Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Azril Kimin
Abstrak :
ABSTRAK
Respons setiap Penderita TBC terhadap Isoniazid berbeda satu dengan yang lain Pada sebagian penderita proses metabolisme obat ini berlangsung cepat, dan pada sebagian penderita lama berlangsung lambat, perbedaan respons ini terutama disebabkan faktor keturunan. Perbedaan kecepatan metabolisme terhadap bangsa Indonesia telah diselidiki beberapa tahun lalu (1976) dibagian Farmakologi FKUI. Penelitian yang menggunakan urin individu-individu sebagai simple memperlihatkan adanya perbedaan proforsi fenotip aselitator pada suku Jawa, Sunda dan Minang. Penelitian ini dilakukan untuk melihatkan apakah perbedaan itu benar, dengan mengambil keluarga-keluarga sebagai objek penelitian, 15 keluarga dari masing-masing suku yang masih murni garis keturunannya ikut serta dalam penelitian ini. Penelitian ini menunjukan, tidak ada perbedaan hasil yang signifikan dengan hasil percobaan terdahulu.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1980
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laurentia L. Pudjiadi
Abstrak :
Penisilin merupakan salah satu obat yang paling tidak toksik bagi kebanyakan orang, mengingat Cara kerjanya dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri yang terdiri dari polimer mukopeptida, sedangkan sel manusia tidak mempunyai dinding tersebut sehingga tidak terganggu oleh penisilin. Tapi bagi sebagian kecil populasi yang hipersensitif, penisilin dapat menjadi sangat berbahaya, beberapa miligram atau bahkan mikrogram saja dapat menimbulkan reaksi alergi yang hebat, termasuk syok anafilaktik dan kematian. Hasil Monitoring Efek Samping Obat Nasional tahun 1981-1985 menunjukkan bahwa Penisilin merupakan jenis antibiotik yang paling sering dilaporkan- menyebabkan syok anafilaktik, sedangkan antibiotik merupakan penyebab tersering dari efek samping obat (Suharti dan Darmansyah, 1985). Mengingat belum adanya angka mengenai rate syok anafilaktik akibat penisilin di Indonesia, pada penelitian ini dilakukan survai untuk menghitung rate syok anafilaktik akibat suntikan penisilin-G (benzilpenisilin) di puskesmas Jakarta dalam kurun waktu satu tahun secara retrospektif. Penelitian dibatasi pada benzilpenisilin, karena selain merupakan preparat suntik penisilin yang paling murah dan paling banyak dipakai, juga merupakan satu-satunya jenis preparat suntik penisilin yang tersedia di puskesmas. Kadang-kadang reaksi alergi penisilin tidak disebabkan oleh obatnya sendiri, melainkan oleh hasil urai / produk degradasinya. Penisilin yang paling banyak dipakai sebagai suntikan yaitu benzilpenisilin; dalam larutan dapat terurai secara spontan menjadi asam benzilpenisilenat yang sebagian besar akan bereaksi dengan protein tubuh membentuk kelompok ?Major Antigenic Determinant?. Sebagian kecil akan terurai lagi menjadi asam benzilpenisiloat, yang bersama hasil urainya membentuk kelompok ?Minor Antigenic Determinant?. Reaksi alergi yang terjadi dalam waktu kurang dari 1 jam setelah pemberian penisilin (immediate type) antara lain syok anafilaksis, umumnya disebabkan oleh ?Minor Antigenic Determinant? ini (Bellanti, 1971). Dari penelitian pendahuluan di beberapa puskesmas ternyata preparat benzilpenisiliri yang sudah dilarutkan dan tidak habis terpakai kadang-kadang disimpan lagi (di kulkas maupun diluar kulkas) untuk dipakai lagi keesokan harinya. Mengingat penguraian penisilin dapat terjadi spontan didalam larutan, dan terdapatnya beberapa merk dagang benzilpenisilin (penisilin-G) yang kemungkinan tidak sama mutunya / kecepatan degradasinya maka dalam penelitian ini dilakukan pemeriksaan terhadap kadar asam penisiloat dari beberapa macam merk dagang penisilin-G baik ketika baru dilarutkan maupun setelah didiamkan beberapa hari di kulkas dan diluar kulkas untuk melihat perubahannya. ditanyakan juga