Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Laga Patriantoro
"

Minuman ringan berpemanis adalah minuman ringan yang diberi tambahan gula sederhana yang dapat menambah kandungan energi. Trigliserida merupakan salah satu bentuk simpanan lemak di dalam tubuh. Konsumsi minuman ringan berpemanis dapat meningkatkan kadar trigliserida melalui peningkatan lipogenesis de novo.  Lemak viseral adalah lemak yang terdapat pada rongga abdomen yang diketahui merupakan faktor risiko tinggi untuk penyakit metabolik di kemudian hari. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara frekuensi konsumsi minuman ringan berpemanis dengan kadar trigliserida dan visceral fat rating pada remaja putri. Penelitian ini menggunakan disain potong lintang dengan melibatkan 47 subjek yang direkrut melalui metode consecutive sampling. Frekuensi minuman ringan berpemanis diambil dengan metode FFQ. Sampel kadar trigliserida diambil dari darah tanpa puasa dan diukur menggunakan metode enzymatic colorimetric. Visceral fat rating diukur menggunakan BIA. Uji statistik menggunakan uji korelasi Pearson dan Spearman dengan SPSS. Subjek rata-rata mengonsumsi minuman ringan berpemanis sebanyak 8,91 + 4,71 kali/minggu. Nilai rata-rata kadar trigliserida subjek adalah 110,49 + 41,49 mg/dL. Nilai tengah visceral fat rating subjek adalah 3 (1 – 11) termasuk dalam kategori sehat. Pada penelitian ini didapatkan hasil korelasi positif bermakna dengan derajat sangat kuat (p = <0,001, r = 0,88) antara frekuensi konsumsi minuman ringan berpemanis dengan kadar trigliserida dan korelasi positif bermakna dengan derajat sedang (p = 0,003, r = 0,426) antara frekuensi konsumsi minuman ringan berpemanis dengan visceral fat rating.


Sugar sweetened beverages are beverages that are given an addition of simple sugar so they can add energy content. Triglycerides are one form of fat deposits in the body. Consumption of sugar sweetened beverages can increase triglyceride levels through increasing de novo lipogenesis. Visceral fat, which is located in the abdominal cavity, is known to be a high risk factor for metabolic diseases in the future. This study aims to determine the correlation between consumption frequency of sugar sweetened beverages with triglyceride levels and visceral fat rating in female adolescence.  This study used a cross-sectional design involving 47 subjects recruited through a consecutive sampling method. The frequency of sugar sweetened beverages is taken by FFQ method. Triglyceride levels were taken from blood without fasting and measured using enzymatic colorimetric method. Visceral fat rating measured using BIA. Statistical test using Pearson and Spearman correlation test with SPSS. The average of subject that consumed sweetened soft drinks as much as 8.91 + 4,71 times / week. The average subject triglyceride levels 110,49 + 41,49 mg / dL. The median of the subject's visceral fat rating are 3 (1 - 11) is included in the healthy range. In this study a significant positive correlation was strongly found (p = <0.001, r = 0.88) between the consumption frequency of sweetened soft drinks and triglyceride levels and a positive correlation with moderate degrees (p = 0.003, r = 0.426) between consumption frequency of sugar sweetened beverages and visceral fat rating.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sophie Yolanda
"Latar Belakang: Indonesia merupakan negara dengan jumlah penderita stroke terbesar di Asia. Tetapi utama untuk stroke iskemik adalah pemberian trombolitik, namun jendela terapeutiknya hanya 3 jam, dan terapi ini juga memiliki risiko transformasi hemoragik, sehingga hanya 2% penderita stroke di Amerika yang mendapatkan terapi ini. Terapi neurorestoratif akan meningkatkan perkembangan sel-sel· saraf baru (neurogenesis) pada jaringan otak iskemik pasca stroke. Salah satu pendekatan terapi neurorestoratif yang aman adelah dengan memobilisasi populasi sel punca dewasa endogen yang sudah ada secara fisiologis di sistem saraf pusat sehingga dapat berintegrasi dan herpartisipasi dalam sirkuit neural yang fungsional. Mobilisasi sel punca ini dapat ditingkatkan dengan cara menurunkan respon infiamasi. Tanaman akar kucing atau Acalypha indica Linn merupakan tanaman perdu yang banyak tumbuh di pinggir jalan atau ladang yang tak terawat dan dapat dijumpai di setiap daerah di Indonesia Secara tidak sengaja ditemukan rebusan akar kucing tersebut dapat memulihkan kelumpultan saraf akibat stroke. Acalypbin dan stigmasterol yang terkandung dalam akar kucing bersifat anti inflamasi dengan membentuk kompleks inhibitor PLA2, yang merupaksn prekursor infiamasi penting pada stroke.
