Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 145 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tiara Chandrasari
"Perubahan merupakan suatu fenomena yang selalu mewarnai perjalanan sejarah setiap masyarakat dan kebudayaannya. Salah satu penyebab terjadinya perubahan adalah kehadiran modernitas dan penyesuaian akan kebutuhan hidup yang berbeda setiap saat. Pada akhirnya tradisi dan modernitas akan saling berhadapan seiring dengan perkembangan jaman.
Bali memiliki prinsip adat, budaya dan agama yang kuat. Hal ini yang membuat Bali mempunyai identitas dan karakter. Ketiganya memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat Bali untuk mempertahankan tradisi. Namun dalam perjalanan waktu, tradisi dapat berubah. Kemajuan akan modernitas membutuhkan dasar budaya yang kuat dan kreatif yang berakar pada kepribadian dan identitas diri. Tanpa budaya yang mendalam modernisasi tidak akan menuju ke arah yang lebih maju, karena dapat memiliki ketergantungan dengan budaya dari luar. Kemampuan menerima perubahan adalah potensi yang penting agar nilai-nilai tradisi dapat bertahan di masyarakat.
Pamesuan merupakan salah satu wujud arsitektur tradisional Bali yang telah berkembang pesat. Pamesuan adalah pintu keluar pekarangan hunian Bali. Terdiri atas kori (pintu), undag (tangga) dan penyengker (tembok). Gejala perubahan yang terjadi dapat ditandai melalui pamesuan, baik perubahan secara bentuk, fungsi maupun makna simbolis. Dialog antara tradisi dengan modernitas akan terlihat pada perubahan pamesuan. Pamesuan dapat menjadi tanda terjadinya proses adaptasi modernitas pada tradisi Bali.

Change is a phenomenon that will always appear in the history of every society and its culture. One thing that could give change is modernity and the need to adjust. Confrontation of tradition and modernity is eventually unavoidable.
Bali has a strong custom, culture and religion principle. This gives Bali its identity and character. The presence of these three aspects is what maintained the tradition in Balinese society. Nevertheless it is not impossible for tradition to change. A strong and creative cultural foundation, rooted in personality and self identity, is the solid ground on which the development of modernity stands. Without a strong culture, modernity will not advance due to its addiction to the outside culture. So as to give survival to the value of tradition, the capability of accepting changes is a must.
Pamesuan is one of the Balinese traditional architectural forms that were rapidly developed. Pamesuan, comprised of kori (door), undag (stair) and penyengker (wall), acts as the gate in Balinese dwelling. The symptoms of change are reflected through the form, function and symbolic meaning of pamesuan. Dialogue between tradition and modernity can be seen through the transformation of the pamesuan. One can comprehend the adaptation of modernity in Bali tradition by observing the pamesuan."
2008
S48424
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Situmeang, Boris A.
"Program telah menjadi anak emas dalam perancangan arsitektur masa kini. Perancang sangat tertolong dengan arahan yang diberikannya. Program juga memungkinkan arsitektur untuk berubah sepanjang waktu, sesuai dengan informasi yang terus‐menerus diterimanya. Informasi mengenai hal teraga maupun tak teraga pada tapak menjadi masukan bagi program. Dengan begini arsitektur dapat beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi. Namun, selidik punya selidik, program dahulu tidak memungkinkan arsitektur untuk berubah.
Dahulu, program kaku adanya. Kakunya program disebabkan oleh hasrat perancang untuk memenuhi persyaratan fungsi saja, melupakan budaya. Kalaupun teringat, lambat laun perancang akan melupakannya. Akibatnya makna pada arsitektur sirna. Dengan demikian, program yang semula sesuai dengan pemicu menjadi mentah dan tak layak lagi di mata waktu. Hal ini telah terjadi dari masa ke masa, terlihat jelas di era arsitektur modern dan postmodern. Perubahan zaman menuntut arsitektur untuk berubah pula. Dengan berubah, arsitektur dapat terus menerus menghasilkan makna.
Budaya yang menjadi bagian penting pada perancangan, terlebih pemrograman, mendorong timbulnya pertanyaan mengenai kemampuan program untuk mengolah masukan tersebut. Dipertanyakan pula bagaimana program berubah dan memaksa arsitektur berubah sehingga makna dapat diciptakan lagi dan lagi.

