Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 67 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ari Pratiwi
Abstrak :
Karakteristik anak usia sekolah dasar yang berusia 6 - 11 tahun antara lain adalah lebih menguasai kemampuan dasar seperti membaca, menulis dan matematika Santrock (2004: 20). Tugas perkembangan dan tuntutan belajar yang harus dilalui anak sekolah dasar, membuat anak hares dipersiapkan agar mampu menghadapi tugas perkembangan dan tuntutan di sekolah dasar. Kesiapan masuk sekolah adalah persyaratan keterampilan dan pengetahuan yang memungkinkan seorang peserta didik memanfaatkan semaksimal mungkin suatu jenjang pendidikan Kesiapan anak dilihat dari lima aspek, yaitu a) perkembangan fisik dan motorik b) perkembangan sosial dan emosional c) pendekatan terhadap pembelajaran d) perkembangan bahasa e) kognisi dan pengetahuan umum. Masing-masing anak memiliki kesiapan sekolah yang berbeda-beda. Untuk anak-anak yang secara usia kronologis seharusnya sudah slap masuk sekolah dasar, namun temyata usia mentalnya belum mencapai kematangan atau kesiapan sekolah, maka diperlukan bantuan ekstra untuk mempersiapkan kesiapan sekolah anak tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai peningkatan kesiapan sekolah anak melalui intervensi program pembiasaan belajar. Sesuai dengan definisi belajar yaitu perubahan perilaku yang teijadi secara permanen, yang terjadi sebagai hasil dari latihan atau pengalaman (Morgan,et al., 1986: 140), maka perilaku belajar dapat dibentuk melalui pembiasaan. Kebiasaan belajar yang balk (good study habits) akan membuat anak mencapai nilai baik, slap untuk mengikuti pelajaran dan bisa berpartisipasi di kelas (Peters, 2000: 13). Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan kuantitatif. Dalam penelitian ini, subyek penelitian adalah seorang anak berusia 6 tahun yang telah duduk di kelas I sekolah dasar sejak tahun ajaran 2005/2006. Selama duduk di kelas 1, dapat dikatakan subyek belum memiliki kesiapan sekolah yang dapat dilihat dari tidak memiliki minat belajar dan menolak untuk belajar terutama dalam hal menulis, membaca dan berhitung, baik di rumah maupun di sekolah. Pada akhirnya, subyek tidak dapat naik ke kelas 2 karena tidak ada nilai rapor yang bisa is peroleh selama kelas I. Peneliti menggunakan kuesioner asesmen kesiapan sekolah yang diadaptasi dan dimodifikasi dari Assessment School Readiness Indicators yang digunakan di 3 negara bagian Amerika Serikat yang dikembangkan oleh SECPTAN (State Early Childhood Policy Technical Assistance Network). Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini lebih mengacu pada kuesioner yang dibuat negara bagian Missouri_ Kuesioner yang disusun peneliti terdiri dari 55 item yang dikelompokkan dalam 5 aspek kesiapan sekolah berserta indikator-indikatornya, ditambah dengan 1 aspek serba-serbi atau pemikiran matematika dan ilmiah. Herdasarkan hasil asesmen kesiapan sekolah, subyek belum memiliki kesiapan sekolah pada aspek pendekatan terhadap pembelajaran. Oleh karena itu, terdapat 5 perilaku yang diintervensi dalam penelitian ini yaitu perilaku mempertahankan perhatian pada tugas yang diberikan, menyelesaikan tugas yang diberikan, mampu mengatasi frustrasi dan kegagalan, memiliki kebiasaan belajar di rumah dan memiliki sikap belajar yang positif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa melalui program pembiasaan belajar yang telah dilaksanakan sebanyak Sembilan kali pertemuan, memperlihatkan terjadinya peningkatan kesiapan sekolah pada subyek. Melalui rangkuman basil program pembiasaan belajar, dapat dilihat bahwa subyek mengalami peningkatan pada semua perilaku yang ingin ditingkatkan. Hanya saja, peningkatan perilaku-perilaku tersebut masih belum belum stabil. Perilaku yang masih perlu ditingkatkan adalah kemampuan subyek dalam menoleransi frustrasi dan kegagalan. Subyek masih mudah patah semangat dan merajuk apabila menemui kegagalan atau hal yang tidak sesuai dengan keinginannya. Selain itu subyek juga seringkali tampak ragu-ragu dalam memulai sesuatu yang baru.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18104
