Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 97 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Heru Dento
Abstrak :
Latar belakang: Penyakit kardiovaskular adalah salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia, khususnya di negara berkembang. Dengan tingginya kejadian penyakit jantung koroner akan berakibat makin meningkatnya tindakan intervensi di bidang kardiovaskuler untuk mengurangi tingkat morbiditas dan mortalitas pada pasien. Pada akhir dekade ini intervensi koroner perkutan IKP digunakan secara luas untuk menangani penyakit arteri koroner dimana timbulnya restenosis masih menjadi hambatan utama. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa inflamasi lokal dan sistemis mempunyai peranan penting pada terjadinya patogenesis in-stent restenosis ISR. Sejumlah penanda inflamasi telah diajukan untuk memprediksi angka mortalitas baik jangka pendek maupun jangka panjang terhadap sindroma koroner akut SKA, ISR dan trombosis stent, termasuk disini adalah eosinophil cationic protein ECP. Laporan mengenai korelasi antara kadar ECP dengan ISR belum pernah dilaporkan di Indonesia. Metode: Dilakukan studi potong lintang pada pasien jantung koroner yang mengalami ISR pasca dilakukan tindakan IKP yang berobat di unit Pelayanan Jantung Terpadu PJT Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada bulan April-Mei 2018. Pasien yang diketahui mengalami ISR dimasukkan sebagai subyek penelitian dan dilakukan pemeriksaan kadar ECP dengan metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay Human Eosinophil Cationic Protein ELISA. Analisa data menggunakan Analisa Bivariat dan uji korelasi Spearman. Hasil: Penelitian mendapatkan 32 subyek yang terdiri dari 27 subyek laki-laki 84,4 dan 5 subyek perempuan 15,6. Rerata usia pasien adalah 60,69 tahun dengan simpang baku 10,17. Tidak terdapat korelasi antara kadar ECP dan ISR r=0,099 ; p=0,589. Simpulan: Tidak terdapat korelasi antara kadar ECP dan ISR pada pasien PJK pasca dilakukannya IKP. ......Background Cardiovascular disease is one of the major health problems worldwide, especially in developing countries. With the high incidence of coronary heart disease will result in increased interventions in the field of cardiovascular to reduce the level of morbidity and mortality in patients. By the end of this decade percutaneous coronary intervention PCI is widely used to treat coronary artery disease where the onset of restenosis remains a major obstacle. Several studies have shown that local and systemic inflammation plays an important role in the development of in stent restenosis ISR pathogenesis. A number of inflammatory markers have been proposed to predict both short and long term mortality rates for acute coronary syndrome ACS, ISR and stent thrombosis, including here is eosinophil cationic protein ECP. Reports on the correlation between ECP and ISR levels have not been reported in Indonesia. Metods Cross sectional study was performed on coronary heart patients who had ISR after PCI performed treatment at Integrated Heart Service Unit of Cipto Mangunkusumo Hospital in April May 2018. Patients who were known to have ISR were included as research subjects and examined ECP levels by method of Enzyme Linked Immunosorbent Assay Human Eosinophil Cationic Protein ELISA. Data analysis using Bivariate Analysis and Spearman correlation test Result The study obtained 32 subjects consisting of 27 male subjects 84,4 and 5 female subjects 15,6. The average age of the patient is 60,69 years with standar deviation 10,17. There is no correlation between ECP and ISR levels r 0,09 p 0,589. Conclusion There was no correlation between ECP and ISR levels in CHD patients after PCI.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Walewangko, Olivia Cicilia
Abstrak :
Latar Belakang: Diabetes Melitus tipe 1 DMT1 merupakan penyakit kronis terbanyak yang membutuhkan pindah kelola dari anak ke dewasa. Sementara itu, penyandang DMT1 yang menjalani pindah kelola menunjukkan kendali glukosa darah yang buruk dan peningkatan risiko hospitalisasi. Profil dan faktor-faktor yang memengaruhi kendali glukosa darah penyandang DMT1 usai transisi di Indonesia belum diketahui. Tujuan: Mendapatkan profil pencapaian target HbA1c dan faktor-faktor yang memengaruhinya pada penyandang DMT1 usia transisi. Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional potong lintang yang dilakukan pada 108 subyek DMT1 berusia 16-30 tahun. Data karakteristik subyek, Pemeriksaan Gula Darah Mandiri PGDM , status depresi dan ketersediaan asuransi kesehatan didapat dari anamnesis. Kadar HbA1c diperiksa dengan metode High Performance Liquid Chromatography HPLC . Hubungan antara faktor-faktor yang berhubungan dengan HbA1c dianalisis secara bivariat dengan chi square dan multivariat dengan regresi logistik menggunakan Statistical Package for the Social Sciences SPSS versi 21.0 Hasil: Seratus delapan subyek yang direkrut dalam penelitian ini memiliki rerata usia 20,89 SB 4,87 tahun dan rerata HbA1c 9,02 SB 2,13 . Sebanyak 58,35 subjek melakukan PGDM le;60 kali/bulan, 88 subjek telah memiliki asuransi kesehatan dan 70,4 subjek mengalami depresi minimal dengan rerata skor Beck Depression Inventory BDI adalah 11,31 9,32. Proporsi penyandang DMT1 usia transisi yang mencapai target HbA1c pada adalah sebesar 20,4 . Analisis bivariat dan multivariat menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara usia p=0,639 , frekuensi PGDM p=0,170 , status depresi p=0,069 , dan asuransi kesehatan p=1,000 dengan pencapaian target HbA1C pada populasi ini. Simpulan: Proporsi pencapaian target HbA1c pada pasien DMT1 usia transisi cukup rendah. Pada penelitian ini usia, frekuensi PGDM, depresi dan cakupan asuransi kesehatan tidak berhubungan dengan tercapainya target HbA1c. ...... Backgrounds: Type 1 Diabetes Mellitus T1DM is a chronic disease that requires transfer from pediatric to adult clinic. This group of population who underwent a transfer period experience poor blood glucose control and an increased risk of hospitalization, yet factors contributing to HbA1c target achievement in T1DM adolescent and young person is known. Objective: To Obtain a profile of HbA1c target achievement and factors correlate to it in adolescent and young person with T1DM. Methods: It is a cross sectional study including of 108 adolescent and young adults with T1DM, with ranges of age between 16 to 30 years old. Subject's characteristics, frequency of Self Monitoring Blood Glucose SMBG , depression and health insurance data are obtained from anamnesis. HbA1c level is examined by High Performance Liquid Chromatography HPLC method. The correlation between factors related to HbA1c was analysed bivariate with chi square and multivariate with logistic regression. Results: Out of 108 subjects recruited in this study the median age is 20,89 SB 4,87 years old and HbA1C 9,02 SB 2,13 . Around 58,35 subject do the SMBG le 60 times month, 88 subject have health insurance, the mean Beck Depression Inventory BDI score is 11,31 9,32 in which 70,4 had minimal depression. HbA1c target achievement is 20,4 . Bivariate and multivariate analysis result in no significantly difference between age p 0,639 , SMBG frequency p 0,170 , depression p 0,069 , health insurance p 1,000 and HbA1c target achievement in adolescent and young person with T1DM. Conclusions: The proportion of HbA1c target achievement in adolescent and young person with T1DM quite low. This study showed no statistically significant correlation between age, SMBG frequency, depression, health insurance and HbA1c target achievement in adolescent and young person with T1DM.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nata Pratama Hardjo Lugito
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang. Dengan meningkatnya jumlah populasi usia lanjut, masalah kesehatan yang dialami juga semakin banyak, salah satunya malnutrisi. Studi di luar negeri menunjukkan malnutrisi pada pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit menurunkan kesintasan. Pasien usia lanjut di Indonesia mempunyai karakteristik yang berbeda dengan pasien usia lanjut di luar negeri. Di Indonesia belum ada studi tentang status nutrisi pasien usia lanjut yang dirawat di rumah sakit dan pengaruhnya terhadap kesintasan.

Tujuan. Mengetahui pengaruh status nutrisi terhadap kesintasan 30 hari pasien usia lanjut yang dirawat di ruang rawat akut geriatri dan ruang rawat penyakit dalam rumah sakit.

Metodologi. Penelitian kohort retrospektif, dengan pendekatan analisis kesintasan, dilakukan terhadap 177 pasien geriatri yang dirawat di ruang rawat akut geriatri dan ruang rawat penyakit dalam Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo selama bulan April–September 2011. Data demografis, diagnosis medis, kadar albumin, indeks ADL Barthel, geriatric depression scale, status nutrisi dengan mini nutritional assessment (MNA) dikumpulkan, dan diamati selama 30 hari sejak mulai dirawat untuk melihat ada tidaknya mortalitas. Perbedaan kesintasan kelompok pasien dengan status nutrisi baik, berisiko malnutrisi dan malnutrisi ditampilkan dalam kurva Kaplan-Meier, diuji dengan uji Log-rank, serta analisis multivariat dengan Cox proportional hazard regression model untuk menghitung adjusted Hazard Ratio dan interval kepercayaan 95% terjadinya mortalitas 30 hari dengan memasukkan variabel-variabel perancu sebagai kovariat.