No such doubts can be inquired of the program?s popularity. Program is helpful for it provides directions for designers. Program is lithe by allowing architecture to change through time by its perpetual endeavor to import informations. Any site‐specific informations, whether physical or non‐physical, can be the input for the program. Consequently, change is surmountable because architecture is adaptive. Nevertheless, this quality wasn?t always there.
Program has been inflexible, caused by the search for functional perfection. Designers have forgotten another factor: the culture. Remembrance was futile, for it only lasted a while, short enough for meanings to vanish. The program which was once considered suitable became irrelevant and inappropriate. We have seen triumphant thought and theories at the times of modern and post‐modern architecture turned old and obsolete, which occuring has been witnessed through each eras which is known in history. As time goes on, architecture insist on change. Hence, it enable architecture to produce fresh meanings persistently.
Significantly, culture affects program. That very sentence provokes certain questions regarding the ability of program to process cultural inputs and to change architecture and its meanings."
2008
S48438
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Adhitya Pandu Pradana
"Perubahan fungsi adalah sesuatu yang identik dengan citra kota dan masyarakatnya kini. Ditandai dengan perkembangan teknologi yang pesat sehingga kemudian memicu timbulnya kedinamisan pada cara hidup masyarakat kota. Perubahan-perubahan tersebut turut diwarnai pula dengan adanya pemikiran bahwa bentuk memicu timbulnya fungsi tertentu. Dengan ini, masyarakat kota menjadi kreatif akan perubahan yang ada sehingga dapat terus beradaptasi dengan perubahan tersebut.
Fenomena-fenomena perkembangan yang terjadi pada kota turut pula memicu lahirnya ruang ambigu pada kota. Diawali dengan timbulnya banyak persepsi akan suatu ruang, selanjutnya membuat ruang tersebut beradaptasi dan berinteraksi dengan pengguna, dalam hal ini masyarakat kota. Adaptasi dan interaksi itulah yang membuat suatu ruang kemudian menjadi fleksibel. Fleksibilitas kemudian berpengaruh terhadap timbulnya ruang multifungsi.
Karena fleksibel, pemaknaan baru pada suatu ruang yang dianggap ambigu menjadi bebas, dalam hal ini menjadi pemicu lahirnya kegiatan graffiti dan skateboarding. Keadaan ini berdampak pada terjadinya pertentangan, karena tidak semua pengguna sepakat dengan hadirnya pemaknaan baru terhadap ruang kota. Perubahan fungsi yang ekstrim sehingga mengakibatkan misuse seiring dengan hadirnya pemaknaan baru terhadap ruang, berdampak pula pada pembentukkan citra baru bagi kota.
Skripsi ini mencoba menelusuri apa yang melatarbelakangi lahirnya ruang ambigu terkait dengan fenomena graffiti dan skateboarding. Disini akan terlihat bagaimana hubungan antara ruang ambigu dengan kemunculan misuse dalam arsitektur.

Change in function is something that identical with the city image and its current community. The rapid development of technology marked the emergence of community dynamic way of life. These changes also influenced by the thought of form triggered the emergence of certain function. Hence, the city community became creative toward the changes that happen, in order to continually adapt with those changes.
The development phenomena that happened to the city also triggered the birth of ambiguous space in the city. Preceded with the emergence of numerous perceptions of a space, thus made this space adapting and interacting with the user, in this case the city community. Those adaptations and interactions that made a space become flexible. Afterwards this flexibility was influential towards the emergence of multifunctional space.
Since it was flexible, new elucidation of a space that were regarded as ambiguous became free, in this case became the trigger of the birth of activity such as graffiti and skateboarding. This situation had an impact in the occurrence of conflict, because not all users agreed with this city space new elucidation. The extreme change in function resulted in misuse along with the presence of new elucidation of space, which also had an impact in producing new image for the city.
This writing tried to investigate the basis of the birth of ambiguous space in relation to the graffiti and skateboarding phenomenon. From here, the state of relations between ambiguous space and the emergence of misuse in architecture will be seen.
"
2008
S48402
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Alif Shalahuddin
"Kondisi alam dan lingkungan terus berubah baik itu ke arah yang lebih baik atau bahkan yang lebih buruk. Fakta bahwa perubahan tersebut memicu manusia untuk memberikan respon sudah disadari semenjak dahulu. Menanggapi berbagai komplikasi tersebut, kehadiran portable architecture memberikan kompensasi yang baik terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Bangunan permanen yang awalnya dirancang dengan baik secara kontekstual akan selalu memiliki kecenderungan gagal dalam menyeimbangkan diri dengan perkembangan lingkungannya. Hal ini seringkali berakibat fatal dan akan membalikkan keberadaan bangunan tersebut sebagai perusak lingkungan.
Keberadaan portable architecture masih sangat kuat tersebar ke seluruh dunia, termasuk Jakarta. Salah satu penerapan portable architecture yang bisa ditemui hampir di sepanjang trotoar Jakarta: warung tenda milik pedagang kaki lima. Keberadaan pedagang kaki lima menjadi kasus yang merepresentasikan fenomena diatas dengan baik. Pada siang hari, tidak tampak adanya tanda-tanda kehidupan mereka, namun pada malam hari keberadaan pedagang kaki lima ini ?mencuri? sebagian besar perhatian pengguna jalan.
Pendefinisian tempat, keberdirian warung, pemanfaatan eksisting, sense of place, kontinuitas warung, fleksibilitas, faktor ephemeral, penggunaan waktu yang spesifik, peluang pada suatu ruang dan tata ruang yang sederhana hadir bersama keberadaan pedagang kaki lima di ibukota ini. Keterkaitan faktor-faktor di atas yang memberi keunikan pada kehadiran portable architecture di Indonesia khususnya Jakarta dan sekitarnya.