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Handayani
Abstrak :
Autism adalah suatu gangguan perkembangan yang muncul di awal kehidupan seorang anak, yang dilandai oleh ketidakmampuan untuk berhubungan dengan orang lain, masalah dalam hal komunikasi, dan adanya pola tingkah laku tertentu yang diulang-ulang. Saal ini angka kejadian autism semakin banyak. Beberapa ahli meyakini bahwa autism berhubungan dengan faktor genetik. Orang tua yang memiliki anak autism mempunyai kemungkinan besar untuk kembali memiliki anak autism, Kemungkinan ini juga akan menjadi semakin besar bila orang tua memiliki anak kembar (penelitian Greenberg & Gillberg dalam www.news bbc.co.uk, 2002. Penelitian ini mencoba untuk melihat gambaran kejadian autism pada anak kembar, bagaimanakah sejarah perkembangan mereka, apakah ada hal yang unik pada kasus ini, melihat bahwa kedua anak berasal dari ibu yang sama, tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang sama pula. Selain itu juga akan dilihat faktor-faktor apa yang berperan dalam perkembangan tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitalif dengan memakai teknik wawancara dan observasi sebagai metode pengumpulan data. Subyek penelitian adalah anak kembar yang keduanya telah didiagnosa autism oleh seorang professional alau lebih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun pada awalnya kedua anak berkembang normal, namun mulai usia 11bulan, mereka menunjukkan gejiala-gejala autism seperti tidak peduli pada lingkungan, tidak tertarik pada permainan, perilaku hiperaktivitas, dan adanya keterlambatan pada perkembangan bahasa. Selanjutnya tampaklah bahwa mereka mengalami keterlambatan perkembangan dibandingkan dengan anak seusianya. Temlama pada aspek mental dan psikososial, sementara aspek fisik berkembang dengan tidak seimbang. Berdasarkan hasil penelitian maka kesimpulan yang dapat diambil ialah bahwa kemajuan dan perkembangan anak dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor dari dalam diri anak (inteligensi dan kepribadian), pengobatan, pengajaran terapi yang intensif dan terstuktur, serta intervensi dan keterlibatan orang tua/saudara kandung di rumah yang menarik pada kasus autism anak kembar ialah bahwa kebersamaan mereka kemungkinan besar membawa pengaruh yang kurang baik bagi perkembangan, dimana mereka dapat meniru yang dilakukan saudara kembarnya. Untuk membantu perkembangan mereka, pelibatan saudara sekandung alau anak-anak yang normal serta memisahkan dari saudara kembar yang juga autism dapat menjadi pertimbangan, melihat bahwa anak autism memiliki kemampuan meniru yang baik.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Febriana Tri Astuti
Abstrak :
Dengan semakin tingginya usia harapan hidup, makin jumlah orang lanjut usia (lansia) meningkat di masa yang akan datang. Pemberian perhatian pada peran pengasuhan terhadap orang lanjut usia menjadi hal yang tak terelakkan. Perempuan dalam keluarga selama ini telah menjadi sumber utama pengasuhan lansia; namun dengan pergeseran fungsi keluarga, pergeseran peran perempuan menjadi pencari nafkah, telah menggarisbawahi pentingnya peran sektor pengasuhan formal, seperti panti werdha, dalam menduukng para caregiver dari pihak keluarga lansia. Makin tinggi kebutuhan akan tersedianya pengasuhan lansia tersebut, makin tinggi pulalah tuntutan akan tersedianya caregiver yang efektif, yaitu memiliki keterampilan dan kemampuan yang relevan, sumber daya emosional dan material yang memadai, serta motivasi untuk menyediakan pengasuhan. Tuntutan yang tinggi dari masyarakat, tidak tersedianya sumber daya secara memadai dalam institusi formal tempat bekerja, serta karakteristik lansia yang dihadapi meningkatkan resiko terhadap terjadinya burnout pada caregiver. Burnout memiliki