Tujuan: Mengamati pengaruh pemberian ekstrak air akar kucing terbedap neurogenesis pada kultur jaringan bipokampus tikus pasca bipoksia.
Metode: Studi eksperimental in vitro pada kultur primer jaringan sel saraf tikus Sprague Dawley dewasa yang dlpajankan terhadap hipoksia dengan gas 5% 0,/5% CO,JN, balans selama 24 jam. Selain kelompok kontrol, ekstrak air Acalypha indica Linn ditambahkan pada sel saraf pasca bipoksia pada dosis 10 mglmL, 15 mglmL, dan 20 mglmL. Setelah inkubasi selama 9Q jam, tingkat neurogenesis diukur dengan MTT untuk viabilitas relatif sel dan BrdU untuk proliferasi sel.
Hasil: Viabilitas relatif sel dan tingkat proliferasi sel pada kultur jaringan hipokampus tikus pasca bipoksia dengan pemberian ekstrak air akar kucing pada dosis 10 mglmL, 15 mg/mL, dan 20 mg/mL lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan kontrol (p < 0,01).
Kesimpulan: Ekstrak air Acalypha indica Linn dapat meningkat neurogenesis pasxa hipoksia in vitro pada dosis 10 mg/mL, 15 mg/mL, dan 20 mg/mL.

Background: Indonesia bas the biggest stroke patients in Asia. The principal therapy for ischemic stroke is thrombolytic therapy, but the therapeutic window is only 3 hours and this therapy also holds hemcrrhagic risk, so only 2% of stroke patients in America can have this therapy. Neurorestorative therapy will increase neurogenesis in ischemic brain tissue post stroke; Or of the approaches for safe neurorestorative therapy is by mobilization of endogen adult stem cells that physiologically already exist in the centrai nervous system so that they may integrate and participate in a functional neural circuit. The mobilization of the stem cells can be achieved by lowering the inflammatory response. Acalypha indica Linn (akar kucing) is a common plant thst can be found at the side of the road or fields and can be found all over Indonesia. Accidentally, the decoction of the root ean cure the paralysis caused by stroke. Acalyphin and stigmasterol contained within the root is anti-inflammatory by forming a PLAz inhibitory complex which is an important inflammatory precursor in stroke.
Objective: To observe the influence of Acalypha indica Linn root water extract towards neurogenesis in hippocampal tissue culture post hypoxia.
Methods: Experimental in·vitro study using primary neuronal cell culture of aduhSprague Dowley rat exposed to hypoxia with 5% o,/5% Co,/Nz balance gas for 24 hours. Except the control group, Acalypha indica LiM root water extract is added with dosage of 10 mglmL, 15 mglmL, and 20 mglmL. After 90 hours of incubstion, neurogenesis is measured MIT assay for relative cell viability and BrdU for cell proliferation.
Result: Relative cell viability and cell proliferation of rat hippocampal tissue culture with Aca(ypha indica Linn root water extract with usage of!O mgfmL, 15 mgfmL, and 20 mgfmL is significantly higher than control (p < 0,01).
