Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 43 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Farina Chairunnisa
"ABSTRAK
Tulisan ini merupakan penelitian terhadap keputusan Amerika Serikat menerima 10.000 pengungsi Suriah di tahun fiskal 2016 di tengah kekhawatiran potensi ancaman keamanan yang dibawa para pengungsi. Penelitian terdahulu seputar kebijakan penerimaan pengungsi di Amerika Serikat umumnya fokus pada kepentingan keamanan politik, sementara keputusan penerimaan pengungsi Suriah mencerminkan adanya kepentingan lain yang menjadi pertimbangan. Aspek ideasional sebagai nation of immigrants, aspek yang umumnya terabaikan dalam kajian penerimaan pengungsi di Amerika Serikat, menjadi patut diperhatikan dalam memahami keputusan ini. Dengan menggunakan analisis diskursus terhadap pidato dan pernyataan resmi para aktor pemerintahan Amerika Serikat, penelitian ini menawarkan perspektif alternatif dalam memahami bagaimana Amerika Serikat mengambil keputusan yang tidak sejalan dengan kepentingan keamanan tradisional namun didorong pertimbangan lain, yaitu keamanan ontologis atau keamanan akan identitas diri. Dalam mengkaji keputusan tersebut, penelitian ini menggunakan kerangka analisis yang ditetapkan oleh Brent J. Steele dengan mengkaji empat komponen keamanan ontologis, yaitu kapabilitas material dan refleksif, penilaian krisis, narasi biografis negara, dan strategi diskursus sesama aktor. Tulisan ini menemukan bahwa kesadaran Amerika Serikat akan kapabilitasnya, disertai oleh ingatan masa lalu akan identitas sebagai bangsa imigran dan imbauan aktor-aktor internasional mendorong Amerika Serikat mencapai keputusan menerima pengungsi Suriah. Upaya melanggengkan identitas ini tidak dapat lepas dari kekhawatiran akan ancaman keamanan nasional yang diutarakan berbagai aktor dalam negeri, sehingga jumlah pengungsi yang diterima dapat dilihat sebagai kompromi antara keamanan ontologis dan keamanan tradisional.

ABSTRAK
This paper is a research on the United States of America rsquo s decision to admit 10.000 Syrian refugees in the fiscal year of 2016 amidst potential national security concerns brought by the incoming refugees. Past studies on the United States rsquo policies of refugee admission mainly focus on the security and political interests, while this particular admission decision reflects a different interest consideration. The ideational aspect of the United States as a nation of immigrants has largely been overlooked by past studies, whereas this aspect plays a role in understanding the decision to admit Syrian refugees. Through discourse analysis on the speeches and remarks made by government actors of the United States, this research offers an alternative perspective on understanding how the United States came to a decision that may not reflect traditional security interests but reflects its ontological security needs or its security of being. In studying the decision, this research adopts the framework of analysis offered by Brent J. Steele by focusing on four components of ontological security, namely material and reflexive capabilities, crisis assessment, state biographical narrative, and co actor discourse strategies. This research finds that the United States rsquo awareness of its capabilities, along with past memory as a nation of immigrants and urgings from fellow international actors affect the United States in reaching the decision to admit Syrian refugees. This effort to preserve its identity, however, is still limited by security worries voiced by internal actors, thus resulting in the small number of refugees admitted as a compromise between the needs to ensure both ontological and traditional security."
