Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 47 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jessica
"Pemberian rekomendasi fit to fly setelah dilakukan tindakan bedah refraktif fakoemulsifikasi pada pilot yang mengalami katarak berdasarkan protocol Civil Aviation Safety Regulations CASR 67 KP 303 tahun 2012 diberikan setelah 2 bulan pascabedah. Saat ini dengan kemajuan teknologi dan modifikasi teknik, kestabilan tajam penglihatan pascabedah dapat lebih cepat dicapai. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan masukkan dalam hal perubahan kebijakan lama masa unfit penerbang dengan katarak yang dilakukan tindakan bedah refraktif fakoemulsifikasi. Agar penerbang yang tajam penglihatannya sudah stabil dan sudah memenuhi kriteria fit to fly dapat secepatnya kembali bertugas guna mengurangi loss of work. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain kohort retrospektif. Data diambil dari rekam medis, dilakukan perbandingan best corrected visual acuity BCVA dalam satuan desimal praoperasi, hari pertama, serta minggu pertama, kedua, keempat, dan kedelapan. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode total sampling, didapatkan 16 rekam medis yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Seluruh sampel berjenis kelamin laki-laki 100 berusia 59 ndash; 61 tahun. BCVA didapatkan berbeda bermakna pada hari pertama pascabedah yang dibandingkan dengan prabedah p
According to Civil Aviation Safety Regulations CASR protocol 67 KP 303 in 2012, fit to fly recommendation after refractive phacoemulsification surgery performed on pilots with cataractswas given 2 months postoperatively. Nowadays with technological advances and technique modifications, the visual acuity stability postoperative can be more quickly achieved. This study aims to provide insight in terms to change the old policy of unfit period for pilots with cataracts performed phacoemulsification refractive surgery. It aims to reduce the loss of work so the aviators who visual acuity has been stable and already meet the criteria fit to fly can quickly return to serve. This study is a quantitative study with a retrospective cohort design. Data were taken from medical records, then we compared best corrected visual acuity BCVA in decimal preoperative, first day, and first, second, fourth and eighth week. Sampling was done by total sampling method, we got 16 medical records that match inclusion and exclusion criteria. All samples of male sex 100 aged 59 - 61 years. BCVA was found to differ significantly on the first postoperative day compared with preoperative p "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57645
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angga Wiratama Lokeswara
"Latar belakang: Menurut data WHO, sebanyak 15 juta bayi di dunia dilahirkan kurang bulan setiap tahunnya, dan Indonesia menduduki peringkat ke-5 di dunia. Salah satu komplikasi pada bayi kurang bulan yang sering terjadi adalah sepsis. Sepsis Neonatorum Awitan Dini (SNAD) merupakan infeksi sistemik pada bayi pada usia kurang dari 72 jam yang seringkali disebabkan oleh transmisi patogen secara vertikal sebelum atau saat proses kelahiran. Strategi utama dalam penanggulangan kejadian SNAD bergantung pada identifikasi faktor risiko, termasuk ketuban pecah berkepanjangan. Namun, sampai saat ini masih belum ada kesepakatan terkait ambang batas waktu ketuban pecah yang meningkatkan risiko kejadian SNAD secara signifikan pada populasi bayi kurang bulan.
Tujuan: (1) Mengetahui sebaran subjek penelitian berdasarkan karakteristik jenis kelamin, usia gestasi, usia ibu, berat lahir dan metode persalinan. (2) Mengetahui sebaran subjek penelitian berdasaran gejala klinis dan hasil pemeriksaan kultur. (3) Mengetahui hubungan antara waktu ketuban pecah dengan kejadian SNAD pada ambang batas waktu 24 jam, 18 jam dan 12 jam di RSCM.
Metode penelitian: Sebuah studi kasus-kontrol dilakukan pada populasi bayi kurang bulan yang lahir di RSCM dari tahun 2016-2017. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok: (1) kelompok kasus yang mengalami SNAD; dan (2) kelompok kontrol yang tidak mengalami SNAD; dipilih secara simple random sampling. Jumlah total subjek pada penelitian ini adalah 154 bayi kurang bulan (77 kasus dan 77 kontrol). Pengambilan data dilakukan pada Januari-Agustus 2018 dengan melihat rekam medis subjek penelitian, dilanjutkan dengan analisis bivariat menggunakan uji Chi Squared dan analisis multivariat menggunakan regresi logistik.