Condusion: Acalypha indica Linn root water extract with dosage of I0 mg/mL, 15 mglmL, and 20 mglmL can increase neurogenesis post hypoxia in vitro.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
T32419
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Virhan Novianry
"ABSTRAK
Kanker kolorektal merupakan kanker ketiga tersering di Amerika Serikat dengan angka mortalitas menempati peringkat kedua tahun 2012. Mortalitas kanker ini dapat ditekan melalui deteksi dini saat perkembangan kanker pada tahap polip, salah satunya dengan diagnosis biologi molekuler keberadaan DNA pada tinja maupun serum. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis konsentrasi cell free DNA (cfDNA) sebagai penanda tumor pada karsinogenesis kolorektal dengan menggunakan sampel serum darah mencit balb/C yang sebelumnya dinduksi oleh azoxymethane (AOM) dan promosi oleh dextan sulfate sodium (DSS). Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental quasi menggunakan hewan uji mencit Balb/C. Sampel terdiri atas 6 mencit Balb/C yang setiap sampelnya mendapatkan 4 perlakuan secara serial dalam rentang waktu tertentu. Perlakuan pertama adalah pengambilan sampel serum sebelum induksi-promosi, pengambilan kedua pada minggu ke-1 (1 minggu setelah induksi azoxymethane), pengambilan ketiga minggu ke-2 (1 minggu setelah induksi-promosi oleh azoxymethane-dextran sulfate sodium) dan pengambilan ketiga minggu ke-6 (5 minggu setelah induksi-promosi oleh azoxymethane-dextran sulfate sodium). Kuantifikasi cfDNA terhadap serum dilakukan dengan metode fluoresensi SYBR Green II menggunakan Rotor Gene 6000 dan pemeriksaan histopatologis untuk melihat karsinogenesis dilakukan pada minggu ke-0, ke-1, ke-2 dan ke-6. Konsentrasi cfDNA menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelompok sampel sebelum induksi dan promosi (1238,49±674,84 pg/μL ) dibandingkan kelompok sampel yang serumnya diambil minggu ke-6 dengan gambaran histopatologis pra-kanker (2244,04±726,57 pg/μL ). Terdapat kenaikan cfDNA pada minggu ke-1 hanya dengan induksi AOM maupun minggu ke-2 setelah dinduksi dan dipromosi (1358,57±803,81 pg/μL ) dan 1317,23±735,92 pg/μL ), namun perbedaan ini tidak bermakna secara statistik.

ABSTRACT
Colorectal cancer was third of the most cancer in United States and second for the most mortal at 2012. Mortality should be decreased by early screening of the polyp stadium by molecular biology diagnoze of faecess’s DNA and serum’s DNA.The focus of this study is cell free DNA's potency as tumor marker of colorectal carcinogenesys within blood serum sample that was taken from balb/C mice induced by azoxymethane (AOM) and promoted by dextran sulfate sodium (DSS). This study is quasi experimental research. Samples were taken from 6 Balb/C mices, which are serial treated by the time. First, pre induction-promotion blood serum (week 0), second were one week post azoxymethane induction week 1st), third were one week post azoxymethane and dextran sulfate sodium induction-promotion (week 2nd), and fourth were fifth week post azoxymethane and dextran sulfate sodium induction-promotion (week 6th). Cell free DNA Quantification was performed by fluoresence of SYBR Green II method and confirmed by histopathology examination at null, 1st, 2nd and 6th week. Cell free DNA concentration show there was significant differencies of cfDNA before induction and promotion (1238,49±674,84 pg/μL ) compared to cfDNA 6th week after induction and promotion (2244,04±726,57 pg/μL ) statistically, but no significant differencies to the group of 1st week after AOM induction only and the group of 2nd week after induction and promotion, even both of those groups show increament of cfDNA concentration (1358,57±803,81 pg/μL and 1317,23±735,92 pg/μL )."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Fitriyani
"Uji klinis paralel alokasi acak tersamar ganda ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kreatin monohidrat sebesar 20 gram/hari selama 7 hari berturut-turut terhadap kadar malondialdehida (MDA) plasma pasca latihan lari sprint pada atlet laki-laki lari jarak pendek (100 dan 200 meter), usia 18-25 tahun. Sejumlah 20 subyek dipilih dan dibagi menjadi dua kelompok dengan randomisasi blok, 10 subyek kelompok perlakuan (KP) dan 10 subyek kelompok kontrol (KK). Subyek KP mendapat kreatin monohidrat 20 gram/hari + maltodekstrin 50 gram/hari, sedangkan subyek KK mendapat maltodekstrin 50 gram/hari. Data yang diambil meliputi usia, indeks massa tubuh (IMT), massa lemak (ML), massa bebas lemak (MBL), cairan tubuh total (CTT), asupan energi, karbohidrat, protein, kreatin, karotenoid, vitamin C, vitamin E, dan kadar MDA plasma. Pemeriksaan kadar MDA plasma dilakukan sebelum dan setelah periode perlakuan. Analisis data menggunakan uji t tidak berpasangan dan uji Mann-Whitney dengan batas kemaknaan 5%.
