Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M.Ade Putra
"Pendahuluan Biportal Endoscopic Spine Surgery (BESS) merupakan salah satu metode minimal invasif untuk melakukan dekompresi struktur saraf pada Degeneratif Lumbal Canal Stenosis (DLCS). Teknik ini memiliki keunggulan dibandingkan teknik lainnya dalam preservasi jaringan lunak dan struktur posterior tulang belakang. Penambahan prosedur discectomy pada pembedahan terbuka diketahui akan menyebabkan penurunan tinggi diskus secara signifikan, mempercepat proses degenerasi pada diskus itu sendiri sehingga akan merubah biomekanika segmen vertebra dan menimbulkan nyeri bahkan instabilitas di kemudian hari. Untuk itu, dilakukan penelitian dengan membandingkan hasil luaran klinis dan radiologis pada DLCS yang dilakukan BESS dengan penambahan discectomy dan tanpa discectomy
Metodologi Penelitian ini mengambil data dari 48 subjek DLCS yang memenuhi kriteria inklusi yang telah menjalani prosedur BESS. Kemudian dibagi menjadi kelompok BESS discectomy sebanyak 24 subjek dan BESS tanpa discectomy sebanyak 24 subjek secara consecutive sampling. Pada masing-masing kelompok dinilai luaran klinis berupa skala nyeri Numerical Rating Scale (NRS) dan skor Oswestry Disability Index (ODI) pre dan 1 tahun pasca operasi. Luaran radiologis dinilai berupa tinggi diskus pada x ray lumbal lateral berdiri pre dan pasca 1 tahun operasi dan adanya instabilitas dinilai dari translasi sagittal dinamik, angulasi sagittal dinamik pada x ray lumbal dinamik berdiri 1 tahun pasca operasi
Hasil Dari 48 orang subjek pada penelitian ini, rerata usia sebesar 57.56+8.37, sebagian besar berjenis kelamin perempuan 31 (64.6%), dengan level stenosis terbanyak pada L4-5 yaitu sebesar 64.6%, diikuti L5-S1 sebesar 25% dan L3-4 10.4%. Pada kelompok BESS discectomy didapatkan perbedaan yang bermakna terhadap skala nyeri NRS back dan leg pain, skor ODI, serta penurunan tinggi diskus pre dan pasca operasi 1 tahun (p<0,001), begitu juga dengan kelompok BESS tanpa discectomy. Perbandingan perbedaan penurunan tinggi diskus antara kedua kelompok pasca 1 tahun operasi, menunjukkan perbedaan yang signifikan yaitu pada BESS discectomy dengan rerata 1,63 + 0,87 mm, sedangkan pada BESS tanpa discectomy sebesar 0,46 + 0,36 mm (p <0,001). Perbandingan terjadinya instabilitas tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok ( p=0,234)
Diskusi dan Kesimpulan Prosedur BESS pada kasus DLCS memberikan penurunan skala nyeri NRS back pain dan leg pain yang sama baiknya pada kelompok BESS discectomy dan BESS tanpa discectomy. Tidak didapatkan perbedaan terjadinya instabilitas pada kedua kelompok, meskipun didapatkan perbedaan penurunan tinggi diskus yang signifikan antara kedua kelompok setelah 1 tahun operasi.

Introduction Biportal Endoscopic Spine Surgery (BESS) is a minimally invasive method for decompressing nerve structures in Degenerative Lumbar Canal Stenosis (DLCS). This technique has advantages over other techniques in the preservation of soft tissue and posterior structures of the spine. The addition of a discectomy procedure to open surgery is known to cause a significant reduction in disc height, accelerate the degeneration process of the disc itself so that it will change the biomechanics of the vertebral segments and cause pain and even instability in the future. For this reason, research was conducted by comparing the clinical and radiological outcomes of DLCS performed by BESS with the addition of discectomy and without discectomy.
Materials and Methods This study took data from 48 DLCS subjects who met the inclusion criteria who had undergone the BESS procedure. Then divided into BESS discectomy group with 24 subjects and BESS without discectomy with 24 subjects using consecutive sampling. In each group, clinical outcomes were assessed in the form of the Numerical Rating Scale (NRS) pain scale and Oswestry Disability Index (ODI) scores pre and 1 year after surgery. Radiological outcomes were assessed in the form of disc height on standing lateral lumbar x-ray pre and post 1 year of surgery and the presence of instability was assessed from dynamic sagittal translation, dynamic sagittal angulation on standing dynamic lumbar x ray 1 year post surgery.