Hasil penelitian: Semua karakteristik tidak memiliki perbedaan yang bermakna, kecuali usia gestasi (p=0,012) dan berat lahir (p=0,02). Gejala klinis yang paling sering ditemukan dan memiliki hubungan yang bermakna adalah sesak napas (63,0%; p<0,001) dan instabilitas suhu (40,9%; p<0,001).
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara waktu ketuban pecah dengan kejadian SNAD pada bayi kurang bulan di RSCM pada ambang batas waktu 12 jam, 18 jam dan 24 jam. Ketuban pecah lebih dari 12, 18 dan 24 jam meningkatkan risiko SNAD pada bayi kurang bulan 2,3 kali lipat, dan ketuban pecah lebih dari  12 jam meningkatkan risiko 2,9 kali lipat setelah adjustment.

Introduction: According to WHO, 15 million babies are born premature annually, and  Indonesia ranks 5th worldwide. One of the most frequent complications in preterm infants is sepsis. Early onset neonatal sepsis (EONS) is defined as the systemic infection in infants less than 72 hours old which is often caused by vertical transmission of pathogens before or during labour. With the current lack of consensus in the definition of neonatal sepsis, identification risk factors, including prolonged premature preterm rupture of membranes (ROM), becomes the main strategy. Unfortunately, there is also currently lack of worldwide agreement in the threshold of duration of ROM which significantly increases the risk of EONS in preterm infants.
Objectives: (1) To determine the distribution of subjects based on selected characteristics: gender, gestational age, maternal age, birth weight and mode of delivery. (2) To determine the distribution of subjects based on clinical symptoms and bacterial culture examination. (3) To determine the association between the duration of ROM and the incidence of EONS in preterm infants, at the thresholds of 24 hours, 18 hours and 12 hours, in RSCM.
Methods: A case-control study was done on preterm infants born in RSCM in 2016-2017. The subjects were divided into 2 groups: (1) the case group for preterm infants who had EONS; and (2) the control group for preterm infants who did not have EONS; each selected by simple random sampling. The total number of subjects in the study was 154 preterm infants (77 in the case group and 77 in the control group). Data collection from the medical records of the subjects was performed in January-August 2018, followed by bivariate analysis using Chi Square Test and  multivariate analysis using logistic regression.
Result: Characteristics had insignificant differences, except gestational age (p=0,012) and birth weight (p=0,02). The clinical symptoms which were most frequent and had significant associations with EONS were respiratory instability (63,0%, p<0,001) and temperature instability (40,9%, p<0,001).
Conclusion. There is a significant association between the duration of ROM at 12, 18 and 24 hours, and the incidence of EONS in preterm infants, especially at duration of more than 12 hours. Prolonged PPROM for 12, 18, and 24 hours increases the risk of EONS in preterm infants 2.3 times (unadjusted) and PPROM for 12 hours increases the risk of EONS in preterm infants 2.9 times after adjustment for other factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafindhra Adhitya Prihastama
"Latar belakang. Bayi kurang bulan merupakan masalah yang masih sering menghantui dunia kedokteran akibat komplikasi jangka pendek, jangka panjang, maupun kematian secara langsung. Salah satu komplikasi yang dapat muncul adalah enterokolitis nekrotikans, sebuah penyakit kegawatdaruratan gastrointestinal bersifat fatal. Enterokolitis nekrotikans sendiri dapat dicegah dengan pemberian ASI, salah satu metodenya adalah meneteskan ASI secara orofaringeal atau biasa disebut sebagai care.
