Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Benny Sana Putra
Abstrak :
Latar belakang : Ventilator mekanik masih diperlukan pada neonatus untuk menyelamatkan bayi dalam kondisi distress napas yang berat. Ekstubasi dini sangat diperlukan untuk menghindari komplikasi karena pemakaian ventilator yang lama. Oleh karena itu diperlukan prediktor untuk mengetahui faktor risiko yang mengakibatkan kegagalan ekstubasi dini. Metode : Penelitian kohort retrospektif yang dilakukan di Unit NICU RSCM. Data diperoleh dari RM selama periode waktu 2017 – 2022. Penelitian dilakukan terhadap subyek yang memerlukan ventilator mekanik dan dapat diekstubasi dalam waktu 5 hari (ekstubasi dini). Subyek yang memerlukan reintubasi dalam waktu 72 jam dikategorikan sebagai kelompok yang gagal ekstubasi. Hasil : Kegagalan ekstubasi dini di NICU RSCM sebesar 70/180 (38,9%). Hasil analisis regresi logistik (AUC 0,824): usia gestasi < 28 minggu (p = 0,006, RR 3,39; IK 95%: 1,64-19,02), Usia gestasi (28–32) minggu (p = 0,228, RR 0,29; IK 95%: 0,67-5,52), pH < 7,35 (p = 0,541, RR 1,23: IK 95%; 0,58-2,85), pH > 7,45 (p = 0,022, RR 0,15; IK 95%: 0,02-0,79), dan kadar Hb < 11,5 g/dl (p = 0,001, RR 5,01; IK 95%: 5,58-38,52). Simpulan : Makin rendah Usia gestasi dan Hb makin besar risiko kegagalan ekstubasi dini pada bayi prematur. ......Background : Mechanical ventilators still needed to rescue severe respiratory distress neonates. Early extubation is necessary to avoid complications due to prolonged use of the ventilator. Therefore, predictors are needed to determine the risk factors that result in early extubation failure. Methods : The study was conducted at the NICU Unit of Cipto Mangunkusumo National Hospital. Retrospective data were obtained from medical records during 2017 – 2022 on subjects required mechanical ventilator and extubated within 5 days (early extubation). Early extubation failure defined as reintubation within 72 hours. Results : Early extubation failure at NICU Unit of Cipto Mangunkusumo National Hospital were 70/180 (38.9%). The results of logistic regression analysis (AUC 0.824): gestational age < 28 weeks (p = 0.006, RR 3.39; 95% CI: 1.64-19.02), gestational age (28-32) weeks (p = 0.228, RR 0.29; 95% CI: 0.67-5.52), pH < 7.35 (p = 0.541, RR 1.23: 95% CI; 0.58-2.85), pH > 7, 45 (p = 0.022, RR 0.15; 95% CI: 0.02-0.79), and Hb level < 11.5 g/dl (p = 0.001, RR 5.01; 95% CI: 5.58-38.52).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dora Novriska
Abstrak :
Latar belakang: Chemotheraphy induced nausea and vomiting (CINV) merupakan efek samping kemoterapi yang dapat menurunkan kualitas hidup dan kepatuhan pengobatan. Emetogenisitas kemoterapi merupakan prediktor utama terjadinya CINV. Di samping itu terdapat faktor risiko lain yang berperan terhadap kejadian CINV. Pada pasien kanker anak yang menjalani kemoterapi, sistem skoring berdasarkan faktor risiko diperlukan untuk mengklasifikasikan individu berisiko agar mendapatkan profilaksis antiemetik yang adekuat untuk mengontrol terjadinya CINV. Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif yang bertujuan untuk mngembangkan sistem skoring dari faktor risiko CINV pada anak berusia 0-17 tahun yang menjalani kemoterapi di RSCM pada Desember 2023 – Maret 2024. Analisis bivariat dilanjutkan multivariat dilakukan untuk menentukan faktor risiko utama CINV akut, delayed dan CINV derajat ≥ 2 menurut skor common terminology criteria for adverse events (CTCAE) National Cancer Institute. Selanjutnya dilakukan pembobotan skor dari faktor risiko utama CINV derajat ≥ 2 dengan regresi logistik. Akurasi sistem skoring dilakukan dengan analisis kurva receiver-operating characteristic (ROC). Hasil: Sebanyak 198 subjek. Secara keseluruhan CINV terjadi pada 42,93% pasien dengan 32,3% subjek mengalami CINV derajat ≥ 2. CINV akut dan delayed dialami oleh masing-masing 26.77% dan 35,35% pasien. Berdasarkan analisis multivariat faktor risiko utama terjadinya CINV derajat ≥ 2 adalah riwayat mual/ muntah pada siklus kemoterapi sebelumnya, mendapatkan kemoterapi sisplatin dan terapi opioid. Analisis ROC menunjukkan akurasi yang cukup baik untuk memprediksi luaran dengan area under-the-curve (AUC) 0,669, p=0,034 