2017
S69648
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kemara Sukma Vinaya
"ABSTRACT
Seiring dengan berkembangnya zaman, ancaman keamanan nasional pun juga mengalami perubahan. Memasuki abad ke-21, isu keamanan nontradisional menjadi sorotan salah satunya adalah keamanan siber. Saking mengancamnya, konflik di ranah siber dianggap sebagai ancaman keamanan nasional paling serius yang dihadapi negara semenjak dikembangkannya senjata nuklir pada tahun 1940an. Tidak heran jika AS, yang merasa menjadi korban serangan spionase siber ekonomi Cina, kemudian melakukan berbagai cara untuk menghentikan permasalahan ini. Setelah sekian lama menyangkal tuduhan AS, Cina dan AS akhirnya membuat kesepakatan kerja sama di bidang keamanan siber pada tahun 2015. Akan tetapi, kesepakatan ini nampak lebih menguntungkan bagi AS. Dengan menggunakan pendekatan third image, tulisan ini mengkaji kapabilitas Cina militer dan ekonomi dan posisi Cina dalam sistem internasional untuk melihat faktor dari level sistemik yang mendorong keputusan Cina tersebut. Tulisan ini mendapati dua faktor yakni 1 kepentingan keamanan Cina untuk membangun kapabilitas pertahanan militernya di bidang siber dan 2 mencegah kemungkinan tindakan AS, seperti sanksi ekonomi atau litigasi di WTO, yang dapat mengganggu upaya peningkatan kekuatan ekonomi Cina. Kesepakatan ini dimanfaatkan sebagai sarana Confidence-Building Measure CBM di bidang militer sekaligus upaya untuk mempertahankan kelangsungan Made in China 2025 yang penting bagi kapabilitas Cina secara keseluruhan.

ABSTRACT
As time goes by, the threats to national security also evolve. At the dawn of the 21st century, nontraditional security issues gradually started to be the center of attention one of them is cybersecurity. The potential fatality of its attack drives conflicts in the cyber realm as the most serious nasional security threat since the development of nuclear weapon in the 1940s. No wonder, the United States, which claimed to be the victim of numerous economic cyber espionage that can be attributed to China, then tried its hands on various possible method to stop that. After a period of denying the charges, China and US reached an agreement on cybersecurity in 2015. However, at least on the surface, the agreement seemed to be more advantegous for the United States. Using the third image approach, this writing tries to analyze Chinas capability both in military and economy mdash and Chinas position in the current international system to see what factors from the systemic level that drove China to this particular decision. There are at least two factors, which are 1 Chinas security interest to develop its military defensive capability in the cyber dimension and 2 to prevent possible US conducts, such as economic sanction and a litigation in WTO, which can disrupt Chinas effort in modernizing its economy. This agreement can be seen as Confidence Building Measure CBM platform for China with US in the military sector whilst also maintaining the sustainability of the Made in China 2025 program that is vital for Chinas overall capability that is somehow directly related to its survival in the future. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Widian
"ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji tentang topik kebijakan Indonesia di Laut Tiongkok Selatan. Sejak tahun 1990an, Indonesia telah dan terus berperan sebagai fasilitator dialog dalam isu sengketa di Laut Tiongkok Selatan. Indonesia selalu berusaha mengubah nuansa sengketa menjadi lebih kooperatif. Hal ini didukung oleh posisi dasar Indonesia yang bukan sebagai negara klaim di perairan tersebut. Namun, sejak tahun 2009, saat Tiongkok menegaskan klaimnya di Laut Tiongkok Selatan, Indonesia terlihat menegaskan kebijakannya untuk menyatakan kedaulatannya di wilayahnya yang berpotongan dengan Laut Tiongkok Selatan, walaupun Indonesia tidak mengubah posisi dasarnya dalam isu sengketa tersebut. Hal ini mengindikasikan suatu persepsi ancaman yang dirasakan Indonesia akibat perilaku Tiongkok sehingga Indonesia merasa harus menegaskan kedaulatannya. Melihat hal tersebut, muncul pertanyaan apa saja faktor yang mungkin dapat mengancam Indonesia di Laut Tiongkok Selatan dan bagaimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi kebijakan Indonesia di Laut Tiongkok Selatan. Dalam menjawab pertanyaan ini, artikel ini akan merujuk pada teori Perimbangan Ancaman Balance of Threat oleh Steven Walt dan konsep Perimbangan Intensitas Ringan. Untuk mengaplikasikan teori dalam analisis, data-data dalam penelitian ini akan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deduktif. Dalam analisis, penelitian ini menemukan bahwa perilaku Tiongkok di wilayah Indonesia yang berpotongan dengan Laut Tiongkok Selatan sejak tahun 2009 memberikan persepsi ancaman bagi Indonesia terkait keamanan wilayahnya dan mendorong Indonesia melakukan perimbangan terhadap ancaman tersebut, walau Indonesia tetap memposisikan diri bukan sebagai negara klaim. Dengan demikian, penelitian ini menyimpulkan bahwa Indonesia telah melakukan perimbangan terhadap ancaman yang dihasilkan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan.