Results Of the 48 subjects in this study, the average age was 57.56+8.37, the majority were female 31 (64.6%), with the highest level of stenosis at L4-5 (64.6%), followed by L5-S1 at 25% and L3-4 10.4%. In the BESS discectomy group, there were significant differences in the NRS back and leg pain scales, ODI scores, and reduction in disc height pre and post-operatively 1 year (p<0.001), as well as in the BESS group without discectomy. Comparison of the difference in disc height reduction between the two groups after 1 year of surgery, showed a significant difference,in BESS discectomy with a mean of 1.63 + 0.87 mm, while in BESS without discectomy it was 0.46 + 0.36 mm (p <0.001 ). Comparison of the occurrence of instability did not show a significant difference between the two groups (p=0.234)
Discussion and Conclusion The BESS procedure in DLCS cases provided an equally good reduction in the NRS back pain and leg pain scales in the BESS discectomy and BESS without discectomy groups. There was no difference in the occurrence of instability in the two groups, although there was a significant difference in disc height reduction between the two groups after 1 year of surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Haryo Wicaksono
"Latar Belakang: Stenosis Spinal Lumbar (LSS) adalah kondisi yang umum pada populasi lanjut usia, ditandai dengan penyempitan kanal spinal atau foramen intervertebralis, yang mengarah pada kompresi akar saraf. Kondisi ini sering dikaitkan dengan nyeri punggung bawah, penyebab utama kecacatan dan penurunan kualitas hidup. Atrofi otot multifidus sering diamati pada pasien dengan LSS, berkontribusi pada ketidakstabilan dan nyeri di tulang belakang lumbar. Faktor-faktor seperti usia, obesitas, jenis pekerjaan, penggunaan korset, dan durasi penyakit telah dikaitkan dengan pengembangan atrofi otot multifidus.
Metode: Studi potong lintang ini dilakukan di RSUD Pandanarang Boyolali, melibatkan 45 pasien dengan LSS berusia 50-70 tahun. Sampel purposif digunakan untuk memilih peserta berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi tertentu. Variabel seperti usia, pekerjaan, Indeks Massa Tubuh (BMI), penggunaan korset, dan durasi penyakit dianalisis. Studi ini mendapat persetujuan etik dari Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dan RSUD Pandan Arang Boyolali. Analisis statistik dan regresi logistik digunakan untuk menguji pengaruh faktor-faktor ini terhadap atrofi otot multifidus.
Hasil: Studi ini mengidentifikasi obesitas (OR=65.02; p=0.001) dan usia di atas 60 tahun (OR=11.38; p=0.47) sebagai faktor dominan yang berhubungan dengan atrofi otot multifidus pada pasien LSS. Jenis kelamin, pekerjaan, dan durasi penggunaan korset tidak menunjukkan hubungan signifikan dengan atrofi otot (P> 0.05). Pasien berusia di atas 60 tahun menunjukkan risiko lebih tinggi mengalami atrofi otot multifidus.
Kesimpulan: Temuan ini menekankan pentingnya mengatasi obesitas dan memantau pasien lanjut usia secara dekat untuk tanda-tanda atrofi otot multifidus dalam pengelolaan LSS. Kurangnya hubungan signifikan dengan jenis kelamin, pekerjaan, dan penggunaan korset menunjukkan bahwa intervensi harus terutama berfokus pada manajemen berat badan dan perubahan degeneratif terkait usia. Penelitian lebih lanjut dengan ukuran sampel yang lebih besar direkomendasikan untuk mengevaluasi dampak intervensi yang ditargetkan pada pencegahan atrofi otot multifidus pada populasi pasien ini.

Background : Lumbar Spinal Stenosis (LSS) is a prevalent condition in the elderly population, characterized by the narrowing of the spinal canal or intervertebral foramina, leading to nerve root compression. This condition is often associated with low back pain, a significant cause of disability and reduced quality of life. Multifidus muscle atrophy is frequently observed in patients with LSS, contributing to instability and pain in the lumbar spine. Factors such as age, obesity, occupation type, corset usage, and disease duration have been implicated in the development of multifidus muscle atrophy.
Methods : This cross-sectional study was conducted at RSUD Pandanarang Boyolali, involving 45 patients with LSS aged 50-70 years. Purposive sampling was used to select participants based on specific inclusion and exclusion criteria. Variables such as age, occupation, Body Mass Index (BMI), corset usage, and disease duration were analyzed. The study received ethical approval from the Ethics Committee of the Faculty of Medicine, University of Indonesia, and RSUD Pandan Arang Boyolali. Statistical analysis and logistic regression were employed to examine the influence of these factors on multifidus muscle atrophy.
