Ditemukan 154 dokumen yang sesuai dengan query
Nangoy, Sandra
"Penerapan ketentuan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (?UU Arbitrase?) telah menimbulkan kontroversi akibat ketentuan tersebut tidak konsisten dan tidak ada aturan yang tegas. Penelitian ini bermaksud untuk mencari korelasi yang tepat terhadap penerapan Pasal 70 dihubungkan dengan penjelasan pasal itu sendiri dan penjelasan pada bagian umum UU Arbitrase sehingga dapat menjamin tercapainya kepastian hukum keadilan bagi para pihak bersengketa. Permasalahan mendasar adalah apakah alasan untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase bersifat limitatif atau non-limitatif, dan bagaimana pembuktian alasan-alasan tersebut apakah diperlukan keputusan Pengadilan terlebih dahulu atau tidak. Bagaimana sikap Mahkamah Agung terhadap pembatalan putusan arbitrase ini, apakah telah memenuhi asas kepastian hukum dan keadilan bagi para pihak. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif. Penulis menemukan bahwa ternyata ketentuan Pasal 70 dan putusan Mahkamah Agung tentang permohonan pembatalan putusan arbitrase ini sangat beragam dan tidak konsisten sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan keadilan. Dilain pihak, aturan tentang upaya hukum untuk pembatalan putusan arbitrase juga tidak bisa dihapuskan sama sekali karena bisa terjadi putusan arbitrase diambil dalam keadaan yang salah sehingga dapat menimbulkan ketidakadilan apabila putusan tersebut tetap dipertahankan. Oleh karenanya perlu dilakukan perbaikan atas aturan arbitrase yang mengatur tentang upaya hukum pembatalan putusan sehingga dapat tercapainya kepastian hukum dan memenuhi rasa keadilan masyarakat.
The application of the provisions of Article 70 of Law No. 30 Year 1999 Regarding Arbitration and Alternative Dispute Resolution (?Arbitration Act?) has caused controvercy due to such article are inconsistent and there is no strict rule. This research intends to find out the correlation of the application of Article 70 associated with its elucidation and the general description of the Arbitration Act, to ensure the achievement of legal certainty and justice for disputing parties. The fundamental issues in respect of the annulment of arbitral award is whether the reasons of annulment is qualified limitative or non-limitative and whether is required prior final court decision or not. What is the opinion of the Supreme Court on such annulment of the arbitral award which has fulfilled the principle of legal certainty and justice for disputing parties. This research was conducted with juridical normative research methods. Authors found that the Article 70 and Supreme Court?s decision regarding the annulment of the arbitral award has caused legal uncertainty and injustice due to being indistinct and inconsistent. On the other hand, the rule of law remedy for the annulment of the arbitral award could not be eliminated completely because there are still any conditions where the arbitral award was taken in the wrong circumstances that can lead to uncertainty and injustice when the award is retained. Therefore, it is necessary to improve the arbitration rules which regulates legal remedy of application of the annulment of the award to ensure the legal certainty and justice in society."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42611
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Yulia Shadrina
"Saat ini BLU diberikan kewenangan untuk melakukan penandatangan perjanjian. Adanya hal ini memerlukan analisis mengenai apakah BLU mempunyai kecakapan dalam menandatangani suatu perjanjian khususnya perjanjian KSO menurut hukum perjanjian di Indonesia. Selain itu juga menganalisis dalam hal perjanjian yang ditandatangani oleh BLU menimbulkan kerugian terhadap pihak ketiga, siapakah yang akan bertanggungjawab. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif dikarenakan penelitian kali ini akan melakukan analisis atas produk hukum yaitu Perjanjian Kerja Sama Operasi antara BLU di bidang energi dan sumber daya mineral dengan pihak swasta. Penelitian ini akan mencari dasar hukum/aturan, doktrin, teori untuk menjawab rumusan masalah yang diangkat. Analisis masalah kecakapan akan dimulai dengan melihat teori dan ketentuan yang terdapat dalam hukum Perjanjian di Indonesia serta doktrin dan teori mengenai subyek hukum badan hukum dan teori positivisme. Analisis kedua terhadap pertanggungjawaban BLU apabila Perjanjian KSO mengalami kerugian adalah dengan menganalisis menggunakan aturan pertanggungjawaban dalam hukum perdata serta teori delegasi kewenangan, serta teori positivisme. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa BLU bukanlah subjek hukum berbentuk badan hukum sehingga tidak mempunyai kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum seperti melakukan penandatanganan perjanjian KSO. Selanjutnya apabila timbul suatu kerugian maka berdasarkan hukum perdata, pihak ketiga dapat memintakan pertanggungjawaban hingga kepada instansi induk yaitu Kementerian Negara/Lembaga Pemerintah.
