Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Syamsuddin Haris
"Disertasi ini membahas dan menganalisis problematik format baru relasi Presiden-DPR pasoa-amandemen konstitusi (2004-2008) yang terperangkap situasi konflik. Konflik seperti apa yang terjadi, dan faktor-faktor apa saja yang melatarbelakanginya? Untuk menjawabnya, studi ini menggunakan metode kualitatif dengan pengumpulan data melalui kajian literatur, penelusuran dokumen, dan wawancara mendalam terutama dengan narasumber yang terlibat. Perspektif teori yang melatarinya adalah asumsi Juan J. Linz (1994) bahwa demokrasi presidensial adalah pilihan berisiko karena cenderung menghasilkan instabilitas dibandingkan sistem parlementer, serta asumsi Scott Mainwaling (1993) bahwa kombinasi presidensial dan sistem multipartai cenderung menghasilkan deadlock dan immobilism dalam relasi eksekutif-legislatif.
Studi ini menemukan: (1) format baru relasi Presiden-DPR hasil amandemen konstitusi cenderung ?sarat-DPR? (DPR heavy) sehingga memicu munculnya situasi konflik dan ketegangan politik; (2) personality dan kepemimpinan Presiden yang kompromistis dan tidak efektif, Serta sikap ?parlementarian? dan disorientasi partai-partai di DPR, adalah faktor signifikan lain yang turut mempengaruhi terbentulmya situasi konflik; (3) meskipun ada upaya penyelesaian konflik melalui mekanisme Rapat Konsultasi Presiden-Pimpinan DPR, faktor-faktor institusional yang melekat pada kombinasi sistem prosidensial-multipartai turut mempertajam situasi konilik; (4) namun situasi konflik tersebut tidak mengarah pada kebuntuan politik eksekutif-1egislatif seperti dikhawatirkan Mainwaring, ataupun risiko instabilitas demokrasi yang dikemukakan Linz.
Disertasi ini mengajukan perspektif teoritis baru: (1) meskipun perpaduan presidensial-multipartai merupakan kombinasi yang sulit, potensi jalan buntu politik dan instabilitas demokrasi terhindarkan apahila tersedia mekanisme konsultasi dan persetujuan bersama eksekutif-legislatif (2) walaupun menjanjikan stabilitas, mekanisme demikian cenderung menghasilkan relasi eksekutif-legislatif yang bersifat politik-transaksional ketimbang institusional, serta pemerintahan yang tidak efektif; (3) variabel personality dan kepemimpinan Presiden serta kualitas partai-partai berpengaruh signifikan bagi stabilitas dan efektititas demokrasi presidensial.
Namun perspektif teoritis baru di atas melahirkan implikasi teoritis lain bagi Indonesia ke depan: (1) konflik Presiden-DPR yang mengarah pada kebuntuan politik berpotensi muncul jika relasi keduanya lebih bersifat institusional ketimbang politik-transaksional seperti periode studi ini; (2) potensi kebuntuan politik tersebut cenderung membesar apabila kepemimpinan Presiden tidak melayani kompromi politik dengan DPR dan partai-partai di Dewan Semakin melembaga dan lebih ideologis."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
D934
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Kamarudin
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh konflik internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada tahun 2004 - 2007 yang lebih berat ketimbang konflik internal yang melanda partai ini pada tahun 2001 - 2002. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mencari jawaban mengapa konflik tahap kedua itu dapat terjadi. Peneliti menempatkan reposisi Saifullah Yusuf dan penonaktifan Alwi Shihab dan Saifullah Yusuf sebagai faktor pemicu terjadinya konflik intemal PKB.