tiga dimensi yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan hasrat pencapaian prestasi diri. Burnout dapat timbul karena tiga faktor yaitu faktor keterlibatan dengan lansia, faktor seting pekerjaan dan lingkungan kerja, serta faktor karakteristik individual. Selain itu, karena caregiver yang diteliti adalah perempuan, faktor keluarga juga dimasukkan sebagai tambahan. Proses burnout yang terjadi pada caregiver juga diteliti di sini. Proses burnout dianalisa berdasarkan gabungan dari model proses transaksional menurut Chemiss (1980) dan model transaksional dari stres pekerjaan menurut Cox (1993). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tujuan memperolah gambaran tentang burnout yang terjadi pada caregiver, meliputi penyebab terjadinya burnout, gambaran dimensi burnout dan proses terjadinya. Diperoleh hasil bahwa perempuan yang bekerja sebagai caregiver lansi mengalami burnout, dengan tingkat keparahan dan kemunculan dimensi burnout yang berbedabeda. Kelelahan emosional dan depersonalisasi dialami oleh setiap caregiver terutama karena keterlibatan dengan lansia. Sedangkan faktor seting pekerjaan menimbulkan kelelahan emosional dan penurunan hasrat pencapaian prestasi diri. Burnout rentan terjadi pada caregiver yang cenderung memilih perilaku coping pertahanan intrapsikis yang bersifat paiiiative. Pelatihan keterampilan sosial dan pembentukan support group secara formal serta pengoptimalan fungsi penyelia dan pertemuan rutin dalam pemberian feedback dan peningkatan partisipasi caregiver menjadi saran praktis dari penelitian ini. Dari penelitian ini nampak pula pentingnya pemahaman tentang segi psikologi perkembangan orang lanjut usia memberikan pengasuhan yang efektif bagi lansia.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S3103
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ellya Poespitasari
Abstrak :
ABSTRAK
Dengan semakin majunya perekonomian di Indonesia yang berakibat positif bagi perbaikan lingknngan hidup dan kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang kedokteran telah meningkatkan harapan hidup manusia dan diperkirakan akan meningkatkan jumlah orang usia lanjut mencapai 19 juta orang (Kompas, 1992). Jumlah 19 juta ini bukanlah jumlah yang sedikit dan tampaknya dapat berpengaruh pada kehidupan ekonomi negara. Oleh karena itu perlu dipikirkan untuk menjadikan usia lanjut tetap produktif^ sehingga mereka bukan lagi menjadi beban imtuk perekonomian negara tetapi justru menjadi modal perekonomian. Menjadi tenaga pengajar diasumsikan akan menjadi profesi yang tepat bagi para usia lanjut Selain tidak mengandalkan kekuatan fisik semata, dengan berbekal pengetahuan dan pengalaman yang lebih tinggi menjadikan kelompok usia lanjut dapat menjadi lebih imggul daripada kelompok usia lainnya, karena tidak dipungkiri bahwa seiring dengan bertambahnya usia maka pengetahuan dan pengalaman yang bersifat akumulatif yang dimilikinya juga bertambah. Mereka menjadi bijaksana dalam. menilai dan menghadapi masalah yang ada (Schrank & waring, 1983). Keuntungan lainnya, sebagai masyarakat budaya timur, kita masih memiliki budaya masyarakat yang menempatkan para usia lanjut sebagai kelompok pemikir dalam mengambil keputusan dan jawaban dari masalah yang ada. Selain itu, stimulasi intelektual yang didapat dengan tetap mengajar merupakan hal yang penting untuk tetap menjaga seorang usia lanjut agar tetap sehat Namun dalam era globalisasi dan informasi ini temyata menjadi pengajar belum tentu merupakan pekerjaan yang mudah bagi usia lanjut. Sebab, salah satu akibat dari adanya perubeihan yang cepat adalah semakin banyaknya tuntutan dan kritikan terhadap dunia pendidikan. Perguruan tinggi yang tidak mampu mencetak tenaga-tenaga terampd dan berkuaUtas, tidak akan dapat beradaptasi dengan proses pembangunan nasional yang makin melaju dengan cepat. Dengan adanya tuntutan untuk membentuk mahasiswa yang berkualitas, maka peran dosen semakin berat.