merk dagang penisilin-G yang dipakai kepada puskesmas-puskesmas yang didatangi untuk menghitung rate syok anafilaktik akibat penisilin-G. Untuk melihat hubungan antara terdapatnya asam penisiloat dalam preparat penisilin-G dengan syok anafilaktik akibat penisilin, dilakukan pemeriksaan kadar asam penisiloat pada sisa preparat yang menyebabkan syok anafilaktik (diminta dari puskesmas). Untuk mencegah terjadinya reaksi yang tidak diinginkan pada penyuntikan penisilin, sering dilakukan skin-test pada pasien yang akan disuntik. Sebagai bahan skin-test dipakai larutan benzilpenisilin yang diencerkan berhubung bahan skin-test lain tidak tersedia, dan benzilpenisilin sendiri merupakan Minor Antigenic Determinant, sehingga hasil yang positif dapat membantu meramalkan kemungkinan terjadinya syok anafilaktik bila penisilin disuntikkan. Pada penelitian ini diadakan kuesioner untuk mendapatkan gambaran mengenai prosedur skin-test di puskesmas (pengenceran bahan yang dipakai, kriteria penilaian hasil skin-test, dan lain-lain).
1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Efly Rasyidin
Abstrak :
Instalasi rawat nginap B adalah suatu unit rawat nginap di RSUPN DR. Cipto Mangunkusumo dengan sistem pelayanan terpadu yang berkapasitas 339 tempat tidur. Pada saat ini di Irna B kurang tersedianya informasi mengenai formularium RSCM Edisi,-V di ruang rawat, sehingga banyak dokter menulis resep obat tidak sesuai dengan formularium yang harganya relatif mahal. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat hubungan antara penulisan resep yang tidak sesuai dengan formularium rumah sakit dengan beberapa faktor yaitu pengetahuan dokter, kepemilikan buku formularium pengertian dokter dan sikap dokter terhadap buku formularium tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut, seluruh lembaran resep dikumpulkan dari tanggal 1 sampai 31 Agustus 1997. Dari lembaran resep tersebut dihitung jumlah resep dan dihitung pula berapa persen resep yang tidak sesuai dengan formularium. Kemudian dilakukan wawancara dengan dokter penulis resep untuk mengetahui beberapa faktor yang berhubungan dengan penulisan resep tersebut. Sebagai unit analisis selanjutnya adalah dokter, kemudian dilakukan analisis bivariat dan multivariat terhadap faktor-faktor tersebut. Hasil pengertian adalah sebagai berikut : Ditemukan 7034 resep yang ditulis oleh 121 dokter. Penulisan resep yang tidak sesuai dengan formularium RSCM edisi-V adalah 35. Ternyata faktor yang berhubungan secara bermakna dengan ketidak sesuaian penulisan resep dengan formularium adalah pengetahuan dokter tentang formularium RSCM edisi-V. Disamping itu diduga faktor pengertian dokter dan pemilikan buku formularium berperanan pula secara bermakna. ...... Irna B (Instalasi Rawat Nginap B) is an integrated services ward in cipto mangunkusumo hospital with 339 bed capacity which provides variety of specialities and subspecialities health care. It has been assumed that hospital formulary currently available is not informed well to the medical staffs in the ward result in a high frequency of non formulary drugs prescribing. The purpose of the study was to know if there was a relationship between non formulary prescribing and some factors, namely the awereness, the ownership of the book, understanding and the attitude of the prescribers to wards the hospital formulary. All prescription sheets were collected from August. I until August 31, 1997. Total prescriptions and precentage of non formulary prescriptions and precentage of non formualry prescriptions were calculated, followed by interviewing the prescribers with regards to the factors associated with such prescribing. The prescribers were used as the analysis unit, then bivariate and multivariate analysis were performed to wards those factors. The result showed that 2462 (35%) of 7034 prescriptions prescribed by 121 physicians, were non formulary drugs. The only factor that related to prescribing was the awareness of the physicians to wards the hospital formulary. Besides, the ownership of the formulary book and the prescriber's understanding to wards the hospital formulary were assumed to play a role.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azwan Nurdin