Hasil. Kesintasan antara subyek yang status nutrisinya baik, berisiko malnutrisi dan malnutrisi ialah 94,7% dengan 89,0% dan 80,7%, namun perbedaan kesintasan 30 hari tak bermakna dengan uji Log-rank (p=0,106). Pada analisis multivariat didapatkan adjusted HR setelah penambahan variabel perancu sebesar 1,49 (IK 95% 0,29 – 7,77) untuk kelompok berisiko malnutrisi dan 2,65 (IK 95% 0,47 – 14,99) untuk kelompok malnutrisi dibandingkan dengan pasien nutrisi baik

Simpulan. Perbedaan kesintasan 30 hari pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit yang menderita malnutrisi dan berisiko malnutrisi dibandingkan dengan status nutrisi baik pada awal perawatan belum dapat dibuktikan.
ABSTRACT
Background. Increasing number of older population will also increased its health problems. Studies in foreign countries shown that poor nutrition worsen survival of geriatrics admitted to hospitals. Geriatric patients in Indonesia have different physical, psychological, social economic and cultural characteristics. There has been no study in Indonesia on role of nutritional status on survival in hospitalized geriatric patients.

Objective. Investigating the impact of nutritional status on 30 days survival of geriatric patients hospitalized in geriatric and internal medicine ward

Methods. Retrospective cohort study and survival analysis approach was conducted to 177 geriatric patients hospitalized in geriatric and internal medicine ward of Cipto Mangunkusumo from April – September 2011. Demographic data, albumin level, ADL Barthel, geriatric depression scale, nutritional status according to mini nutritional assessment (MNA) were collected. Patients were observed during 30 days since hospitalized. Difference in survival is shown in Kaplan-meier curve dan difference in survival between groups were tested with Log-rank test, and multivariate analysis with Cox proportional hazard regression to calculate adjusted HR of mortality and confounding variables as covariates.

Results. The survival of well nourished, in risk of malnutrition and malnourished group was 94,7%, 89,0% and 80,7%, but non significant with Log-rank test (p=0,106). After multivariate analysis (Cox proportional hazard regression model), the adjusted HR was 1.49 (CI 95% 0.29 – 7.77) for group in risk of malnutrition and 2.65 (CI 95% 0.47 – 14.99) for malnourished group compared to well-nourished group

Conclusion. Thirty days survival difference of hospitalized geriatrics with malnutrition and in risk of malnutrition compared to well-nourished have not been proved.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T32750
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adang Sabarudin
Abstrak :
Latar Belakang: Ikterus obstruktif merupakan salah satu komplikasi tersering keganasan sistem bilier. Keadaan ini akan memicu pelepasan sitokin proinflamasi. Terdapat kontroversi mengenai pengaruh drainase bilier terhadap perubahan kadar sitokin proinflamasi pada penderita kanker pankreatobilier. Tujuan: Untuk mengetahui kadar Tumor Necrosis Faktor alfa (TNF-alfa) dan Interleukin 6 (IL6) sebelum dan sesudah Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP) atau Percutaneus Transhepatic Biliary Drainage (PTBD) pada penderita ikterus obstruksi etiologi kanker pankreatobilier. Metode: Desain penelitian adalah one group before after study. Pemilihan sampel secara consecutive sampling. Sampel darah diambil sebelum dan lima hari sesudah ERCP atau PTBD. Pengukuran kadar TNF-alfa dan IL-6 dengan cara Enzyme Linked Immunosorbed Assay (ELISA). Hasil: Terdapat 40 orang responden yang diikutsertakan dalam penelitian ini, 22 laki laki dan 18 perempuan dengan usia rata rata 55,3 tahun. Berdasarkan imaging dan endoskopi, ditegakkan diagnosis kolangiokarsinoma sebanyak 22 orang, tumor ampula Vateri 10 orang, dan tumor pankreas 8 orang. Kadar rata-rata TNF- alfa sebelum tindakan 4,81 (2,91) pg/ml dan sesudah tindakan 8,05 (6,7) pg/ml, terdapat peningkatan yang bermakna setelah tindakan drainase bilier (p:0,02). Kadar rata-rata IL-6 sebelum tindakan 7,79 (1,57) pg/ml dan sesudah tindakan 7,75 (1,76) pg/ml, tidak terdapat perbedaan yang bermakna setelah tindakan drainase bilier (p:0.52). Kadar rata-rata bilirubin sebelum tindakan 15,5 mg% dan sesudah tindakan 11,3 mg%. Simpulan: Terjadi peningkatan kadar rata-rata TNF-alfa secara bermakna setelah drainase. Tidak ada penurunan yang bermakna kadar rata-rata IL-6.