Currently BLU is given the authority to sign the agreement. The existence of this requires an analysis of whether BLU is capable to sign an agreement, especially KSO agreements according to contract law in Indonesia. In addition, it also analyses in terms of the agreement signed by BLU causing harm to third parties, who will be responsible. The method used in this study is a normative juridical method because this research will analyse a legal product, namely the Joint Operation Agreement between BLU in the field of energy and mineral resources and the private sector. This research will look for legal/rule bases, doctrines, and theories to answer the formulated problems raised. The analysis of skills issues will begin by looking at the theories and provisions contained in treaty law in Indonesia as well as doctrines and theories regarding the subject matter of legal entities and the theory of positivism. The second analysis of the accountability of BLU if the KSO Agreement suffers a loss is by analysing using the accountability rules in civil law and the theory of delegation of authority, as well as the theory of positivism. The results of this study conclude that BLU is not a legal subject in the form of a legal entity, so it cannot take legal actions, such as signing a KSO agreement. Furthermore, if a loss occurs, based on civil law, a third party can hold accountability up to the parent agency, namely the State Ministry/Government Agency."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Ursula Kristanti Riang Borot
"Izin usaha pengangkatan BMKT oleh pihak asing di Indonesia mengalami kontradiksi pengaturan antara UU Cagar Budaya yang melarang pihak asing untuk ambil bagian dalam kegiatan usaha bawah air dan UU Penetapan Perpu Cipta Kerja yang mengijinkan usaha pengangkatan BMKT dengan melibatkan pihak asing. Tesis ini menentukan apakah izin usaha pengangkatan BMKT yang dilakukan pihak asing sah menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia dan memberikan rekomendasi pengaturan tentang izin usaha pengangkatan BMKT oleh pihak asing bagi Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan perbandingan Negara Australia dan Cina. Hasil penelitian menunjukkan; Pertama, izin usaha pengangkatan BMKT oleh pihak asing tidak sah menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hal ini karena ada pembatasan terhadap kepemilikan dan pengelolaan pihak asing oleh UU Cagar Budaya yang merupakan pengaturan secara khusus terhadap cagar budaya baik didarat maupun diair, sedangkan UU Penetapan Perpu Cipta Kerja merupakan pengaturan yang umum. Selain itu, UU Penetapan Perpu Cipta Kerja tidak mengubah dan mencabut UU Cagar Budaya dan lebih spesifiknya pengaturan UU Cagar Budaya terhadap BMKT di Indonesia. Kedua, terdapat 2 (dua) rekomendasi pengaturan BMKT di Indonesia yakni mengubah aturan pembatasan kepemilikan pada UU Cagar Budaya dan menyusun UU BMKT di Indonesia yang mencakup : membuat ketentuan durasi permohonan izin ke instansi yang bertanggungjawab untuk kegiatan pengangkatan BMKT, menentukan kekuasaan pemerintah pada BMKT di wilayah laut, mengurangi instansi pemerintah yang ikut ambil bagian dalam pengangkatan BMKT, membatasi izin usaha pengangkatan BMKT bagi pihak asing di indonesia selama 2 (dua) tahun.