IK 95% (0,602 – 0,736). Pasien dengan skor total 3-4 sebelum siklus kemoterapi diberikan, diklasifikasikan sebagai risiko tinggi untuk mengalami CINV derajat ≥ 2. Simpulan: Sistem skoring ini dapat digunakan dalam praktek klinis untuk memprediksi risiko CINV sebagai dasar pemberian profilaksis antiemetik yang adekuat ......Introduction: Chemotherapy-induced nausea and vomiting (CINV) are significant adverse effects of chemotherapy that can negatively impact quality of life and treatment adherence. The emetogenicity of chemotherapy is the main predictor of CINV. Apart from that, there are other risk factors that play a role in the incidence of CINV. In pediatric oncology patients undergoing chemotherapy, a risk factor-based scoring system is essential to identify high-risk individuals. This classification enables the administration of appropriate antiemetic prophylaxis to effectively manage and control CINV. Methods: This research is a prospective cohort study conducted to develop risk scoring system for CINV on children aged 0-17 years undergoing chemotherapy at dr. Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) from December 2023 to March 2024. Bivariate followed by multivariate analysis was performed to identify the main risk factors for acute, delayed and ≥ grade 2 CINV according to common terminology criteria for adverse events (CTCAE) scores National Cancer Institute. Subsequently, a scoring weight for the main risk factors of CINV grade ≥ 2 was determined using logistic regression. The accuracy of the scoring system was evaluated using receiver-operating characteristic (ROC) curve analysis. Results: A total of 198 subjects were included in the study. Overall CINV occurred in 42.93% of patients with 32.3% of subjects experiencing CINV grade ≥ 2. Acute CINV and delayed CINV were experienced by 26.77% and 35.35% of patients, respectively. Multivariate analysis identified the main risk factors for CINV of grade ≥ 2 as a history of nausea/vomiting in previous chemotherapy cycles, receiving cisplatin chemotherapy, and opioid therapy. ROC analysis indicated a moderately good accuracy for predicting outcomes with an area under-the-curve (AUC) of 0.669, p = 0.034, 95% CI (0.602 – 0.736). Patients with a total score of 3-4 before each cycle of chemotherapy would be considered at high risk for developing ≥ 2 grade CINV. Conclusion: This scoring system can be implemented in cli
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Himawan Aulia Rahman
Abstrak :
Latar belakang. Pembuatan stoma dan reseksi usus adalah tindakan pembedahan yang umum dilakukan pada anak dengan masalah bedah di sistem gastrointestinal. Salah satu komplikasi dari pembuatan stoma adalah high output stoma yang menyebabkan perawatan menjadi lebih lama. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko terjadinya high output stoma dan prediktor terhadap lama rawat, lama penggunaan nutrisi parenteral, dan kematian. Metode. Kami melakukan penelitian kohort retrospektif yang dilakukan di rumah sakit tersier rujukan di Indonesia. Subjek adalah pasien anak usia 0 bulan – 18 tahun dengan stoma di usus halus (enterostomi) selama periode Oktober 2019 – Desember 2023. Penelitian tahap I dilakukan pada semua subjek untuk melihat faktor risiko terjadinya high output stoma. Penelitian tahap II dilakukan pada subjek yang mengalami high output stoma untuk menilai prediktor terhadap lama rawat, lama penggunaan nutrisi parenteral, dan kematian. Hasil. Penelitian tahap I melibatkan 64 subjek. Kelompok usia terbanyak adalah usia neonatus (43,8%). Penyakit dasar terbanyak sebagai penyebab pembentukan stoma adalah perforasi intestinal (39,1%). High output stoma terjadi pada 48,4% subjek. Tidak ada faktor risiko teknik pembedahan yang secara signifikan menyebabkan high output stoma. Penelitian tahap II memasukkan 31 subjek yang mengalami high output stoma. Pada semua subjek, panjang usus halus berkorelasi dengan lama rawat (p = 0,033), lama penggunaan nutrisi parenteral (p = 0,032), dan berhubungan dengan kematian (p = 0,041). Kesimpulan. Panjang usus halus yang lebih pendek berhubungan dengan luaran yang lebih buruk pada pembentukan enterostomi pada