Ditemukan 45 dokumen yang sesuai dengan query
Sheryn Lawrencya
"Menjamin hak dasar warga negara merupakan tugas dan kewajiban setiap negara. Terlebih bagi warga binaan, meskipun kemerdekaannya dirampas namun tetap melekatnya hak serta perlindungan yang wajib diberikan. Ketentuan mengenai pemenuhan hak bagi warga binaan telah diatur baik secara nasional maupun internasional, khususnya bagi warga binaan perempuan dewasa dan anak. Kebijakan suatu negara harus menjadi landasan yang kuat untuk memenuhi hak warga binaan perempuan khususnya dalam fungsi reproduksi dan meningkatkan kesehatan mereka di dalam Lembaga pemasyarakatan. Metode penelitian doktrinal digunakan untuk mengidentifikasi sumber hukum yang diteliti melalui teknik pengumpulan data yaitu studi dokumen dan wawancara kepada LPP Kelas IIA Jakarta, LPP Kelas IIA Tangerang dan LPKA Kelas I Tangerang. Metode perbandingan hukum digunakan dalam menyelesaikan permasalahan dalam penulisan ini yaitu dengan Singapura dan Australia untuk tujuan mengembangkan hukum nasional, pembaharuan hukum, serta mempertajam arah penelitian hukum. Implementasi pelayanan kesehatan belum memadai serta peraturan pemerintah terkait perawatan dan pelayanan kesehatan reproduksi terhadap warga binaan perempuan masih belum mampu mengakomodir pemenuhan hak tersebut. Sehingga negara diharapkan dapat menetapkan peraturan pelaksana mengenai pemenuhan hak fungsi reproduksi warga binaan perempuan agar tidak terjadinya kekosongan hukum dan memberikan kepastian serta kemanfaatan bagi warga binaan perempuan dewasa dan anak.
Ensuring the basic rights of citizens is the duty and obligation of every state. Especially for inmates in correctional institution, although their independence is deprived, there are still inherent rights and protections that must be provided. Provisions regarding the fulfillment of rights for prisoners have been regulated both nationally and internationally, especially for female prisoners and children. A country's policy must be a strong foundation to fulfill the rights of female prisoners, especially in reproductive function and improve their health in correctional institutions. The doctrinal research method is used to identify the legal sources studied through data collection techniques, namely document studies and interviews with LPP Class IIA Jakarta, LPP Class IIA Tangerang and LPKA Class I Tangerang. The comparative law method is used in solving the problems in this paper, namely with Singapore and Australia for the purpose of developing national law, legal reform, and sharpening the direction of legal research. The implementation of health services is inadequate and government regulations related to reproductive health care and services for female prisoners are still unable to accommodate the fulfillment of these rights. So that the state is expected to establish implementing regulations regarding the fulfillment of the reproductive function rights of female prisoners so that there is no legal vacuum and provide certainty and benefits for adult and child female prisoners."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Ilang Sakti
"Penelitian tesis ini membahas tentang pertimbangan hakim dalam putusan pengadilan yang menerapkan restorative justice dalam tindak pidana yang menyebabkan matinya korban (khususnya pada tindak pidana pembunuhan, pembunuhan berencana, dan penganiayaan yang menyebabkan kematian). Penelitian tesis ini menggunakan metode penelitian normatif dengan mencari bahan kepustakaan atau data sekunder yang kemudian dilengkapi dengan data primer. Dalam tesis ini yang menjadi permasalahan adalah apakah restorative justice dapat diterapkan terhadap kasus tindak pidana yang menyebabkan matinya korban, apakah penerapan restorative justice dalam kasus tindak pidana yang menyebabkan matinya korban dapat dijadikan sebagai bahan perimbangan hakim dalam memberikan putusan, serta bagaimana pengaruh pertimbangan hakim terhadap putusan pengadilan dalam perkara tindak pidana yang menyebabkan matinya korban yang diselesaikan dengan restorative justice. Dalam praktiknya, keadilan restoratif pada prinsipnya merupakan konsep penyelesaian yang menekankan adanya pertemuan antara keluarga korban dan terdakwa serta masyarakat untuk mencapai kesepakatan bersama. Kesepakatan inilah yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Dengan mempertimbangkan keadilan restoratif dalam penjatuhan hukuman, hakim harus memastikan pemulihan keluarga korban dan mengintegrasikan kembali pelaku ke masyarakat.