Tujuan. Mengetahui perbandingan antara pemberian oral care dengan kejadian enterokolitis nekrotikans pada bayi kurang bulan, mengetahui sebaran karakteristik subjek penelitian (jenis kelamin, usia gestational, berat lahir, dan usia ibu, mengetahui angka kejadian enterokolitis nekrotikans pada bayi kurang bulan yang mendapat oral care, mengetahui angka kejadian enterokolitis nekrotikans pada bayi kurang bulan yang tidak mendapat oral care, dan mengetahui perbandingan angka kejadian enterokolitis nekrotikans antara bayi kurang bulan yang mendapat oral care dengan bayi yang tidak mendapat oral care.
Metode penelitian. Penelitian dilakukan dengan metode crosssectional komparatif pada bayi kurang bulan yang dirawat di NICU RSCM pada tahun 2016-2017 dengan jumlah total subjek sebanyak 144 orang dan dipilih secara random sampling. Sumber data merupakan rekam medis dan pengambilan data dilakukan selama 6 bulan dari Januari hingga Agustus 2018.
Hasil penelitian. Dari 144 pasien, didapatkan 72 bayi kurang bulan mendapat oral care dan 72 bayi kurang bulan tidak mendapat oral care. Dari kedua kelompok tersebut, ditemukan adanya perbedaan pada masa gestasi (p=0,006) dan berat lahir bayi (p=0.042). Pada 72 bayi kurang bulan yang mendapat oral care, terdapat 19 bayi kurang bulan yang mengalami enterokolitis nekrotikans dan pada 72 bayi kurang bulan lainnya yang tidak mendapatkan oral care, terdapat 9 bayi kurang bulan yang tidak mendapatkan oral care. Perbandingan kedua kejadian enterokolitis nekrotikans pada kedua kelompok tersebut adalah 26.4% banding 12.5%. Dengan menggunakan analisis kategorik, didapatkan hubungan antara oral care dengan kejadian enterokolitis nekrotikans (p=0.036).
Kesimpulan. Terdapat hubungan antara pemberian oral care dengan angka kejadian enterokolitis nekrotikans. Namun penelitian lebih lanjut dengan skala yang lebih besar harus untuk menentukan melihat hasil lebih spesifik dan lebih lanjut mengenai sebab-akibat.

Introduction. Premature infants still pose a big problem in the medicine due to its association with high morbidity and mortality. Necrotizing enterocolitis, or NEC, a gastrointestinal emergency case, is one of the complications that rises from prematurity. NEC can be prevented with breast milk, especially mothers own milk, through oropharyngeal administration, or in other words, oral care.
Objectives. To determine comparison between oral care administration with necrotizing enterocolitis incidence on preterm infants, to determine the distribution of subjects based on characteristic (gender, gestational age, birth weight, and mothers age), to determine the incidence of necrotizing enterocolitis on preterm infants with oral care administration, to determine the incidence of necrotizing enterocolitis on preterm infants without oral care, and to compare the incidence of necrotizing enterocolitis between preterm infant with and without oral care.
Methods. A cross-sectional study was conducted on preterm infants who were treated in Neonatal Intensive Care Unit of Cipto Mangunkusumo Hospital between 2016 and 2017. There were 144 subjects chosen by simple random sampling. Medical record from Perinatology Division was the source of data and data was taken from January until August 2018.
Result. From 144 Premature infant, there were 72 premature infants with oral care and 72 premature infants without oral care. In those two groups, two characteristics, gestational age (p=-0.006) and birth weight (p=0.042), were significantly different. There were 19 preterm infants with oral care and 9 preterm infants without oral care who suffered from necrotizing enterocolitis. The proportion of necrotizing enterocolitis in these two groups is 26.4%:12.5% The difference is significant (p=0.036).
Conclusion. There is a significant association between oral care and the incidence of necrotizing enterocolitis, though further larger studies must be conducted to obtain more detailed results.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nayla Karima
"Latar Belakang:. Sepsis neonatorum awitan dini masih menjadi penyebab kesakitan dan kematian yang utama pada neonatus, dengan angka lebih tinggi terjadi pada bayi kurang bulan. Berbagai faktor diketahui berhubungan dengan kejadian sepsis neonatorum awitan dini, namun penelitian yang dilakukan pada bayi prematur masih terbatas. Tujuan:. Mengetahui faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian sepsis neonatorum awitan ini pada bayi kurang bulan di RSCM.