anak. ......Backgrounds. Stoma creation and intestinal resection are common surgical procedures in children with surgical problems in the gastrointestinal system. One of the complications of creating a stoma is a high output stoma (HOS), which causes more prolonged treatment. Objectives. This study aims to determine the risk factors for HOS and predictors of length of stay, length of use of parenteral nutrition (PN), and death. Methods. We conducted a retrospective cohort study at a tertiary referral hospital in Indonesia. Subjects were pediatric patients aged 0 months – 18 years with a stoma in the small intestine (enterostomy) during the period October 2019 – December 2023. Phase I study was carried out on all subjects to examine at risk factors of HOS. Phase II study was conducted on subjects who experienced HOS to assess predictors of length of stay, length of PN use, and death. Results. Phase I study involved 64 subjects. The largest age group is neonates (43.8%). Intestinal perforation is the most common underlying disease that causes stoma formation (39.1%). There are no risk factors for surgical techniques that significantly cause HOS. Phase II study included 31 subjects who experienced HOS. In all subjects, the length of the small intestine was correlated with length of stay (p = 0.033), duration of PN use (p = 0.032), and was associated with mortality (p = 0.041). Conclusions. Shorter small intestinal length is associated with worse outcomes in enterostomy formation in children.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prasetya Ismail Permadi
Abstrak :
Latar belakang: Pasien Talasemia Mayor (TM) anak menderita defisiensi nutrisi karena asupan nutrisi yang tidak mencukupi. Penghindaran makanan kaya zat besi seringkali bersamaan dengan pembatasan asupan protein. Asupan mikronutrien termasuk magnesium lebih rendah dibandingkan anak normal. Fungsi otot lebih awal terganggu akibat defisiensi nutrisi daripada massa otot. Penilaian massa otot dan Hand Grip Strength (HGS) menjadi penting untuk mengevaluasi status gizi. Hingga saat ini belum ada penelitian di Indonesia yang mengevaluasi hubungan antara HGS dengan asupan kalori, protein dan magnesium, LILA dan massa otot pasien anak TM. Metode: Penelitian dengan desain studi potong lintang melibatkan 70 pasien TM anak, berusia 6-18 tahun di Pusat Talasemia RSUPN Cipto Mangunkusumo. Status gizi dievaluasi disertai pengukuran lingkar lengan atas (LILA). Asupan kalori, protein dan magnesium diperoleh melalui metode analisis diet semi-kuantitatif Food Frequency Questionnaires (FFQ) dan Magnesium FFQ (MgFFQ). Kadar Mg serum dinilai dengan menggunakan metode enzimatik-kalorimetri. Massa otot diukur menggunakan Bioelectrical Impedance Analysis (BIA) dan HGS dinilai menggunakan Dinamometer tangan Jamar Hasil: Status gizi berdasarkan LILA/U sebagian besar berstatus gizi baik 42,9% dan malnutrisi 57,1% yakni gizi kurang (30,0%), gizi buruk (25,7%), dan obesitas (1,4%). Rerata kecukupan energi pada anak TM lelaki 100% (SB 17), sedangkan anak perempuan sebesar 112% (SB 27). Rerata asupan protein dan magnesium pada kedua kelompok lebih tinggi dibanding kebutuhan AKG. HGS berkorelasi kuat dengan massa otot (r=0,82), berkorelasi sedang dengan LILA (r=0,60), dan berkorelasi lemah dengan asupan kalori (r=-0,27), protein (r=-0,33) dan magnesium (r=-0,23), serta kadar magnesium (r=0,26). Hipermagnesemia dijumpai pada 23% subyek penelitian. Simpulan: Lebih dari separuh anak Talasemia mengalami malnutrisi walaupun asupan cukup. HGS berkorelasi dengan asupan nutrisi, LILA, dan massa otot. ......Background: Pediatric Thalassemia Major (TM) patients suffer from nutritional deficiencies due to insufficient nutritional intake. Avoidance of iron-rich foods often coincides with limiting protein intake. Micronutrient intake including magnesium is lower than in normal children. Muscle function is impaired earlier due to nutritional deficiencies than muscle mass. Assessment of muscle mass and Hand Grip Strength (HGS) is important for evaluating nutritional status. Until now there has been no research in Indonesia that evaluates the relationship between HGS and calorie, protein, and magnesium intake, LILA, and