This thesis research discusses the consideration of judges in court decisions that apply restorative justice in criminal offences homicide (specifically in the criminal offences of murder, manslaughter, and abuse that cause). This thesis research uses normative research methods by searching for literature or secondary data which is then complemented by primary data. In this thesis, the problems are whether restorative justice can be applied to criminal offences homicide, whether the application of restorative justice in criminal offences homicide can be used as a consideration for judges in giving decisions, and how the influences of judges’ considerations on court decisions in criminal offences homicide resolved with restorative justice. In practice, restorative justice is in principle a settlement concept that emphasizes a meeting between the victim’s family, the defendant and the community to reach a mutual agreement. This agreement is taken into consideration by the judge in reaching a verdict. By considering restorative justice in sentencing, judges must ensure the recovery of the victim’s family and reintegrate the offender into society."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Simbolon, Mazmur Apostolos
"Tesis ini membahas tentang Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV Tahun 2016 tentang adanya perubahan delik formil ke delik materil pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Metode yang dilakukan dalam penulisan ini ialah metode penelitian normatif hukum, dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Adapun yang dibahas dalam penelitian ini ialah bagaimana tren penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia pada masa Pra dan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV Tahun 2016, meneliti apakah dengan adanya perubahan delik unsur merugikan keuangan negara menjadi unsur utama untuk meminta pertanggungjawaban terhadap seseorang, dan bagaimana implementasi dari Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV Tahun 2016 terhadap putusan-putusan pengadilan yang ada. Hasil dari penelitian salah satunya ialah adanya ketidakpastian hukum dalam penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia oleh adanya Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV Tahun 2016. Kesimpulan dari tesis ini ialah perubahan delik karena Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV Tahun 2016 berdampak pada penindakan tindak pidana korupsi kerugian keuangan negara yaitu sebelum adanya putusan MK penindakan korupsi lebih banyak terlaksana dibandingkan dengan sesudah adanya Putusan MK. Terjadinya perubahan delik ini berdampak pada syarat utama untuk seseorang dapat diminta pertanggungjawaban pidana dan dampak dari Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV Tahun 2016 menimbulkan perbedaan pendapat oleh hakim mengenai konsep kerugian keuangan negara.
This thesis discusses the Constitutional Court Decision Number 25/PUU-XIV/2016 concerning the change of formal offense to material offense in Article 2 paragraph (1) and Article 3 of Law Number 20 of 2001 concerning Amendments to Law Number 31 of 1999 concerning Eradication of Corruption. The method used in this writing is the normative legal research method, with quantitative and qualitative approaches. What is discussed in this research is how the trend of handling corruption crimes in Indonesia before and after the Decision of the Constitutional Court Number 25 / PUU-XIV/2016, examining whether with the change of offense, the element of harm to state finances is the main element to hold someone accountable, and how the implementation of the Constitutional Court Decision Number 25 / PUU-XIV/2016 on existing court decisions. The result of the research is the existence of legal uncertainty in the handling of corruption crimes in Indonesia due to the Constitutional Court Decision Number 25/PUU-XIV/2016. This thesis concludes that changes in the offense due to Constitutional Court Decision Number 25/PUU-XIV/2016 have an impact on the prosecution of corruption of state financial losses, namely before the Constitutional Court's decision, more corruption prosecutions were carried out than after the Constitutional Court's decision. The occurrence of this change in offense has an impact on the main requirements for a person to be held criminally liable and the impact of Constitutional Court Decision Number 25/PUU-XIV/2016 has led to differences of opinion by judges regarding the concept of state financial losses."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Kevin Ramadhino
"Tulisan ini menganalisis bagaimana penerapan justice collaborator di dalam ketentuan hukum pidana di Indonesia, khususnya dalam penerapan status justice collaborator di dalam kasus pembunuhan Brigadir Yosua dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.798/Pid.b/PN.Jkt.Sel. Tulisan ini disusun menggunakan metode penelitian doktrinal. Penerapan justice collaborator semula muncul dalam United Nations Convention Against Corruption 2003, di dalam UNCAC sebutan justice collaborator muncul untuk memerangi kasus-kasus pidana yang sulit dipecahkan hingga memerlukan orang dari dalam kasus tersebut yang bisa memberikan keterangan untuk membuka seterang-terangnya kasus tersebut, UNCAC 2003 ini kemudian di ratifikasi ke dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Konvensi PBB Anti Korupsi. Penerapan justice collaborator ini kemudian dijelaskan tentang bagaimana penerapan, batasan serta pengecualian di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Konvensi PBB Anti Korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, serta didukung peraturan mengatur teknis justice collaborator bari para penegak hukumseperti di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (whistle blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (justice collaborator) dan juga Peraturan Bersama Nomor: M.HH-11.HM.03.02.th.2011; Nomor: PER-045/A/JA/12/2011; Nomor: 1 Tahun 2011; Nomor: KEPB-02/01-55/12/2011; Nomor: 4 Tahun 2011. Dalam praktiknya penerapan justice collaborator di Indonesia bisa diterapkan di dalam kasus tindak pidana umum, penerapan ini membuka banyak kemungkinan penyelesaian masalah pidana yang sulit dipecahkan.