ABSTRACT
AbstractThis research talk about Indonesian Policy in The South China Sea. Since 1990s, Indonesia has been played a role of dialogue falisitator in the South China Sea Disputes. Indonesia always tried to change the disputes environtment to become more cooperative. This role is supported by Indonesia rsquo a posisition as non claimant states in the issue. However, since 2009, when China rsquo s claim assertiveness rised, Indonesia seems to affirm its policy to assert its sovereignity in its territory that which intersects with The South China Sea, eventhough Indonesia still maintain its non claimant status. This indicated that Indonesia already feels some threat perseptions because of China rsquo s assertiveness and policy so that Indonesia urge to reaffirm its sovereignty in its territory. Seeing this, the question arises as to what factors might threaten Indonesia in the South China Sea and how these factors influence Indonesia 39 s policies in the South China Sea. In answering this question, this research will refer to the theory of the Balance of Threat by Steven Walt and the concept of Low Intensity Balancing. To apply the theory in analysis, the data in this research will use qualitative research method with deductive approach. In the process, the study found that China rsquo s behavior in Indonesian territory intersecting with the South China Sea since 2009 provided a threat perception for Indonesia and encouraged Indonesia to balance the threat, although Indonesia remained positioned as a non claimant country. Thus, this study concluded that Indonesia has use balancing policy to balance the threat produced by China in the South China Sea. "
2018
T51184
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Benedictus Christian Djanuar
"Kebijakan luar negeri Indonesia muncul sejak prinsip Bebas Aktif diperkenalkan melalui pidato Mohammad Hatta. Mulai era otoriter hingga demokrasi, kebijakan luar negeri Indonesia telah mengalami berbagai dinamika perumusan di tingkat domestik dan pengimplementasiannya di tingkat regional maupun global. Sejak tulisan Hatta dimuat di Foreign Affairs (1953), sejumlah literatur telah mengkaji dinamika kebijakan luar negeri Indonesia. Setelah 70 tahun berlalu, perkembangan kajian kebijakan luar negeri Indonesia memerlukan peninjauan melalui tinjauan pustaka. Tulisan ini bertujuan untuk meninjau perkembangan literatur mengenai kebijakan luar negeri Indonesia. Tulisan ini meninjau 55 literatur terakreditasi internasional mengenai kebijakan luar negeri Indonesia. Berdasarkan pada metode taksonomi, literatur-literatur tersebut dibagi ke dalam lima kategori tematis yang terdiri atas (1) Prinsip Bebas Aktif dalam kebijakan luar negeri Indonesia, (2) cara pandang kebijakan luar negeri Indonesia, (3) aktivisme kebijakan luar negeri Indonesia, (4) Islam dalam kebijakan luar negeri Indonesia, dan (5) demokrasi dalam kebijakan luar negeri Indonesia, serta kategori lain yang berisi literatur-literatur bertema selain yang telah disebutkan. Tinjauan pustaka ini berupaya untuk menyingkap konsensus, perdebatan, dan kesenjangan dalam topik ini. Selain itu, tulisan ini turut menunjukkan sejumlah tren dalam pengkajian kebijakan luar negeri Indonesia seperti persebaran tema, persebaran asal penulis, serta tren perspektif. Tinjauan pustaka ini mengidentifikasi bahwa aktivisme regional Indonesia merupakan tema paling dominan dalam pengkajian kebijakan luar negeri, sementara Realisme merupakan perspektif paling dominan. Tinjauan juga menggarisbawahi dominasi tulisan argumentatif dalam pengkajian kebijakan luar negeri Indonesia. Tulisan ini kemudian merekomendasikan sejumlah agenda penulisan lanjutan dan menggarisbawahi pentingnya melakukan diversifikasi ragam perspektif, dengan penekanan pada penggunaan perspektif pascapositivisme.