Analisis lengkap dilakukan pada 20 subyek yaitu 10 subyek KP [usia 18,50 (18,00-19,00 tahun)] dan 10 subyek KK [usia 18,00 (18,00-24,00 tahun)]. Kadar MDA plasma sebelum perlakuan pada KP dan KK adalah 0,32 ± 0,11 μM dan 0,33 ± 0,10 μM (p = 0,95). Kadar MDA plasma setelah perlakuan lebih rendah pada KP dibandingkan KK, yaitu KP 0,32 ± 0,11 μM dan KK 0,34 ± 0,13 μM (p = 0,66). Perbedaan perubahan kadar MDA plasma pada KP 0,00 ± 0,16 μM dan KK 0,01 ± 0,17 μM (p = 0,83). Tidak terdapat perbedaan signifikan perubahan kadar MDA plasma setelah pemberian kreatin monohidrat 20 gram/hari pada KP dibandingkan KK. Penelitian ini belum dapat membuktikan pengaruh pemberian kreatin monohidrat 20 gram/hari selama 7 hari berturut-turut dalam menurunkan kadar MDA plasma pasca latihan lari sprint pada atlet laki-laki lari jarak pendek.

This parallel double-blind randomized clinical trial aims to investigate the effect of 20 gram/day creatine monohydrate supplementation for 7 days on plasma malondialdehyde (MDA) level after sprint running in male short-distance runner (100 and 200 meter) aged 18-25 years. A total of 20 subjects were selected and randomly allocated to one of two groups using block randomization, 10 subjects for treatment group (TG) and 10 subjects for control group (CG). The TG received 20 gram/day creatine monohydrate + maltodextrin 50 gram/day, and the CG received 50 gram/day maltodextrin. Data were collected in this study included age, body mass index (BMI), fat mass (FM), fat free mass (FFM), total body water (TBW), intake of energy, carbohydrate, protein, creatine, carotenoid, vitamin C, vitamin E, and plasma MDA level. Assessment of plasma MDA level was carried out before and after supplementation.
Statistical analyses included independent t-test and Mann-Whitney test with significance level was 5%. Twenty subjects completed this study, 10 subjects in TG [aged 18.50 (18.00-19.00) years] and 10 subjects in CG [aged 18.00 (18.00-24.00) years]. Plasma MDA levels before treatment were 0.32 ± 0.11 μM for TG and 0.33 ± 0.10 μM for CG (p = 0.95), respectively plasma MDA levels after treatment for TG was lower than CG; 0.32 ± 0.11 μM and 0.34 ± 0.13 μM (p = 0.66). The difference of plasma MDA level for TG was 0.00 ± 0.16 μM and CG was 0.01 ± 0.17 μM (p = 0.83). No statistically significant difference was found after 20 gram/day creatine monohydrate supplementation between 2 groups. This study has not proven yet the effect of 20 gram/day creatine monohydrate for 7 days in decreasing plasma MDA level after sprint running in male short-distance runner.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58549
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Primahastuti
"ABSTRAK
Uji klinis yang dilakukan secara paralel, tersamar ganda dengan alokasi acak ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian kreatin monohidrat terhadap kerusakan otot pasca latihan lari sprint yang dinilai dengan aktivitas creatine kinase (CK) serum dan skor visual analog scale (VAS) nyeri otot pada atlet lari jarak pendek laki-laki usia 18–25 tahun. Subyek penelitian berjumlah 20 orang yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu 10 orang kelompok perlakuan (KP) dan 10 orang kelompok kontrol (KK). Subyek KP diberikan kreatin monohidrat 20 g/hari dan maltodekstrin 50 g/hari, subyek KK mendapat maltodekstrin 50 g/hari saja, suplementasi diberikan selama 7 hari berturut-turut. Pengambilan data aktivitas CK serum dan skor VAS nyeri otot dilakukan pasca latihan lari sprint pada pra dan pasca perlakuan. Rerata IMT pada KP dan KK adalah 21,14 ± 1,30 kg/m2 dan 20,15 ± 1,97 kg/m2 berturut-turut. Rerata presentase massa lemak pada KP sebesar 7,79 ± 2,55% sedangkan KK 7,23 ± 2,42%. Asupan energi dan karbohidrat kedua kelompok termasuk kurang sedangkan asupan protein termasuk cukup. Persentase peningkatan aktivitas CK serum lebih besar pada KP dibandingkan KK (KP 43,8%; KK 19,2%) meskipun lebih banyak subyek pada KP yang mengalami penurunan aktivitas CK serum dibandingkan KK. Skor VAS nyeri otot kedua kelompok menurun, namun jumlah subyek yang merasakan tidak nyeri pada KP lebih banyak daripada KK. Uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan pada perubahan aktivitas CK serum dan nyeri otot antara kedua kelompok. Penelitian ini belum dapat membuktikan pengaruh pemberian kreatin monohidrat selama 7 hari dalam mencegah kerusakan otot pasca latihan lari sprint.