This article analyzes how justice collaborator is applied in criminal law provisions in Indonesia, especially in the application of justice collaborator status in the murder case of Brigadier Yosua in South Jakarta District Court Decision No.798/Pid.b/PN.Jkt.Sel. This article was prepared using doctrinal research methods. The application of justice collaborator originally appeared in the 2003 United Nations Convention Against Corruption, in UNCAC the term justice collaborator emerged to fight criminal cases that were difficult to solve and required people from within the case who could provide information to reveal the case as clearly as possible, UNCAC 2003 This was then ratified into Law Number 7 of 2006 concerning the UN Convention Against Corruption. The application of justice collaborator is then explained about how to apply, limitations and exceptions in Law Number 7 of 2006 concerning the UN Convention Anti-Corruption, Law Number 31 of 2014 concerning Amendments to Law Number 13 of 2006 concerning Protection of Witnesses and Victims, and supported by regulations governing technical justice collaborators for law enforcers, such as in the Supreme Court Circular Letter Number 4 of 2011 concerning the Treatment of Criminal Whistleblowers and Cooperating Witnesses (justice collaborators) and also Joint Regulation Number: M.HH- 11.HM.03.02.th.2011; Number: PER-045/A/JA/12/2011; Number: 1 of 2011; Number: KEPB-02/01-55/12/2011; Number: 4 of 2011. In practice, the application of justice collaborator in Indonesia can be applied in general criminal cases, this application opens up many possibilities for resolving criminal problems that are difficult to solve."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Janitra Jaya Negara, Author
"Penggunaan hukum pidana untuk mengatasi kejahatan, termasuk penyalahgunaan narkotika, mendapat perhatian dan kontroversi. Dalam penelitian ini, alternatif di luar sistem peradilan pidana juga penting. Penggunaan hukum pidana sebaiknya dihindari jika ada sarana lain yang lebih efektif. Kejahatan adalah masalah kemanusiaan, dan hukum pidana sendiri bisa menyebabkan penderitaan. Oleh karena itu, penggunaan hukum pidana harus digabungkan dengan instrumen di luar sistem peradilan. Dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika oleh anak, pengalihan proses dari yustisial ke non-yustisial adalah upaya untuk menghindari penerapan hukum pidana pada anak-anak. Diversi juga memiliki tujuan agar anak-anak terhindar dari dampak negatif pidana dan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik secara fisik dan mental. Hal ini relevan dengan konsep tujuan pemidanaan, yang melibatkan perlindungan masyarakat dan individu. Restorative Justice di Indonesia, terdapat mekanisme penyelesaian hukum berdasarkan kearifan lokal. Sila Keempat Pancasila memungkinkan penerapan keadilan restoratif karena mengedepankan musyawarah dan kebaikan bersama. Implementasi keadilan restoratif terutama untuk kasus anak tidak sulit jika mengacu pada filosofi bangsa dan menghormati hukum adat sebagai hukum dasar nasional. Selain itu terdapat pengalihan perkara anak dari proses pidana formal ke penyelesaian damai antara pelaku dan korban yang difasilitasi oleh keluarga, masyarakat, dan penegak hukum. Proses diversi harus dilakukan dalam 30 hari untuk mencapai kesepakatan. Hal ini dilatarbelakangi oleh asumsi bahwa penanganan anak melalui sistem peradilan anak lebih berpotensi negatif dari pada positif dalam perkembangan anak. Masalah yang muncul dalam penanganan anak penyalahguna narkotika adalah stigma yang melekat pada mereka setelah proses peradilan selesai. Tingginya kasus penyalahgunaan narkotika oleh anak mendorong upaya penanggulangan pidana anak dalam bidang hukum, baik secara formal maupun materiil. Penanggulangan kejahatan, termasuk penyalahgunaan narkotika, adalah usaha rasional masyarakat dalam menangani kejahatan dan harus dilakukan dengan diagnosis yang tepat.