The BMKT removal business license by foreign parties in Indonesia experiences regulatory contradictions between the Cultural Heritage Law which prohibits foreign parties from taking part in underwater business activities and the Job Creation Law which allows BMKT removal business by involving foreign parties. This thesis determines whether BMKT removal business licenses conducted by foreign parties are valid according to Indonesian laws and regulations and provides recommendations for regulating BMKT removal business licenses by foreign parties for Indonesia. This research is a normative legal research with a legislative approach and a comparison of Australia and China. The results of the study show; First, the BMKT removal business license by foreign parties is not valid according to Indonesian laws and regulations. This is because there are restrictions on foreign ownership and management by the Cultural Heritage Law which is a specific regulation of cultural heritage both on land and in water, while the Job Creation Law is a general regulation. In addition, the Job Creation Perpu Stipulation Law does not amend and revoke the Cultural Heritage Law and more specifically the Cultural Heritage Law's regulation of BMKT in Indonesia. Second, there are 2 (two) recommendations for regulating BMKT in Indonesia, namely changing the ownership restriction rules in the Cultural Heritage Law and drafting a BMKT Law in Indonesia which includes: make provisions for the duration of permit applications to the agency responsible for BMKT removal activities, determine the government's authority over BMKT in the sea area, reduce government agencies that take part in BMKT removal, limit BMKT removal business licenses for foreign parties in Indonesia for 2 (two) years."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
F. Sentiana Amarella
"Tesis ini membahas mengenai bagaimana keabsahan perjanjian arbitrase yang dibuat dalam bentuk pertukaran surat elektronik (e-mail) serta bagaimana akibat hukum jika suatu perjanjian arbitrase dalam bentuk pertukaran surat yang tidak disertai dengan catatan penerimaan oleh para pihak pada kasus PT. Indoexim International v. PT. Agility International. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang mengacu kepada kaidah-kaidah atau norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
Dari penelitian ini disimpulkan bahwa perjanjian arbitrase yang dibuat dalam bentuk pertukaran surat elektronik (e-mail) adalah sah menurut hukum selama terpenuhinya syarat-syarat perjanjian arbitrase sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Undang-undang arbitrase tidak menjelaskan lebih rinci mengenai akibat hukum jika tidak terdapat catatan penerimaan oleh para pihak pada kasus PT. Indoexim International v. PT. Agility International, namun majelis hakim berwenang untuk menafsirkan ketentuan yang ada dalam undang-undang tersebut. Sehingga keputusan yang diberikan oleh majelis hakim terkait catatan penerimaan oleh para pihak tersebut dapat menjadi solusi atas persoalan yang tidak dijelaskan lebih rinci oleh undang-undang.
This thesis discusses about how the validity of the arbitration agreement that is made in the form of exchanges of electronic mail (e-mail) and how legal consequences if an arbitration agreement in the form of an exchange of letters which are not accompanied by a note of the acceptance by the parties. The methods used in this research is the juridical normative, i.e. the legal research that refers to norms of the law contained in the legislation. This research it was concluded the arbitration agreement that is made in the form of exchanges of electronic mail (e-mail) is lawful as long as satisfy the terms of the arbitration agreement as provided for in article 4 paragraph (3) of Act No. 30 of 1999. The arbitration law does not explain in more detail about the legal consequences if there is no note of the acceptance by the parties in the case of PT. Indoexim International v. PT. Agility International, however the Tribunal judges are authorized to interpret the existing provisions in the law. So the decision given by the Tribunal judge related note the acceptance by the parties can be a solution over the issue that are not described in more detail by law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T51815
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Anggi Anindya Wardhani
"
Tesis ini mengkaji mengenai: (i) unsur tipu muslihat yang berdasarkan Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah sebagai salah satu unsur pembatal putusan arbitrase serta bagaimana pembatalannya; dan (ii) pendapat hakim mengenai penerapan Pasal 70 UU Arbitrase yang mekanisme pembatalannya tidak secara lengkap diatur dalam UU Arbitrase. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa UU Arbitrase belum mengatur dengan lengkap dan jelas mengenai bagaimana pelaksanaan pembatalan putusan arbitrase utamanya yang disebabkan oleh adanya tindakan tipu muslihat dari salah satu pihak yang bersengketa dalam forum arbitrase. Mahkamah Agung berpendapat unsur tipu muslihat tidak harus dibuktikan dengan suatu putusan pidana berkekuatan hukum tetap terlebih dahulu seperti yang teridentifikasi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 425 B/Pdt.Sus-Arbt/2016, Putusan Nomor 807 B/Pdt.Sus-Arbt/2016. Mahkamah Agung dalam putusan lain berpendapat bahwa unsur tipu muslihat harus dapat dibuktikan dalam sebuah putusan pidana berkekuatan hukum tetap agar keadilan serta kepastian hukum dapat terus terjaga seperti tercantum dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 480 B/Pdt.Sus-Arbt/2017. Mahkamah Agung belum dapat menggali hukum yang sesuai untuk pembatalan putusan arbitrase karena unsur tipu muslihat.
