Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 29 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tri Astuti Setyoningtyas
Abstrak :
Arsitektur dan cahaya merupakan dua hal yang saling terkait. Dengan adanya cahaya, manusia dapat melihat sebuah bentuk objek dan dapat merasakan keberadaan mereka dalam sebuah ruangan - mengetahui jarak antara dirinya dengan objek yang disekelilingnya. Arsitektur yang merupakan ilmu seni bangunan harus memperhatikan juga segi fisik, emosi serta intelektual pengguna terhadap bangunan tersebut. Dalam mendesain kita harus memasukkan spirit ke dalam ruang. Spirit inilah yang nantinya menimbulkan hubungan fisik, emosional serta intelektual antara ruang dengan penggunanya. Adanya spirit dalam ruang akan dapat membedakan antara ruang yang satu dengan ruang lainnya. Cahaya dapat menjadi alat untuk memunculkan sebuah spirit. Hal ini dikarenakan ruang dan cahaya merupakan dua hal yang saling mendukung. Dengan kehadiran cahaya pada sebuah ruang, manusia dapat mengalami ruang dan bentuk. Cahaya alami yang terus berubah bersamaan dengan bayangan yang terjadi dapat menghadirkan berbagai perubahan image ruang. Salah satu arsitek terkenal yang mengunakan unsur cahaya alami sebagai identitas arsitektumya adalah Tadao Ando. Ando merupakan arsitek yang menggunakan alam sebagai etemen yang dapat memberikan kualitas dalam arsitektumya. Cahaya bagi Ando bukan hanya menjadi estetika bagi ruang yang diciptakannya tetapi juga dapat menjadikan ruang ditiap karya arsitektumya berspirit. Uraian diatas menimbulkan ketertarikan bagi penulis untuk menelaah lebih lanjut bagaimana seorang Tadao Ando memasukkan cahaya alami - sebagai salah satu elemen alam - ke dalam ruang sebuah karya arsitektumya. Dengan memasukkan serta mempermainkan cahaya yang telah ada, bagaimna sebuah ruang beserta makna yang dikandungnya dapat tercipta. ......Architecture and light depends each other. With light, human will be able to see an object and feel them in a space - knowing the distance between them self and the surroundings. Architecture is knowledge of a building art. Architecture should pay attention to physical, emotion and intellectual side from the building user. In design process, we should put a spirit within a place that we design. This spirit within will reveal a relationship between physical, emotion and intellectual side and building user. Spirit of a place will make difference between each place. Light would become the tools to reveal a spirit because light and space supports each others. When there's light, human can feel space and form. Sun lighting that keep changing with the shadow followed give image changing of space. One of world famous architect known for the work of light as his identity is Tadao Ando. Ando is a kind of architect that using nature becoming the element of his architecture. Nature's giving quality into his works. Light for Ando, is just not a space esthetic revealing factor but become the factor to give his architectural design's spirit within. Description above makes writer interest to knowing further more about the way how Ando entering the light - as one of nature's element- into his architectural space. With letting the light entering inside into space and play manipulation with it, what kind of space with the spirit followed could be created by Ando.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2006
S48542
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Triantoro
Abstrak :