The use of criminal law to deal with crime, including narcotics abuse, has received attention and controversy. In this research, alternatives outside the criminal justice system are also important. The use of criminal law should be avoided if there are other more effective means. Crime is a humanitarian problem, and criminal law itself can cause suffering. Therefore, the use of criminal law must be combined with instruments outside the justice system. In dealing with narcotics abuse by children, transferring the process from judicial to non-judicial is an effort to avoid the application of criminal law to children. Diversion also has the aim of ensuring that children avoid the negative impacts of crime and can grow and develop well physically and mentally. This is relevant to the concept of the purpose of punishment, which involves the protection of society and individuals. Restorative Justice in Indonesia, there is a legal settlement mechanism based on local wisdom. The Fourth Principle of Pancasila allows the implementation of restorative justice because it prioritizes deliberation and the common good. Implementing restorative justice, especially in cases of children, is not difficult if it refers to the nation's philosophy and respects customary law as the basic national law. Apart from that, there is a transfer of children's cases from the formal criminal process to a peaceful resolution between the perpetrator and the victim which is facilitated by the family, community and law enforcement. The diversion process must be carried out within 30 days to reach an agreement. This is motivated by the assumption that handling children through the juvenile justice system has the potential to be more negative than positive in children's development. The problem that arises in handling children who abuse drugs is the stigma attached to them after the judicial process is completed. The high number of cases of narcotics abuse by children has encouraged efforts to overcome child crime in the legal field, both formally and materially. Crime prevention, including narcotics abuse, is society's rational effort to deal with crime and must be carried out with the right diagnosis."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Muhammad Zuhal Qolbu Lathof
"Tulisan ini menganalisis bagaimana upaya mengantisipasi disparitas yang tidak bertanggungjawab pada tindak pidana tertentu dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, khususnya terhadap praktik pembentukan pedoman pemidanaan terhadap tindak pidana tertentu yang diberikan wewenangnya kepada Mahkamah Agung dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung (PERMA). Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Dalam penelitian ini dihasilkan praktik yang dilakukan oleh Mahkamah Agung tersebut dinilai tidak tepat dengan tiga argumentasi yaitu ketidakidealan Mahkamah Agung dalam membuat Pedoman Pemidanaan yang diatur secara rigid apabila merujuk pada praktik baik di negara civil law maupun common law, proses perumusan serta pembentukan PERMA Pedoman Pemidanaan, dan hubungan hakim dengan PERMA Pedoman Pemidanaan. Untuk mengatasi ketidakidealan tersebut, sebenarnya dalam sistem peradilan pidana di Indonesia telah lama mengenal Pedoman Tuntutan yang dimiliki oleh Kejaksaan akan tetapi pedoman tersebut berbentuk Surat Edaran dan Pedoman yang ditujukan untuk internal Kejaksaan saja. Praktik Pedoman Tuntutan tersebut dinilai lebih tepat sebagai upaya untuk mengantisipasi disparitas yang tidak bertanggungjawab dengan empat argumentasi yaitu budaya kerja yang ada di Kejaksaan, sistem perumusan dan pembentukan pedoman tuntutan, hubungan Jaksa dengan pedoman tuntutan, dan hubungan Hakim dengan surat tuntutan yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum. Untuk mengatasi kekurangan dari praktik tersebut, maka sebaiknya pedoman tuntutan dibentuk ke dalam Peraturan Kejaksaan karena sifat peraturan yang mengikat secara umum dan berdaya laku keluar agar hakim dapat menggunakan rujukan tersebut sebagai sumber hukum dalam menjatuhkan suatu putusan pidana.