Background: Obstructive jaundice represents the most common complication of biliary tract malignancy. Obstructive jaundice causes releases of proinflammatory cytokine. There has been controversy about effect of biliary drainage on the change in proinflammatory cytokine level in pancreatobiliary cancer patients. Objective: The present study was designed to determine levels of Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-Alpha) and Interleukin 6 (IL-6) in preprocedure of either Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP) or Percutaneus Transhepatic Biliary Drainage (PTBD) and postprocedure of them in obstructive jaundice patient caused by pancreatobiliary cancer. Methods : The study method is before- and- after case study design with consecutive sampling. Blood was collected five days prior to either Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP) procedure or Percutaneus Transhepatic Biliary Drainage (PTBD) procedure and five days after either of them. Enzyme Linked Immunosorbed Assay (ELISA) was used to determine TNF-Alpha and IL-6. Results: Forty subjects were included in this study which consisted of 22 men and 18 women. The mean age was 55.3 years old. According to the results of imaging and endoscopy procedure, twenty two (22) people were diagnosed cholangi carcinoma, ten (10) people were diagnosed ampulla varteri and eigth (8) people were diagnosed pancreatic tumor. In preprocedure, the mean of TNF-Alpha concentration was 4.81 (2.91) pg/mL, the mean of IL-6 concentration was 7.79 (1.57) pg/mL and the mean of bilirubin concentration was 15.5 mg%. In postprocedure, the mean of TNF-Alpha concentration was 8.05 (6.7) pg/mL, there was significant increase in TNF-Alpha concentration (p:0.02). However, the mean of IL-6 concentration was 7.75 (1.76) pg/mL, there was not any significant chance in IL-6 concentration (p:0.52). The mean of bilirubin concentration was 11.3 mg%. Conclusions: On one hand, there was significant increase in mean concentration value of TNF-Alpha after biliary drainage procedure. On the other hand there was not any significant decrease in mean concentration value of IL-6 after biliary drainage procedure.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saudale, Alexander Michael Joseph
Abstrak :
Latar Belakang: Kanker pankreas adalah penyebab kematian keempat yang berhubungan dengan keganasan di Amerika Serikat, dan diperkirakan akan menjadi penyebab kematian kedua di tahun 2030 di United Kingdom. Indonesia belum memiliki data kesintasan kanker pankreas dan faktor-faktor yang memengaruhinya.Tujuan: Mengetahui kesintasan 1 tahun kanker pankreas dan faktor- faktor yang memengaruhinya di RS dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta.Metode: Dilakukan penelitian kohort retrospektif menggunakan data dari rekam medis pasien kanker pankreas RS dr. Cipto Mangunkusumo antara Januari 2012 - Desember 2016. Faktor umur, jenis kelamin, metastasis, stadium, komorbid dan pengobatan dianalisis secara bivariat dan multivariat menggunakan Cox Proportional Hazards Regression untuk mendapatkan Hazard Ratio HR setiap faktor prognosis. Kesintasan kumulatif 1 tahun setelah diagnosis dinyatakan dengan kurva Kaplan- Meier.Hasil: Dari 83 subyek penelitian proporsi laki-laki adalah 62.7, usia ge; 50 tahun 68,7, dengan rentang usia 33-79 tahun, dan rata-rata 55 tahun. Pada analisis bivariat didapati hubungan bermakna secara statistik kesintasan dengan variabel komorbid HR 2,116 IK 95 1,335-3,513 p< 0,002, metastasis HR 3,802 IK 95 1,995-7,249 p ......Background Pancreatic cancer is the fourth leading cause of death associated with malignancy in the United States, and is thought to be the second leading cause of death in 2030 in the United Kingdom. Currently, Indonesia has no data on the survival of pancreatic cancer and the factors that affect it. Aim This study aims to know the 1 year survival of pancreatic cancer and its influencing factors. Methods A retrospective cohort study was performed using data from the medical record of pancreatic cancer patients in dr Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta, from January 2012 to December 2016. Age, sex, metastasis, stage, comorbidities, and treatment were analyzed bivariate and multivariate using Cox Proportional Hazards Regression to obtain Hazard Ratio HR for each prognostic factor. The 1 year cumulative survival rate after diagnosis is expressed by the Kaplan Meier Curve.Results Of 83 subjects, the proportion of male was 62,7, age ge 50 years 68,7, with age range 33 79 years, and 55 years on average. In bivariate analysis, there was a statistically significant relationship of survival with comorbidities HR 2.116 95 CI 1.335 3.513 p 0.002, metastasis HR 3.802 95 CI 1.995 7.249 