Bangunan bersejarah selalu dihadapkan pada permasalahan dua kepentingan. Pada satu pihak menginginkan pelestarian untuk menjaga pesan sejarah yang dimilikinya. Di pihak lain menginginkan perubahan agar sesuai dengan perubahan nilai yang berlaku di masyarakat. Karenanya untuk mengatasi pertentangan ini diperlukan suatu adaptasi, yang salah satunya adalah dengan penambahan/perubahan fungsi bangunan. Namun adaptasi ini mengakibatkan suatu konflik identitas, yang kita bisa lihat dari fasade bangunannya. Mengingat pentingnya peranan fasade dalam pembentukan identitas suatu bangunan. Untuk itu dipehukan suatu kaidah dalam pengolahan fasade bangunan. Selain dengan menggunakan kaidah yang dipakai pada pengolahan fasade bangunan secara umum, juga diperlukan penggunaan kaidah lain untuk mempertahankan karakter dari bangunan asli. Salah satunya dengan membentuk hubungan antara bangunan baru dengan bangunan asli. Baik kaidah yang dipakai pada pengolahan fasade bangunan secara umum, maupun kaidah dalam pengolahan fasade bangunan bersejarah keduanya memperhatikan hal-hal yang relatif sama. Yang membedakan diantara keduanya adalah penkanan yang dilakukan. ......Historical building is always facing by two problems of importance. At one side the continuation of the building makes the priority to take care the history message on it. At the other side, need for changes in order to keep the value in society. Hence to overcome these conflicts, adaptation is needed, by adding or changing the building function. But this kind of adaptation has resulted an identity conflict, which we can see it from its building facade. Considering the importantance of the building facades, as the identity or the building image. For that kind of conflict, it needs a method of progress to the building facades. Beside using this method of general building facade, it also need another method used to keep the character from original building. One of them is by building relations between new building with original building. Whether the general method of processing building facade or the processing of historical building facade, basically, both of them consider the same thing. The differences is just about the main point.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2006
S48534
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laode Akbar Sultani
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2007
S48372
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atitya Murti
Abstrak :
Skripsi ini membahas fenomena gerbang dalam gerbang pada perumahan dan sejauh mana gerbang tersebut dapat mengakomodasi kebutuhan komunitas atau warga di dalam teritorinya. Timbulnya fenomena gerbang dalam gerbang merupakan sebuah dampak dari kecenderungan perilaku manusia untuk menandakan teritorinya dan dampak dari coping behavior (respon manusia terhadap permasalahan lingkungannya). Fenomena tersebut muncul dalam bentuk perumahan cluster di mana gerbang merupakan pembentuk privasi, keamanan dan identitas dari setiap cluster-nya. Gerbang merupakan obyek yang dibentuk karena adanya teritori, di mana kaitan antara gerbang dan teritorinya dibentuk oleh perilaku dari komunitasnya, begitu juga sebaliknya. Pembahasan pada skripsi ini bersifat deskriptif dalam menjelaskan fenomena gerbang dalam gerbang yang ada pada perumahan Raffles Hills dan bagaimana cara manusia menanggapi kehadiran gerbang maupun sebaliknya. ......The focus of this study is the phenomenon of gate within gate at housing and how far a gate can accommodate the requirement of it citizen or community inside the territory. The gate within gate phenomenon appears as the impact of behavior tendency of human to designate their territory and coping behavior (how human response the problems in their environment). This phenomenon emerge in the form of housing cluster, where gate formed privacy, identity and security from each cluster. Gate is an object which formed by territory, where the connection among gate and territory formed by the behavior of its community, and also the contrary of it. The study in this minithesis will be a descriptive explanation about gate within gate phenomenon and how human face the attendance of gate or the contrary of it.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2009
S51552
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Merilira Indra Kirana
Abstrak :