muscle mass in pediatric TM patients. Methods: This research with a cross-sectional study design involved 70 pediatric TM patients, aged 6-18 years at the Thalassemia Center of RSUPN Cipto Mangunkusumo. Nutritional status is evaluated by measurement of mid-upper arm circumference (MUAC). Calorie, protein, and magnesium intake was obtained through semi- quantitative dietary analysis methods Food Frequency Questionnaires (FFQ) and Magnesium FFQ (MgFFQ). Serum Mg levels were assessed using the enzymatic calorimetric method. Muscle mass was measured using Bioelectrical Impedance Analysis (BIA) and HGS was assessed using a Jamar hand dynamometer. Results: Nutritional status based on LILA/U was mostly good nutritional status 42.9% and malnutrition 57.1%, namely undernutrition (30.0%), poor nutrition (25.7%), and obesity (1.4%). The average energy adequacy for TM boys is 100% (SD 17), while for girls it is 112% (SD 27). The average intake of protein and magnesium in both groups was higher than the RDA requirements. HGS is strongly correlated with muscle mass (r=0.82), moderately correlated with LILA (r=0.60), and weakly correlated with calorie intake (r=-0.27), protein (r=-0.33), and magnesium (r=-0.23), as well as magnesium levels (r=0.26). Hypermagnesemia was found in 23% of study subjects. Conclusion: More than half of Thalassemia children experience malnutrition despite adequate intake. HGS correlates with nutritional intake, MUAC, and muscle mass.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Putri Lestari
Abstrak :
Latar belakang: Pemasangan kateter vena sentral dapat menimbulkan komplikasi serius terutama IAD terkait kateter vena sentral. Pencegahan IAD merupakan tantangan tersendiri, karena diperlukan pengawasan dan evaluasi kepatuhan yang konsisten terhadap bundle IAD. Melalui metode PDSA bundle IAD diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan melaksanakan bundle IAD. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas implementasi metode PDSA bundle IAD dalam menurunkan angka IAD pada anak di RSCM Metode: Desain penelitian ini adalah quasi ekperimental. anak usia 1 bulan sampai dengan 18 tahun yang dilakukan pemasangan kateter vena sentral oleh tim ERIA RSCM pada periode Juni-November 2022. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling. Hasil: Total subjek pada penelitian ini sebanyak 280. Pada pre-test PDSA pemasangan sebanyak 143, gagal pemasangan 2 pasien. Pada post-test PDSA didapatkan 137 subjek. Terdapat penurunan angka IAD sebesar 4,1/1000 hari pemasangan kateter vena sentral dalam 3 bulan penerapan siklus PDSA. Angka IAD pre-test PDSA total rata-rata sebesar 12,7/1000 hari pemasangan dan menurun menjadi rata-rata 8,6/1000 hari pemasangan pada 3 bulan post-test PDSA. Puncak tertinggi angka IAD pre-test PDSA bulan Juli 2022 yaitu 18,9/1000 hari pemasangan, sedangkan angka IAD terendah dicapai pada bulan November 2022 sebesar 3,4/1000 hari pemasangan. Kesimpulan: Angka IAD dapat menurun sebesar 4,1/1000 hari pemasangan kateter vena sentral dalam waktu 3 bulan, dan mencapai target angka IAD yang ditetapkan RSCM yaitu 3,5/1000 hari pemasangan pada bulan November 2023 dengan angka IAD 3,4/1000 hari pemasangan setelah implementasi metode PDSA) Bundle IAD. ......Background: Insertion of a central venous catheter can cause serious complications, especially CLABSI. Prevention CLABSI is very challenging. The PDSA method is expected to increase compliance in implementing the bundle. The purpose of this study was to determine the effectiveness of implementing bundle CLABSI PDSA method in reducing CLABSI rates in children at Cipto Mangunkusumo Hospital Method: The design of this study is quasi-experiential. Pediatric patient aged 1 month to 18 years old who were installed CVC by the Pediatric Emergency and Intensive Care team in the period between June-November 2022. The sampling technique is carried out by consecutive sampling Results: Total subjects were 280. PDSA pre-test were 143 installations, while the PDSA post-test had 137 subjects. CLABSI rate decreased 4.1/1000 days of central venous catheter insertion within 3 months after PDSA. Total CLABSI pre-test PDSA rate 12.7/1000 days of insertion and decreased to 8.6/1000 days of insertion after PDSA implementation. The highest peak of CLABSI rate before PDSA in July 2022 was 18.9/1000 days of insertion, the lowest CLABSI rate achieved in November 2022 of 3.4/1000 days of insertion after PDSA implementation. Conclusion: The CLABSI rate can decrease by 4.1/1000 days of central venous catheter insertion within 3 months, and reach the CLABSI rate target in Cipto Mangunkusumo Hospital, which is 3.5/1000 days of insertion in November 2023 with a CLABSI rate of 3.4/ 1000 days of insertion after the implementation of the Bundle IAD plan-do-study-act (PDSA) method.