Metode:. Penelitian desain case-control dengan mengambil data dari rekam medis bayi lahir kurang bulan di RSCM pada rentang waktu Januari 2016-Desember 2017 sebanyak 186 sampel (93 untuk masing-masing kelompok). Data dianalisis secara bivariat dan multivariat.
Hasil: Terdapat perbedaan bermakna dari karakteristik bayi kurang bulan antara kelompok kasus dan kontrol yaitu usia gestasi, jenis kelamin laki-laki, dan berat lahir. Gejala klinis tersering ditemukan adalah sesak napas. Dari 7 faktor yang dianalisis, infeksi intrauterin, nilai APGAR 1 menit pertama, dan nilai APGAR 5 menit pertama pada analisis bivariat dimasukkan ke analisis multivariat (p<0,25) sementara pada faktor lainnya tidak ditemukan hubungan yang bermakna. Pada analisis multivariat, ditemukan bahwa jenis kelamin laki-laki, usia gestasi, infeksi intrauterin, dan nilai APGAR 1 menit pertama memiliki hasil yang bermakna secara statistik.
Kesimpulan: Jenis kelamin laki-laki, usia gestasi, infeksi intrauterin, dan nilai APGAR 1 menit pertama merupakan faktor risiko independen sepsis neonatorum awitan dini pada bayi kurang bulan. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap kejadian sepsis neonatorum awitan dini pada bayi kurang bulan.

Background: Early onset neonatal sepsis is still considered as a common cause of morbidity and mortality in neonates, with a higher prevalence found in preterm infants. Many factors are known to be correlating to the cases of early onset neonatal sepsis, but research done specifically in preterm infants is limited.
Objective: To determine the factors associated with early onset neonatal sepsis in preterm infants.
Method: This research was done using a case-control design, where the data is taken from the medical record of preterm patients born in RSCM within January 2016-December 2017. The total sample is 186 (93 for each group). Data was then analyzed using bivariate and multivariate analysis.
Result: A significant result was found in characteristic such as gestational age, gender, and birth weight. Out of 7 factors that were analysed, the factors that were analysed using multivariate analysis were intrauterine infection, low APGAR score in the first minute, and low APGAR score in the fifth minute. From multivariate analysis, gender, gestational age, intrauterine inflammation, and low APGAR score in the first minute were stastically significant.
Conclusion: gender, gestational age, intrauterine inflammation, and low APGAR score in the first minute are independent risk factors for early onset neonatal sepsis. Further study is needed to understand the correlation between those factors and early onset neonatal sepsis in preterm infants.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Erlangga Putra Harimurti
"Obesitas, yang saat ini prevalensi dunianya semakin meningkat, termasuk di kalangan remaja, dapat menyebabkan banyak komplikasi di masa yang akan datang. Model transteoritik Prochaska merupakan salah satu model yang digunakan untuk menilai tahap dan proses perubahan perilaku, termasuk untuk masalah obesitas yang berhubungan dengan dua proses perilaku pada model tersebut yaitu proses supporting relationships (SR) dan weight management actions (WMA). Penelitian cross-sectional komparatif ini mempelajari faktor - faktor yang berhubungan dengan proses - proses perubahan yang telah disebutkan dengan menggunakan data sekunder yang dikumpulkan dengan kuesioner yang sudah ditranslasi dan divalidasi ke dalam Bahasa Indonesia. Terdapat 116 sampel yang terdiri dari 59 murid SMA dan 57 mahasiswa tahun pertama dengan rentang umur 15 sampai 21 tahun telah mengikuti penelitian ini, 71,6% dari total masuk ke grup obesitas tipe I dan 28,4% termasuk ke tipe II. Kebanyakan dari mereka ada di tahap aksi (31,9%), diikuti oleh kontemplasi (31%).