ABSTRACT
This parallel double-blind randomized clinical trial aims to investigate the effects of creatine monohydrate supplementation on muscle damage post-sprint running exercise based on serum creatine kinase (CK) activity and visual analog scale (VAS) score of muscle soreness in 18 to 25 y.o. male sprinter athletes. Twenty subjects were divided into two groups: treatment group/TG (n = 10) and control group/CG (n = 10). The TG received 20 g creatine monohydrate with 50 g maltodextrin per day and the CG was given 50 g maltodextrin per day for 7 days. Serum CK activity and muscle soreness post-sprint running exercise was measured before and after supplementation. The mean BMI of TG and CG were 21.14 ± 1.30 kg/m2 and 20.15 ± 1.97 kg/m2 respectively. The mean of fat mass percentage in TG was 7.79 ± 2.55% while in CG was 7.23 ± 2.42%. Energy and carbohydrate intakes were low but protein intake was enough. The increased percentage of serum CK activity was higher in TG (TG 43.8% vs CG 19.2%) although more subjects in TG had serum CK activity decrease. Meanwhile, VAS muscle soreness score of the two groups decreased, but the number of subjects with no pain were higher in TG. There were no significant difference in the changes of serum CK activity and muscle soreness between the two groups. The results suggest that creatine monohydrate supplementation does not prevent muscle damage post-sprint running exercise."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T59181
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumbantobing, Christin Santun Sriati
"ABSTRAK
Pasien skizofrenia cenderung berisiko mengalami gangguan metabolik karena
risikonya yang cukup tinggi untuk mengalami obesitas. Obesitas meningkatkan
risiko morbiditas dislipidemia dan risiko mortalitas kardiovaskuler. Risiko
obesitas pada pasien ini diyakini disebabkan oleh beberapa faktor yang
berhubungan dengan penyakit skizofrenia itu sendiri, efek samping antipsikotik,
diet dan pola gaya hidup yang tidak sehat, seperti tingkat aktivitas yang rendah,
kebiasaan merokok, dan mengonsumsi alkohol. Penelitian potong lintang
dilakukan di Poliklinik Jiwa Dewasa RSUPN Cipto Mangunkusumo pada bulan
Mei−Juni 2014 untuk menilai tentang profil lipid pada pasien skizofrenia serta
korelasinya dengan indikator status gizi dan pola gaya hidup. Sebanyak 47 subjek
berhasil menyelesaikan seluruh rangkaian protokol penelitian. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kadar trigliserida pada pasien skizofrenia berkorelasi dengan
indeks massa tubuh (r=0,29, p<0,05) dan lingkar pinggang (r=0,34, p<0,05).
Kadar kolesterol HDL berkorelasi negatif dengan konsumsi rokok harian (r=-0,35,
p<0,05). Sebagian besar subjek pada penelitian ini memiliki profil lipid dalam
batas normal, namun perlu diperhatikan bahwa 80,8% subjek memiliki indeks
massa tubuh melebihi normal dan 74,5% subjek mengalami obesitas sentral.