Sebagai pijakan teoritis, penelitian ini menggunakan teori politik sebagai berikut; Pertama, konflik polltik yang diaiukan oleh Lewis A. Coser, George Simmel, Austin Ranney, Albert F. Eldridge, Ralf Dahrendorf, Jacob Bercovitch, Paul Conn, dan Maurice Duverger. Kedua, tentang konflik yang melanda NU saat berkiprah di lapangan politik, baik dalam hubungannya dengan pihak luar maupun konllik yang terjadi diantara sesama fungsionaris NU, dipicu oleh faktor pragmatis yang terkait dengan perebutan posisi atau kursi kekuasaan diantara elite partai. Analisis ini dikemukakan oleh Deliar Noer, Bahtiar Effendy, dan Kang Young Soon. Kajian ini juga menggunakan konsep faksionalisme politik yang diajukan oleh Frank P. Belloni dan Dennis C. Buller serta Jacob Beroovitch. Ketiga, pergeseran nilai ketaatan antara di pesantren yang berlangsung dengan model patron - client dimana kiai menduduki posisi sentral (ditaati) namun hal itu tidak otomatis terjadi ketika berada di dunia politik. Teori yang dipergunakan adalah James Scott, Maswadi Rauf, Robert Michele, Karl D. Jackson dan Lucian W. Pye, serta Machrus lrsyam.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, sedangkan teknik analisis data menggunakan deskriptif analitis. Dalam penelitian ini digunakan dua metode pengumpulan data yaitu: Pertama, studi literatur yang meliputi penelusuran buku-buku, dokumen/arsip partai politik, klipping koran, majalah, jurnal, dan berbagai sumber Iainnya yang relevan dengan masalah penelitian ini. Kedua, wawancara mendalam (indepth interview) terhadap informan terpilih dengan menggunakan pedoman wawancara.
Temuan di lapangan menunjukkan: (1) Faktor pemicu terjadinya konflik internal PKB adalah reposisi Saifullah Yusuf dari jabatan Sekretaris Jenderal Dewan Tanfidz DPP PKB dan penonaktifan Alwi Shihab dan Saifullah Yusuf dari jabatan Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB dan Ketua Dewan Tamidz DPP PKB; (2) Keberpihakan kiai khos yang tergabung dalam Forum Langitan dan Abdurrahman Wahid kepada salah satu kubu memperberat bobot konflik internal PKB; (3) Penyelesaian konflik secara organisasi, hukum, politik, dan kultural tidak mampu menghindarkan PKB dan perpecahan; (4) Keluarnya kubu Alwi Shihab dan Saifullah Yusuf dari PKB menunjukkan kemenangan kubu Abdurrahman Wahid dan Muhaimin Iskandar.
Implikasi teoritis menunjukkan: Pertama, konflik internal yang melanda PKB dipicu oleh masalah yang bersifat pragmatis yakni terkait dengan perebutan posisi atau jabatan didalam partai. Faktor pemicu yang bersifat pragmatis itu tidak hanya berlaku katika kalangan nahdliyin bergabung dengan komponen bangsa yang Iain, seperti ditunjukkan oleh studi Deliar Noer (kasus NU keluar dari Masyumi) dan Bahtiar Effendy (kasus NU keluar dari PPP), namun studi ini menunjukkan bahwa faktor pragmatis itu juga berlaku saat konflik diantara sesama fungsionaris partai yang dilahirkan oleh kalangan nahdliyin terjadi. Studi Kang Young Soon yang menyimpulkan bahwa Konfiik merupakan ?saIah satu tradisi NU? pada akhirnya perlu ditambah dengan penjelasan bahwa ?konflik yang dipicu oleh masalah pragmatisme kekuasaan merupakan salah satu tradisi NU". Memang pernah ada konflik karena faktor ideologi, namun pragmatisme kekuasaan seringkali menjadi motif di balik perseteruan NU dengan pihak lain ataupun dengan sesama kalangan nahdliyin seperti terlihat pada kasus konflik internal PKB.
Kedua, terjadi pergeseran nilai dalam hubungan kiai - santri dalam tradisi pesantren yang menganut pola hubungan patron - klien ketika kalangan nahdliyin berkiprah di wilayah politik. Kasus konflik internal PKB ini menunjukkan bahwa sikap saling percaya yang menjadi unsur pembentuk budaya pesantren bisa berubah karena masalah pragmatisme kekuasaan. Perubahan itu terlihat dengan posisi dan sikap yang diambil kiai khos yang tergabung dalam Forum Langitan yang semula menjadi pendukung Abdurrahman Wahid kini berbalik menjadi saling berhadapan. Alwi Shihab yang dulu didukung Abdurrahman Wahid untuk menjadi Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB pada muktamar Iuar biasa PKB di Yogyakarta juga kini berbalik menjadi lawan politik Abdurrahman Wahid.