Fokus utama skripsi ini adalah pembahasan fenomena masyarakat konsumer yang mengubah semua aspek kehidupan manusia menjadi objek konsumsi, dimana nilai-tanda dan nilai-simbolik mendominasi. Dominasi nilai-tanda kemudian menghasilkan suatu kebutuhan palsu yang dikenal dengan sebutan hyper-reality. Pada tempat perbelanjaan shopping street, fasade pertokoannya mengemban tugas berat dalam - merayu - dan - memilih - konsumen sebagai aparat nilai-tanda. Metode penelitian yang digunakan adalah kajian teori dan literatur dari berbagai media, dan studi kasus menggunakan metode kualitatif dalam menganalisis. Hasil penulisan membuktikan bahwa fasade shopping street turut serta dalam pembentukan hyper-reality. Akan tetapi hyper-reality tersebut ditonjolkan Ginza dan Paris Van Java dalam hal yang berbeda. ......The profound focus of this thesis is to bring a discussion about consumer society phenomenon that has changed the entire human life aspects into objects for consumption, where sign-value and symbolic-value dominating. The domination of sign-value will then generate a fake demand which known as hyper-reality. In shopping street, the shops fa_ade shoulders heavy tasks in order to persuade and choose consumer as to sign-value. The research methodologies employed in this thesis are theoretical studies and literatures from various media, and case studies based on qualitative method in analysis. The outcome reveals that shopping street fa_ade takes part in forming hyper-reality. However, this hyper-reality as in Ginza and Paris Van Java are pictured in different ways.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2009
S51582
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Amalia
Abstrak :
Sebagai media komunikasi, arsitektur berkomunikasi dengan bahasa yang tidak semua orang dapat mengertinya. Untuk itu dibutuhkan tulisan arsitektur (architecture writing) sebagai media komunikasi lain agar bahasa yang digunakan dalam wujud bangunan dapat diterjemahkan ke dalam bahasa yang lebih mudah dipahami oleh banyak orang. Teks dan gambar sebagai unsur terpenting di dalamnya, dipilih dan diatur sedemikian rupa sehingga orang lain dapat lebih mudah memahami pesan yang terkandung di dalam karya arsitektur. Pengkajian kasus dilakukan dengan menggunakan teori komunikasi dan semiologi. Studi kasus yang dikaji adalah On the Art of Building in Ten Books (De re aedificatoria) karya Leon Battista Alberti dan S, M, L, XL karya Rem Koolhaas dan kawan-kawan. ......As a communication media, not every people can understand architectural language. Therefore we need architecture writing as another media to translate the architectural language into a language that understood by common people. Text and pictures as the main elements of architecture writing are chosen and organised in such a way that people can easily understand the message of a building. The cases were analysed using communication theory and semiology. As case studies are On the Art of Building in Ten Books (De re aedificatoria) by Leon Battista Alberti and S, M, L, XL by Rem Koolhaas and collaborators.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2009
S51576
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Indira Pawitrasari
Abstrak :
Skripsi ini membahas penggandaan makna ruang yang terjadi pada ruang mal. Mal tidak hanya dimaknai sebagai ruang terjadinya kegiatan perdagangan saja, namun juga sebagai ruang terjadinya kegiatan catwalk. Hal ini terkait dengan kualitas ruang pada mal yang membentuk hubungan antara manusia, yaitu dilihat dan melihat, sehingga memicu manusia untuk tampil dalam atribut fesyen yang stylish. Berfesyen merupakan cara bagi manusia untuk mengintimidasi ruang yang mereka jejaki. Fesyen sebagai tampilan luar manusia, dapat menggambarkan identitas manusia berdasarkan tingkat ekonomi, sosial, dan budaya. Semakin tinggi tingkatan ekonomi, sosial, dan budaya yang manusia punya, maka manusia semakin mempunyai kekuatan terhadap ruang yang dijejakinya. ......This thesis discusses about doubling meaning of space that occurred at the mall space. Mall is not only defined as the occurrence of space commerce activities, but also as a space of catwalk events. This is related to the quality of space in malls that produce the relationship between humans, which is seen and see, leading them to appear in a stylish fashion attributes. Wearing fashion is a way for people to intimidate their space. Fashion as the outer appearance of human, can describe human identity based on the level of economic, social, and cultural. The higher level of economic, social, and cultural that human have, the more she/he has the power of her/his space.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2010