Indonesia’s foreign policy has been emerged since Bebas Aktif was first introduced on Mohammad Hatta’s speech. Since the authoritarian until the democratic era, Indonesia has experienced the dynamics of its policy-making and policy-implementing in the regional and global landscape. Since Hatta’s writing was published in Foreign Affairs (1953), numbers of literatures have captured the dynamics of the country’s foreign policy. About 70 years after, the development of the literatures on the academic realm now needs to be reviewed using the literature review. This paper aims to review the development of Indonesia’s foreign policy literatures. It reviews 55 internationally accredited literatures about Indonesia’s foreign policy. Based on taxonomy method, the literatures will be divided into five theme-based categories which consist of (1) Bebas Aktif as the foundation of Indonesia’s foreign policy, (2) Indonesia’s foreign policy worldview, (3) Indonesia’s foreign policy activism, (4) Islam in Indonesia’s foreign policy, and (5) democracy in Indonesia’s foreign policy, alongside another grouping consisting of literatures aside the aforementioned themes. The literature review seeks to unveil the conventional wisdoms, the debates, and the gaps of this topic. Besides, it also seeks to show some trends in the writing of Indonesia’s foreign policy such as the distribution of its themes, distribution of the authors’ origin, and the paradigmatic trend. The literature review identifies that Indonesia’s activism in the region is the most dominant theme in the literatures of Indonesia’s foreign policy, while Realism is the most dominant perspective used by the literatures. The review also highlights the dominance of argumentative paper in the writing of Indonesia’s foreign policy. It then recommends some proposed further researches and highlights the need to diversify the perspectives with emphasis on the post-positivist ones."
2019
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Meidy Amanda
"ABSTRAK
Studi ini menganalisis tindakan Amerika Serikat yang tidak menunjukkan komitmen yang kuat dalam aliansinya dengan Jepang. Studi ini menggunakan teori dilema aliansi yang dapat mempengaruhi perilaku negara sehingga mempengaruhi komitmen negara dalam aliansi tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode penelusuran causal-process tracing (CPT) dengan pengambilan data melalui studi kepustakaan. Analisis tersebut memberikan hasil bahwa komitmen Amerika Serikat yang samar dipengaruhi oleh dilema aliansi yang dialami Amerika Serikat. Lima faktor penentu dilema aliansi oleh Snyder secara garis besar dibagi menjadi dua kategori yaitu ketergantungan langsung dan tidak langsung. Ketergantungan langsung adalah tingkat ketergantungan yang meliputi empat hal. Pertama, ketergantungan militer Amerika Serikat yang rendah terhadap Jepang; kedua kemampuan Jepang dalam memberikan bantuan; ketiga tingkat ketegangan dan konflik dengan musuh; dan keempat alternatif yang dimiliki Amerika Serikat untuk beraliansi kembali. Sedangkan ketergantungan tidak langsung yaitu, kepentingan strategis Amerika Serikat, tingkat kejelasan dalam perjanjian, perbedaan kepentingan aliansi dalam konflik, dan perilaku aliansi (behavioral record) Jepang. Analisis tersebut menunjukan Amerika Serikat memiliki ketergantungan langsung dan tidak langsung yang rendah. Akibatnya, Amerika Serikat lebih takut terjebak (entrapped) dalam aliansinya dengan Jepang. Untuk menghindari hal tersebut Amerika Serikat memberikan komitmen yang lemah (defect) dengan cara mendorong peningkatan kapabilitas militer Jepang.

ABSTRACT
This study analyzes the actions of the United States which show a vague commitment in its alliance with Japan. Using alliance dilemma theory which can influence the behavior of the state, particularly the commitment of the state in the alliance. This research is a qualitative study using a causal-process tracing (CPT) method by collecting data through literature studies.. The analysis shows that the United States' commitment is vaguely influenced by the dilemma of alliance experienced by the United States. The five determinants of the alliance dilemma by Snyder are broadly divided into two categories: direct and indirect dependence. Direct dependence is the level of dependency which includes four things. First, the US military's low dependence on Japan; second Japanese ability to provide assistance; third level of tension and conflict with the enemy; and fourth, an alternative owned by the United States to realignment. Indirect dependence are; the strategic interests of the alliance, the degree of explicitness in the alliance agreement, the degree to which the allies' interests that are in conflic, and behavior record of alliances. The analysis shows that the United States has a low direct and indirect dependence to Japan. As a result, the United States is more afraid of being trapped in its alliance. To avoid this, the United States has a strategy of defect by encouraging an increase in Japanese military capabilities."