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irlisnia
Abstrak :
Latar belakang: Pemberian sedasi dan analgesia yang adekuat sangat penting dalam pemulihan pasien di unit perawatan intensif. Penggunaan yang tidak tepat dapat menyebabkan desaturasi oksigen otak. Studi ini bertujuan untuk mengetahui gambaran oksigenasi serebri yang diukur dengan Near-infrared spectroscopy (NIRS) pada pasien yang menerima sedasi dan analgesia dan mengetahui intervensi inotrop pada kedua kelompok. Metode: Penelitian ini adalah sebuah nested cohort observational study dari penelitian utama yang berjudul “Efektivitas penggunaan protokol sedasi dan penyapihan ventilator dibandingkan keputusan klinis pada anak di PICU RSCM” yang dilakukan secara prospektif di PICU Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Penelitian dilakukan pada anak usia 1 bulan-17 tahun 11 bulan dengan ventilasi mekanik dan diberikan sedasi dan analgesia. Pasien dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu sedasi dan analgesia berdasarkan protokol dan berdasarkan keputusan klinis (tanpa protokol). Oksigenasi serebri diukur dengan NIRS dalam lima pengamatan waktu (sebelum sedasi, 5 menit, 1, 6 dan 12 jam setelah sedasi). Hasil: Dari 69 subjek, 39 subjek mendapatkan sedasi dan analgesia berdasarkan protokol dan 30 lainnya tanpa protokol. Tren penurunan nilai NIRS >20% dari data dasar, lebih banyak ditemukan pada kelompok protokol pada 5 menit (6,7%), 1 jam (11,1%), 6 jam (26,3%) dan 12 jam (23,8%). Nilai rerata NIRS lebih rendah dan intervensi inotrop lebih banyak ditemukan pada kelompok sedasi tanpa protokol, walaupun tidak bermakna secara statistik. Simpulan: Penelitian ini menunjukkan penurunan NIRS > 20% didapatkan pada anak dengan penggunaan sedasi dan analgesia berdasarkan protokol, dan NIRS terbukti dapat mengukur desaturasi serebri yang terjadi selama penggunaan obat sedasi dan analgesia. ......Background: Adequate sedation and analgetic agents are imperative in the recovery patients at intensive care units. Inappropriate use may induce cerebral desaturation. This study aims to know about cerebral oxygenation measured by Near-infrared spectroscopy (NIRS) in children receiving sedation and analgesia and to evaluate the differences use of inotropic agents from two groups. Methods: This is a nested prospective cohort study of the major study entitled “Effectiveness of ventilator sedation and weaning protocols compared with clinical decisions in children in PICU RSCM”, conducted in Pediatric Intensive Care Unit (PICU), Cipto Mangunkusumo Hospital. Subjects were one-month-old to seventeen-year-old children used mechanical ventilator. They were divided into two groups, sedation and analgetic based on protocol and without protocol. Cerebral oxygenation measured at five different timings (before sedation, 5 minutes, 1, 6 and 12 hours after sedation and analgesia). Results: There were total 69 children included, 39 subjects were received protocol and 30 subjects without the protocol. NIRS were reduced > 20% from the baseline in the protocol group at 5 minutes (6,7%), 1 hours (11,1%), 6 hours (26,3%) and 12 hours (23,8%). NIRS average was lower and the use of inotropic agents was found more in group without protocol. However, these findings are not statistically significant. Conclusion: This study shows that NIRS decreased >20% from baseline was observed in children who were sedated using protocol and NIRS are useful to measure cerebral desaturation that happens during the administration of sedation and analgetic agents.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Prasetya Ismail Permadi