1999
S2719
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lanniwati Yapianto
Abstrak :
ABSTRAK
Kematian pasangan hidup merupakan stressor terbesar dalam hidup seseorang yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan. Kesepian merupakan stress emosional yang paling menekan adalah masalah utama yang dihadapi oleh janda dan duda usia lanjut (Perlman & Peplau, 1982; Kimmel, 1992; Journal of applied family & child studies, 1986, vol 35). Menikah kembali dapat menjadi jalan keluar bagi para usia lanjut untuk terbebas dari kesepian (Journal of marriage & the family, 1978, vol 40; Hurlock, 1983; Papalia & Olds, 1992). Pada usia lanjut beberapa aspek seperti aspek fisik dan kognitif mengalami penurunan. Kesehatan emosi berkaitan dengan kehidupan yang telah dilalui; seseorang yang merasa bahagia dan mampu melihat kehidupannya di masa lalu tanpa merasa menyesal dan bersalah akan mengalami emosi positif (Vaillant & Vaillant dalam Papalia & Olds, 1992). Interaksi sosial sangat penting bagi usia lanjut agar mereka tidak merasa tersisih dari masyarakat. Hubungan dengan pasangan hidup mempengaruhi kepuasan hidup seseorang; keberadaan pasangan hidup membantu orang usia lanjut dalam mencapai kesejahteraan emosional dan membuat mereka merasa penting dan diperlukan (Papalia & Olds, 1992). Oleh karena itu kehilangan pasangan hidup menimbulkan masalah-masalah praktis dan emosional bagi usia lanjut. Bagi duda usia lanjut kesepian yang mereka alami ditambah pula dengan keadaan mereka yang tidak terbiasa mengurus diri sendiri; sehingga mereka sangat membutuhkan pendamping di usia tua (Berardo dalam Bell, 1971). Janda usia lanjut walaupun mempunyai dukungan sosial dari anak dan sahabat tetap membutuhkan kehadiran pendamping dalam hidup mereka. Mereka menempatkan companionship sebagai alasan untuk menikah kembali (Gentry & Schulman, 1988; Bengston, 1990 dalam Aiken 1995). Menikah kembali memberikan pengaruh positif karena membuat para usia lanjut lebih bahagia (Butler &, Lewis, dalam Aiken, 1995). Namun para usia lanjut yang menikah kembali harus melalui penyesuaian yang cukup berat sebab selain adanya perbedaan latar belakang; harapan dan kebiasaan yang terbentuk selama pernikahan pertama dijadikan dasar dalam pernikahan kedua ini sehingga mereka sering membandingkan pasangan saat ini dengan pasangan yang dulu (Furstenberg, dalam Hall & Perlmutter, 1992).

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan wawancara mendalam sebagai bentuk pengumpulan data. Subyek dalam penelitian ini diperoleh melalui cara informal dan formal.

Dari keempat subyek yang diwawancarai, kebutuhan akan pendamping merupakan alasan mereka menikah kembali. Selain itu perasaan kasihana pada pasangan juga menjadi dasar pertimbangan ketika memutuskan untuk menikah kembali. Adanya perbedaan latar belakang antar suami istri kerapkali menimbulkan masalah dalam penyesuaian diri. Menikah kembali setelah kematian pasangan hidup dapat menjadi pilihan bagi usia lanjut jika didukung oleh adanya kesamaan latar belakang, persetujuan keluarga, mengetahui kebutuhan pasangan dan adanya penghasilan yang memadai. Menikah kembali di usia lanjut membutuhkan pertimbangan matang.
1999
S2947
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zani Afrinita
Abstrak :
Kerja merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan dewasa muda. Seorang dewasa yang normal adalah orang yang mampu untuk mencintai dan bekerja (Freud dalam Craig, 1986). Yang dimaksud dengan kerja adalah pekerjaan dimana individu mendapatkan bayaran sebagai imbalan. Dalam bekerja, individu pada umumnya mempunyai tujuan-tujuan tertentu namun kadangkala tujuan ini tidak selalu dapat dipenuhi. Tidak terpenuhinya tujuan ini dapat menimbulkan stres bagi individu (Quick & Quick, 1983). Stres yang dialami individu dalam dunia kerja ini disebut sebagai stres kerja (Soewondo, 1991). Stres kerja dapat dibedakan menjadi stres yang bersumber dari pekerjaan dan kehidupan sehari-hari (Greenberg 8. Baron, 1993). Salah satu hal yang dapat digunakan untuk mengatasi stres kerja adalah dukungan sosial (Quick & Quick, 1983). Lobel (1994) mengemukakan dukungan sosial