The research is based on the internal conflict of the Nation Awakening Party (PKB) 2004 - 2007. This conflict is more serious than the conflict within the party that occurred in 2001 - 2002. lt aims to answer the reason behind the second phase of the conflict. The researcher considers the reposition of Syaifullah Yusuf and the termination of Alwi Shihab dan Saifuilah Yusuf from their position in the Central Board of PKB as the main factor that triggers the conflict.
To strengthen the study, the researcher applies some political theories in supporting his argument and analysis. First, the theory of political conflict by Lewis A. Coser, George Simmel, Austin Ranney, Albert F. Eldridge, Ralf Dahrendorf, Jacob Bercovitch, Paul Conn, and Maurice Duverger. Second, the tradition of pragmatism within NU elites in gaining political powers is a crucial aspect in analyzing this issue. This analysis is introduced by Deliar Noer, Bahtiar Effendy, and Kang Young Soon. The study also uses the concept of political factionalism initiated by Frank P. Belloni and Dennis C. Buller and Jacob Bercovitch. Third, the changing of obedience concept (patron-client relation) in pesantren tradition in which the high authoritative role of kyai within religious circles no longer guarantee the same respectful attitudes of his followers in political practices. This approach has been used by James Scott, Nlaswadi Rauf, Robert Michele, Karl D. Jackson, Lucian W. Pye, and Nlachrus lrsyam.
In conducting the study the researcher uses a qualitative method while descriptive analysis is applied in examining the data. Two approaches are used in collecting data- First, the literature research through searching and classifying all relevant documents such as pnmary books, political documents, newspapers' coverage and joumals. Second, in-depth interview that involves selective respondents by asking some structured questions.
The research offers significant findings that are; (1) the triggering factor toward the intemal conflict of PKB is mainly caused by the reposition of Saifullah Yusuf as the Secretary General of the Central Board of PKB and termination Alwi Shihab and Saifullah Yusuf as the General Chairman and Chairman of the Central Board of PKB (2) The support to one of the conflicting parties from the special charismatic kyai (Kyai Khos) either from Forum Langitan's and Abdurahman Wahid's faction has contributed in increasing tension and conflict (3) Conflict resolutions through organizational, legal and cultural approaches are not able to resolve the friction (4) The decision of Alwi Shihab and Saifullah Yusuf 's faction to form a new party apart from PKB has showed the success of Abdurrahman Wahid dan Muhaimin Iskandar`s faction in winning the conflict.
In general this study shows significant theoretical implications: First, the internal conflict that occurred within PKB is more triggered by pragmatic issues that are related to power distributions in structural positions. This pragmatic issue not only always occurs when the party worked together with other groups as indicated by Deliar Noer (the withdrawal of NU from Masyumi) and Bahtiar Effendy (the withdrawal of NU from PPP) but also happened when it fonned its own party (PKB) The study of Kang Young Soon which concludes that conflict is ?one of NU tradition' finally should be given a further explanation that ?the conflict that is triggered by pragmatic interests toward the power is one of NU tradition." it is true that an ideological factor also contributes to the conflict but again the pragmatism in achieving the power still dominate the motive of friction between NU and other groups or even within NU's elites as indicated in almost internal conflict of PKB.
Second, the involvement of kyai in political arena causes the changing pattem and values of relation (kyai-santri patron). The case of the internal conflict among PKB?s elites shows that the mutual trust as a symbol of pesantren tradition which has been established for long may change merely caused by the pragmatic power. This change can be observed from the stance and position of the Kyar' Khos who form Forum Langitan that initially supported Abdurahman Wahid but drastically against him. Alwi Shihab who was supported by Wahid in securing the position of the General Chairman of PKB in an extraordinary congress in Yogyakarta then has showed his resistance as well.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
D838
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhasanah
"ABSTRAK
Disertasi ini membahas konflik antara Palestina-Israel dalam memperebutkan Jerusalem sebagai tanah yang dijanjikan. Indonesia telah memiliki komitmen sejak era pemerintahan Soekarno hingga saat ini dalam memberikan dukungan kepada Palestina untuk menjadi negara yang merdeka. Pada penelitiaan ini pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono selama dua periode menjadi fokus utama. Penelitian ini mengemukakan bagaimana peran pemerintah Indonesia dalam memberikan dukungan kepada Palestina, serta dukungan legislatif terhadap kemerdekaan Palestina dan peranan civil society dalam memberikan dukungan baik secara moril maupun materil kepada Palestina. Disisi lain, penelitian ini juga memerlihatkan bagaimana peran negara-negara yang tergabung didalam PBB merespon konflik Palestina-Israel.