Abstrak :
Latar belakang: Pasien Talasemia Mayor (TM) anak menderita defisiensi nutrisi karena asupan nutrisi yang tidak mencukupi. Penghindaran makanan kaya zat besi seringkali bersamaan dengan pembatasan asupan protein. Asupan mikronutrien termasuk magnesium lebih rendah dibandingkan anak normal. Fungsi otot lebih awal terganggu akibat defisiensi nutrisi daripada massa otot. Penilaian massa otot dan Hand Grip Strength (HGS) menjadi penting untuk mengevaluasi status gizi. Hingga saat ini belum ada penelitian di Indonesia yang mengevaluasi hubungan antara HGS dengan asupan kalori, protein dan magnesium, LILA dan massa otot pasien anak TM. Metode: Penelitian dengan desain studi potong lintang melibatkan 70 pasien TM anak, berusia 6-18 tahun di Pusat Talasemia RSUPN Cipto Mangunkusumo. Status gizi dievaluasi disertai pengukuran lingkar lengan atas (LILA). Asupan kalori, protein dan magnesium diperoleh melalui metode analisis diet semi-kuantitatif Food Frequency Questionnaires (FFQ) dan Magnesium FFQ (MgFFQ). Kadar Mg serum dinilai dengan menggunakan metode enzimatik-kalorimetri. Massa otot diukur menggunakan Bioelectrical Impedance Analysis (BIA) dan HGS dinilai menggunakan Dinamometer tangan Jamar. Hasil: Status gizi berdasarkan LILA/U sebagian besar berstatus gizi baik 42,9% dan malnutrisi 57,1% yakni gizi kurang (30,0%), gizi buruk (25,7%), dan obesitas (1,4%). Rerata kecukupan energi pada anak TM lelaki 100% (SB 17), sedangkan anak perempuan sebesar 112% (SB 27). Rerata asupan protein dan magnesium pada kedua kelompok lebih tinggi dibanding kebutuhan AKG. HGS berkorelasi kuat dengan massa otot (r=0,82), berkorelasi sedang dengan LILA (r=0,60), dan berkorelasi lemah dengan asupan kalori (r=-0,27), protein (r=-0,33) dan magnesium (r=-0,23), serta kadar magnesium (r=0,26). Hipermagnesemia dijumpai pada 23% subyek penelitian. Simpulan: Lebih dari separuh anak Talasemia mengalami malnutrisi walaupun asupan cukup. HGS berkorelasi dengan asupan nutrisi, LILA, dan massa otot. ......Background: Pediatric Thalassemia Major (TM) patients suffer from nutritional deficiencies due to insufficient nutritional intake. Avoidance of iron-rich foods often coincides with limiting protein intake. Micronutrient intake including magnesium is lower than in normal children. Muscle function is impaired earlier due to nutritional deficiencies than muscle mass. Assessment of muscle mass and Hand Grip Strength (HGS) is important for evaluating nutritional status. Until now there has been no research in Indonesia that evaluates the relationship between HGS and calorie, protein, and magnesium intake, LILA, and muscle mass in pediatric TM patients. Methods: This research with a cross-sectional study design involved 70 pediatric TM patients, aged 6-18 years at the Thalassemia Center of RSUPN Cipto Mangunkusumo. Nutritional status is evaluated by measurement of mid-upper arm circumference (MUAC). Calorie, protein, and magnesium intake was obtained through semi- quantitative dietary analysis methods Food Frequency Questionnaires (FFQ) and Magnesium FFQ (MgFFQ). Serum Mg levels were assessed using the enzymatic calorimetric method. Muscle mass was measured using Bioelectrical Impedance Analysis (BIA) and HGS was assessed using a Jamar hand dynamometer. Results: Nutritional status based on LILA/U was mostly good nutritional status 42.9% and malnutrition 57.1%, namely undernutrition (30.0%), poor nutrition (25.7%), and obesity (1.4%). The average energy adequacy for TM boys is 100% (SD 17), while for girls it is 112% (SD 27). The average intake of protein and magnesium in both groups was higher than the RDA requirements. HGS is strongly correlated with muscle mass (r=0.82), moderately correlated with LILA (r=0.60), and weakly correlated with calorie intake (r=-0.27), protein (r=-0.33), and magnesium (r=-0.23), as well as magnesium levels (r=0.26). Hypermagnesemia was found in 23% of study subjects. Conclusion: More than half of Thalassemia children experience malnutrition despite adequate intake. HGS correlates with nutritional intake, MUAC, and muscle mass.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library