Diperlukan penelitian lebih lanjut mengingat keadaan obesitas khususnya obesitas
sentral berhubungan erat dengan risiko morbiditas dislipidemia dan risiko
mortalitas kardiovaskuler

ABSTRACT
Patients with schizophrenia tend to be at risk of metabolic disorders because of
their higher risk of obesity. Obesity increases the risk of morbidity of
dyslipidemia and cardiovascular mortality risk. The risk of obesity in these
patients is believed to be caused by several factors associated with schizophrenia
itself, antipsychotic side effects, poor diet, and unhealthy lifestyle, such as low
levels of activity, smoking, and alcohol consumption. A cross-sectional study was
conducted in Adult Mental Clinic RSUPN Cipto Mangunkusumo in May−June
2014 to assess on lipid profile in patients with schizophrenia and their correlation
with indicators of nutritional status and lifestyle patterns. A total of 47 subjects
successfully completed the entire series of the study protocol. The results showed
that triglyceride levels in schizophrenic patients were correlated with body mass
index (r = 0.29, p <0.05) and waist circumference (r = 0.34, p <0.05). HDL
cholesterol levels were negatively correlated with daily cigarette consumption (r =
-0.35, p <0.05). Most of the subjects in this study had a lipid profile within the
normal range, but it should be noted that 80.8% of the subjects had a body mass
index above normal and 74.5% of the subjects had central obesity. Further
research is needed in view of the state of obesity especially central obesity is
closely related to morbidity risk of dyslipidemia and cardiovascular mortality risk."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arti Indira
"Air Susu Ibu (ASI) merupakan sumber energi utama yang mencukupi untuk bayi sampai usia 6 bulan. Berbagai kendala dapat timbul dalam upaya memberikan ASI eksklusif, salah satunya adalah ibu merasa ASI tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan bayi sehingga pertumbuhan bayi tidak optimal. Setiap ibu harus mengetahui pola menyusui bayi ASI secara optimal untuk mendukung keputusan menyusui dan menghindari pemberian asupan yang tidak sesuai. Energi ASI sebanyak 50% berasal dari lemak. Lemak merupakan komponen ASI yang sangat bervariasi dan dapat berubah tergantung asupan ibu, irama sirkardian, tingkat laktasi, antar payudara, paritas, umur, dan antar individu.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi antara kadar lemak dalam ASI dan pola menyusui dengan pertumbuhan bayi ASI eksklusif usia satu bulan. Penelitian potong lintang dilakukan di RSIA Budi Kemuliaan pada bulan September– November 2014. Sampling dilakukan secara consecutive. Kriteria inklusi adalah bayi aterm, berat lahir 2500 -4000 g, sehat. Lemak ASI diperiksa dengan pemeriksaan creamatocrit. Terdapat 50 ibu dan bayi yang masuk dalam penelitian.
Bayi usia satu bulan memiliki pertumbuhan yang baik dengan indikator pertumbuhan untuk Z-scores BB/PB, BB/U PB/U dan LK/U sebagian besar berada pada kategori ≥-2 SD s/d ≤2 SD. Pola menyusui subjek tergolong baik dengan frekuensi menyusui 12 kali per hari (84%) dan durasi menyusui <20 menit (58%). Pada pemeriksaan creamatocit didapatkan rerata kadar lemak dalam ASI termasuk kategori tinggi (6,6±1,9 gram/dl). Korelasi lemak ASI dengan BB/U, PB/U, BB/TB adalah berkisar antara 0,03–0,013. BB/U, PB/U, BB/PB, LK/U mempunyai korelasi <0,2 dengan frekuensi dan durasi menyusui. Pertambahan BB, PB, LK per hari mempunyai korelasi <0,25 dengan frekuensi menyusui dan durasi menyusui. Penelitian ini menunjukkan tidak terdapat korelasi antara kadar lemak dalam ASI dan pola menyusui dengan pertumbuhan bayi usia satu bulan.

Breast milk is the main source of energy that is sufficient for infant up to 6 months old. Various breastfeeding problems can come in providing exclusive breastfeeding, one of the problem is mother perceived of her ability to meet the infant’s needs for optimal growth. Every mother should know about the pattern of optimal breastfeeding infant to support breastfeeding decisions and avoid improper feeding. Lipid is providing 50% of total breastmilk energy. Lipid is a component of breast milk that highly variable, depending on maternal intake, circadian rhythm, level of lactation, between breasts, parity, age, and between individuals.
The purpose of this study is to correlate between the levels of lipid in breastmilk and breastfeeding pattern with growth of one month old infants. The study used a cross-sectional study design at RSIA Budi Kemuliaan from September to November 2014. Sampling was taken with consecutive. Inclusion criteria were full-term infant, birth weight 2500–4000 g, healthy. Breast milk lipid was estimated with creamatocrit procedure. There were 50 mothers and infants who entered the study.