ini dapat diberikan dalam 4 bentuk, yaitu dukungan emosional, instrumental, informasional dan penilaian. Adanya dukungan sosial dapat menurunkan stres pada individu karena dengan mempersepsi adanya orang lain yang dapat dan akan membantunya maka individu akan menilai bahwa ancaman yang tadinya berada di luar kemampuannya dapat diatasi sehingga individu tidak lagi memandang hal tersebut sebagai ancaman. Di tempat kerja dukungan sosial ini dapat diperoleh individu dari sahabat. Yang dimaksud dengan sahabat di sini adalah sahabat ditempat kerja. Mengingat pentingya fungsi dukungan sosial dalam mengatasi stres dan salah satu sumber dukungan sosial di tempat kerja adalah sahabat, maka penalitian ini bertujuan untuk melihat persepsi dewasa muda mengenai fungsi sahabat sebagai sumber dukungan sosial dalam menghadapi stres kerja. Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data melalui skala yang mengukur persepsi dewasa muda mengenai fungsi sahabat sebagai sumber dukungan sosial dalam menghadapi stres kerja. Subyek penelitian adalah dewasa muda dengan pendidikan minimal SLTA dan bekerja purna waktu sekurang-kurangnya selama 6 bulan pada perusahaan swasta. Jumlah keseluruhan subyek adalah 119 orang yang terdiri dari 55 subyek pria dan 64 subyek wanita. Hasil pengolahan data dengan menggunakan metode statistik deskriptif menunjukkan bahwa dewasa muda mempersepsi sahabat sebagai sumber dukungan sosial dalam menghadapi stres kerja. Dukungan sosial ini dipersepsi diberikan dalam bentuk dukungan emosional, informasional dan penilaian dalam menghadapi stres kerja yang bersumber dari pekerjaan. Sedangkan pada stres kerja yang bersumber dari kehidupan sehari-hari, subyek mempersepsi sahabat memberikan dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional, informasional, penilaian dan instrumental. Di samping itu uji perbedaan dengan menggunakan teknik t-test diperoleh hasil bahwa pada persahabatan lawan jenis subyek pria dan wanita tidak mempersepsi adanya perbedaan dukungan sosial yang diberikan oleh sahabatnya, namun pada persahabatan sesama jenis subyek wanita mempersepsi sahabatnya lebih tinggi memberikan dukungan emosional dibandingkan dengan persepsi subyek pria terhadap dukungan emosional yang diberikan oleh sahabatnya. Hal ini tampaknya dipengaruhi oleh pola persahabatan yang berbeda antara pria dan wanita dimana persahabatam wanita lebih menekankan pada aspek emosional. Namun pada pesahabatan lawan jenis, perbedaan ini tidak muncul karena baik subyek pria maupun subyek wanita mempersepsi adanya dukungan sosial yang sama diberikan oleh sahabat pria maupun wanita.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S2760
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurfadilah
Abstrak :
ABSTRAK
Akhir-akhir ini timbul trend baru di kalangan masyarakat (khususnya orang tua dari anak usia taman kanak-kanak), dimana aspek kognitif anak mendapat perhatian yang lebih besar untuk dapat dikembangkan pada pendidikan taman kanak-kanak (TK), dibandingkan aspek fisik dan psikososial. Hal ini diperkuat dengan adanya penelitian yang dilakukan Ahman pada tahun 1998 (dalam Syaodih, 1999), yang mengungkap bahwa ketidakmampuan bersosialisasi dan emosi merupakan permasalahan yang seringkali dihadapi oleh anak sekolah dasar kelas awal. Selain itu ada pula penelitian lain yang dilakukan oleh Tim Peneliti dan Pusat Pengembangan Kualitas Jasmani, Depdiknas. (www.depdiknas.go.id), terhadap 500 murid kelas 2 sekolah dasar di lima wilayah DKI Jakarta. Penelitian ini mengungkap bahwa kemampuan motorik murid kelas 2 sekolah dasar masih kurang memadai. Tes masuk Sekolah Dasar (SD) merupakan pemicu terbesar timbulnya fenomena ini. Ketika anak mengikuti tes masuk sekolah dasar yang dijadikan parameter utamanya adalah kemampuan anak dalam hal-hal yang bersifat skolastik, seperti membaca menulis dan berhitung. Hal ini menyebabkan orangtua memiliki harapan yang tinggi terhadap anak untuk pencapaian aspek kognitif yang optimal, sehingga anak tidak lagi menemui kesulitan pada saat mengikuti pendidikan di SD. Harapan orangtua bagi kehidupan anak di masa mendatang merupakan salah satu faktor