Nature?s condition is continuously altering, whether it is approaching positive or negative consequences. The verity that this transformation elicits responds from human beings has been apprehended since a long time ago. In counter of these impediments, (seen from its notion which persistently compliant to its current settings) the existence of portable architecture seems to encounter the necessities of societal alteration. While contextually permanent buildings are still alleged as the only way to decipher problems architecturally, the failure of building conjunction with surroundings? improvements can easily prejudice its destruction. These incidences often lead to a fatal clause of which will turn a building?s function into the main motive of its environmental demolition.
The survival of portable architecture is nonetheless fervently spread amid the entire world, including Jakarta which reflexively has profound correlation with its concept for over many years. One of the most widespread patterns can be seen alongside Jakarta?s sideways: the street vendors. The oscillation of street vendors? life embodies the perfect occurrence for these phenomena. By day, there is no sign whatsoever pertaining to their being, yet at night their commotions draw most of the attention.
Place definition, vendor formation, existing utilization, sense of place, continuity, flexibility, ephemeral factors, definite time consumption, space opportunity and simple space organization subsists together with street vendors? dispersion throughout this metropolitan city. The bond within these aspects grants inimitability to the existence of portable architecture in Indonesia, mainly in prominent cities such as Jakarta.
"
2008
S48428
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Gibran
"Ruang publik kota merupakan sebuah tempat berkumpulnya banyak orang untuk melakukan aktifitas yang beragam. Aktifitas yang berbeda-beda antar satu orang dengan orang yang lainnya merupakan potensi konflik.
Diperlukan sebuah aturan yang mampu mengatur kegiatan dan orang-orang yang berada di ruang publik tersebut agar konflik tidak terjadi. Aturan tersebut mencakup adanya pengawasan terhadap orang-orang yang beraktifitas di ruang publik tersebut.
Ketidakteraturan terjadi ketika kurangnya pengawasan diberlakukan atas aturan yang berlaku terhadap orang-orang tersebut. Semakin lemah pengawasan, semakin kuat potensi ketidakteraturan muncul, semakin kuat pengawasan, semakin lemah potensi ketidakteraturan muncul.
Skripsi ini akan membahas bagaimana peran surveillance dalam menjaga order pada ruang publik yang berupa non-place¸dan akibat dari tidak ketatnya surveillance pada non-place tersebut.

Public space is a place which a lot of people gather to do many kind of activity. Different activities of people is a conflict potential.
Rule is needed to manage people?s activities in public space to avoid conflict. the rule consist of surveillance to peoples that doing activities in that public space.
Disorder happen when the surveillance to the rule is lack. The more lack of surveillance, the more disorder appear, the more strong of surveillance, the more disorder disappear.
This writing is about to discuss how the surveillance contribute in maintaining order in an non-place public space, and the effect of the lack of surveillance in that non-place.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2008
S48433
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ujung, Verarisa Anastasia
"Ruang sebagai wadah representasi kuasa dan respon akan penyimpangan perilaku diri merupakan ide besar dalam skripsi ini. Sebab, ruang merupakan dimensi kehidupan sosial dan elemen penting terkait dengan kuasa dan pengawasan sosial. Ruang dengan fungsi dan karakteristik terkait ide tersebut didefinisikan sebagai correctional space. Pada dasarnya, correctional space merupakan solusi ruang akan kebutuhan penghukuman, pengawasan serta koreksi terhadap penyimpangan yang dipahami sebagai tindakan kriminal. Sehingga, skripsi ini berfokus dalam konteks keterikatan ruang, diri, dan kuasa dalam ide koreksi.
Kuasa yang direpresentasikan dalam correctional space berlaku melalui aspek spasial dan sosial dalam bentuk institusi yang dalam hal ini adalah Lembaga Pemasyarakatan. Studi kasus yang dibahas adalah Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cipinang yang menerapkan sistem pengawasan dan pembinaan melalui kuasa pendisiplinan dan toleransi. Lembaga Pemasyarakatan sebagai correctional space dikarakterisasi oleh sistem relasi, interaksi, kontak, dan toleransi antar penyelenggara kuasa terhadap warga binaan. Maka, penting untuk membahas bagaimana kuasa pendisiplinan dan toleransi dipahami secara ruang dalam Lembaga Pemasyarakatan sebagai correctional space. Temuan skripsi ini diharapkan dapat memberi pengertian spasial terkait penerapan correctional space dalam Lembaga Pemasyarakatan.