Hasil analisis multivariat tidak menunjukkan hubungan statistik yang signifikan antara tingkatan pendidikan dan kedua proses, tetapi, ada hubungan yang signifikan antara status gizi berdasarkan indeks massa tubuh (IMT) dengan skor SR (p = 0,02) dan skor WMA (p = 0,012). Dibandingkan dengan studi yang dibuat oleh Ana Andres dkk., hasil kami menunjukkan rerata skor lebih tinggi untuk kedua proses perubahan di semua tahapan perubahan dengan perbedaan demografis sampel. Bagaimanapun juga, dibutuhkan kajian lebih lanjut mengenai model transteoritikal yang memiliki potensi untuk dapat menjadi dasar pembuatan program intervensi serta edukasi berdasarkan tahap serta proses perubahan perilaku untuk remaja dengan obesitas.

Obesity, with an ever-increasing worldwide prevalence including in adolescents, might lead to further complications in the future. Prochaska’s transtheoretical model could be put in use for evaluating stages and processes of behavioural change for obesity that is related to two processes, which are supporting relationships (SR) and weight management actions (WMA). This comparative cross-sectional research studies the relationship between several factors and the two processes of change which used secondary data collected by an Indonesian-translated questionnaire in which was validated beforehand. There were 116 samples comprised of 59 high school students and 57 university freshmen aged 15 to 21 years old with 71,6% of them having type I obesity and the other 28,4% were type II obese. Most of the students were in action stage (31,9%) followed by contemplation (31%).
The multivariate analysis did not show a significant relationship between educational level and both scores, instead, a significant relationship was established between nutritional status represented by body mass index (BMI) and both supporting relationships (p = 0,02) and weight management actions scores (p = 0,012. Compared to the initial study by Ana Andres et al., our results show higher mean scores of both processes in all stages of change, along with the demographic differences. Regardless, further investigation is needed since the transtheoretical model holds many potentials to be a base for the creation of interventional and educational program according to stages and processes of change for adolescents with obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zebua, Gifta Hati Gemar
"Latar Belakang: Skabies merupakan penyakit menular yang berkaitan erat dengan perilaku kebersihan individu dan kondisi lingkungan populasi yang padat. Oleh karena itu, pesantren seringkali menjadi tempat populasi dengan kejadian skabies yang tinggi. Salah satu intervensi yang bisa dilakukan yaitu penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan mengenai skabies. Penyuluhan bukan saja ditujukan kepada santri pada pesantren, melainkan juga kepada keluarga santri sebagai komunitas terdekat dari santri.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan keluarga santri mengenai skabies dengan kejadian skabies pada santri di pesantren Al Hidayah Bogor.
Metode: Penelitian potong lintang dilakukan pada 72 responden, yaitu keluarga santri yang hadir pada saat penyuluhan dengan menggunakan kuesioner untuk mengetahui tingkat pengetahuan responden mengenai skabies. Data dianalisa dengan menggunakan uji chi square.
Hasil: Dari total 72 responden, sebanyak 15 (45,5%) santri yang ditemukan menderita skabies memiliki keluarga dengan tingkat pengetahuan skabies yang baik. Sementara itu, sebanyak 20 (51,3%) santri yang ditemukan menderita skabies memiliki keluarga dengan tingkat pengetahuan skabies yang kurang baik. (p=0,798; OR 0,792; CI 95% 0,313-2,005).
Kesimpulan: Dari hasil analisis, tidak ditemukan adanya perbedaan bermakna antara tingkat pengetahuan keluarga santri mengenai skabies dengan kejadian skabies pada santri.

Background: Scabies infestation is a contagious disease that associated with individual health behaviors and enviromental condition, such as in over populated places. For these reasons, pesantren often become a place with high number of scabies occurrence. An effort to reduce the occurrence of scabies can be done through educational intervention in order to increase the level of knowledge about scabies. Educational intervention need to be delivered not only for the students but also for student's family, as one of the closest community within the student's life that can affect their health condition.
Objective: The objective of this research is to find out the relationship between familys knowledge level on scabies and the occurrence of scabies in students at pesantren Al Hidayah Bogor.