This paper analyzes how efforts to anticipate unwarranted disparity of certain crime in the criminal justice system of Indonesia, especially regarding the practice of forming guideline for sentencing certain crime which are given authority to the Supreme Court in the form of Supreme Court Regulations (PERMA). This article was prepared using doctrinal research methods. In this research, it was found that the practice carried out by the Supreme Court is considered inappropriate with three arguments, namely the Supreme Court's lack of idealism in making Sentencing Guideline which are regulated rigidly when referring to on practice in both civil law and common law countries, the process of formulating and establishing PERMA Sentencing Guideline, and the relationship between judges and PERMA Sentencing Guideline. To overcome this lack of ideality, in fact the criminal justice system in Indonesia has long been familiar with the Prosecution Guideline which are owned by the Prosecutor's Office, but these guidelines are in the form of Circulars and Guidelines which are intended for internal Prosecutors only. The practice of the Claims Guidelines is considered more appropriate as an effort to anticipate unwarranted disparity with four arguments, namely the work culture in the Prosecutor's Office, the system for formulating and forming prosecution guideline, the relationship between the Prosecutor and the prosecution guideline, and the Judge's relationship with the demand letter submitted by the General Prosecutors. To overcome the shortcomings of this practice, it would be better if the prosecution guidelines were formed into the Prosecutor's Regulations because the nature of the regulations is generally binding and has the potential to be enforceable so that judges can use these references as a source of law in handing down criminal sentencing."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Bintang Anugrah Ramadhan
"Tulisan ini bertujuan untuk mengevaluasi perlindungan hukum bagi korban kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang kasusnya diselesaikan melalui restorative justice, membandingkan penerapannya dengan Kanada dan Belanda, serta mengidentifikasi tantangan implementasi restorative justice di Indonesia. Selanjutnya, tulisan ini disusun menggunakan metode penelitian doktrinal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan restorative justice dalam kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) di Indonesia menghadapi banyak kendala, di antaranya lemahnya substansi hukum, keterbatasan sumber daya manusia, sarana pemulihan yang belum memadai, dan minimnya pengawasan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa aturan hukum di Indonesia belum sepenuhnya berpihak pada korban dan tidak ada instrumen hukum khusus yang mengatur kekerasan berbasis gender online (KBGO) secara rinci. Dalam konteks Internasional, penerapan restorative justice di Kanada dan Belanda dapat menjadi referensi untuk memperbaiki sistem yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan adanya reformasi hukum dan peningkatan kapasitas aparat penegak hukum untuk menangani kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) secara lebih efektif dan adil.
This paper aims to evaluate the legal protection for victims of online genderbased violence (OGBV) whose cases are resolved through restorative justice, compare its application with Canada and the Netherlands, and identify the challenges of implementing restorative justice in Indonesia. Furthermore, this paper is compiled using doctrinal research methods. The results show that the implementation of restorative justice in online gender-based violence (OGBV) cases in Indonesia faces many obstacles, including weak legal substance, limited human resources, inadequate means of recovery, and minimal supervision by law enforcement officials. In addition, this research also found that the rule of law in Indonesia has not fully sided with victims and there is no specific legal instrument that regulates online gender-based violence (OGBV) in detail. In the international context, the application of restorative justice in Canada and the Netherlands can be a reference to improve the existing system in Indonesia. Therefore, there is a need for legal reform and capacity building of law enforcement officials to handle online gender-based violence (OGBV) cases more effectively and fairly."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Ahmad Sayadi
"Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan pidana mati, sebagaimana yang diatur dalam pasal 10 KUHP lama. Pidana mati merupakan salah satu pidana pokok sekaligus hukuman terberat bagi pelaku tindak pidana. Dalam pembaharuannya berdasarkan Undang-Undang No.1 tahun 2023 tentang KUHP baru. Pidana mati tidak lagi masuk dalam kategori pidana pokok, melainkan pidana khusus yang selalu diancamkan secara alternatif dan dijatuhkan dengan masa percobaan 10 (sepuluh) tahun. Pasal 100 KUHP 2023 merupakan salah satu pasal yang lahir dari pembaharuan KUHP baru yang menjadi polemik di tengah masyarakat. Pasalnya ketentuan ini menyebutkan bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan ketentuan adanya perilaku terpuji dan harapan untuk diperbaiki. Jika dalam menjalani masa percobaan terpidana menunjukkan sikap perilaku terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi penjara seumur hidup. Namun sebaliknya jika dalam masa percobaan tersebut terpidana tidak menunjukkan sikap perilaku terpuji dan harapan untuk diperbaiki maka pidana mati dapat dijatuhkan atas perintah jaksa agung berdasarkan Keputusan presiden dengan memperyimbangkan putusan Mahkamah Agung. Dengan adanya ketentuan penilaian tersebut, demikian timbul pertanyaan bagaimanakah kriteria perilaku terpuji dan harapan untuk diperbaiki yang dimaksud? Sebagai suatu dasar pertimbanagan hakim dalam memutus layak atau tidaknya terpidana memperoleh perubahan hukuman.