terpenting yang mempenganihi keberhasilan belajar anak Oleh karena itu agar dapat memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak TK, ada baiknya orangtua memahami terlebih dahulu akan karakteristik anak dan tujuan program pendidikan TK. Berdasarkan petunjuk teknis proses belajar mengajar di TK kemampuan skolastik bukanlah tujuan utama dari program pendidikan TK (Depdikbud, 1999). Tujuan utamanya adalah membantu mempersiapkan anak memasuki sekolah dasar. Untuk itu dalam menerapkan pendidikan TK, hendaknya disesuaikan dengan tugas perkembangan anak prasekolah yang mencakup 3 aspek perkembangan yang dikemukakan oleh Paf)alia & Olds (2001), yaitu aspek fisik, kognilif dan psikososial. Hal yang akan diungkap dalam penelilian ini adalah apakah orangtua lebih mengharapkan aspek kognilif untuk dapat dikembangkan dalam pendidikan TK, dibandingkan aspek fisik dan psikososial?". Instnimen yang digunakan dalam penelilian ini adalah kuesioner harapan orang tua terhadap pendidikan pada TK. Instrumen ini disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan program berdasarkan 3 aspek perkembangan yang dikemukakan oleh Papalia (2001), yaitu aspek fisik, kognilif dan psikososial. Penelilian dilakukan pada 127 orang responden (orangtua) dari 4 buah TK di Jakarta dan sekilamya, Kuesioner tersebul dapat disampaikan kepada responden dan dikembalikan lagi kepada peneliti berkat kerjasama dengan pihak guru kelas. Hasil analisis data yang diperoleh dari uji statislik (ANOVA satu arah) menunjukkan bahwa aspek fisik memiliki perbedaan yang signifikan dengan aspek kognilif dan psikososial, sedangkan aspek kognilif dan psikososial menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan (Ho diterima). Ini berarli harapan orangtua terliadap pengembangan aspek kognilif sama besamya dengan aspek psikososial. Sedangkan aspek fisik dianggap kurang penting oleh orangtua untuk dapat dikembang^n pada pendidikan TK.
2002
S2863
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mariska Hendraely
Abstrak :
ABSTRAK
Perkawinan merupakan bentuk hubungan interpersonal antara pria dan wanita yang sifatnya paling intim, sangat berbeda dengan bentuk-bentuk hubungan interpersonal lainnya dan cenderung dipertahankan (Argyle & Henderson, 1985). Pada dasarnya Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam menganut asas monogami, walaupun demikian perkawinan poligami diperbolehkan sebagai suatu pengecualian. Pengecualian diperbolehkannya poligami disertai dengan adanya batasan-batasan yang berat berupa syarat-syarat dan tujuan yang mendesak (Thalib, 1986). Setiap perkawinan baik monogami ataupun poligami tidak mungkin akan selalu berjalan mulus tanpa menghadapi suatu masalah perkawinan apapun. Bentuk perkawinan poligami adalah suatu bentuk keluarga yang lebih besar, segala hak dan kewajiban dalam perkawinan harus dijalankan untuk dua keluarga Hal ini dapat menjelaskan bahwa masalah yang akan timbul dalam perkawinan akan lebih banyak. Potensi masalah akan lebih besar bila perkawinan berlanjut hingga pria yang berpoligami menginjak lanjut usia Hal ini karena pada saat lanjut usia secara alamiah terjadi penurunan dalam berbagai kemampuan sementara kewajiban yang harus dipenuhi tetap. Penurunan yang paling jelas terutama pada kemampuan fisik yang kemudian ikut mempengaruhi perkembangan kognitif, emosi dan sosialnya (Bee, 1996). Hal ini akan menyebabkan kemampuan untuk memenuhi segala kewajiban menjadi menurun. Sedangkan saat ini populasi lanjut usia semakin meningkat sebagai akibat keberhasilan pembangunan yang didukung oleh kemajuan ilmu dan teknologi serta pelayanan kesehatan. Peningkatan jumlah lanjut usia ini menunjukkan usia harapan hidup yang semakin meningkat. Perkawinan poligami yang berlanjut sampai lanjut usia pun tampaknya akan semakin meningkat. Walaupun Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam yang membatasi peluang untuk berpoligami cukup ketat, namun pada kenyataannya hal tersebut tidak terlalu menghalangi orang-orang untuk menikahi lebih dari seorang istri. Menurut Steinberg & Silverberg (dalam Davidson & Moore, 1996) masa lanjut usia merupakan masa keemasan bagi