Sebagai pijakan teori, penelitian ini menggunakan teori kebijakan dari Carl Friedrich sebagi teori utama. Selain itu, teori civil society dari Jean L Cohen dan Andrew Arato, teori politik internasional dari Jackson Robert dan Georg Sorensen, teori konflik dari Thomas Hobbes dan Ted Robert Gurr, serta teori kebijakan dari Thomas R. Dye digunakan sebagai teori pendukung.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif dan metode analisis deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data melalui riset data perpustakaan, wawancara mendalam (in-depth interview) dengan pihak pemerintah dalam hal ini kementerian luar negeri Republik Indonesia, dengan Duta Besar Palestina untuk Indonesia, dan dengan fraksi-fraksi yang ada di legislatif, serta studi dokumentasi.
Temuan penelitian ini menunjukan bahwa peranan legislatif, civil society serta pemerintah Indonesia sangat besar terhadap kemerdekaan Palestina. Walaupun terdapat perbedaan dalam pandangan fraksi-fraksi dalam melihat bagaimana peran pemerintah Indonesia serta pemerintah Palestina itu sendiri, tetapi prinsipnya adalah satu tujuan yaitu kemerdekaan Palestina. Implikasi teoritis ini menunjukan bahwa teori dari Carl Friedrich sangat relevan dalam melihat persoalan konflik Palestina-Israel.

ABSTRACT
This dissertation discusses the conflict between Palestine-Israel in the fight over Jerusalem as the promised land. Indonesia has been committed since the era of Soekarno to date in providing support to Palestine to become an independent state. In this penelitiaan President Susilo Bambang Yudhoyono during two periods of the primary focus. This study suggests how the Indonesian government's role in providing support to the Palestinians, as well as legislative support for the independence of Palestine and the role of civil society in providing support both morally and materially to the Palestinians. On the other hand, the study also memerlihatkan how the role of the countries that joined the UN in responding to the Palestinian-Israeli conflict.
As foothold theory, this study uses the theory of Carl Friedrich policy as a major theories. In addition, civil society theory of Jean L Cohen and Andrew Arato, international political theory of Jackson Robert and Georg Sorensen, conflict theory of Thomas Hobbes and Ted Robert Gurr, as well as the policy theory of Thomas R. Dye used as a supporting theory.
This study used a qualitative approach and descriptive analysis method. Data collected by collecting data through data and research libraries, in-depth interviews with the government in this case the foreign ministry of the Republic of Indonesia, the Palestinian Ambassador to Indonesia, and with factions in the legislature, as well as documentation.
The findings of this study show that the role of the legislature, civil society and the government of Indonesia is very large for the independence of Palestine. Although there are differences in views factions in seeing how the role of the Indonesian government and the Palestinian Authority itself, but the principle is the goal of Palestinian independence. This indicated that the theoretical implications of the theory of Carl Friedrich particularly relevant in view of the issue of the Palestinian-Israeli conflict.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
D2245
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitaresmi S. Soekanto
"Disertasi ini meneliti tentang pemenangan Pemilu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Indonesia dan Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) atau Partai Keadilan dan Pembangunan di Turki. PKS sebagai the survival party berhasil meningkatkan perolehan suara dari Pemilu ke Pemilu (1999-2009) sedangkan AKP di Turki merupakan the rulling party yang menang berturut-turut di dua Pemilu (2002 dan 2007). Penelitian ini mencari sebab-sebab keberhasilan kedua partai politik di dua negara yang berbeda tersebut.