Abstrak :
Ruang lingkup dan cara penelitian : Penggunaan kontrasepsi hormonal dapat menyebabkan beberapa efek samping, salah satunya adalah tromboemboli. Penetapan kadar F 1.2 dapat dipergunakan untuk menentukan resiko terjadinya tromboemboli karena kadar yang tinggi dari senyawa peptida ini menunjukkan adanya aktivasi sistem koagulasi. Tujuan utama penelitian ini adalah mengukur kadar F 1.2 pada akseptor implan levonorgestre yang telah menggunakannya > 4 tahun dengan menggunakan metode ELISA. Tujuan lain dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kadar F 1.2 dengan umur, lama pemakaian implan levonorgestrel dan besarnya paritas pada akseptor. Penelitian Cross Sectional ini dilakukan pada 100 akseptor yang telah memakai implan selama 4 tahun atau lebih. Subjek penelitian diambil dari Klinik Keluarga Berencana Pulogadung-Jakarta. Sebelum pengambilan darah tidak diperlukan persiapan khusus atau puasa yang dilakukan pada akseptor. Hasil dan Kesimpulan : Rentang kadar F 1.2 dari seluruh akseptor berkisar antara 0,06 - 9,69 nM. Pada 31 akseptor didapatkan kadar F 1.2 lebih tinggi dari 1,7 nM, yaitu kadar tertinggi yang didapatkan pada orang Indonesia sehat. Pada 24 akseptor dari 31 akseptor tersebut, kadar F 1.2 ternyata lebih tinggi dari 2,78 nM , yaitu kadar tertinggi yang didapatkan pada kelompok Caucasia sehat. Tujuh belas akseptor dari 24 akseptor tersebut diatas, memiliki kadar F 1.2 yang lebih tinggi dari 4,2 nM yang merupakan kadar rata-rata pada kasus tromboemboli. Hasil Spearman test, tidak didapatkan hubungan antara kadar F 1.2 terhadap umur, lama pemakaian implan levonorgestrel dan besarnya paritas. Kesimpulan pemeriksaan pada 100 akseptor implan levonorgestrei, didapatkan 24 % akseptor dengan kadar F 1.2 yang tinggi yang dapat menunjukkan adanya aktivasi sistem koagulasi. Karena hanya merupakan cross sectional studi tanpa kontrol, maka belum dapat menerangkan apakah kadar F 1.2 yang tinggi ini disebabkan karena penggunaan implan. Untuk itu masih diperlukan penelitian prospektif acak terkontrol penentuan kadar F 1.2 serta aktivitas AT III, Tidak didapatkan hubungan antara kadar F 1.2 dengan umur, lama pemakaian implan dan paritas. ......The Levels of Prothrombin Fragmenti.2. (F 1.2 ) Among Levonorgestrel Implant UsersScope and Method of Study : The use of hormonal contraceptives has some potential side effects, one of them is thromboembolism. The levels of F 1.2 can be used to determine the risk of thromboembolism because the high level of this peptide can indicates that there is an activation of coagulation system. The main objective of this study was to find out the level of F 1.2 among the levonorgestrel implant users by mean of an ELISA method. The other objectives were to know the correlation between the levels of F 1.2 with age, duration of use the implant, and the parity of the acceptors. The study was done in 100 acceptors who had been using these implants for four years or more. The subjects were recruited from the Family Planning Clinic Pulogadung - Jakarta. No special preparation or fasting of the acceptors is needed. Results and Conclusions : The range of F 1.2 levels of all acceptors was between 0.06 - 9.69 nM, while in 31 acceptors the levels were higher than the upper limit level previously found in healthy Indonesian subjects (1.7 nM). In 24 out of 31 acceptors, the levels of F 1.2 were higher than the upper limit level of normal value in a Caucasian population (2.78 nM). In 17 out of 