p 0.001, palliative treatment HR 2.108 95 CI 1.077 4.125 p 0.029 and group without treatment HR 2.924 95 CI 1.496 5.716 p 0.002. Multivariate analysis showed that metastasis provided the greatest risk of death with HR 4.306 95 CI 2.125 8.724 p 0.001. Palliative group HR was 2.510 95 CI 1.245 5.061 p 0.010 while the group without treatment gave HR 2.535 95 CI 1.277 5.032 p 0.008. Conclusion The overall survival of 1 year of pancreatic cancer patients was 14, with median survival of 6 months. The presence of metastasis and the decision not to do curative therapy Whipple surgery in patients with pancreatic cancer in dr Cipto Mangunkusumo General Hospital are the primary factors that negatively affect the 1 year survival rate.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Birry Karim
Abstrak :
Latar Belakang: Human immuno deficiency virus/ Acquired Immune Deficiency Syndrome HIV/AIDS merupakan masalah global yang menunjukkan adanya keterkaitan antara kasus HIV/AIDS dengan adanya kejadian aterosklerosis sebagai pemicu terjadinya kasus Penyakit Jantung Koroner PJK . Pemberian Antiretroviral ARV tersebut juga berisiko untuk kejadian PJK melalui mekanisme dislipidemia, lipodistrofi, resistensi insulin dan gangguan hati, yang juga bisa menyebabkan penebalan tunika intima media.Tujuan: Mendapatkan korelasi perubahan kadar CD 4, kadar viral load dan Indeks Massa Tubuh terhadap perubahan ketebalan tunika intima media arteri karotis pada pasien HIV yang mendapat ARV lini pertama selama 12 bulanMetode: Penelitian ini merupakan studi uji korelasi terhadap 54 pasien HIV yang menggunakan data sekunder penelitian JACCANDO PROJECT. Data yang digunakan adalah data USG doppler arteri karotis, hasil CD 4, hasil viral load dan hasil Indeks Massa Tubuh IMT .Hasil: Median CD 4 sebelum pemberian ARV ialah 68 sel/ l, sedangkan median CD 4 sesudah pemberian ARV 286,5 sel/ l. Median kadar viral load sebelum ARV sebesar 1.79 log10 copy/ml, sedangkan median viral load sesudah ARV yaitu 0 log10 copy/ml. Median IMT sebelum ARV 19.6, sedangkan median sesudah 12 bulan ARV 19.72. Rerata tunika intima media arteri karotis kiri sebelum dan sesudah pemberian ARV selama 12 bulan ialah 0.58 dan 0.63 dengan p-value 0.031. Korelasi perubahan kadar CD 4 dengan ketebalan tunika intima media arteri karotis kanan r= 0.08, p=0,58 , dan kiri r= 0.01, p=0,965 . Korelasi perubahan kadar viral load dengan ketebalan tunika intima media arteri karotis kanan r= 0.09, p=0,54 dan arteri karotis kiri r= 0.06, p=0,66 . Korelasi perubahan kadar IMT dengan perubahan ketebalan tunika intima kanan r= - 0.11, p=0,37 dan kiri r= -0.18, p=0,19 .Simpulan: Ketebalan tunika intima mengalami peningkatan antara sebelum dan sesudah pengobatan antiretroviral, namun tidak didapatkan korelasi antara kadar CD4, Viral load dan indeks massa tubuh dengan ketebalan tunika intima arteri karotis. ...... Background Human immuno deficiency virus Acquired Immune Deficiency Syndrome HIV AIDS is currently a global issue related with coronary artery disease. The effects of antiretroviral ARV is accompanied with some negative features such as dyslipidemia, lipodystrophy, insulin resistance and liver dysfunction which all contribute to increasing tunima intima thickness.Objective To acquire correlation between level of CD4, viral load, and Body Mass Index BMI with changes in tunica intima of carotid artery thickness in HIV patients receiving first line ARV for 12 monthsMethods This study is a correlation study involving 54 HIV patients using secondary data from the JACCANDO PROJECT research data such as Doppler ultrasound of the carotid artery, CD4 values, viral load as well as BMI.Results Median CD before antiretroviral treatment was 68 cells l, median CD 4 after ARV 286.5 cell l. The median viral load rate before ARV was 1.79 log10 copy ml, while median viral load after ARV was 0 log10 copy ml. The median BMI before ARV was 19.6, while median after 12 months of ARV was 19.72. The mean of the left artery carotid artery intima media before and after ARV administration for 12 months was 0.58 and 0.63 with p value 0.031. Correlation of changes in CD4 levels with the thickness of tunica intima medium of right carotid artery r 0.08, p 0,58 , and left r 0.01, p 0,965 . Correlation of changes in viral load levels with the tunica thickness of the right carotid artery medium r 0.09, p 0,54 and left carotid artery r 0.06, p 0.66 . Correlation of changes in BMI levels with changes in thickness of the right tunica intima r 0.11, p 0.37 and left carotid artery r 0.18, p 0.19 .Conclusion The thickness of intima tunica increased after antiretroviral treatment, but no correlation found between CD4, viral load and BMI level with the thickness of the intima tunica carotid artery.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adityo Susilo
