Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yuliarni Syafrita
"Latar Belakang dan Tujuan Salah satu masalah dalam penanggulangan epilepsi ialah menegakkan diagnosis dan salah satu cara yang dapat dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis adalah membuat rekaman EEG. Adanya aktivitas epileptiform pada rekaman EEG interiktal sadar merupakan suatu petunjuk yang hampir pasti kearah diagnosis epilepsi Temuan aktivitas epileptiform pada EEG interiktal lebih tinggi pada pasien dengan frekwensi serangan yang sering atau pada rekaman yang segera dibuat dalam beberapa saat setelah serangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan gambaran klinis dan lokasi aktivitas epileptiform, pengaruh jarak waktu antara serangan terakhir dan frekwensi serangan terhadap munculnya aktivitas epileptiform pada rekaman EEG interiktal sadar pada penderita epilepsi parsial. Metodologi: Telah diteliti 84 orang penderita epilepsi parsial yang memenuhi persyaratan, berumur 15 - 60 tahun. Rekaman EEG interiktal sadar dilakukan satu kali selama 20 menit dengan menggunakan elektrode tempel menurut sistem 10-20, disertai prosedur aktivasi hiperventilasi dan perangsangan fotik. Semua hasil dianalisis dengan program SPSS dan uji X² test. Hasil Terdapat perbedaan yang bermakna mengenai lokasi aktivitas epileptiform antara kelompok dengan gejala klinis saat awitan berasal dari lobus temporal dibandingkan kelompok dengan gejala klinis saat awitan berasal dari lobus ekstratemporal (p-0,0018) Temuan aktivitas epileptiform pada kelompok yang direkam dalam waktu 6 x 24 jam setelah serangan lebih tinggi dibandingkan kelompok yang direkam setelah waktu tersebut (p = 0,016). Temuan aktivitas epileptiform pada kelompok yang mengalami serangan >1 kali/bulan dan kelompok yang mengalami serangan < 1 kali/bulan, tidak bisa dianalisa karena data yang tersedia tidak cukup. Kesimpulan: Ada hubungan gambaran klinis saat awitan dan lokasi aktivitas epileptiform pada mereka dengan gejala fokal saat awitan berasal dari lobus temporal. Temuan aktivitas epileptiform lebih tinggi pada kelompok yang direkam dalam waktu 6 x 24 jam setelah serangan, dibandingkan kelompok yang direkam setelah waktu tersebut. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57310
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irawaty Hawari
"Latar Belakang: Bagi orang dengan penyakit kronis seperti epilepsi, dimana kesembuhan sulit dicapai dan pengobatan memakan waktu lama, kualitas hidup menjadi salah satu tujuan utama.
Tujuan: Untuk mendapatkan rerata skor kualitas hidup serta faktor-faktor demografik dan medik yang dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita epilepsi.
Metodologi: Penelitian potong lintang deskriptif menggunakan instrumen Quality of Life in Epilepsy (QOLIE)-31 untuk menilai kualitas hidup 145 penderita epilepsi yang berobat jalan di Poliklinik Epilepsi RSCM. Sampel diambil secara konsekutif sejak Agustus 2005-Desember 2005. Dilakukan deskripsi demografi dan medik, serta analisis bivariate, multivariate untuk menentukan faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan skor total QOLIE maupun skor masing-masing komponen QOLIE (kekhawatiran akan serangan, kualitas secara umum, kesejahteraan emosional, energilfatigue, fungsi kognitif, efek obat, fungsi sosial).
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan rerata skor total QOLIE 67.62 ± 14.55. Faktor-faktor yang mempengaruhi (p< 0.05) rendahnya skor total QOLIE-31 adalah tingkat pendidikan, frekuensi serangan dan jenis pengobatan. Tingkat pendidikan berhubungan kuat dengan kekhawatiran akan serangan; frekuensi serangan dengan kekhawatiran akan serangan dan fungsi sosial; jenis pengobatan dengan fungsi kognitif dan efek obat.
Simpulan: Tingkat pendidikan rendah, frekuensi serangan yang sering dan jenis pengobatan politerapi berhubungan kuat dengan rendahnya kualitas hidup.

Background: For persons with a chronic disease such as epilepsy, where a cure is not attainable and therapy may be prolonged, quality of life (QoL) has come to be seen is an important goal.
Objective: is determine mean scores of QoL, demographic and clinical factors that influence the epileptic patient?s QoL.