Method: Cross sectional study was conducted to 72 respondents of student's family that were presented during the educational intervention using a questionnaire to assess the level of knowledge of respondents regarding scabies. The collected data is then analyzed using the chi square test.
Results: From the total of 72 respondents, about 15 (45,5%) students within the family with good level of knowledge were diagnosed with scabies. Whereas, about 20 (51,3%) students within the family with low level of knowledge were diagnosed with scabies. (p=0,798; OR 0,792; CI 95% 0,313-2,005).
Conclusion: There is no significant relation between familys level of knowledge on scabies and the occurrence of scabies in students at pesantren Al Hidayah Bogor."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arya Ananda Indrajaya Lukmana
"Latar belakang: Di masa pandemi ini, dimana penyebaran infeksi virus corona COVID-19 di Indonesia masih sangat tinggi, sehingga aktivitas tatap muka sangat berisiko dan beredarnya informasi hoax yang menyesatkan masyarakat menjadi alasan dikembangkannya platform yang memiliki fitur lengkap berupa self assessment gejala COVID-19 serta sarana edukasi dan berita terkait COVID-19 dari sumber terpercaya.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang terhadap responden yang berdomisili di Indonesia dan telah mengisi kuesioner penilaian gejala COVID-19 di platform EndCorona untuk periode waktu mulai April hingga Juli 2020.
Hasil: Kami memperoleh 7470 data responden dari 1307 kecamatan di seluruh Indonesia. Data yang diperoleh didominasi oleh jenis kelamin laki-laki sebesar 4.439 (59,4%). Karakteristik umur responden didominasi oleh kelompok umur 15- 49 tahun sebanyak 6510 (87,1%). Selain itu, sebanyak 1111 (14,9%) responden menyatakan mengalami gejala demam dan 6359 (85,1%) responden menyatakan tidak demam. Sedangkan berdasarkan hasil kategorisasi risiko, masing-masing 2548 (34,1%), 4695 (62,9%), 157 (2,1%), dan 70 (0,9%) mendapat Risiko Rendah, Hati-hati, Rentan, dan Sangat Rentan. Analisis multivariat menunjukan suhu tubuh menjadi faktor dominan dalam deteksi dini faktor risiko kerentanan COVID-19 berdasarkan platform EndCorona. (p-value: < 0,001, OR: 12,4)
Kesimpulan: Aplikasi EndCorona digunakan oleh pengguna dari beragam karakteristik demografi dengan kejadian demam serta suhu tubuh dan hasil kategorisasi risiko yang berbeda beda. Variabel kelompok usia, riwayat gejala demam, serta suhu tubuh bermakna secara statistik dengan faktor suhu tubuh menjadi faktor paling dominan.

Introduction: During this pandemic, where the spread of the COVID-19 coronavirus infection in Indonesia is still very high, so face-to-face activities are very risky and the circulation of hoax information that misleads the public is the reason for developing a platform that has full features in the form of self-assessment of COVID-19 symptoms as well as a means of education and news related to COVID-19 from trusted sources.
Method: This was a cross-sectional study on respondents who lived in Indonesia and have filled out a COVID-19 symptom assessment questionnaire on the EndCorona platform for a period of time starting from April to July 2020.