Dengan merujuk pada konsep Sigmund Neumann dan Duverger mengenai unit-unit analisis yang diperbandingkan, penulis meneliti bagaimana faktor ideologi, organisasi, basis massa, sistem rekrutmen, kepemimpinan dan strategi PKS mempengaruhi keberhasilannya menjadi the survival party di tiga Pemilu (1999-2009). Disertasi ini juga meneliti bagaimana AKP yang lahir di 2001 mampu secara terus menerus menjadi partai pemenang Pemilu sejak 2002 hingga 2007. Demikian pula bagaimana aspek-aspek eksternal berupa situasi sosial, politik dan budaya kedua negara ikut mempengaruhi pemenangan Pemilu kedua partai tersebut. Lebih lanjut dalam disertasi ini diteliti pula apa yang menyebabkan adanya kesenjangan keberhasilan antara PKS dengan AKP.
Pisau analisis yang digunakan untuk meneliti adalah teori komparasi partai politik menurut Neumann dan Duverger yakni faktor ideologi, organisasi, basis massa, sistem rekrutmen anggota, kepemimpinan dan strategi. Teori Olivier Roy, Asef Bayat dan Greg Fealy digunakan untuk menganalisis ideologi. Selanjutnya teori organisasi Duverger, teori basis massa Martin Lipset, Vali Nasr dan Mehmet Altan, teori sistem rekrutmen Alan Ware dan Duverger, teori kepemimpinan Max Weber, Pareto dan Mosca serta teori strategi vernacular politics Jenny B. White juga digunakan. Metodologi yang digunakan adalah memadukan metode komparatif dengan metode kualitatif.
Dari hasil observasi dan wawancara mendalam baik dengan pendiri dan pengurus PKS di Indonesia yang kemudian dianalisis dengan teori yang digunakan maka ditemukan adanya inkompatibilitas antara transisi ideologi PKS ke Pos-Islamis dengan organisasi cell, basis massa middle class, sistem rekrutmen cell, kepemimpinan kolektif dan strategi vernacular politic PKS. Inkompatibilitas tersebut menyebabkan hambatan optimalisasi keenam aspek sehingga kurang berpengaruh bagi pemenangan Pemilu PKS (1999-2009) ditambah pula aspek-aspek sosial, politik dan budaya di Indonesia yang kurang mendukung.
Sebaliknya dengan metode yang sama penulis mendapatkan kesimpulan bahwa formula kemenangan AKP adalah kompatibilitas pilihan model organisasi branch, jenis basis massa middle class plus, sistem rekrutmen hybrid, tipe kepemimpinan kharismatis dan strategi vernacular politic plus dengan ideologi Pos-Islamis AKP sejak awal berdirinya. Ditambah pula dengan aspek-aspek sosial,politik dan budaya di Turki yang kondusif karena memang dibutuhkan kondisi eksternal tertentu agar partai politik pos-Islamis berkembang dan menang.
Lebih lanjut dari penelitian ini didapatkan bahwa kesenjangan PKS dengan AKP di Turki disebabkan rendahnya tingkat pengaruh aspek-aspek ideologi, organisasi, basis massa, sistem rekrutmen anggota, kepemimpinan dan strategi PKS pada pemenangan Pemilu PKS. Demikian pula perbedaan aspek-aspek eksernal berupa lingkungan sosial,politik, ekonomi dan budaya Indonesia dan Turki turut menyebabkan adanya kesenjangan tersebut. Oleh karena itu penulis pun merekomendasikan bahwa karakteristik Pos-Islamis harus tercermin dalam semua sisi wajah PKS karena ideologi Pos-Islamis harus kompatibel dengan model organisasi, keragaman jenis basis massa, sistem rekrutmen, model kepemimpinan dan strategi yang digunakan agar berpengaruh signifikan bagi pemenangan Pemilu PKS.
Sumbangan disertasi ini bagi ilmu politik adalah membuktikan bahwa politik aliran masih tetap relevan karena keberhasilan kelompok Islamis yang direpresentasikan oleh PKS di Indonesia dan AKP di Turki bertahan dalam sistem demokrasi. Lebih jauh lagi keberhasilan kedua partai politik Islam terutama AKP di Turki telah mematahkan tesis Olivier Roy di akhir 1990-an yang dipertegasnya lagi di 2006 bahwa Islam politik atau Islamis telah gagal dan mundur ke Neo-fundamentalis yang parsial dan apolitis. Sebab kedua partai politik tersebut alihalih mundur menjadi Neo-fundamentalis malah bertransformasi menjadi Pos-Islamis. Ideologi Pos-Islamis bahkan telah menyebabkan AKP menjadi the rulling party dan PKS sebagai the survival party dan keberhasilan kedua partai politik tersebut juga sekaligus membuktikan kompatibilitas Islam dengan Demokrasi.