Method: Cross-sectional study using QOLIE-31 instrument to determine the quality of life of 145 ambulatory epileptic patients at Epileptic Clinic of Department of Neurology-Ciptomangunkusumo Hospital. Samples were taken consecutively from August 2005 to December 2005. Clinical and demographic data were collected Bivariate and multivariate analysis were used to determine which factors influenced QOLIE-3 either the total scores or the scores from each component of the QOLIE-31 (seizure worry, overall quality of life, emotional well-being, energy/fatigue, cognitive function, medication effect and social function).
Result: The mean total score of QOLIE-31 was 67.62 t 14.55. The variables that were most strongly predicted (p
Conclusion: low education level, high frequency of seizures, and antiepileptic polytherapy are correlated with lower QOLIE-31 scores."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21315
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roezwir Azhary
"untuk mengetahui berapa banyak penderita epilepsi parsial kompleks yang menampilkan aktivitas epileptik pada rekaman EEG jika ditidurkan dengan kloralhidrat
Kebanyakan dari rekaman EEG diwaktu bangun normal pada penderita yang didiagnosis dengan epilepsi Subdivisi EEG bagian Neurologi FKUI/RSUPNCM mendapatkan kelainan spileptik 23% dari 483 rekaman BEG selama tahun 1996 dari seluruh pasien yang dikirim dengan diagnosis epilepsi Untuk meningkatkan nilai diagnostik EEG telah mengembangkan berbagai macam tehnik Pada penelitian ini kami mencoba melakukan induksi tidur sebagai suatu prosedur prosedur der gan kloralhidrat 50 mg/kg berat badan pasien. studi pra dapat melakukan tes, semua pasien yang secara klinis didiagnosis sebagai epilepsi parsial kompleks yang berkembang menjadi serangan umura Upa 13-60 tahun, masih mendapat serangan dalam 1 tahun terakhir, tidak menderita penyakit darah tinggi dan jantung. Sebelum direkam, semus parlen harus makan pagi dan melanjutkan makan obat anti epilepsi sesuai dosis yang telah ditetapkan sebelumnya. Kami memakai alat EEG merek Neurofax 12 saluran dengan EOG dan ECG, filter 70 Hz dan elektroda sistim 10-20 ditambah sepasang elektrode zygomatikus. Semua subyek direkam selama 14 menit waktu bangun, kemudian diberikan 50 mg/kg berat badan klorelhidrat, setelah menunggu 15-30 menit rekaman dilanjutkan selama periode waktu yang sama. Studi dilakukan mulai dari bulan Mei sampai Oktober 1996. Dari 36 pasien yang memenuhi kriteria, 2 dikeluarkan karena tidak bisa tidur dalam waktu yang telah ditentukan. Ada 13 penderita laki-laki (38,2%) dan 21 penderita wanita (61,8%) dari 34 penderita. Usia rata-rata 27,2 ± 1,37. Aktivitas epileptik terlihat pada 11 dari 34 (32,4%) penderita pada rekaman EEG banggun dan 20 dari 34 (58,8%) pada rekaman tidur dimana perbedaan tersebut cukup bermakna secara statistik P<0,05. Empat dari 20 penderita (20%) aktivitas epileptik terlihat pada lobus frontal dan 16 dari 20 penderita (80%), terlihat pada lobus temporal. Kebanyakan aktivitas epileptik (80%) terlihat pada stadium II tidur non REM dan 55% pada stadium III tidur non REM. Pada stadium 1 aktivitas epileptik 25%, namun ada beberapa rekaman dimana stadium I tidur non REM tak terlihat. Stadium IV tidur non REM tidak tercapai dalam penelitian ini. Aktivitas cepat bervoltage rendah terlihat tidak terlalu menyolok pada setiap rekaman. Kloralhidrat dapat digunakan sebagai obat penginduksi tidur dengan hasil yang cukup baik, dimana aktivitas cepat voltage rendah terlihat tidak begitu menyolok. Penderita dengan aktivitas epileptik terlihat lebih banyak pada rekaman tidur dibandingkan dengan rekaman diwaktu bangun dan perbedaan tersebut bermakna secara statistik.