2019
T54148
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Sagita Daniar
"ABSTRACT
Kemunculan konsep keamanan kesehatan yang dipromosikan oleh WHO tentunya mendorong berbagai perdebatan di antara para akademisi studi keamanan internasional. TKA ini berupaya untuk memaparkan pembahasan kesehatan dalam empat perspektif kajian keamanan internasional, yaitu Copenhagen School, Welsh School, Paris School, dan Third World Security Perspective, untuk memahami perdebatan yang berlangsung. Namun, perdebatan yang terjadi di antara para akademisi belum dapat memunculkan konsepsi keamanan kesehatan tersendiri dalam ranah akademis. Berdasarkan kondisi tersebut, TKA ini mengidentifikasi bahwa kemunculan konsep keamanan kesehatan ditujukan sebagai instrumen praktis untuk memajukan kepentingan negara-negara Barat. Hal ini juga terlihat dari dominasi literatur Barat mengenai keamanan kesehatan, meskipun secara empiris permasalahan kesehatan lebih banyak ditemukan di negara-negara Dunia Ketiga.

ABSTRACT
The emergence of health security concept by WHO has encouraged various debates among international security studies scholars. This paper seeks to explore health discussion within four perspectives of international security studies, namely Copenhagen School, Welsh School, Paris School, and Third World Security Perspective, to understand the ongoing debate. However, the debates still could not generate any academic conception of health security. Based on this condition, this paper identifies that the emergence of health security concept was intended to be a practical tool to uphold Western interest. It is also shown through the dominance of Western literatures on health security, although empirically health problems are more prominent in Third World states.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia , 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gladys Berlyana
"Kehadiran CSCAP dan ARF telah menjadi titik awal munculnya berbagai inisiatif kerja sama keamanan multilateral di Asia-Pasifik pasca Perang Dingin. Pada tataran empiris, kehadiran inisiatif ini turut diikuti dengan perkembangan pembahasannya dalam literatur. Oleh karenanya, tulisan ini bertujuan untuk meninjau perkembangan literatur mengenai inisiatif kerja sama keamanan multilateral di Asia-Pasifik pasca Perang Dingin dengan menganalisis 47 literatur terakreditasi internasional yang membahas topik ini. Berdasarkan pada metode taksonomi, literatur tersebut dibagi ke dalam enam kategori, yaitu: (1) inisiatif dan karakteristik kerja sama keamanan multilateral di Asia-Pasifik pasca Perang Dingin, (2) motif kehadiran aktor non-Asia Tenggara dalam inisiatif (3) persepsi aktor non-Asia Tenggara terhadap kepemimpinan ASEAN dalam mayoritas inisiatif keamanan di AsiaPasifik, (4) motif keterlibatan negara-negara Asia Tenggara dalam inisiatif, (5) persepsi negara-negara Asia Tenggara terhadap inisiatif, dan (6) pandangan akademisi terhadap inisiatif tersebut. Tinjauan pustaka ini berupaya untuk menyingkap konsensus, perdebatan, kesenjangan literatur, dan menunjukkan sejumlah tren, seperti persebaran tema, persebaran asal penulis, serta persebaran perspektif atas topik ini. Tinjauan pustaka ini mengidentifikasi bahwa inisiatif dan karakteristik kerja sama keamanan multilateral di Asia-Pasifik pasca Perang Dingin merupakan tema paling dominan dalam pengkajian topik ini, sementara Realisme merupakan perspektif yang paling dominan digunakan dalam literatur. Tinjauan pustaka ini turut merekomendasikan sejumlah agenda untuk penulisan lanjutan.