Results:The study identified obesity (OR=65.02; p=0.001) and age over 60 years (OR=11.38; p=0.47) as dominant factors associated with multifidus muscle atrophy in LSS patients. Gender, occupation, and duration of corset use did not show a significant relationship with muscle atrophy (p>0.05). Patients over 60 years of age exhibited a higher risk of developing multifidus muscle atrophy.
Conclusion: The findings underscore the importance of addressing obesity and monitoring elderly patients closely for signs of multifidus muscle atrophy in the management of LSS. The lack of significant associations with gender, occupation, and corset usage suggests that interventions should primarily focus on weight management and age-related degenerative changes. Further research with larger sample sizes is recommended to evaluate the impact of targeted interventions on preventing multifidus muscle atrophy in this patient population.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arsanto Triwidodo
"Kordoma adalah jenis tumor ganas dan langka yang biasanya terjadi di tulang belakang, terutama sakrum atau lumbosakrum. Tumor tersebut mengakibatkan gangguan struktur anatomi tulang belakang yang mengarah ke kondisi cacat ketika daerah yang terkena diangkat. Operasi rekonstruksi menggunakan implan tulang belakang yang terdiri atas kombinasi batang dan sekrup saat ini masih menunjukkan tingkat kegagalan dan kompleksitas pembedahan yang tinggi. Selain itu, hanya sedikit prostesis yang dapat memfasilitasi preservasi saraf dan rekonstruksi parsial. Oleh karena itu diperlukan prostesis baru untuk memenuhi kebutuhan rekonstruksi tulang belakang.
Penelitian ini merupakan proses pengembangan desain baru prostesis lumbal dan sakrum berdasarkan studi antropometri yang berpotensi untuk diproduksi dalam skala besar dan memfasilitasi preservasi saraf maupun rekonstruksi parsial. Desain dikembangkan dengan tahapan identifikasi kebutuhan, pembuatan konsep, pemilihan konsep dan material, pengembangan detail desain, dan tahap akhir berupa pembuatan prototipe. Pada tahap akhir dilakukan pengujian fisik dan instalasi pada kadaver menggunakan bahan polylactic acid (PLA) dan aluminium serta pengujian virtual dengan finite element method (FEM). Proses ini dilanjutkan dengan diskusi ahli dan uji biomekanik menggunakan prostesis berbahan dasar titanium. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Anatomi Departemen Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dan Laboratorium Teknik Mesin Fakultas Mesin Universitas Indonesia (FTUI) pada Januari 2020–Juni 2022.
Dimensi ukuran morfometri tulang lumbal laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan, kecuali parameter spinal canal depth, vertebral body height anterior, ventral straight breadth, dan transverse diameter of the base (p < 0,05). Pada proses pengembangan desain dan konsep, terdapat 3 spesifikasi produk utama yaitu desain yang menyerupai anatomi asli, sistem modular, dan implan dengan beberapa ukuran. Ti-6Al-4V dipilih untuk material berdasarkan skor terbaik untuk evaluasi material dan persyaratan kinerja kepadatan rendah, kekuatan tarik tinggi, kekuatan luluh tinggi, young modulus rendah, ketahanan aus tinggi, ketahanan korosi tinggi, dan biaya rendah. Pembobotan faktor properti dilakukan menggunakan metode logika digital. Selanjutnya pada pengujian FEM, desain yang telah dikembangkan memenuhi kriteria untuk penggunaan sehari-hari dengan tegangan tertinggi 149,53 MPa dan faktor keamanan 2,56 kali. Berdasarkan uji biomekanik kondisi nyata, tegangan terkoreksi terbesar untuk prostesis adalah pada kondisi pembebanan fleksi 118,6 MPa pada komponen sakrum S2 kanan. Semua kondisi pembebanan pada masing-masing komponen menunjukkan ketahanan terhadap tegangan dan tidak mengalami kegagalan sama sekali.
Prostesis lumbosakral yang baru dirancang ini menunjukkan hasil yang memuaskan dari segi teknik bedah, pemasangan, maupun uji biomekanik serta dapat menjadi pilihan metode bedah untuk rekonstruksi defek tulang vertebra.

Cordoma is a rare and malignant type of tumor that usually occurs in the spine, especially the sacrum or lumbosacrum. The tumor resulted in disruption of the anatomical structure of the spine leading to a deformed condition when the affected area was removed. Reconstructive surgery using spinal implants consisting of a combination of rods and screws currently still shows a high failure rate and surgical complexity. Moreover, few prostheses can facilitate nerve preservation and partial reconstruction. Therefore a new prosthesis is needed to meet the needs of spinal reconstruction.