This study showed that subjects one month old infants have normal growth. The majority result of growth indicators for WHZ, WAZ, HAZ and HCAZ are between ≥-2 SD until ≤2 SD. Breastfeeding patterns have good result with frequency 12 times per day (84%) and duration <20 minutes (58%). Creamatocit examination showed average levels of lipid in the breastmilk is high (6.6±1.9 g/dl). Correlation of breastmilk lipid with WHZ, WAZ, HAZ is ranged from 0.03–0.013. WHZ, WAZ, HAZ and HCAZ has a correlation <0.2 with the frequency and duration of breastfeeding. Weight, height and head circumference increment per day correlated <0.25 with breastfeeding frequency and duration of breastfeeding.This study conclude that there was no correlation between breastmilk lipid and breastfeeding patterns with growth of one month old infants.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christopher Andrian
"Kolonisasi Bifidobacterium merupakan bakteri komensal yang baik untuk perkembangan dan kolonisasi awal mikrobiota janin. Jumlah Bifidobacterium dapat dipengaruhi oleh asupan protein ibu selama hamil. Penelitian potong lintang ini dilakukan di seluruh puskesmas kecamatan di Jakarta Timur mulai bulan Februari hingga April 2015 dengan subjek ibu hamil berusia 19 - 44 tahun dan usia kehamilan 32 - 37 minggu. Data asupan protein didapatkan dengan metode 2-day repeated 24 hour food recall, selain itu dinilai juga rasio asupan nabati- hewani menggunakan metode semi quantitative - food frequency questionnaire (SQ-FFQ). Analisis feses dilakukan pada 52 subjek menggunakan metode real time-polymerase chain reaction (rPCR). Hasil penelitian ini memperlihatkan terdapat korelasi positif lemah tidak bermakna antara asupan protein dengan jumlah Bifidobacterium (r = 0,132, p >0,05), sehingga penelitian ini belum dapat membuktikan adanya korelasi antara asupan protein dengan jumlah Bifidobacterium pada ibu hamil trimester ketiga.

Bifidobacterium is a commensal bacteria that are beneficial for the development and early colonization of microbiota on fetus. The amount of Bifidobacterium can be influenced by maternal protein intake during pregnancy. A cross-sectional study had been conducted in all primary health care in East Jakarta Subdistrict, from February to April 2015. Subjects of the study were pregnant women aged 19-44 years old and gestational age 32-37 weeks. The quantity of protein intake was obtained by 2-day repeated 24 hour food recall method, moreover, the study also assessed the intake of vegetable-animal ratio by semiquantitative-food frequency questionnaire (SQ-FFQ) method. Stool analysis was conducted on 52 subjects using real-time polymerase chain reaction (rPCR). The result of the study showed a poor positive correlation between protein intake with the amount of Bifidobacterium (R = 0.132, p >0.05).This study has not showed any significant correlation between protein intake with the amount of Bifidobacterium in the third trimester of pregnancy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T633878
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marisa
"Bifidobacterium merupakan salah satu mikrobiota yang memberikan manfaat bagi kesehatan manusia termasuk pada kehamilan, dan penting pada proses kolonisasi mikrobiota usus bayi baru lahir. Jumlah Bifidobacterium usus pada dewasa relatif stabil, namun belum diketahui jumlahnya pada ibu hamil trimester ketiga, terutama di Indonesia. Asupan makanan termasuk serat dapat mempengaruhi pertumbuhan Bifidobacterium, termasuk serat. Stimulasi serat terhadap pertumbuhan Bifidobacterium dapat berupa stimulasi langsung sebagai prebiotik, atau secara tidak langsung sebagai substrat yang dapat difermentasi dan menurunkan pH kolon dan meningkatkan enzim intestinal alkaline phospatase (IAP). Dua mekanisme terakhir secara tidak langsung menurunkan jumlah bakteri patogen sehingga jumlah Bifidobacterium meningkat. Penelitian potong lintang di seluruh Puskesmas Kecamatan di Jakarta Timur pada bulan Maret-Juni 2015 dilakukan untuk menilai korelasi asupan serat dengan jumlah Bifidobacterium usus ibu hamil trimester ketiga. Lima puluh dua subjek menyelesaikan prosedur penelitian. Asupan serat dinilai dengan Food Frequency Questionnaire semikuantitatif, dan kuantifikasi Bifidobacterium dengan real time PCR. Nilai asupan serat adalah 18,9 (5,6?43,0) g/hari, dan 92,3% subjek tidak memenuhi AKG. Jumlah Bifidobacterium usus adalah 7,7 (5,12?9,50) log sel/g feses. Tidak terdapat korelasi bermakna (p >0,05) antara asupan serat total, serat larut dan tidak larut, dengan jumlah Bifidobacterium usus (r = 0,223; r = 0,245; r = 0,2).