Indonesia is one of the countries that still maintains the death penalty, as stipulated in article 10 of the old Criminal Code. Death penalty is one of the main punishments as well as the heaviest punishment for criminal offenders. Meanwhile, based on its renewal based on Law No.1 of 2023 concerning the new Criminal Code. Death penalty is no longer included in the category of main punishment, but a special punishment that is always threatened alternatively and imposed with a probation period of 10 (ten) years. Article 100 of the new Criminal Code is one of the articles born from the reformation of the new Criminal Code which has become pros and cons in the community. The reason is that this provision states that the judge can impose the death penalty with a probation period of 10 (ten) years by taking into account the provisions of commendable behavior and hope for improvement. If during the probation period the convict shows commendable behavior, then the death penalty can be changed into life imprisonment. On the other hand, if during the probation period the convict does not show commendable behavior and hope for reparation, then death penalty can be imposed by order of the attorney general based on presidential decree by considering the decision of the Supreme Court. Thus, the question arises as to what are the criteria for commendable behavior and hope for improvement. As a basis for the judge's consideration in deciding whether or not the convict deserves a change in sentence."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Abiyu Ilham Hafid
"Skripsi ini membahas mengenai konsep umum dalam penjatuhan pidana tambahan di Indonesia yang menganut postulat Ubi non est principalis, non potest esse accessories yang memiliki arti dimana tidak ada hal yang pokok, maka tidak mungkin ada hal tambahan. Namun pada praktik yang terjadi di Indonesia terdapat beberapa putusan dalam perkara tindak pidana korupsi yang menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti terhadap korporasi tanpa adanya pidana pokok. Korporasi yang dijatuhi pidana tambahan pembayaran uang pengganti tersebut tidak dijadikan tersangka atau terdakwa dalam perkara tersebut. Jaksa Penuntut Umum biasanya menyelesaikan perkara organ terlebih dahulu dan apabila terbukti adanya keterlibatan korporasi maka korporasi langsung dijatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Apabila mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung No 5 Tahun 2014, maka seharusnya pidana tambahan pembayaran uang pengganti tidak dapat dijatuhkan tanpa adanya pidana pokok, dan tidak dapat pula dijatuhkan terhadap korporasi yang bukan tersangka atau terdakwa dalam perkara tersebut. Jika pengenaan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti tersebut tetap dieksekusi, maka dikhawatirkan akan terjadi pelanggaran hak-hak seseorang untuk membela diri dimuka sidang atas apa yang dituduhkan kepadanya. Serta kedepannya dapat menimbulkan fenomena dimana seseorang yang diuntungkan atas perbuatan korupsi hanya dibebani untuk mengembalikan kerugian negara saja
This thesis discusses the general concepts in additional criminal charges in Indonesia which adhere to the postulate of non est principalis, non potest esse accessories, which means that there are no main points, so there is no additional matter. However, in practice in Indonesia there are a number of decisions in corruption cases that impose additional crimes in the form of payment of compensation money to corporations without the existence of a principal crime. Corporations that have been convicted of additional payment of replacement money are not suspects or defendants in the case. The Public Prosecutor usually settles the organ case first and if there is evidence of corporate involvement, the corporation will be immediately imposed with additional penalties in the form of compensation payment. When referring to the Supreme Court Regulation No. 5 of 2014, then the additional criminal payment of substitute money cannot be imposed without a principal crime, and it cannot also be imposed on a corporation that is not a suspect or defendant in the case. If the additional criminal charges in the form of payment of the substitute money continue to be executed, it is feared that there will be a violation of the rights of a person to defend himself before the trial for what is alleged to him. And in the future it can lead to a phenomenon where someone who benefits from corruption is only burdened to recover the state's losses."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Bima Bagus Saputra
