movement (PVCM) merupakan kondisi terjadi penutupan pita suara atau adduksi pada saat inspirasi. Kelainan PVCM sering dihubungkan dengan beberapa komorbiditas lain, seperti asma, rinosinusitis kronis (RSK) atau rinitis alergi, refluks laringofaring (RLF), imbalans sistem saraf otonom, dan kelainan psikiatri atau neurologi. Aktivitas fisik juga diduga menjadi pemicu timbulnya PVCM. Gejala PVCM dapat menyerupai gejala asma dan sering menyebabkan misdiagnosis sebagai asma. Hingga saat ini belum didapatkan data mengenai prevalensi dan karakteristik gejala pada pasien PVCM dengan asma dan non-asma di Indonesia khususnya di Rumah Sakit Umum Pendidikan Nasional (RSUPN) dr. Cipto Mangunkusumo.  
Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan proporsi PVCM pada kelompok pasien asma dan non asma. Faktor-faktor risiko lainnya yang dapat berkontribusi terhadap kejadian PVCM, seperti RLF dan imbalans sistem saraf otonom.
Metode: Penelitian dilakukan selama Periode Januari 2022 hingga April 2022 di Poliklinik THT-KL dan IPD RSCM. Desain penelitian yang digunakan adalah potong lintang komparatif dengan 25 subjek kelompok asma dan 25 subjek kelompok non-asma. Pemeriksaan rinofaringolaringoskopi serat lentur, ambang Laryngeal Adductor Reflex (LAR), aktivitas fisik, HRV dengan metode Pulse Photoplethysmography, dilakukan pada seluruh subjek, baik kelompok kasus maupun kontrol.
Hasil: Proporsi kejadian PVCM pada kelompok asma mencapai 12 %, sedangkan pada kelompok non-asma adalah 4%. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik kejadian PVCM pada kelompok asma dibandingkan dengan kelompok non-asma (p=0,305).  Imbalans otonom dan gangguan psikiatri didapatkan sebagai faktor determinan yang bermakna secara statistik dalam terjadinya PVCM.
Kesimpulan: Perbandingan proporsi PVCM pada kelompok asma lebih besar dibandingkan kelompok  non-asma, walaupun pada penelitian ini tidak berbeda secara statistik (p>0,05). 

Introduction: Paradoxical vocal cord movement (PVCM) is a condition which voca; cords are closed or adducted during inspiration. PVCM disorder are often associated with several other comorbidities, such as asthma, chronic rhinosinusitis (CRS) or allergic rhinitis, laryngopharyngeal reflux (LPR), autonomic nervous system imbalance, and psychiatric or neurological disorders. Physical activity is also though to be a trigger for PVCM. However the exact mechanism of these abnormalities in causing PVCM is not yet known. The symptoms of PVCM can mimic as asthma and are often misdiagnosed as asthma. Until now there has been no data on the prevalence and symptom characteristics of PVCM in asthmatic and non-asthmatic patients in Indonesia, especially in Cipto Mangunkusumo General Hospital.
Purpose: This study was conducted to determine the comparison of the proportions of PVCM in the asthmatic and non-asthmatic patient groups. Other risk factors that may contribute to the occurence of PVCM, such as LPR and autonomic nervous system imbalance.
Methods: The study was conducted between January to April 2022 at the ENT and Internal Medicine Outpatient Clinic in Cipto Mangunkusumo General Hospital. The study design was cross-sectional comparative study with 25 subjects in each group. Flexible fibre optic rhinopharyngolaryngoscopy, Laryngeal Adductor Reflex threshold, physical activity, Heart Rate Variability (HRV) using pulse plethysmography were performed on all subjects. Result: Proportion of PVCM in asthmatic group was 12%, while in non-asthmatic group was 4%. There was no statistically difference in the prevalence PVCM between the groups (p=0,305).  Autonomic nervous system imbalance and psychiatric disorders were found to be statistically significant as determinants factor in the occurrence of PVCM. Conclusion: The prevalence of PVCM in the asthmatic group was greater that in the non-asthmatic group, although in this study there was no statistical difference.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>