Bifidobacterium is one of the beneficial microbiota in human health, including in pregnancy and important for first intestinal microbiota colonization in newborn. The number of intestinal Bifidobacterium in adults is relatively stable, but still unknown in the third trimester of pregnancy, especially in Indonesia. Dietary intake is one of the factors influencing the growth of Bifidobacterium, including dietary fiber. Dietary fiber stimulation act directly as a prebiotic, or indirectly as a fermentation substrate that promote the decreasing of colonic pH, and increasing intestinal alkaline phospatase (IAP) enzyme, resulting a decrease of the amount of pathogenic microbiota. A cross-sectional study in all district public health care in the East Jakarta, March until June 2015 was performed to assess the correlation between dietary fiber intake and the amount of intestinal Bifidobacterium in third trimester of pregnancy women. Fifty-two subjects completed the study procedures. Dietary fiber intake was assessed using semiquantitative Food Frequency Questionnaire, and instestinal Bifidobacterium was quantified using real time Polymerase Chain Reaction (rPCR). Dietary fiber intake in this study was 18.9 (5.6?43.0) g/day and 92.3% subjects did not meet the Dietary Reference Intake. The intestinal Bifidobacterium count is 7.7 (5.12?9.50) log cell/g faeces. The results show that there is no significant correlation (p > 0.05) between dietary fiber, dietary soluble fiber, and dietary insoluble fiber intake with the amount of intestinal Bifidobacterium in third trimester of pregnancy (r = 0.223; r = 0.245; r = 0.2)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58710
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Silvia Pagitta
"ABSTRAK
Magnesium merupakan salah satu komponen mikronutrien dan dilaporkan
mempunyai peran dalam proses metabolisme dan kekuatan otot namun belum
mendapat cukup perhatian yang luas sehingga jarang dilakukan pemeriksaan rutin. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang bertujuan untuk
mengetahui korelasi asupan magnesium dan kadar magnesium eritrosit dengan
mobilitas fungsional. Penelitian ini dilakukan di 3 panti jompo di Jakarta Timur
pada bulan April-Mei 2016. Pengumpulan subjek dilakukan dengan metode
consecutive sampling dan didapatkan 52 lanjut usia. Sebagian besar berjenis
kelamin perempuan dengan rerata usia 74,5 ± 8,6 tahun dan terbanyak pada
kelompok usia 70-79 tahun. Rerata asupan magnesium subjek adalah 188 mg/ hari dan sebagian besar (84,6%) memiliki asupan magnesium yang rendah. Rerata kadar magnesium eritrosit adalah 3,69 ± 0,63 mEq/ L dan didapatkan 96,2 % memiliki kadar magnesium eritrosit yang rendah. Median nilai tes Timed Up and Go adalah 11,5 detik. Pada penelitian ini terdapat korelasi bermakna dengan arah negatif antara asupan magnesium dengan mobilitas fungsional yang ditunjukkan dengan tes Timed Up and Go (p = 0,031, r = -0,3) sedangkan kadar magnesium eritrosit dengan mobilitas fungsional yang ditunjukkan dengan tes Timed Up and Go tidak didapatkan korelasi bermakna (p = 0,113, r = 0,223).

ABSTRACT
Magnesium is one component of micronutrients and is reported to have a role in the metabolism proccess and muscle strength, but this still didn?t get much
attention, so that a routine examination is rarely done.This cross-sectional study aimed to evaluate the correlation of magnesium intake and erythrocyte
magnesium levels with functional mobility. This study was done in 3 nursing
home in East Jakarta, from April to May 2016. Data were collected from 52
subjects with methods consecutive samping. The subjects of this study are women with mean age of 74,5 ± 8,6 years old and mostly in 70-79 years old group age. The mean magnesium intake are 188 mg/day, with 84,6 % of the subjects with a low magnesium intake, at the same time, the mean erytrocyte magnesium levels was 3,69 ± 0,63 mEq/ L and 96,2 % of the subjects experienced magnesium deficiency. The median score for TUG test is 11,5 seconds. There was a significant negative correlation between magnesium intake and functional mobility shown by Timed Up and Go test in elderly (p = 0,031, r = -0,3) and erythrocyte magnesium levels did not correlated significantly with functional mobility shown by Timed Up and Go test in elderly (p = 0,113, r = 0,223)."
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>