to find out how many people with complex partial epilepsy display epileptic activity on EEG recordings if put to sleep with chloralhydrate
Most of the EEG recordings when awake were normal in patients diagnosed with epilepsy. The EEG Subdivision of the Neurology Department, FKUI/RSUPNCM, found spileptic abnormalities, 23% of the 483 BEG recordings during 1996 from all patients sent with a diagnosis of epilepsy. To increase the diagnostic value of EEG, we have developed various techniques. In this study, we tried to induce sleep as a procedure using 50 mg chloralhydrate/kg of the patient's body weight. Preliminary studies were able to carry out tests, all patients who were clinically diagnosed as complex partial epilepsy that developed into attacks aged up to 13-60 years, still had attacks in the last 1 year, did not suffer from high blood pressure or heart disease. Before being recorded, Semus Parlen must eat breakfast and continue taking anti-epileptic drugs according to the previously determined dose. We use a 12 channel Neurofax brand EEG device with EOG and ECG, 70 Hz filter and 10-20 electrode system plus a pair of zygomatic electrodes. All subjects were recorded for 14 minutes while awake, then given 50 mg/kg body weight of chlorelhydrate, after waiting 15-30 minutes the recording was continued for the same time period. The study was conducted from May to October 1996. Of the 36 patients who met the criteria, 2 were excluded because they were unable to sleep within the specified time. There were 13 male sufferers (38.2%) and 21 female sufferers (61.8%) out of 34 sufferers. Mean age 27.2 ± 1.37. Epileptic activity was seen in 11 of 34 (32.4%) patients on waking EEG recordings and 20 of 34 (58.8%) on sleeping recordings where the difference was statistically significant at P<0.05. In four of 20 patients (20%), epileptic activity was seen in the frontal lobe and in 16 of 20 patients (80%), it was seen in the temporal lobe. Most epileptic activity (80%) was seen in stage II non-REM sleep and 55% in stage III non-REM sleep. In stage 1, epileptic activity is 25%, but there are several recordings where stage I non-REM sleep is not visible. Stage IV non-REM sleep was not achieved in this study. Fast, low-voltage activity appears less prominent in each recording. Chloralhydrate can be used as a sleep-inducing drug with quite good results, where low voltage fast activity does not appear to be so striking. Patients with epileptic activity were seen more frequently in sleep recordings compared to waking recordings and this difference was statistically significant.
"
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Panjaitan, Dameria Sri Indahwati
"Latar Belakang. Pasien epilepsi memerlukan obat antiepilepsi (OAE) dalam waktu lama, minimal 1-2 tahun.OAE yang terbanyak digunakan di Indonesi adalah OAE generasi lama yaitu karbamazepin, fenitoin, fenobarbital, dan valproat.Karbamazepin, fenitoin, dan fenobarbital dapat menyebabkan stres oksidatif dan peningkatan kolesterol sedangkan menyebabkan resistensi insulin.Keempat OAE dapat menyebabkan peningkatan homosistein. Hal tersebut dapat menyebabkan disfungsi endotel yang merupakan awal dari aterosklerosis.Ketebalan kompleks intima-media (KIM) karotis komunis dapat digunakan sebagai indikator dari aterosklerosis.Oleh karena itu diperlukan pengukuran ketebalan KIM karotis komunis pada pasien epilepsi yang menggunakan OAE generasi lama untuk deteksi awal aterosklerosis.
Metode penelitian. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang untuk melihat perbandingan ketebalan KIM karotis komunis kelompok studi (pasien epilepsi) dengan kelompok kontrol (populasi normal) dengan usia dan jenis kelamin yang disesuaikan. Variabel independen adalah usia, jenis kelamin, jumlah OAE, jenis OAE, dan durasi OAE.
Hasil. Didapatkan sampel masing-masing 46 subjek kelompok studi dan kontrol. Median ketebalan KIM karotis komunis kelompok studi (0,49 (0,36-1,40) mm) lebih dari kontrol (0,43 (0,35-0,77) mm) secara bermakna. Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara usia, jenis kelamin, jumlah OAE, jenis OAE, durasi OAE dengan ketebalan KIM karotis komunis pada pasien epilepsi.
Kesimpulan. Ketebalan KIM karotis komunis pasien epilepsi yang menggunakan OAE generasi lama lebih tebal dari kelompok kontrol.

Background. Epilepsy patients requires long-term antiepileptic drugs (AEDs) at least for 1-2 years. The most common AEDs used in Indonesia are first generation AEDs which are carbamazepine (CBZ), phenytoin (PHT), phenobarbital (PB), and valproate (VPA). The first three AEDs may cause oxidative stress and increased cholesterol level while VPA causes insulin resistance. All AEDs cause increased homocysteine level. All those factors could cause endothelial dysfunction which is known as initial process in atherosclerosis. Common carotid intima-media thickness (CC IMT) is a well-known indicator of atherosclerosis. Therefore CC IMT measurement on epilepsy patients with old generation AEDs is required for early detection of atherosclerosis.