Result: We obtained 7470 respondent data from 1307 sub-districts throughout Indonesia. The data obtained were dominated by male sex, amounting to 4,439 (59.4%). The age characteristics of the respondents were dominated by the 15-49 year old group of 6510 (87.1%). In addition, 1111 (14.9%) respondents stated that they had fever symptoms and 6359 (85.1%) respondents stated that they did not have fever. Meanwhile, based on the results of risk categorization, respectively 2548 (34.1%), 4695 (62.9%), 157 (2.1%), and 70 (0.9%) got Low Risk, Caution, Vulnerable, and Very Vulnerable. Multivariate analysis showed body temperature to be the dominant factor in early detection of risk factors for COVID-19 susceptibility based on the EndCorona platform. (p value: < 0.001, OR: 12.4)
Conclusion: The EndCorona application is used by users of various demographic characteristics with different incidences of fever and body temperature and risk categorization results. Age group variables, history of fever symptoms, and body temperature were statistically significant with body temperature being the most dominant factor.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Damayanti
"Di Indonesia, masalah gizi buruk masih sangat memprihatinkan dan salah satu daerah dengan status gizi buruk terbanyak adalah Nusa Tenggara Timur NTT. Salah satu desa di NTT yang juga merupakan desa miskin dan sulit air adalah Desa Pero Konda di Sumba Barat Daya. Oleh karena itu, diduga banyak kejadian kekurangan gizi pada daerah tersebut sehingga perlu dilakukan penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan status gizi dengan asupan protein pada anak usia 2-12 tahun di Desa Pero Konda. Desain penelitian ini adalah potong lintang analitik. Data yang digunakan adalah data primer. Data diambil melalui pengukuran berat badan dan tinggi badan, serta dengan bantuan instrumen kuesioner food recall 24 jam. Status gizi ditentukan berdasarkan Kurva CDC-2000 dengan indeks berat badan menurut usia BB/U, tinggi badan menurut usia TB/U, dan berat badan menurut tinggi badan BB/TB. Setelah itu, data diolah dengan SPSS versi 20 dan dianalisis dengan uji chi-square. Terdapat 99 responden pada penelitian ini. Hasilnya menunjukkan terdapat 52 orang responden perempuan 52,5 dan 47 orang responden laki-laki 47,5. Dari hasil pengukuran status gizi berdasarkan indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB didapatkan 57 responden 57,6 berperawakan kurus, 33 responden 33,3 berperawakan pendek, dan 34 responden 34,3 memiliki status gizi kurang. Sebanyak 34 responden 34,3 memiliki asupan protein yang cukup dan 65 responden 65,7 memiliki asupan protein kurang. Berdasarkan anamnesis food recall, asupan protein terbanyak didapat dari protein hewani cumi dan ikan. Pada uji chi-square, tidak terdapat perbedaan bermakna antara kecukupan asupan protein dengan status gizi berdasarkan indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB. Disimpulkan, status gizi pada anak di Desa Pero Konda tergolong kurang dan tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik dengan asupan protein.

In Indonesia, undernourished is still become a concern problem and province which has the most undernourished children is Nusa Tenggara Timur NTT. One of its village where poverty and lack of water are common is Pero Konda at Sumba Barat Daya. Based on the data, a study needs to be done. This study aims to evaluate the association between protein intake with the nutritional status of children age 2-12 years old in Pero Konda. Analytic cross sectional studies using primary data was used in this study. The weight and height of the children were measured, and the 24 hour food recall was gathered through questionnaire. Nutritional statuses were assessed using curve of CDC 2000 grow chart with weighth for age index W/A, height for age index H/A, and weight for height index W/H. After that, the data processed using SPSS version 20 and analyzed with chi square test. There were 99 respondent in this study. The results showed there were 52 girl respondents 52,5 and 47 boy respondents 47,5. Based on the results of nutritional statusses rsquo measures using W/A, H/A, and W/H index, there were 57 respondent 57,6 wasting, 33 respondent 33,3 stunting, and 34 respondent 34,3 undernourished. A total of 34 respondents 34,3 had adequate protein intake and 65 respondents 65,7 have poor protein intake. Based on the anamnesis food recall, the highest protein sources were from animal protein squid and fish. In the chi square test, there are no significant differences between the protein intake and nutritional status based on W/A, H/A, and W/H index. In conclusion, the nutritional status of children in Pero Konda was considered undernourished and there was no statistically significant association with protein intake."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70358
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratu Azizah Sholeha
"Prevalensi hipertensi di Indonesia masih cukup tinggi dan meningkat seiring dengan bertambahnya umur sehingga kelompok lansia memiliki prevalensi tertinggi. Pengukuran tekanan darah secara berkala dapat berguna sebagai deteksi dini hipertensi dan mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut. Kartu Menuju Sehat KMS dapat digunakan untuk mencatat data tekanan darah seseorang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas KMS dalam memantau tekanan darah pada lansia. Penelitian ini adalah studi cross-sectional menggunakan 690 data KMS lansia yang didapatkan dari kegiatan pengabdian masyarakat yang dikelola oleh Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI. Pencatatan hasil pengukuran tekanan darah dalam KMS dilakukan oleh kader kesehatan yang telah mendapatkan pelatihan berkala dari pelaksana program berupa pelatihan keterampilan pengukuran tekanan darah, pengisian KMS, dan pemberian materi edukasi yang disesuaikan dengan hasil tekanan darah. Melalui uji Marginal Homogeneity, terdapat perbedaan proporsi bermakna secara statistik kategori tekanan darah lansia antara pemeriksaan pertama dan terakhir. Terdapat 356 51,6 lansia dengan kondisi awal dan akhir tekanan darah yang sama dan 190 27,5 lansia mempunyai kondisi akhir tekanan darah yang lebih baik. Melalui uji Kruskal-Wallis, secara statistik tidak terdapat hubungan antara frekuensi dan interval kedatangan dengan perubahan kondisi dan tren tekanan darah.