This research is the process of developing a new design of lumbar and sacral prostheses based on anthropometric studies that have the potential to be produced on a large scale and facilitate nerve preservation and partial reconstruction. The design is developed with the stages of needs identification, concepts generation, concepts and materials selection, detailed designs development, and prototype production. In the final stage, physical testing and installation was carried out on the cadaver using polylactic acid (PLA) and aluminum as well as virtual testing using the finite element method (FEM). This process was followed by expert discussions and biomechanical tests using titanium-based prostheses. This research was conducted at the Anatomy Laboratory of the Department of Anatomy, Faculty of Medicine, University of Indonesia (FMUI) and Mechanical Engineering Laboratory, Faculty of Engineering, University of Indonesia (FEUI) in January 2020–June 2022.
The morphometric dimensions of the male lumbar spine were larger than those of the female, except for the parameters spinal canal depth, anterior vertebral body height, ventral straight breadth, and transverse diameter of the base (p <0.05). In the design and concept development process, there are 3 main product specifications, namely designs that mimic the original anatomy, modular systems, and implants of several sizes. Ti-6Al-4V was selected for the material based on the best score for material evaluation and performance requirements of low density, high tensile strength, high yield strength, low young modulus, high wear resistance, high corrosion resistance and low cost. Property factor weighting is done using a digital logic method. Furthermore, in the FEM test, the design that has been developed meets the criteria for daily use with a maximum stress of 149.53 MPa and a safety factor of 2.56 times. Based on real-condition biomechanical tests, the largest corrected stress for the prosthesis is at a flexion load of 118.6 MPa on the right sacral component S2. All loading conditions on each component show resistance to stress and no failure at all.
This newly designed lumbosacral prosthesis has shown satisfactory results in terms of surgical technique, fitting, and biomechanical tests and can be the preferred surgical method for reconstruction of vertebral defects.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tjokorda Agung Yavatrisna Vidyaputra
"Lumbar Degenerative Disc Disease (LDDD) adalah salah satu penyebab utama nyeri punggung bawah pada populasi dewasa. Vitamin D, reseptor vitamin D (VDR), dan aggrecan serum memiliki peran dalam patogenesis degenerasi diskus. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hubungan antara kadar serum vitamin D, reseptor vitamin D, dan aggrecan dengan derajat keparahan LDDD pada populasi dewasa. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan 85 subjek usia dewasa yang didiagnosis LDDD. Kadar serum vitamin D, VDR, dan aggrecan diukur menggunakan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Derajat keparahan LDDD ditentukan berdasarkan Klasifikasi Pfirrmann melalui pencitraan MRI. Data dianalisis menggunakan uji statistik Chi-square, ROC, dan korelasi Pearson atau Spearman. Terdapat hubungan signifikan antara kadar vitamin D dengan derajat keparahan LDDD (p=0,01), dengan subjek yang memiliki kadar vitamin D insufisiensi lebih cenderung mengalami LDDD sedang. Sebaliknya, kadar aggrecan menunjukkan hubungan negatif yang signifikan dengan derajat LDDD (p<0,001), di mana kadar aggrecan yang lebih rendah berkorelasi dengan keparahan LDDD yang lebih tinggi. Tidak ditemukan hubungan signifikan antara kadar VDR dan keparahan LDDD (p=0,492). Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan signifikan antara kadar vitamin D dan aggrecan serum dengan derajat keparahan LDDD pada populasi dewasa. Kadar aggrecan yang rendah dan insufisiensi vitamin D berhubungan dengan LDDD yang lebih berat, sedangkan VDR tidak menunjukkan hubungan yang signifikan.

