Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jugiarie Soegiarto
Abstrak :
Bougainville, karya F.Springer, bercerita tentang keterbatasan manusia dalam memberi dan menerima kebenaran cinta dan ketulusan pertemanan. Cerita berbingkai yang dikisahkan oleh tokoh Aku-Bo, bertutur tentang kehidupan Tommie Vaulant, sahabat tokoh Aku dan pergumulan Opa de Leeuw menghadapi kolonialisme. Dari segi bentuk Bougainville mengingatkan kits pada Max Havelaar karya Multatuli, yang disebut oleh tokoh cerita sebagai karya pelopor dan pengarang ideal. Selain Max Havelaar dan Multatuli, masih ada sejumlah karya dari nama besar lain, baik dari kalangan sastra maupun bukan, yang disebut dalam cerita ini. Oleh sebab itu, tesis ini menelaah jalinan unsur fiksi dan nonfiksi dalam cerita. Bagaimana kedua unsur itu berbaur dan dalam kombinasinya dengan bentuk cerita berbingkai mengaburkan Batas antara kenyataan dan rekaan. Dalam mengkaji jalinan fiksi dan nonfiksi itu dipakai semiotik sebagai landasan teori. Analisis sintaktis dipakai dalam menelaah unsur-unsur kenyataan, sedang dalam pemberian arti dipakai kajian semantis. Dari kajian semiotis di atas diperoleh kesimpulan bahwa kenyataan dan kebenaran adalah dua hal yang sekaligus hadir dalam cerita. Hadirnya unsur fiksi dan nonfiksi dalam sebuah cerita sering mengecoh pembaca. Pembaca yang terlena dan kurang cermat mempercayai sebuah cerita yang fiksi sebagai sebuah kenyataan yang sungguh terjadi. Sebuah cerita yang meski menyampaikan kebenaran tetaplah hanya suatu fiksi., sebuah rekaan yang dibangun oleh pengarang.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T10871
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jugiarie Soegiarto
Abstrak :
Bougainville, karya F.Springer, bercerita tentang keterhatasan manusia dalam memberi dan menerima kebenaran cinta dan ketulusan pertemanan. Cerita berbingkai yang dikisahkan oleh tokoh Aku-Bo, bertutur tentang kehidupan Tommie Vaulant, sahabat tokoh Aku dan pergumulan Opa de Leeuw menghadapi kolonialisme. Dua segi bentuk Bougainville mengingatkan kita pada Max Ilavelaar karya Multatuli, yang disebut oleh tokoh cerita sebagai karya pelopor dan pengarang ideal. Selain Max Havelaar dan Multatuli, masih ada sejumlah karya dari nama besar lain, baik dari kalangan sastra maupun bukan, yang disehut dalam cerita ini. Oleh sebab itu, tesis ini menelaah jalinan unsur fiksi dan nonfiksi dalam cerita. Bagaimana kedua unsur itu berhaur dan dalam kombinasinya dengan bentuk cerita berbingkai mengaburkan batas antara kenyataan dan rekaan. Dalam mengkaji jalinan fiksi dan nonfiksi itu dipakai semiotik sebagai landasan teori. Analisis sintaktis dipakai dalam menelaah unsur-unsur kenyataan, sedang dalam pemberian arti dipakai kajian semantis. Dan kajian semiotis di atas diperoleh kesimpulan hahwa kenyataan dan kebenaran adalah dua hai yang sekaligus nadir dalam cerita. Iladirnya unsur fiksi dan nonfiksi dalam sebuah cerita sexing mengecoh pembaca. pembaca yang terlena dan kurang cermat mempercayai sebuah cerita yang fiksi sebagai sebuah kenyataan yang sungguh terjadi. Sehuah cerita yang meski menyampaikan kebenaran tetaplah hanya suatu sebuah rekaan yang dibangun oleh pengarang Temuan yang didapat dari kajian dan analisis data mengenai hierark:i persepsi kesantunan bahasa Inggris, adalah sebagai berikut,ini. Pertama, ada perbedaan urutan kesantunan direktif antara mahasiswa dan penutur asli. Perbedaan yang mengganggu adalah perbedaan urutan yang bersangkutan dengan PI, IK, dan PB. Kedua, ada tanda atau isyarat bahwa perbedaan itu disebabk.an oleh interferensi bahasa ibu terhadap bahasa rnggris yang sedang dipelajarinya. Ketiga, perbedaan itu tampaknya juga disebabkan oleh kurangnya pemahaman mereka terhadap kosakata ataupun gramatika bahasa Inggris. Contohnya adalah munculnya kata 'would' dalam PB, yang menurut mahasi.swa adalah tipe ujaran direktif yang paling santun. Keempat, ketaklangsungan ujaran direktif yang terlalu melengkung atau jauh akan ditafsirkan sebagai ejekan atau tamparan terhadap muka PEN. Tampaknya hal ini tersirat dari posisi IK, yang menempati peringkat enam...