The prevalence of hypertension in Indonesia is still quite high and increasing with age therefore the elderly group has the highest prevalence. Regular blood pressure measurements may be useful as an early detection of hypertension and prevent further complications. Kartu Menuju Sehat KMS can be used to record individual`s blood pressure data. This study aims to know the effectiveness of KMS in monitoring elderly`s blood pressure. This is a cross sectional study using 690 KMS elderly data obtained from community service activities administered by the Departement of Community Medicine FMUI. The blood pressure data in KMS were recorded by health workers received skill training regularly from the program executive in the form of blood pressure measurement, KMS filling, and educating according to blood pressure result. There are statistically significant differences in the proportion of blood pressure categories in elderly between the first and the last measurement using Marginal Homogeneity method. There are 356 51,6 elderly with the same early and final blood pressure condition and 190 27,5 elderly have a better final blood pressure condition. Using Kruskal Wallis method, there is no statistical association between the frequency and the interval of visit with the alteration condition and the trend of blood pressure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Panji Wiratama Natsir
"Masalah gizi buruk di Indonesia merupakan masalah yang belum terselesaikan
dan salah satu daerah dengan status gizi buruk tertinggi adalab NTT. Salah satu desa di NTT adalah Desa Pero Konda di Sumba Barat Daya yang terletak di tepi pantai. Desa ini merupakan desa yang miskin dan sulit air. Berdasarkan data dari BPS, rata-rata jumlah anggota kelarga di NTT pada tabun 2014 adalah 4,7 sehingga dianggap setiap keluarga memiliki dua orangtua dan tiga anak.
Berdasarkan hal tersebut dipikirkan adakah hubungan antara kejadian gizi kurang maupun gizi buruk dengan jumlab anak dalam keluarga. Penelitian iill bertujuan untuk mengetahui hubungan status gizi dengan jumlab anak dalam keluarga pada anak dengan usia 2-12 tahun di Desa Pero Konda. Desain penelitian adalab potong lintang analitik menggunakan data primer. Pengambilan data dilakukan melalui pengukuran berat badan dan tinggi badan dan wawancara orangtua melalui kuesioner. Status gizi ditentukan dengan indeks berat badan menurut usia (BBIU), tinggi badan menurut usia (TBIU), dan be rat badan menurut tinggi badan (BBfTB) yang dihitung berdasarkan kurva Staturefor-age and weight for-age percentiles CDC-2000. Data diolah dengan SPSS versi 20 dan dianalisis dengan uji chi-square. Besar sampel adalah III responden. Hasil didapatkan dalam satu keluarga sebagian besar memiliki anak 3-4 orang pada masing-masing 13 keluarga. Pada uji chi-square, tidak terdapat perbedaan berrnakna antara jumlah anak dalam satu keluarga dengan status gizi berdasarkan indeks BBIU, TBIU, dan BBfTB. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa status gizi anak di Desa Pero Konda kurang dan tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik dengan jumlab anak dalam keluarga."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70309
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>