This thesis research examines: (i) elements of deception based on Article 70 of the Arbitration Law and Alternative Dispute Resolution as one of the elements of revocation of the arbitration award and how it is revocated; and (ii) the opinion of the judge regarding the application of Article 70 of the Arbitration Law which the mechanism for arbitral award revocation is not completely regulated in the Arbitration Law. The research method used in this study is normative juridical research, namely research on the principles of law, legal systematics, the degree of legal synchronization and research on legal history through a legal approach and a number of judges’ decisions related to the revocation of the award. The results of the study indicate that the Arbitration Law has not yet provided a complete and clear explanation of how the revocation of the main arbitration award was caused by the deception of one of the parties to the dispute in the arbitration forum. The Supreme Court argue that the element of deception does not have to be proven by a criminal decision with permanent legal force as identified in the Decision of the Supreme Court Number 425 B/Pdt.Sus-Arbt/2016, Decision Number 807 B/Pdt.Sus-Arbt/2016. Other judges argue that the element of deception must be proven in a criminal decision with a permanent legal force so that justice and legal certainty can be maintained as stated in the Decision of the Supreme Court Number 480 B/Pdt.Sus-Arbt/2017. The Supreme Court has not been able to dig up the appropriate law for the revocation of the arbitral award caused by element of deception.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T51816
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Muhammad Fiqri Haikal Mandala
"Penelitian ini membahas mengenai bagaimana perlindungan hukum bagi Trader Foreign Exchange atau Forex yang ditawarkan Expert Advisor tanpa izin Bappebti oleh Pelaku Usaha Jasa Expert Advisor pada pasar Valuta Asing atau Foreign Exchange. Penelitian ini disusun menggunakan metode penelitian normatif, yaitu dalam menemukan hasilnya dilakukan pendekatan melalui perundang-undangan (statute approach). Berdasarkan hasil penelitian ini adalah bahwasanya menurut Pasal 2 dan Pasal 4 Peraturan Bappebti Nomor 12 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Penyampaian Nasihat Berbasis Teknologi Informasi Berupa Expert Advisor di Bidang Perdagangan Berjangka mewajibkan untuk setiap Expert Advisor memiliki perizinan dari Bappebti. Namun, sampai saat penelitian ini dibuat tidak ada Expert Advisor pada Foreign Exchange yang memiliki izin Bappebti, sehingga dapat dipastikan semua Expert Advisor yang ditawarkan Pelaku Usaha Jasa Expert Advisor pada Foreign Exchange kepada Trader Forex adalah ilegal atau tidak berizin Bappebti. Penawaran tersebut merupakan Perbuatan Melawan Hukum menurut Pasal 1365 KUHPerdata karena telah memenuhi unsur-unsur di dalam pasal tersebut. Upaya untuk mengurangi Expert Advisor tidak berizin Bappebti dapat dilakukan melalui litigasi dan non-litigasi. Simpulan penelitian ini adalah Expert Advisor wajib memiliki perizinan dari Bappebti, Penawaran Expert Advisor yang belum memiliki perizinan tersebut merupakan Perbuatan Melawan Hukum menurut Pasal 1365 KUHPerdata dan Upaya untuk mengurangi Expert Advisor tidak berizin Bappebti melalui litigasi adalah mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri terhadap perbuatan melawan hukum Pelaku Usaha Jasa Expert Advisor ilegal pada Foreign Exchange dan/atau membuat laporan kepada Kepolisian RI dan Satgas PASTI, sedangkan melalui non-litigasi adalah pemerintah yang berkoordinasi melalui Satgas PASTI, Pelaku Usaha Jasa Expert Advisor mengajukan permohonan perizinan kepada Bappebti, dan Masyarakat menerapkan prinsip 2L yaitu Legal dan Logis terhadap penawaran tersebut.