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1990
RB 00 J 427 b
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Nuzuliah Sani
Abstrak :
Karya sastra, baik yang berupa cerita pendek, cerita bersambung, novel, atau lainnya, tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Berdasarkan karya itu, para kritikus sastra dapat melakukan penelitian karya sastra yang didasarkan pada jenisnya (genre), motif, tema, atau lainnya. Banyak pengarang karya sastra Belanda yang cukup produktif, salah satu di antaranya adalah Cees Nooteboom. Cees Noteboom menghasilkan karya beberapa kumpulan proses, puisi, dan kisah perjalanan. Namun dari sekian banyak karya yang dihasilkannya, ada satu karya yang dianggap sukses, yaitu Rituelen, terbukti dengan diberikannya penghargaan Pegasus atas karyanya itu yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Berbeda dengan banyak karya sastra lainnya, Rituelen terdiri atas beberapa bagian. Bagian-bagian yang ada bukan didasarkan pada perubahan latar, tema, atau teknik penceritaan, namun didasarkan pada nama-nama tokoh yang mempengaruhi pribadi tokoh utamanya. Selain itu, pada awal tiap bab selalu didahului dengan prolog. Prolog yang ada ditulis dengan menggunakan bahasa yang berbeda-beda, yaitu bahasa Jerman pada bagian intermezo, bahasa Latin yang disertai terjemahannya pada bagian Arnold Taads, dan bahasa Inggris dan Perancis pada bagian Philip Taads. Ditinjau dari sudut motif, Rituelen mempunyai delapan motif penting yang mendukung tema cerita. Kedelapan motif tersebut antara lain: khayalan, alkohol, upacara minum teh, waktu, yoga, perangkat minum teh, biara dan suatu tempat yang tinggi. Kedelapan motif ini terangkai menjadi satu tema sentral, yaitu tindakan bunuh diri para tokohnya. Rituelen memiliki tema utama suatu sikap pesimistis yang diakhiri dengan tindakan bunuh diri para tokohnya. Baik tokoh utama maupun tokoh bawahan, walaupun dengan cara yang berbeda-beda, menempuh jalan bunuh diri yang dianggap satu_-satunya jalan keluar. Tokoh Arnold Taads mempunyai peranan yang besar sekali terhadap pembentukan pribadi Inni Wintrop. Sedangkan tindakan, perilaku, maupun cara hidup Philip Taads, anak Arnold Taads, tidak banyak pengaruhnya terhadap pembentukan tokoh Inni Wintrop. Demikian pula sebaliknya peranan tokoh Inni Wintrop juga tidak berpengaruh pada pembentukan pribadi Philip Taads. Philip Taads sebagai anak Arnold Taads tidak pernah mengenal siapa sebenarnya Arnold Taads itu, karena mereka memang tidak pernah saling bertemu. Sejalan dengan pemikiran ayahnya yang menganggap bahwa penderitaan_nya di dunia akan berakhir apabila dia mati, Philip Taads juga beranggapan bahwa hidup adalah suatu beban. Philip Taads telah mencoba untuk mengelakkan dirinya dari beban itu, namun dia tidak berhasil. Jalan keluar yang ditempuh oleh Philip Taads adalah melenyapkan beban itu, termasuk melenyapkan dirinya sendiri dengan jalan terjun dari atas jembatan dan tenggelam di sungai yang dalam. Sebagai kesimpulan dari penelitian ini adalah: ketiga tokoh di atas menunjukkan sikap yang pesimistis dalam menghadapi kehidupan di dunia, sehingga tema dari keseluruhan karya ini juga bersifat pesimistis. Sikap seper_ti itu berasal dari para tokoh yang ada didorong oleh sikap yang sama yang ada pada diri masing-masing pribadi para tokohnya.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1990