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang : Demam berdarah dengue (DBD) dicirikan dengan terdapatnya kebocoran plasma yang signifikan. Sejauh ini metode yang tersedia untuk menilai kondisi tersebut dengan pemeriksaan serial hematokrit, USG, dan kadar albumin darah, yang pada kenyataannya masih sulit untuk menilai kebocoran plasma secara dini. Kebocoran plasma yang terjadi sejak fase awal dapat menimbulkan gangguan mikrosirkulasi, hipoperfusi jaringan, dan berakibat asidosis yang ditandai dengan penurunan kadar bikarbonat (HCO3-) dan base excess (BE) darah. Tujuan : Mengevaluasi peran bikarbonat dan base excess vena sebagai prediktor dan deteksi terjadinya kebocoran plasma pada pasien DBD saat akhir fase akut dan fase kritis. Metode : Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif untuk menilai perbedaan rerata kadar bikarbonat dan BE vena pada pasien DBD dan DD (demam dengue) pada akhir fase akut dan fase kritis. Data yang diolah berdasarkan data rekam medis dan data penelitian sebelumnya pada pasien yang dirawat dengan diagnosis demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) di bangsal Penyakit Dalam RSUP Persahabatan dan RSUPN Cipto Mangunkusumo dari Maret 2014 sampai April 2015. Hasil : Dari 66 sampel, proporsi pasien pria lebih banyak yang dengan diagnosis DBD (59,4%), dengan kelompok usia 21-30 tahun merupakan yang terbanyak (p > 0,05). Rerata kadar BE lebih rendah pada pasien DBD dibandingkan DD pada hari ke-3 (p 0,014) dan hari ke-5 (p 0,005). Rerata bikarbonat juga diperoleh lebih rendah pada kelompok DBD dibandingkan DD pada hari ke-3 (p 0,004) dan hari ke-5 (p 0,003). Simpulan : Rerata bikarbonat dan base excess vena lebih rendah pada pasien DBD dibandingkan DD pada akhir fase akut dan fase kritis dan dapat membantu untuk memprediksi dan mendeteksi terjadinya kebocoran plasma pada dengue.
ABSTRACT
Background: Dengue infection tends to cause plasma leakage. Serial hematocrit, USG, and serum albumin are methods used for monitoring dengue infection. Yet, those methods are still lack in detecting early plasma leakage. It is important to determine plasma leakage, thus early management and monitoring could be conducted before severe stage. Plasma leakage occurs at acute phase of infection and causes microcirculation disturbance, tissue hypoperfusion, and acidosis based on reduction of bicarbonate and base excess. Objective: To evaluate the role of vein bicarbonate and base excess in predicting and detecting plasma leakage in adult patients with dengue infection during end stage of acute phase and critical phase. Methods: It is a cohort retrospective study to evaluate the mean difference of vein bicarbonate and base excess during the end stage of acute phase and critical phase, between dengue hemorrhagic fever (DHF) and dengue fever (DF) groups. The data being used, derived from medical record and previous study of hospitalized patients diagnosed with DF and DHF in Internal Medicine Ward RSUP Persahabatan and RSUPN Cipto Mangunkusumo from March 2014 until April 2015. Results: From 66 samples, there was higher number of male patients with DHF (59.4 %) and most of them was in age group 21-30 years (p > 0.05). In DHF group, mean of hematocrit was higher compared to DF group at the end of prodromal phase (p 0.059), then tended to reduce at acute phase (p 0.308). Mean of thrombocyte ( p < 0.05) in DHF group were lower at the end of prodromal phase and critical phase than in DF group. Most of the serotype found was DENV2 (30.3 %). Mean of BE on the 3rd day (p 0.014) and 5th day (p 0.005) of fever was lower in DHF group than DF group. Mean of bicarbonate on the 3rd day (p 0.004) and 5th day (p 0.003) of fever was also lower in DHF vs DF groups. Conclusion: Mean of vein bicarbonate and base excess was lower in DHF group compared to DF group at the end of prodromal phase and critical phase. Moreover, bicarbonate and base excess can be used for predicting and detecting plasma leakage in dengue infection.
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sitompul, Yohana
Abstrak :
ABSTRAK
Pendahuluan. Prevalensi diabetes global diprediksi akan meningkat sebesar dua kali lipat pada tahun 2030 dari 2,8% menjadi 4,4% (berkisar 366 juta) dengan angka komplikasi kaki diabetes berkisar 10%. Ulkus diabetes dan amputasi ekstremitas bawah merupakan komplikasi diabetes yang akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas Setelah lima tahun amputasi pertama, 28-51% pasien akan menjalani amputasi kedua. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui proporsi dan profil pasien yang mengalami reamputasi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 2008-2012.