This research discusses the legal protection for Foreign Exchange or Forex Traders offered by illegal or Expert Advisors not licensed by Bappebti by Expert Advisor Service Business Entities in the Foreign Exchange market. The research is conducted using a normative research method, which involves finding results through a legal approach (statute approach). Based on the results of this study, according to Article 2 and Article 4 of Bappebti Regulation No. 12/2022 on the Implementation of Information Technology-Based Advice Delivery in the Form of Expert Advisors in the Sector of Futures Trading, mandatory each Expert Advisor to have a license from Bappebti. However, as of the time of this research, no Expert Advisor in the Foreign Exchange market has obtained a license from Bappebti, so it is confirming that all Expert Advisors offered by Expert Advisor Service Business Entities on Foreign Exchange to Forex Traders are illegal or not licensed by Bappebti. This offer constitutes a Tort/Unlawful Act under Article 1365 of the Civil Code because it fulfilled the elements mentioned in that article. Efforts to reduce Expert Advisors not licensed by Bappebti can be made through litigation and non-litigation. This research concludes that Expert Advisors must have a license from Bappebti, and offering Expert Advisors without such a license constitutes a Tort/Unlawful Act under Article 1365 of the Civil Code and Efforts to reduce Expert Advisors not licensed by Bappebti through litigation involve filing a lawsuit with the District Court against the unlawful actions of illegal Expert Advisor Service Business Entities in Foreign Exchange or reporting to the Indonesian National Police and the Satgas PASTI, while through non-litigation involve coordination by the government through the Satgas PASTI, Expert Advisor Service Business Entities to submit licensing applications to Bappebti and the public applies the 2L principle, namely Legal and Logical in response to such offers."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Mitha Gustina
"Pembahasan dalam penelitian ini terkait dengan kendala dalam Undang-Undang Yayasan khususnya terhadap pengaturan itikad baik dalam kewenangan organ yayasan dan perbandingan ketentuan hukum yang terdapat dalam kasus Yayasan Teungku Fakinah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa kendala dalam Undang-Undang Yayasan yang dapat menyebabkan adanya pelanggaran itikad baik oleh organ yayasan . Metode dari penelitian ini adalah Doktrinal (yuridis-normatif) dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Kesimpulan dari penelitian ini adalah Undang-Undang Yayasan masih memiliki kendala khususnya yang berkaitan dengan ketentuan mengenai itikad baik dibuktikan dengan adanya kasus Yayasan Teungku Fakinah yang menyebabkan adanya perbedaan pendapat hakim dalam memutus perkara dikarekan tidak adanya pemahaman yang utuh mengenai makna itikad baik.