This dissertation is to examines the winning in the general elections of the Prosperous Justice Party (PKS) in Indonesia and Adalet ve Kalkinma Partitioning (AKP) or Justice and Development Party in Turkey. PKS successfully managed to improve the survival of votes from election to election (1999-2009) while the AKP in Turkey is now the rulling party that win in two consecutive elections (2002 and 2007). This research observes the causes of the success of both political parties in two different countries.
With reference to the concept of Sigmund Neumann and Duverger on the units of analysis that are compared, the authors examined how ideological factors, organizational structure, voters basis, the system of recruitment, leadership and success strategies of the PKS that affect the survival of the party in three consecutive general elections (1999-2009). This dissertation also examines how the AKP which was born in 2001 were able to triumph the the general elections from 2002 to 2007. To the same end we learned on how the external aspects of the social, political and cultural of the countries has influenced their winning in the general elections. Further, this dissertation observe also the different winning milestones between the PKS and the AKP.
Moreover, this dissertation also looks into rationales behind distinct success and achievements from both PKS in Indonesia and AKP in Turkey. It argues that the electoral underperformance of PKS is a direct result of its lower attainment in influencing areas such as ideology, organization, mass based support, member recruitment, leadership and strategies. The present study discusses these 6 influencing internal factors from PKS and then compared with those of AKP.
The analytical methodology used for the present study is the Neumann and Duverger?s theoretical comparison of political party, which takes into account factors covering of ideology, organization, mass based support, member recruitment, leadership and strategy. In the ideological comparison, the studies performed by Oliver Roy Asef Bayat and Greg Fealy are presented. Furthermore, the organization theory by Michels and Duverger, the mass support theory of Martin Lipset, Vali Nasr and Mehmet Altan, the analysis of recruitment system by Alan Ware and Duverger, the leadership theory of Max Weber, Pareto and Mosca, as well as the political strategy of vernacular politics by Jenny B. White are presently adopted.
From the observations and direct conversations with the founders and members of the central governing boards from both the PKS in Indonesia and the AKP in Turkey and using the aforementioned analytical theories it is found that the central underlying problem lies in the incompatibilities between the evolutionary process of interpretation of ideology within the organization, mass based support, recruitment system, leadership and strategy implemented by both parties. The incoherence shown by the PKS in those influencing and determine factors reveals itself in distant reality from their counterpart AKP in Turkey.
Moreover, Neuman and Duverger argues that the AKP?s winning formula lies in its compatible choice of organization model, mass based support, recruitment system, leadership model and strategy following its transformation of ideology from Islamic to Post-Islamic movement. Therefore, the author recommends that PKS should adjust their characters in their Post-Islamic movement era and adopts a more compatible organization model, more variety of mass based support, more compatible recruitment system, leadership model and strategy if they want to increase their influences and triumph more significantly in the coming General Elections, and therefore become the anti-thesis of Oliver Roy.
This dissertation contributions for political study/science is proving/demonstrate that political currents remained of relevant following the success of Islamist groups in Indonesia as represented by the PKS and the AKP in Turkey that survive in a democratic system. Furthermore the success of both political parties, especially the Islamic AKP in Turkey has challenged and broken Olivier Roy thesis in the late 1990s as reaffirmed again in 2006 that the failure of Islamic political movements or Islamists has led it to the Neo-fundamentalists which are becoming apolitical movements. By fact both of the political parties rather than converted into neofundamentalists actually has transformed into the Post-Islamist. Post-Islamist ideology has even led the AKP became the rulling party and the PKS to survive in the democratic system and the successes of both political parties are also prove the compatibility of Islam with democracy.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
D1300
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Surya Culla
"Hubungan antara Walhi-YLBHI dan negara tidaklah sesederhana di permukaan. Konstalasi politik, interaksi antar-aktor individu dan institusi telah ?menyembunyikan rahasia? di balik dinamika itu yang mungkin tidak bisa dipahami hanya dengan semata melihatnya sebagai konflik atau hubungan dikhotomis antara masyarakat sipil dan niagara. Interaksi yang berlangsung justru ternyata saling terkait, dibangun secara rasional di antara pelaku yang terlibat, tidak hanya antara aktor ornop dan pemerintah, juga sektor internasional dan masyarakat sendiri dalam hubungan kompleks itu. Konteks itulah yang mempengaruhi tumbuhnya Walhi dan YLBHI sebagai masyarakat sipil.