S52274
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ranny Monita
Abstrak :
Skripsi ini membahas ruang heterotopia (irisan dari elemen ruang nyata dan ruang utopia) sebagai alternatif ruang sosial yang terjadi di dalam ruang keseharian (everyday space) di Plaza Indonesia, sebuah pusat perbelanjaan elit yang berlokasi di pusat Jakarta. Pertama, Plaza Indonesia sebagai heterotopia of crisis merupakan salah satu bentuk selebrasi akan - kebebasan - kaum yang sebelumnya tak terlihat (marginal) diantara golongan-golongan yang mendominasi pada saat Plaza Indonesia pertama kali dibuka. Kedua, ruang keseharian di Plaza Indonesia yang - nyaman - (memanjakan seluruh panca indera individu yang berada di tempat tersebut) memberikan kesempatan kepada kegiatan lain yang sama sekali berbeda dari kegiatan - menyenangkan - (seperti bekerja) untuk dilakukan secara bersamaan dan berkelanjutan pada ruang heterotopia tersebut.Ketiga, penampilan masyarakat golongan kelas atas di Plaza Indonesia merupakan suatu bentuk realisasi fantasi utopia dan di saat yang sama keberadaan mereka di Plaza Indonesia (ruang keseharian yang nyata) juga menciptakan suatu persepsi ilusi sebagaimana - fantasi-fantasi - yang kita temui pada media komunikasi high class brand fesyen. Terakhir, heterotopia terbentuk akibat adanya - aksi - unjuk kekuasaan dari kaum - central - (yang berkuasa), sehingga memperlihatkan mana yang menjadi - central - dan mana yang termasuk ke dalam - other - . Namun pada heterotopia, permainan kekuasaan yang ditimbulkan oleh - central - tidak memadamkan kehadiran - other - (tidak seperti pemahaman ruang pada era klasik hingga era modernisme, di mana - central - memadamkan kehadiran - other - ). Ruang heterotopia pada Plaza Indonesia memperlihatkan kepada kita bahwa terdapat suatu ruang yang terdiri dari jalinan - jejaring - antara elemen utopia (tidak nyata, mewakili prinsip ideal) serta elemen dystopia (nyata, berupa ruang secara materi, kebutuhan manusia yang terlihat dari kegiatan sehari-sehari). ......The Focus of this study is the application of Foucault's concept of heterotopia (created by the spatial imaginaries and material realities) as alternative social space of everyday space in Plaza Indonesia, an elite shopping center in the heart of Jakarta. First, Plaza Indonesia as heterotopia of crisis is a form of celebration of marginal's 'freedom' among the central group at its first time it's established. Second, everyday space in Plaza Indonesia is ordered and involved possibilities for transgression through the heterotopic juxtaposition of material practice of pleasure within and against site of work. Third, heterotopia space in Plaza Indonesia involves an utopian element which is represented by high society people's appearance that contrasted with real space which make the illusionary space looks real and at the same time make the real space (social space) looks as an illusion of fantasy which we see a lot in communication media in fashion industry. Last, heterotopia support the exercise of power role of the 'center' and the 'other'. Nevertheless, the power role of 'center' doesn't try to freeze the power role of 'other''unlike the power role which happened on classic to modernism era where presence of 'center' tried to freeze the presence of 'other'. These heterotopias founded in Plaza Indonesia show us that there's a space which marked by network of utopia and dystopia elements.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2010