The discussion in this study is related to the obstacles in the Foundation Law; especially, regards to the regulation of good faith within the authority of foundation organs and a comparison of the legal provisions contained in the case of the Teungku Fakinah Foundation. Furthermore, the aim of this study is that to analyze the obstacles in the Foundation Law which can cause violations of good faith by foundation organs. The method of this study was doctrinal (juridical-normative) with a statute and case approach. The conclusion is that the Foundation Law still has obstacles; especially, those relating to provisions regarding good faith. It was proved by the Teungku Fakinah Foundation case which caused differences of opinion among judges in deciding cases due to the lack of a complete understanding of the meaning of good faith."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Devi Taurisa
"Tesis ini menganalisis bagaimana kriteria anggota Direksi yang telah melaksanakan pengurusan PT dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab, secara khusus menilai kriteria tersebut pada Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 94/Pdt/2015/PT/BDG. Penelitian ini merupakan yuridis normatif dengan pendekatan konseptual, kasus dan perbandingan. Tesis ini menyimpulkan, sesuai dengan peraturan dan prinsip-prinsip hukum PT di Indonesia, anggota Direksi telah melakukan pengurusan PT dengan iktikad baik jika memenuhi setidaknya 5 (lima) kriteria: kejujuran/ketulusan anggota Direksi; tidak melanggar hukum yang berlaku;bertindak sesuai dengan norma dan kewajaran dalam bisnis; memiliki kompetensi dan bertindak sesuai kompetensi Direksi; tidak ada konflik kepentingan. Adapun kriteria penuh tanggung jawab anggota Direksi jika memenuhi setidaknya 5 (lima) kriteria: menjalankan tugas dan wewenang sesuai dengan Anggaran Dasar PT; sesuai dengan hukum dan norma yang berlaku; tidak melampaui wewenang sebagai Direksi; memberikan informasi yang akuntabel kepada segenap stakeholder; terbuka dalam mengambil keputusan PT. Dalam Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 94/Pdt/2015/PT/BDG, pertimbangan Majelis Hakim menyatakan apabila anggota Direksi dalam pengurusan PT tidak selaras dan bertentangan dengan kewajiban hukumnya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 92 ayat (2) UUPT No.40 Tahun 2007, maka dapat dikategorikan tidak melakukan tugasnya dengan iktikad baik, sehingga dapat dipandang dan dipersamakan telah melakukan perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, Putusan No. 94/Pdt/2015/PT/BDG, yang menyatakan Tn. HC, selaku anggota Direksi tidak mempunyai iktikad baik dan tidak bertanggung jawab, telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan prinsip-prinsip hukum perseroan terbatas.
This thesis analyzes how the criteria for members of the Board of Directors who have carried out the management of PT in good faith and full responsibility, specifically assess these criteria in the Bandung High Court Decision No. 94/Pdt/2015/PT/BDG. This research is a normative juridical research with conceptual, case and comparison approaches. This thesis concludes, in accordance with the regulations and legal principles of PT in Indonesia, members of the Board of Directors have managed the PT in good faith if they meet at least 5 (five) criteria: honesty/sincerity of members of the Board of Directors; do not violate applicable laws; act in accordance with the norms and fairness in business; have competence and act in accordance with the competence of the Board of Directors; no conflict of interest. The criteria for full responsibility for members of the Board of Directors if they meet at least 5 (five) criteria: carry out their duties and authorities in accordance with the Articles of Association of PT; in accordance with applicable laws and norms; does not exceed the authority as the Board of Directors; provide accountable information to all stakeholders; open in making decisions PT. In Bandung High Court Decision No. 94/Pdt/2015/PT/BDG, the consideration of the Panel of Judges stated that if a member of the Board of Directors in managing a PT is not in line with and contrary to their legal obligations as stipulated in Article 92 paragraph (2) of the Company Law No. 40 of 2007, it can be categorized as not performing their duties properly. good faith, so that it can be seen and equated with having committed an unlawful act. Therefore, Decision No. 94/Pdt/2015/PT/BDG, which states that Mr. HC, as a member of the Board of Directors does not have good faith and is not responsible, has complied with the provisions of the legislation and the legal principles of a limited liability company."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Jandi