S15787
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gadis Arivia Effendi
Abstrak :
Di permukaan novel, The Name of The Rose menceritakan suatu cerita detektif yang menegangkan, karena menyajikan liku-liku pengungkapan pembunuhan di biara Melk, sebelah utara Itali, dan sekaligus menyuguhkan latar belakang abad Pertengahan lengkap dengan polemik agama dan politiknya. Namum ketika kita te rus mengikuti diskusi yang terjadi di antara tokoh-tokoh utama di dalam novel seperti William of Baskerville (seorang biarawati) dan Adso (muridnya), kita segera mengerti bahwa terdapat diskusi yang lebih fundamental dari sekadar ingin menyuguhkan suatu cerita, akan tetapi terdapat suatu diskusi semiotik yang intens. Jadi, bukan suatu kebetulan Eco membangun ceritanya lewat cerita detektif-kriminal yang penuh dengan tanda- karena dengan cerita yang demikian nalar abduktif dalam model abduktif-detektif, yang seluruh pembahasannya berada di wilayah filsafat. Penalaran abduktif diperkenalkan oleh filsuf Amerika, abad XX, Charles Sanders Peirce dalam teori tandanya. Pada dasarnya teori semiotik yang disuguhkan Eco dalam novelnya adalah upayanya untuk memperlihatkan penerapan semiotik dalam memecahkan pembunuhan yang terjadi dan upaya untuk mengerti pemikiran kaotis abad pertengahan yang otoriter dan statis. _ Kita berpikir dalam tanda_, demikian Peirce mengatakan, dan hanya melalui proses pertandaan, manusia masuk dalam ritme semiosis _ yang menjawab pertanyaan _bagaimana manusia berpikir?_ dan implikasi epistemologisnya dari _ Bagaimana kita mengetahui realitas?_. Upaya untu menjawab pertanyaan _ Bagaimana kita mengetahui realitas?_ adalah pada dasarnya untuk memperlihatkan akar dari tanda. Eco di sini memulai diskusinya dari para filsuf Yunani dan para filsuf abad Pertengahan yang pada dasarnya memulai pertanyaan dengan _ Apakah sebenarnya realitas itu?_ Diskusi ini membawa kita pada persoalan substansi universalisme, nominalisme, dan realisme. Diskusi ini juga memperkenalkan kita pada pemikiran-pemikiran Aristoteles, Ockham, Abelard, dan Bacon. Namun pada diskusi selanjutnya kita mengerti kemudian bahwa Eco bukan saja ingin mempertanyakan _Bagaimana kita mengetahui realitas?_ (lewat perdebatab semiotik) dan _apakah realitas itu?_ (lewat perdebatan filsafat). Eco meneruskan pertanyaannya pada _Apakah realitas itu sendiri ada?_ Bagi Eco sendiri realitas merupakan suatu sistem pertandaan yang mempunyai keterkaitan teks antar teks, di sini Eco sibuk dengan perdebatan-perdebatan Postmodern.
Depok: Universitas Indonesia, 1990
S16186
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library