Lumbar Degenerative Disc Disease (LDDD) is a leading cause of low back pain (LBP) in the adult population. Serum vitamin D, vitamin D receptor (VDR), and aggrecan are believed to play roles in the pathogenesis of disc degeneration. This study aims to evaluate the relationship between serum levels of vitamin D, VDR, and aggrecan with the severity of LDDD in adults. A cross-sectional study was conducted with 85 adult subjects diagnosed with LDDD. Serum levels of vitamin D, VDR, and aggrecan were measured using enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). The severity of LDDD was graded using the Pfirrmann classification via MRI imaging. Statistical analyses were performed using Chi-square tests, ROC analysis, and Pearson or Spearman correlation. A significant association was found between vitamin D levels and the severity of LDDD (p=0.01), with subjects having insufficient vitamin D levels more likely to experience moderate LDDD. In contrast, aggrecan levels showed a significant negative association with LDDD severity (p<0.001), where lower aggrecan levels correlated with higher LDDD severity. No significant relationship was observed between VDR levels and LDDD severity (p=0.492). This study demonstrates a significant relationship between serum vitamin D and aggrecan levels with the severity of LDDD in adults. Low aggrecan levels and vitamin D insufficiency are associated with more severe LDDD, while VDR levels showed no significant association."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Sakti Jiwandono
"Herniasi Nukleus Pulposus (HNP) lumbal adalah kondisi yang disebabkan proses degenerasi dari diskus intervertebralis (DIV) yang sering terjadi pada area lumbal. Kondisi ini dapat berkaitan dengan keluhan nyeri punggung bawah yang mengakibatkan kesakitan dan penurunan dari kualitas hidup pasien. Tindakan Percutaneous Laser Disc Reconstruction (PLDR) adalah tindakan yang diaplikasikan ke jaringan DIV untuk menginduksi proses regenerasi, perbaikan pada diskus yang mengalami kerusakan, dan mengurangi nyeri pada pasien. Studi prospektif cohort ini dilakukan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan RSUD Dr. Moewardi Surakarta, yang melibatkan 21 pasien dengan HNP lumbal. Pemilihan sampel berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi tertentu menggunakan sampel purposif. Variabel yang dianalisis meliputi Visual Analoque Scale (VAS), Oswestry Disability Index (ODI), PROMIS (Patient-Reported Outcomes Measurement Information System) Global 10, dan Pfirrmann Grading berdaraskan MRI. Studi ini memperoleh persetujuan etik dari Komite Etik RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Analisis statistik yang digunakan untuk menguji luaran klinis tindakan PLDR pada pasien HNP Lumbal adalah Uji Mann Whitney (p<0.05) dan Wilcoxon rank test. Evaluasi setelah 3 bulan pasca tindakan PLDR yang diberikan kepada pasien dengan HNP lumbal memberikan perbaikan rasa nyeri berdasarkan skor VAS sebesar 51,3% (rata-rata 7.25±0.68 menjadi 3.67±0.48). Tindakan PLDR juga memberikan perbaikan pada kualitas hidup pasien di mana terdapat perbaikan skor ODI sebesar 58,8% (rata-rata 38.57±7.19 menjadi 15.90±4.84) dan terdapat perbaikan skor SF-36 sampai sebesar 65,1% (rata-rata 46,43±9,64 menjadi 76,67±3,65) pada komponen health change. Evaluasi MRI berdasarkan Pfirrmann Grading menunjukkan adanya penurunan yang signifikan (p<0,05) pasca tindakan PLDR. Evaluasi skor PROMIS didapatkan skor Pain Interference 43.33±5.80 dan Physical function 50.76±2.43 yang menunjukkan skor PROMIS post tindakan PLDR masih belum mencapai nilai maksimal.

Lumbar Nucleus Pulposus Herniation is a common condition caused by the degeneration process of the intervertebral disc in the lumbar area. This condition can be associated with complaints of lower back pain which results in disability and a decrease in the patient's quality of life. Percutaneous Laser Disc Reconstruction (PLDR) is a procedure applied to disc tissue, to induce the regeneration process, repair damaged discs, and reduce pain in patients. This prospective cohort study was conducted at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital and Dr. Moewardi Hospital Surakarta, involving 21 patients with lumbar HNP. Sample selection is based on certain inclusion and exclusion criteria using purposive sampling. Variables analyzed included the Visual Analogue Scale (VAS), Oswestry Disability Index (ODI), PROMIS (Patient-Reported Outcomes Measurement Information System) Global 10, and Pfirrmann Grading.Evaluation after 3 months post PLDR given to patients with lumbar HNP provided an improvement in pain based on the VAS score of 51.3% (average 7.25±0.68 to 3.67±0.48). The PLDR procedure also provided an improvement in the patient's quality of life where there was an improvement in the ODI score of 58.8% (average 38.57±7.19 to 15.90±4.84) ​​and there was an improvement in the SF-36 score of up to 65.1% (average 46.43±9.64 to 76.67±3.65) in the health change component. MRI evaluation based on Pfirrmann Grading showed a significant decrease (p<0.05) after PLDR. PROMIS score evaluation obtained Pain Interference score of 43.33±5.80 and Physical function score of 50.76±2.43, showed that PROMIS score after PLDR had not yet reached the maximum value."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library