The presence of CSCAP and ARF has become the starting point for the formation of postCold War multilateral security cooperation initiatives in Asia-Pacific. At the empirical level, the presence of the initiatives were followed by its development in literatures. Therefore, this paper aims to review this topic by analyzing 47 internationally accredited literatures. Based on taxonomy method, the literatures will be divided into six theme-based categories which consist of: (1) initiatives and characteristics of security cooperation in Asia-Pacific, (2) motives behind the presence of non-Southeast Asian actors, (3) perceptions of non-Southeast Asian actors towards ASEAN leadership in the majority of initiatives, (4) motives behind the involvement of Southeast Asian countries, and (5) their perceptions towards the initiatives, (6) academic views on the initiatives. This literature review seeks to unveil the consensus, debates, and gaps of this topic. Besides, it also seeks to show some trends in the writing of this topic such as the distribution of its themes, authors' origin, and the paradigmatic trend. This literature review identifies that initiatives and characteristics of Post-Cold War Multilateral Security Cooperation in Asia-Pacific is the most dominant theme in the literatures, while Realism is the most dominant perspective used by the literatures. It then recommends some proposed further researches

"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia , 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mabda Haerunnisa Fajrilla Sidiq
"Laporan UN GGE tahun 2015 menjadi laporan monumental yang memberikan rekomendasi mengenai pengaturan ruang siber internasional, termasuk norma mengenai sikap negara yang bertanggung jawab. Merespons laporan tersebut, ASEAN menyatakan komitmennya untuk mengikuti dan menyusun langkah implementasi untuk seluruh norma tersebut pada tahun 2018. Menanggapi fenomena tersebut, skripsi ini mempertanyakan mengapa ASEAN memutuskan untuk mengikuti norma siber UN GGE. Skripsi ini menggunakan teori difusi norma sebagai kerangka analisis dan metode causal-process tracing. Penelitian ini menemukan bahwa keputusan untuk mengikuti seluruh norma siber UN GGE sesuai dengan kepentingan negara-negara anggota ASEAN dan basis kognitif ASEAN. ASEAN menunjukkan kesesuaian tersebut dengan mengedepankan karakter komprehensif dari pembahasan mengenai norma siber dengan memanfaatkan bingkai ekonomi dan keamanan. Sementara itu, ASEAN pun menunjukkan respons mimicry terhadap norma UN GGE. Respons tersebut mengimplikasikan bahwa ASEAN cenderung mempertahankan basis kognitif dalam menyambut kehadiran norma eksternal, mengingat kesesuaian norma eksternal dengan nilai-nilai mendasar di ASEAN dan kepentingan negara-negara anggota ASEAN.

"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khadijah
"Kepemimpinan dalam bidang studi Ilmu Hubungan Internasional kerap dimaknai sebagai penggunaan kekuasaan, bahkan tidak jarang hal tersebut dianalogikan sebagai hegemoni. Minimnya pendefinisian yang secara eksplisit menjelaskan karakteristik kepemimpinan mulai meleburkan konseptualisasi tersebut. Melalui peninjauan kembali konseptualisasi dan karakteristik kepemimpinan, literatur ini menawarkan pembahasan mengenai bagaimana perkembangan kajian kepemimpinan dipahami dan dimaknai dalam bidang studi Ilmu Hubungan Internasional. Tinjauan literatur ini memetakan dan menggambarkan beragam pandangan serta pemikiran mengenai kepemimpinan pada 75 literatur yang berbeda. Tinjauan literatur ini dibuat dengan menggunakan metode taksonomi dengan mengidentifikasi tiga kategori bahasan utama yang ada, diantaranya 1) konseptualisasi kepemimpinan, 2) analisis kepemimpinan dalam sistem internasional, dan 3) pengimplementasiannya dalam politik global. Penulis mendapati bahwa kajian kepemimpinan dalam ilmu hubungan internasional tidak secara eksklusif membahas terkait kepemimpinan politik dalam panggung global saja, malah hanya menghadirkan asumsi dasar perdebatan makna konseptualisasi yang tumpang tindih antara satu terminologi dengan lainnya. Oleh karena itu, diperlukannya pengembangan lebih lanjut batas-batas konseptualisasi yang mampu mengidentifikasi dan memberikan karakteristik ‘kepemimpinan’ pada panggung global.