Berdasarkan konteks tersebut, sludi ini mengungkapkan beberapa temuan teoritis. Pertama, berkaitan dengan teori hubungan antara masyarakat sipil dengan ncgara. Menurut teori yang ada, masyarakat sipil dikonstruksi sebagai: (1) organisasi yang dibentuk oleh masyarakat di Iuar sektor negara", dan (2) ?domainnya terpisah dari atau di luar domain niagara. " Konstruksi ini temyata tidak sesuai dengan konteks kasus Walhi dan YLBHI, sehingga perlu dimodifikasi bahwa (1) ?masyarakat sipil merupakan kelompok yang dibentuk masyarakat sendiri atau masyarakat bersama negara dan (2) "domainnya terbentuk dan berkembang karena interaksinya dengan domain negara".
Dengan modifikasi tersebut, studi ini melihat bahwa ?niagara dapat berperan positif dalam pembentukan masyarakat sipil", sedangkan teori yang ada cenderung mengkonstruksi ?peranan negara tidak sebagai faktor positif dan menentukan dalam pembentukam masyarakat sipil."
Kedua, berkaitan dengan karakteristik masyarakat sipil, meliputi: autonomy, self supporting dan say generating Hasil studi ini mengungkapkan berdasarkan kasus spesifik Walhi dan YLBHI, karakteristik aranomy tampakrnya dapat diwujudkan, berbeda dcngan seff supporting dan self generating. Namun demikian, berkembangnya kriteria-kriteria tersebut tampaknya dipengaruhi oleh konstalasi interaksi antara; (1) unsur-unsur negara; (2) lembaga-lembaga intemasional; dan (3) masyarakat sendiri.
Dengan konstruksi tersebut, maka hasil studi ini menambahkan sesuatu yang baru pada teori masyarakat sipil yang ada, bahwa ?(1) kebijakan politik akomodatif negara, (2) keterlibatan Iembaga-Iembaga internasional, dan (3) partisipasi masyarakat sendiri dari segi sumber daya - merupakan faktor faktor yang menentukan bagi proses terwujudnya karakteristik autonomy, self supparting, dan self generating masyarakat sipil?. Temuan ini memodifikasi teori masyarakat sipil yang ada yang cenderung "mengkonstruksi perwujudan ketiga karakteristik maayarakar sipil tersebut berdasarkan pada penekanan kemampuan potensial entitas masyarakat sipil sendiri, tidak melihat urgensi dukungan peranan sektor negara, internasional, dan masyarakat sendiri". "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
D816
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muryanto Amin
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh munculnya para ”preman” sebagai aktor lokal di Sumatera Utara yang berperan penting dalam sistem demokrasi yang relatif baru diterapkan sejak tahun 1997. Sebagian aktor lokal tersebut berasal dari kader Pemuda Pancasila. Mereka tidak hanya mengandalkan intimidasi dan uang yang dimiliki, tetapi mereka juga menjadi pengurus partai politik, anggota legislatif, pejabat birokrasi, pebisnis, dan pemilik media cetak lokal. Dalam kapasitas menggunakan jaringan tersebut, tentunya mereka sangat kuat untuk memperoleh akses terhadap sumber daya (resources) dari pemerintah daerah dan akan memaksimalkan sumber kekuasaan yang dimiliki. Sementara dalam kapasitasnya sebagai ’preman’, mereka dapat juga menggunakan sumber daya kekerasan. Untuk membuktikan adanya peran tersebut, penelitian ini akan menjawab pertama bentuk intimidasi yang dilakukan oleh Pemuda Pancasila Sumatera Utara dalam pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008. Kedua, pola mobilisasi yang dilakukan untuk menggerakkan potensi organisasi yang dimiliki Pemuda Pancasila di Sumatera Utara. Ketiga, model relasi jaringan yang dilakukan di antara Pemuda Pancasila dengan pemerintah daerah, pengusaha lokal dan media massa dalam memenangkan calon gubernur yang didukung. Teori utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Bosissm dari John T. Sidel dan Kelompok Kekerasan yang ditulis oleh Masaaki dan Rozaki. Sedangkan teori pendukung adalah Teori Kekuasaan dari Miriam Budiardjo dan Charles F. Andrain, Konsensus dan Konflik dari Maswadi Rauf, Teori Demokrasi dan Otonomi Daerah dari Brian C. Smith, dan Teori Kepentingan Terselebung (Hidden Autonomy) yang ditulis Syarif Hidayat. Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dan studi kasus sebagai strategi penelitian. Analisis kualitatif teknik tipologi dipilih sebagai sebagai cara untuk menyusun interpretasi atas kajian literatur, wawancara mendalam dengan narasumber yang terlibat dan observasi. Temuan penelitian menunjukkan bahwa bentuk intimidasi yang dilakukan anggota Pemuda Pancasila adalah mengancam dan menakut-nakuti akan melakukan pemukulan fisik dan membuat ketidaknyamanan pemilih yang tidak memilih calon gubernur yang ingin dimenangkan. Pola mobilisasi dilakukan atas dasar patron-klien piramida yaitu seorang tokoh Pemuda Pancasila memiliki kekuatannya sendiri untuk mengerakkan anggota Pemuda Pancasila. Model relasi yang terjalin antara Pemuda Pancasila dengan birokrasi, pengusaha, dan media cetak lokal dilakukan atas dasar hubungan yang saling menguntungkan atau simbiosis mutualisme. Disertasi ini mengajukan perspektif teoritis baru bahwa fenomena munculnya bos lokal dan kelompok kekerasan mengindentifikasikan adanya perbedaan yang khas di Sumatera Utara. Kontribusi terhadap perspektif teori Ilmu Politik yang ditemukan dalam penelitian ini disebut Teori Jaringan Patronase Baru Bos Lokal.

The background of this study is the emergence of “gangsters”—some of whom were cadres of Pemuda Pancasila—as local actors who played an important role in the democratic system applied in North Sumatera since 1997. Not only that they intimidated with violence and money; they became political party officials, legislative members, bureaucrats, business people, and owners of local print media. In their formal capacity, they had power to gain access to resources from the local government and maximize them. While as ‘gangsters’, they practiced violence. This study would discuss three points to prove that such things really occurred: first, the forms of intimidation done by Pemuda Pancasila North Sumatera in the North Sumatera governor election in 2008; second, the pattern of mobilization performed to generate the potential of the organization; third, the network relation model among Pemuda Pancasila, the local government, the local business people, and the mass media in making the supported candidate win. The main theories applied here are the Bosissm Theory by John T. Sidel and the Violence Group Theory by Masaaki and Rozaki. The supporting theories are the Theory of Power by Miriam Budiarjo and Charles F. Andrain, Consensus and Conflict by Maswadi Rauf, Democracy and Decentralization by Brian C. Smith, and Hidden Autonomy by Syarif Hidayat. This study uses a qualitative approach with case studies. The qualitative analysis with typology technique is chosen as a way to arrange interpretations on data—written materials, in depth interviews, and observations. The findings showed that the forms of intimidation done by Pemuda Pancasila members were threaten to beat physically and create inconvenience if the voters did not vote governor candidates who want to win. The mobilization pattern was executed using patron-client pyramid: each figure of Pemuda Pancasila had his own power to mobilize members. The relation model among Pemuda Pancasila, bureaucracy, business people, and local print media was performed based on mutualistic symbiosis. The phenomenon of emerging local bosses and violent groups theoretically implied spesific differences in North Sumatera. The contribution to Political Science theories, which will be found in this study, is called the Theory of New Patronage Network of Local Bosses."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library