"Manipulasi saham merupakan suatu perbuatan mengenai perilaku ilegal di pasar keuangan untuk memperoleh keuntungan. Kejahatan terhadap pasar modal memasuki fase yang mengerikan, modus pelaku mengikuti perkembangan dunia, dampak dari kejahatan manipulasi bisa merugikan pasar secara keseluruhan. Manipulasi saham dilakukan dengan berbagai metode dan cara, secara garis besar perbuatan manipulasi terbagi menjadi tiga yaitu action-based manipulation, information-based manipulation, dan transaction-based manipulation. Saham sebagai salah satu instrumen penggerak perekonomian, memerlukan regulasi dan penegakan hukum yang optimal untuk mencegah praktik manipulasi dan menjamin berjalannya pasar modal yang adil dan efisien. Penelitian ini menggunakan metode normatif dengan menggunakan studi literatur dan menitikberatkan pada tipologi micro comparison. Perbandingan dilakukan dengan menitikberatkan pada mekanisme murni dari unsur mikro hukum yaitu melihat keberlakuan regulasi dan penegakan hukum antara Indonesia dengan Hong Kong dengan mencantumkan beberapa kasus. Hasil perbandingan ditemukan bahwa dari segi regulasi, beberapa tindakan manipulasi pada pengaturan di Hong Kong belum diatur dalam peraturan Indonesia, seperti pengaturan cross border secara khusus dalam Securities and Futures Ordinance. Selain itu, setelah melakukan analisis terhadap beberapa kasus dijumpai upaya penegakan hukum dilakukan oleh instansi terdapat perbedaan yang signifikan khususnya dalam pengenaan delik dan penjatuhan sanksi. Di Hong Kong terdapat pengadilan khusus yang mengadili perkara pelanggaran pasar bernama Market Misconduct Tribunal. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa terdapat beberapa usulan reformulasi regulasi terhadap peraturan di Indonesia, perlu menambahkan bidang penggunaan alat atau skema perbuatan manipulasi saham terutama dalam penggunaan teknologi dan jaringan, menambahkan bidang lintas batas dan menambahkan pembatasan terhadap transaksi frekuensi tinggi berskala besar. Selain itu, perlu pengaturan terhadap whistle-blowing dan pengadilan ekonomi.
Stock manipulation is an act of illegal behaviour in the financial market for profit. Crimes against the capital market are entering a terrible phase, the mode of the perpetrator follows the development of the world, and the impact of manipulation crimes can harm the market as a whole. Stock manipulation is carried out by various methods and means, broadly speaking, the act of manipulation is divided into three, specifically action-based manipulation, information-based manipulation, dan transaction-based manipulation. As one of the instruments driving the economy, the capital market requires optimal regulation and law enforcement to prevent manipulation practices and ensure a fair and efficient capital market. This research uses a normative method using literature studies and focuses on the typology of micro comparison. The comparison is carried out by emphasising the pure mechanism of micro-legal elements, namely looking at the applicability of regulations and law enforcement between Indonesia and Hong Kong by listing several cases. The results of the comparison found that some acts of manipulation in Hong Kong regulations have not been regulated in Indonesian regulations, such as cross-border arrangements specifically in the regulation Securities and Futures Ordinance. In addition, after analyzing several cases, it was found that law enforcement efforts were carried out by agencies, and there were significant differences, especially in the imposition of offence and sanctions. In Hong Kong, there is a special court that tries market misconduct cases called the Market Misconduct Tribunal. The research concludes that there are several proposals for regulatory reformulation of regulations in Indonesia, it is necessary to add the field of using tools or schemes for stock manipulation, especially in the use of technology and networks, adding cross-border fields and adding restrictions on large-scale high-frequency transactions. In addition, it is necessary to regulate whistle-blowing and economic courts."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library