Leadership in International Relations generally interpreted as the use of power, it is also regularly viewed as hegemony. The lack of definition that explains the characteristics of leadership begins to merge this conceptualization. This paper reviews the characteristics and to some extent how the conceptualizations are being interpreted and developed from time to time in International Relations. This paper reviews through different lenses and articles, using 75 different literature and taxonomic methods, it identifies three main discussion categories, which is 1) the conceptualization of leadership, 2) the analysis of leadership in the international system, and 3) how it is implemented in global politics. This paper finds that the study of leadership in International Relations does not exclusively discuss political leadership on the global stage, instead it only presents the basic assumptions of the debate over the meaning of conceptualization which often overlaps between one and another. Therefore, further research needs to develop the conceptualization boundaries which are able to identify and characterize 'leadership' on the global stage."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kiara Dwileysia Hamzah
"Propaganda perang yang terjadi sejak Perang Dunia II telah menjadi fenomena polarisasi masyarakat yang mengakibatkan destruksi di dunia. Melihat dampaknya, Perserikatan Bangsa Bangsa berupaya untuk membentuk deklarasi media massa untuk memperbaiki kualitas publikasi media melalui nilai-nilai positif. Melalui deklarasi, beberapa akademisi perdamaian mulai mencapai kesadaran untuk mengembangkan jurnalisme perdamaian. Secara praktik dan teoritis dikembangkan dengan baik, dan dituangkan pada penulisan jurnal maupun buku. Sejauh ini jurnalisme perdamaian mulai diakui oleh banyak jurnalis maupun akademisi, akan tetapi kehadirannya di media masih kalah kentara dengan jurnalisme perang dan jurnalisme umum. Melalui premis sebelumnya, penulisan ini berusaha untuk mengulik bagaimana perkembangan jurnalisme perdamaian dari waktu ke waktu, beserta dengan gambaran dinamika di media umum. Untuk menelusuri topik, penulis memungut 45 literatur dan menggunakan metode taksonomi sebagai alat pemilihan tema. Berdasarkan penemuannya, terdapat tiga tema utama yang kentara dalam penulisan jurnalisme perdamaian, terdiri dari (1) Konseptualisasi Jurnalisme Perdamaian;  (2) Musuh Jurnalisme Perdamaian; dan (3) Jurnalisme Perdamaian dalam Konflik Kontemporer. Berdasarkan temuan, sebagian besar penulisan JP dikaji oleh negara Barat. Kajian jurnalisme perdamaian kurang lebih berfokus pada konflik-konflik di negara berkembang atau negara miskin. Jurnalisme perdamaian juga bergantung pada masing-masing kemampuan jurnalis. Oleh karena itu, penulisan ini perlu menggaris bawahi kesenjangan dalam penulisan, praktik, dan teori dari JP, dan dievalusai kembali apa yang menjadi penting dalam JP.

The war propaganda that has been occurring since World War II has become a phenomenon of societal polarization, resulting in destruction worldwide. Recognizing its impact, the United Nations has made efforts to establish a declaration on mass media to improve the quality of media publications through positive values. Through this declaration, peace academics have begun to raise awareness and develop peace journalism. It has been well-developed both in practice and theory, reflected in journal articles and books. So far, peace journalism has gained recognition among many journalists and academics, although its presence in the media is still less prominent compared to war journalism and mainstream journalism. Building upon the aforementioned premise, this writing aims to delve into the development of peace journalism over time, along with an overview of dynamics in mainstream media. To explore the topic, the author gathered 45 pieces of literature and utilized the taxonomy method as a tool for selecting themes. Based on the findings, three main themes emerged in peace journalism writing, (1) Conceptualization of Peace Journalism, (2) Enemies of Peace Journalism, and (3) Peace Journalism in Contemporary Conflicts. It was discovered that the majority of peace journalism studies were conducted by Western countries. The focus of peace journalism research primarily revolved around conflicts in developing or impoverished countries. Furthermore, peace journalism is also dependent on the capabilities of individual journalists. Therefore, this writing emphasizes the gaps in writing, practice, and theory within peace journalism and reevaluates what is essential in peace journalism."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>