S52285
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
M. Ichas Bayu P.
Abstrak :
Proses desain adalah serangkaian tindakan pendekatan yang dilakukan oleh perancang untuk mendapatkan hasil desain optimal. Di dalam proses desain arsitek harus menerjemahkan gagasan desainnya menjadi wujud yang komunikatif. Dengan pemahaman ini arsitek memerlukan media desain seperti gambar dan model fisik, Sebagai media penemuan, media eksplorasi, dan media eksperimen. Model fisik memiliki beragam keunggulan yang berbeda dengan media gambar. Namun seiring perkembangan teknologi komputer, Beberapa peranannya mulai diambil-alih perlahan-lahan. Meskipun begitu model fisik masih mempunyai keunggulan yang belum tergantikan oleh media lain. Keunggulan ini membuat model fisik masih relevan untuk digunakan sebagai media berpikir arsitek di masa mendatang. ......Design process is series of approach done by designer to get optimal design outcome. In design process, architects need to transform their idea of design into a communicative form. With this understanding, architects need a design media such as drawings and physical models, as inventional, exploration, and experimental tools. Physical Models have many advantages more than drawings. But, with technology development, some of its role is taken slowly by virtual models(CAD). On the other hand, physical models still have many irreplacable advantage compared to other medias. This advantages make the physical model still relevant media to be used as architect's thinking media in the coming era.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2010
S51558
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Rasya Larasati
Abstrak :
Jawa memiliki dimensi sejarah yang rumit dan memiliki intensitas urbanisasi tertinggi di antara wilayah lain di Indonesia. Pusat kota di kota-kota pesisir Jawa salah satunya Surabaya yang kemudian difungsikan sebagai jalur perdagangan rempah-rempah dari Belanda ke Timur Tengah akhirnya tumbuh sebagai tempat utama kegiatan dari lalu lintas kegiatan perdagangan yang tinggi. Pengaruh Belanda akan menyarankan perubahan dalam pemukiman manusia di mana pola baru dari sistem kerajaan Jawa sebelumnya kemudian akan dimodifikasi di sebagian besar kota-kota besar pesisir. Intensitas urbanisasi di Jawa kemudian menjadi menarik karena juga menunjukkan adanya aktivitas yang diperlukan untuk menciptakan pemukiman manusia yang dibangun di sekitar pusat kota kolonial awal. Permukiman manusia akan selalu tumbuh dan berubah seiring dengan usaha manusia untuk menciptakan keadaan pemukiman yang paling optimal. Belanda membangun dan merencanakan pusat kota di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan pemukiman mereka di lingkungan perkotaan. Konsep Ekistic oleh Doxiadis terlihat melengkapi pertanyaan bagaimana pusat kota di kawasan kolonial yang lingkungannya berubah menjadi lokus aktivitas pusat kota baru yang berkembang dan signifikan di masa kini. Fenomena ini sendiri akan berkorelasi dengan lima unsur alam, manusia, masyarakat, kerang, dan jaringan sebagai unsur Ekistik. Ekistic kemudian ditarik kembali sebagai salah satu metode berpikir dalam proyek-proyek sebelumnya dimana pemikiran pertumbuhan kota diterapkan. Fenomena ini sendiri akan berkorelasi dengan lima unsur alam, manusia, masyarakat, bangunan, dan jaringan sebagai unsur Ekistik. Tesis ini bertujuan untuk menganalisis kawasan dari beberapa pusat kota maju di Surabaya yang terus berkembang tak terpisahkan dari masyarakat masa kini dengan menggunakan elemen Ekistik dari Doxiadis. ......Java has an elaborate historical dimension and has the highest urbanization intensity among Indonesia's other regions. The downtown in coastal cities of Java and one of them is Surabaya which then functioned as the spice trade route from the Netherlands to the Middle East ends up growing as the primary placeholder of the activities from high traffic of the trading activities. The influence of the Dutch would suggest changes in a human settlement where the new pattern of earlier systems of the Javanese kingdom would later be modified in most coastal big cities. The Intensity of urbanization in Java then becomes intriguing since it also indicates the activity needed to create human settlements built in the initial surrounding colonial city centers. The human settlement would always grow and change as man endeavored to create the most optimum settlement state. The Dutch built and planned the surrounding city center to satisfy their settlement needs in an urban setting. The concept of Ekistic by Doxiadis is seen to complement the question of how the city center in the colonial area has its surroundings turned into a significant activity in the development of a new city center in the present time. This phenomenon alone would correlate with the five elements of nature, man, society, shells, and networks as the Ekistic elements. Ekistic then retracted as one of the thinking methods in his previous projects where the thinking of city growth was applied. This phenomenon alone would correlate with the five elements of nature, man, society, shells, and networks as the Ekistic elements. This thesis aims to analyze the area of the several developed city centers in Surabaya that continues to grow inseparably amongst present people using the Ekistic elements from Doxiadis.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>