"
ABSTRAKTesis ini membahas tentang penyebab inkonsistensi aturan penanaman modal yang ada di Indonesia dan melihat langkah-langkah penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah dalam menghadapi permasalahan. Metode pendekatan yang dilakukan dalam penelitian adalah metode yuridis normatif yang menggunakan bahan pustaka sebagai bahan penelitian sehingga dengan analisa aturan perundang-undangan dan literatur dapat diketahui permasalahan yang dihadapi oleh pemilik modal dan langkah yang dapat dilakukan pemerintah. Penelitian ini meunjukkan bahwa kebijakan penanaman modal yang tidak jelas, prosedur dan perizinan penanaman modal yang rumit dan sering berubah-ubah, dan dampak adanya otonomi menimbulkan inkonsistensi dalam penanaman modal di Indonesia. Untuk mengatasi inkonsistensi tersebut pemerintah melakukan 3 (tiga) upaya yaitu membuat dokumen stratejik Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), mendorong peningkatan peran hakim dalam sengketa arbitrase internasional, dan membentuk Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
ABSTRACTThis thesis discusses the cause of the inconsistency rules of investment in Indonesia and saw the completion of the steps undertaken by the Government in dealing with problems. Method of approach in research is the normative juridical methods which use the library as a research material so that the analysis of legislation and rules of literature can be known to the problems faced investors and the steps that can be done by the Government. These studies indicate that the unclear investment policy, the licensing procedures are complicated and often fickle, and the impact of the presence of autonomy gives raise the inconsistencies in investing in Indonesia. For that the Government using 3 (three) measures through the creation of strategic document called Masterplan Acceleration and Expansion of Indonesia Economic Development (MP3EI), encourages the enhancement of the role of judges in international arbitration dispute, and form Integrated One Door Service."
2013
T32256
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Yuneanto Ariwibowo
"
ABSTRAKAnggota direksi dalam melaksanakan tugasnya memiliki resiko bertanggung jawab secara pribadi. Saat ini terdapat kecenderungan anggota direksi melakukan perjanjian pisah harta untuk membatasi tanggung jawab pribadinya. Tesis ini mengkaji tentang keberadaan perjanjian pisah harta untuk membatasi pertanggung jawaban anggota direksi dalam hal perseroan terbatas merugi akibat kelalaian anggota direksi tersebut dan perlindungan hukum terhadap kreditur apabila anggota direksi tersebut memiliki perjanjian pisah harta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perjanjian pisah harta yang dilakukan anggota direksi yang bersalah atau lalai yang menyebabkan perseroan terbatas rugi dapat membatasi tanggung jawab anggota direksi tersebut apabila perjanjian pisah harta dibuat sebelum perkawinan dilakukan dan dalam bentuk akta notaries. Kreditur memang tidak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai dalam hal anggota direksi memiliki perjanjian pisah harta. Namun demikian kreditur tetap dapat melakukan upaya hukum lainnya agar kepentingannya terlindungi dengan meminta dibuatnya asuransi jabatan direksi atau melakukan gugatan Actio Pauliana. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode yuridis normatif, dengan bahan hukum sekunder sebagai bahan utama
ABSTRACTBoard of directors in carrying out their duties have personal responsibility risk. Currently, there is a tendency of the directors entered into a separation of property agreement to limit personal liability. This thesis examines the existence of separate property agreement to limit liability of the directors in terms of a limited liability company lost due to the negligence of the directors and the legal protection of creditors if the board member has a separate property agreement. The results showed that the separation of property agreement of the members of the board of directors at fault or negligence which causes loss of limited liability may limit the liability of directors when the separation of property agreement made before marriage done and in a notary deed. The lender did not obtain adequate legal protection in the event a director has an agreement separate property. However, lenders can still make other remedies that protected its interests by requiring insurers made the position of directors or making claims Actio Pauliana. The research was conducted by using normative juridical, with secondary materials as the main materials"
Universitas Indonesia, 2013
T33309
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library