Metode. Disain studi ini adalah potong lintang dengan 80 subjek pasien kaki diabetes yang dirawat di RSCM tahun 2008 sampai 2012. Dilakukan pencatatan data yang didapat dari rekam medik berupa data demografis (jenis kelamin, rerata usia, pendidikan, pekerjaan, pembiayaan) dan klinis (rerata lama diabetes, hipertensi, merokok, neuropati, Peripheral Artery Disease (PAD), anemia, komorbid dan gagal ginjal kronik).

Hasil. Angka amputasi pada kaki diabetes dari tahun 2008-2012 sebanyak 128 subjek (20,3%) pasien dan dari 128 subjek terdapat 80 subjek yang statusnya lengkap dan yang menjalani reamputasi sebanyak 47 subjek (58,7%). Subjek yang menjalani reamputasi lebih sering pada perempuan sebanyak 25 orang (53,2%), dengan rerata usia 58,2 tahun, memiliki pendidikan SMA kebawah 97,8%, menggunakan biaya gakin (72,6%). Lama menderita DM rata-rata 7 tahun, kadar HbA1C ≥ 7% sebesar 46,8%, hipertensi pada 63,8% subyek, merokok sebanyak 14 orang (29,7%), neuropati sebanyak 41 orang (87,2%), PAD sebesar 27,6%,, anemia sebanyak 46 orang (97,8%), kadar albumin rerata 2,5 gr/dl dan terdapat 19 orang (40,45%) dengan eGFR<60 dan proteinuri sebanyak 19 orang (40,4%). Komorbid yang ada pada subjek yang menjalani reamputasi adalah pneumonia (34%), penyakit arteri koroner (21,2%), penyakit ginjal kronik (17%), stroke (10,6%), keganasan (8,6%) dan gagal jantung kongestif (8,6%)

Kesimpulan. Proporsi reamputasi pada kaki diabetes di RSCM tahun 2008 – 2012 sebesar 58,7%. Angka reamputasi pada kaki diabetes lebih tinggi pada perempuan, usia lebih lanjut, pendidikan SMA kebawah, menggunakan biaya umum dan gakin, kadar HbA1C ≥ 7%, hipertensi, neuropati, PAD, anemia, kadar albumin rendah, dengan eGFR<60 dan proteinuri dan komorbid yang lebih banyak
ABSTRACT
Introduction: Diabetic prevalence is arising to two fold in 2030 in the world and the prevalence of diabetic foot is 10%. Diabetic ulcer and the amputation of lower extremity are two complications of diabetes that increasing the morbidity and mortality of the patient. The purpose of this study was to know the proportion and profile of diabetic foot patient that performed reamputation at RSCM in 2008-2012.

Methods. A cross sectional study was conducted in 80 hospitalized patient with diabetic foot infection in Cipto Mangunkusumo Hospital (2008-2012). From medical record we made frequency table.

Result. Out of 628, 128 patient underwent amputation. Eighty subjects conduct this study. The prevalence of amputation was 20,3% and reamputation was 58,7 %. The subject that conducted reamputation more often in women (53,2%), 58 years old, low education, unemployment and with the assurance was Gakin. The duration of diabetes was 7 years, HbA1C≥ 7% was 46,8%; hypertensi was 63,8%, there was 14 sujects who smoked, neuropathy was 87,2%, PAD was 27,6%; anemia in 25 person, albumin was 2,4 gr.dl, 40,45% with eGFR<60, proteinuria in 19 person. The comorbidity were pneumonia (34%), CAD (21,2%), CKD (17%), CVD (10,6%), malignancy (8,6%), CHF (8,6%).