24 acceptors the levels of F 1.2 were higher than 4.2 nM, which was the mean level detected in thromboembolic cases reported previously. Using the Spearmans test, it was evident that there was no correlation between F 1.2 levels and age, the duration of implant use, and the parity of the acceptors. Conclusions, among 100 levonorgestrel implant acceptors, 24 % of them showed high F 1.2 levels that could indicate the activation of coagulation system. Based on these limited data which was done only through a cross sectional study without control, the high F 1.2 levels could not be interpreted as the cause by of the implant. A further prospective randomized controlled study, is need to find out the correlation between F 1.2 level and AT III is needed. No correlations were observed between F 1.2 levels and age, duration of implant use, and parity.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Natasha Supartono
Abstrak :
ABSTRAK Laringektomi total merupakan prosedur yang umum dilakukan pada karsinoma sel skuamosa laring. Infeksi luka operasi merupakan salah satu komplikasi yang sering dan dapat memberikan dampak yang besar terhadap kualitas hidup pasien. Penggunaan antibiotika profilaksis merupakan salah satu cara pencegahan ILO namun belum ada literatur pasti yang menyebutkan penggunaan antibiotika profilaksis pada laringektomi total sebaiknya digunakan selama berapa lama. Penelitian ini merupakan suatu studi eksperimental kuasi dengan kontrol yang diambil secara retrospektif untuk melihat kejadian infeksi pasca operatif pada penggunaan Sefazolin sebagai antibiotika profilaksis perioperatif selama 5 hari pada kelompok eksperimen dibandingkan dengan kelompok kontrol statik dari data retrospektif yang menggunakan Sefazolin 30 menit sebelum insisi dan diteruskan dengan antibiotika yang berbeda selama lebih dari 12 hari di Divisi Laring Faring Departemen THT-KL FKUI-RSCM. Tiga dari 12 subyek mengalami infeksi pada kelompok eksperimen dan 2 dari 24 subyek mengalami infeksi pada kelompok kontrol. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna proporsi angka kejadian ILO pada kedua kelompok. Analisis univariat dan bivariat dilakukan untuk menilai beberapa faktor risiko dan studi ini menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara penyakit ginjal dan penyakit komorbid >1 dengan angka kejadian ILO.
ABSTRACT Total laryngectomy is a common procedure in laryngeal squamous cell carcinoma. Surgical site infection is one frequent complication and it can have a major impact on patient rsquo s quality of life. The use of prophylactic antibiotics is one of the prevention of surgical site infections but there is no definite literature mentioning the use and how long should the prophylactic antibiotics be used in total laryngectomy. This study was a quasi experimental study with retrospective controls to look at the incidence of postoperative infection on the use of Cefazolin as the perioperative prophylactic antibiotics for 5 days on the experimental group compared to the static control group from retrospective data using Cefazolin 30 minutes before incisions and continued with different antibiotics for more than 12 days in Larynx Pharynx Division of ORL HNS Department of Medical Faculty of Universitas Indonesia. Three of 12 subjects had an infection in the experimental group and 2 of 24 subjects had an infection in the control group. There was no significant difference in the proportion of incidence of surgical site infections in both groups. Univariate and bivariate analyzes were performed to assess several risk factors and this study showed a significant association between renal disease and comorbid disease 1 with the incidence rate of surgical site infections.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58971
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library