pasangan suami-istri dalam menjalani perkawinannya, karena pada masa ini pasangan suami-istri akan lebih banyak menghabiskan waktunya dalam keluarga dan menjalani kegiatan bersama pasangan hidupnya Walaupun demikian setiap suami-istri tidak dapat menghindari potensi timbulnya masalah akibat proses penuaan yang bersifat menurun. Tentunya bagi pria yang berpoligami potensi masalah yang dihadapi akan lebih besar karena tetap harus memenuhi segala kewajiban pada dua keluarga. Berdasarkan hal tersebut dalam penelitian ini ingin diperoleh gambaran masalah yang dihadapi pria yang berpoligami menginjak lanjut usia, dengan mengacu pada faktorfaktor yang mempengaruhi seseorang untuk berpoligami, perbedaan masalah poligami yang dialami sebelum dan sesudah lanjut usia serta faktor-faktor yang berperan membantu mengatasi masalah poligami. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif serta menggunakan teknik wawancara mendalam dan observasi untuk mengumpulkan data. Subyek penelitian terdiri dari lima orang pria lanjut usia yang berpoligami sebelum menginjak lanjut usia. Setelah data selesai dikumpulkan, dilakukan analisa secara kualitatif untuk mendapatkan gambaran masalah pria yang berpoligami menginjak lanjut usia Hasil penelitian menunjukkan faktor yang mendorong seorang pria untuk berpoligami adalah keinginan untuk mempunyai keturunan, jatuh cinta pada wanita lain, menolong calon istri kedua dan ada ketidakcocokkan dengan istri pertama Hasil lain menunjukkan umumnya pada setiap subyek ditemukan masalah dari perkawinan poligaminya sebelum lanjut usia. Sesudah lanjut usia masalah tersebut sebagian besar terus berlanjut, tetapi ada pula masalah yang selesai atau baru timbul sesudah lanjut usia Secara umum masalah poligami sebelum lanjut usia adalah masalah komunikasi, masalah keadilan dan tanggung jawab, masalah ekonomi dan masalah kondisi fisik istri pertama Sesudah lanjut usia masalah poligami yang timbul berkaitan dengan penurunan kondisi fisik subyek penelitian. Sedangkan faktor-faktor yang membantu mengatasi masalah yang timbul akibat poligami adalah mendekatkan diri pada agama, menyibukkan diri dengan pekerjaan, melakukan meditasi, memahami kondisi istri, kehadiran anak dan hubungan yang baik antara kedua istri. Hasil tambahan yang terdapat dalam penelitian ini adalah manfaat poligami yang dirasakan setiap subyek, gambaran perasaan setiap subyek dalam menjalani poligaminya selama ini dan saran yang diberikan setiap subyek untuk generasi selanjutnya yang ingin berpoligami. Hal-hal yang cukup menarik untuk didiskusikan dalam penelitian ini adalah faktor yang mendorong seorang pria berpoligami dihubungkan dengan teori Nasir (1976), masalah-masalah poligami dihubungkan dengan teori Nasir (1976), partisipasi kelima subyek penelitian yang sudah menginjak lanjut usia dihubungkan dengan dua teori partisipasi lanjut usia dalam lingkungan sosialnya, yaitu dari Cumming & Henry (dalam Tumer & Helms, 1995) serta dari Maddox (dalam Santrock, 1992), kedekatan pada agama setelah lanjut usia dihubungkan dengan teori Koening, Georgen & Siegler (dalam Perlmutter & Hall, 1992), subyek yang menghadapi masalah terberat, pembuktian teori Landis & Landis (1970) tentang beberapa bidang utama yang membutuhkan penyesuaian diri pada pasangan perkawinan serta waktu yang diperlukan untuk mencapai kesesuaian dalam berbagai bidang kehidupan perkawinan, manfaat poligami dihubungkan dengan teori Aj-Jahrani (1996) dan terakhir berhubungan dengan pembagian tempat tinggal untuk dua orang istri. Saran untuk penelitian lanjutan meliputi menambah wawancara mendalam terhadap pihak istri, dapat pula masalah poligami dibandingkan dengan pria yang menikahi lebih dari dua istri dan menambah jumlah subyek agar memperoleh gambaran yang lebih lengkap. Saran praktis pada penelitian ini lebih ditujukan pada pria yang bermaksud untuk berpoligami agar mendapatkan masukan tentang gambaran masalah poligami yang mungkin akan ditemui.
1999
S2911
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Sulistyorini
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2000
S2969
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>