Conclusion. Prevalence of reamputation in diabetic foot was 58,7%. Reamputation is more frequent in women, elderly, low education, unemployment, with the assurance was Gakin, HbA1C≥ 7%, hypertensi, smoked, neuropathy, PAD, anemia, low albumin value, eGFR<60, proteinuria and more comorbidity.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eifel Faheri
Abstrak :
Latar Belakang: Kanker Nasofaring (KNF) salah satu pilihan terapinya adalah kemoterapi neoajuvan. Respon kemoterapi ini, di pengaruhi oleh Epidermal Growth Factor Receptor(EGFR), faktor yang berperan pada pertumbuhan dan invasif tumor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan tingkat ekspresi EGFR dengan respon kemoterapi neoajuvan dan tingkat ekstensif tumor primer. Penelitian ini merupakan studi potong lintang deskriptif, dilakukan penilaian respon kemoterapi neoajuvan dan tingkat ekstensif tumor primer, pada pasien KNF yang telah mendapat kemoterapi dan dilakukan pemeriksaan ekspresi EGFR. Hasil penelitian: Proporsi ekspresi EGFR pada kanker nasofaring untuk ekspresi negatif, positif dan kuat, berturut-turut sebesar (10%), (70%) dan (20%). Pasien yang respon terhadap kemoterapi neoajuvan adalah 23 pasien (76,6%) dan tidak respon 7 pasien (23,4%). Kelompok pasien yang memberikan respon terhadap kemoterapi, 15 pasien ( 50%) memiliki intensitas EGFR yang lemah. Pasien dengan tingkat ekstensif T3-T4 , mempunyai ekspresi EGFR lebih besar dibandingkan T1-T2 tumor. Kesimpulan : Proporsi ekspresi EGFR pada kanker nasofaring di Indonesia sebesar 90 persen. Kemoterapi neoajuvan lebih respon pada tumor dengan ekspresi EGFR positif dan intensitas EGFR yang lemah. Tumor dengan tingkat ekstensif yang lebih tinggi, mempunyai ekspresi EGFR lebih tinggi. ...... Background: Neoadjuvan chemotherapy is one option of treatment for nasopharyngeal cancer (NPC). The response of chemotherapy influenced by EGFR expression. EGFR is important factor for the growth and tumors invasion. Purpose of the study is compare of the EGFR expression level with response of neoadjuvan chemotherapy and extensive level of the primary tumor. The methods is cross-sectional descriptive study that assessment of response to neoadjuvan chemotherapy and extensive level of the primary tumor. The NPC patients who have received chemotherapy is examined of EGFR expression. Result of the study is the proportion of EGFR expression in NPC for negative, positive and strong expression is 10%, 70%, and 20% respectively. Patients who responses to neoadjuvan chemotherapy are 23 patients(76.6%) and non-responses 7 patients (23.4%). The group patients who responses to chemotherapy, 15 patients (50%) have EGFR weak intensity. Patients with T3-T4 tumors (56,6%) have EGFR expression is greater than T1-T2 tumors(44,4%). Conclusion: The proportion of EGFR expression in NPC in Indonesia is 90 percent. Neoajuvan chemotherapy is more response in tumors with positive EGFR expression and weak intensity. Tumors with high extensive levels have higher EGFR expression.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Mudiarnis
Abstrak :
Tujuan.Mendapatkanserta menentukan performa model prediksi delirium pasca-operasi pasien usia lanjut yang akan menjalani operasi. Metode. Penelitian dengan desain kohort prospektif pada pasien usia lanjut yang akan menjalani operasi dari Gedung A dan PJT RSCM, dari 1 Februarisampai 30 April 2018. Prediktor yang dianalisis yaitu usia, frailty, komorbiditas, status nutrisi, kadar albumin, status kognitif, status depresi, polifarmasi dan jenis operasi. Analisis multivariat dengan cox regression untuk mendapatkan Hazzard Ratio dilakukan pada prediktor yang bermakna. Model prediksi dibuat dari prediktor yang bermakna pada analisis multivariat. Kemampuan kalibrasi model prediksi ditentukan dengan uji Hosmer Lameshow dan kemampuan diskriminasinya ditentukan dengan menghitung AUC dari kurva ROC. Hasil.Terdapat187 pasien dengan median usia 67 tahun rentang 60-69 tahun . Kejadian Delirium pasca-operasi didapatkan sebesar 20,3 . Analisis multivariat mendapatkan usia HR 1,739;IK95 0,914-3,307 , polifarmasi HR 2,125 ;IK95 1,117-4,043 , dan status nutrisi HR 3,044 ; IK95 1,586-5,843 , sebagai prediktor model prediksi. Model Prediksi Delirium berdasarkan jumlah skor dari usia skor 1 , polifarmasi skor 1 , dan status nutrisi skor 2 , distratifikasikan menjadi kelompok risiko rendah skor le; 1 , risiko sedang skor 2-3 , dan risiko tinggi skor 4 . Uji Hosmer-Lemeshow menunjukan kalibrasi yang baik p=0,885 dan AUC menunjukan kemampuan diskriminasiyang cukup baik [ 0,71 IK95 0,614-0,809 ]. Kesimpulan. Model prediksi delirium pasca-operasi pasien usia lanjut menggunakan usia, status nutrisi dan polifarmasi, distratifikasi menjadi 3 kelas risiko rendah, sedang, dan tinggi Model ini memiliki kalibrasi yang baik dan diskriminasi yang cukup.
Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>