Methods. This was a cross-sectional study that comparing CC IMT of epilepsy patients and control group (normal subjects) with age and sex matched. The independent variables were age, sex, number of AEDs, type of AEDs, and duration of AEDs.
Results. There were 46 subjects for each group. The CC IMT median of epilepsy patients (0,49 (0,36-1,40) mm) were significantly thicker than control group (0,43 (0,35-0,77) mm). There were no association of age, sex, number of AEDS, type of AEDs, duration of AEDs with CC IMT.
Conclusions. CC IMT of epilepsy patients with first generation AEDs was higher than control group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubna Muhammad Qadri
"Latar belakang : Reaksi simpang yang terjadi akibat penggunaan OAE berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien epilepsi. Angka kejadian reaksi simpang akibat penggunaan OAE dilaporkan mencapai 80%. Sampai saat ini belum didapatkan studi atau instrumen yang valid dalam menilai reaksi simpang pada penggunaan OAE di Indonesia. Tujuan dari studi ini adalah melakukan validasi terhadap kuesioner Liverpool Adverse Events Profile (LAEP) versi bahasa Indonesia dan mendapatkan prevalensi reaksi simpang serta faktor yang berpengaruh.
Metode penelitian : Dilakukan studi observasional potong lintang pada pasien epilepsi dengan dosis OAE yang stabil di poliklinik epilepsi rumah sakit Cipto Mangunkusumo. Kuesioner diterjemahkan dari versi bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dan dilakukan penerjemahan kembali ke bahasa aslinya untuk menilai ketepatan dari bahasa. Validitas dan reliabilitas diuji dengan menggunakan koefisien korelasi Spearman dan cronbach's alpha. Faktor yang dianalisis adalah durasi epilepsi, onset epilepsi, frekuensi bangkitan, tipe epilepsi, etiologi epilepsi, sindrom epilepsi, jumlah OAE, durasi OAE dan komorbiditas.
Hasil : Didapatkan 19 variabel pertanyaan yang valid dengan rentang koefisien korelasi 0,465 sampai 0,690. Cronbach?s alpha 0,846. Prevalensi reaksi simpang pada pasien epilepsi yaitu 91%. Reaksi simpang yang sering terjadi adalah kelelahan (67,8%), mengantuk (66,7%), gangguan daya ingat (62,2%) dan kesulitan berkonsentrasi (56,7%). Variabel klinis yang berpengaruh terhadap kejadian reaksi simpang yaitu politerapi (p=0.022).
Kesimpulan : Kuesioner Liverpool Adverse Events Profile versi bahasa Indonesia merupakan instrumen yang valid dan reliabel dalam menilai reaksi simpang pada penggunaan OAE pada pasien epilepsi. Politerapi merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kejadian reaksi simpang.

Background : Adverse effects (AE) of antiepileptic drugs (AEDs) affect the quality of life of patients with epilepsy. The prevalence of AE of AEDs in patients with epilepsy is up to 80%. There are no studies nor validated instruments in measuring AE of AEDs in patients with epilepsy in Indonesia. This study aimed to validate the Indonesian version of The Liverpool Adverse Events Profile (LAEP) also to determine the prevalence of AE of AEDs in patients with epilepsy and related factors.
Methods : An observational cross-sectional study was carried out on epilepsy outpatients clinic in Cipto Mangunkusumo Hospital. Patient treated with a stable dose of AED were enrolled. The questionnaire was translated from the English version into Indonesian version and then was back-translated to examine its accuracy. The validity and reliability was tested by Spearman correlation coefficient and cronbach?s alpha. The Indonesian version of LAEP was selfadministered by the patient. The analyzed factors consisted of epilepsy duration, onset of epilepsy, seizure frequency, type of epilepsy, etiology and epilepsy syndrome, number of AEDs, AEDs duration and comorbidity.
Results : All of the 19 variable of questions were valid, with range of correlation coefficient from 0.465 to 0.690. The cronbach?s alpha was 0.846. Ninety patients were enrolled. The prevalence of AE of AEDs in patients with epilepsy was 91%. The most common AE were tiredness (67.8%), sleepiness (66.7%), memory problems (62.2%) and difficulty in concentrating (56.7%). Clinical variables that influenced the AE was polytherapy.
Conclusion : The Indonesian version of the Liverpool Adverse Events Profile is a valid and reliable instrument in assessing AE of AEDs in patients with epilepsy. Almost all of the patients in this study experienced an AE. Polytherapy was the related factors of AE of AEDs.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library