Space as the representation of power and response of disorder behavior is a central idea of this study. That's because of space is related to social life dimension and an important element in the constitution of power and social control. Space that consist of the function and characteristic according to those idea is defined as a correctional space. Basically, correctional space is the space solution with the aim of punishment, control and correctional action for the opposite behavior which is considered as a crime. That's why the study is focusing in the context of space, body, and power through correctional idea.
Power which represented in correctional space applied through spatial and social aspect in institution which considered as a penitentiary. This case studied in Penitentiary of Cipinang in which applied the control and development system through disciplinary power and toleration. Penitentiary as a correctional space is characterized by the system of relation, interaction, contact, and toleration between stake-holder and inmate. That's why, it's important to study how disciplinary power and toleration has been considered spatially in penitentiary as the correctional space. As the result, this study may contribute in spatial understanding of the implementation of correctional space in Penitentiary.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2011
S181
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Buyung Anggi Prabowo Kusumo
"Angels with dirty faces merupakan pendekatan dalam berarsitektur yang berorientasi pada masyarakat pengguna. Pemahaman Angels with dirty faces terkait dengan okupansi ruang-ruang ideal dalam arsitektur oleh hal lain yang muncul dalam realita kehidupan keseharian masyarakat. Pedagang kaki lima yang ada pada ruang-ruang kota urban merupakan representasi dari Angels with dirty faces. Mereka muncul pada saat dibutuhkan, bekerja atas event yang sedang berlangsung, kemudian menghilang setelahnya Skripsi ini membahas arsitektur temporer yang muncul sebagai respon atas event yang terjadi pada waktu-waktu tertendau. Dalam hal ini, waktu digunakan sebagai sudut pandang dalam arsitektur.

Angels with dirty faces are an architectural approach that oriented in the community-users. Understanding Angels with dirty faces associated with the occupancy of ideal space in architecture by the other things that appear in the reality of everyday life of the society. Street vendors that exist in the urbanized spaces are a representation of the Angels with dirty faces. They arise in time of need, working on events in progress, and then disappeared after it. This thesis discusses temporary architecture that emerges as a response to events occurs at certain times. In this case, time is used as a point of view in the architecture."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2011
S184
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Desita Dwijayanti
"Dengan bertambah majunya penerapan teknologi pada bangunan, juga berkembangnya perdagangan, ditambah peningkatan populasi dan peningkatan standar hidup, konsumerisme pada masyarakat juga turut berkembang. Konsumerisme adalah ideologi kapitalis yang merupakan kumpulan praktek sosial, budaya dan ekonomi. Pengaruhnya sangat kuat dalam membentuk lingkungan terutama dalam produksi arsitektur seperti pusat perbelanjaan. Desain pusat perbelanjaan menjadi kompleks dan khusus karena konsumerisme yang berkembang. Munculah beragam jenis pusat perbelanjaan, bentuk yang telah muncul pun tidaklah statis, terus berkembang ke berbagai arah sebagai usaha untuk tetap diminati. Dalam usaha menghasilkan solusi mengatasi masalah yang timbul pada desain pusat perbelanjaan, penting bagi para perencana untuk mengetahui konsep pusat perbelanjaan apa saja yang pernah dan sedang berkembang serta latar belakang apa yang memunculkannya. Tujuannya adalah untuk menebak bagaimana prospek pusat perbelanjaan ke depan. Di Indonesia konsep pusat perbelanjaan juga berkembang pesat beberapa tahun ini. konsep-konsep yang berkembang bahyak diambil dari konsep-konsep yang lebih dulu diterapkan di luar. Konsep yang berhasil adalah yang sesuai dengan konsumerisme yang berkembang di Indonesia.

With the increase of technology application in building, and also the development of the trade, the increase of population growth and the increase of living standard, the consumerism in the society is also developing. Consumerism is regarded as the practical ideology of capitalism which was a set of social, cultural and economic practices. Its influence to build the environments, especially in architecture product such as shopping center is very strong. Shopping center design is becoming complex and special; it is caused by the development of consumerism. Various kinds of shopping center forms are appeared in number, and the shapes which have been formed are not statically, they developed continuously to various directions as an effort to keep being interested. In order to resolve the shopping center design problems, it is necessary for the designers to know about shopping center concepts which were ever existing and still developing, and its background for their emerges. The target is to guess the prospect of shopping center in the future. In Indonesia, the concepts of shopping center are also fast developed in these recent years. The developing concepts are taken from foreign concepts which have been applied previously in foreign countries. The succeed concepts are the ones which are appropriate to consumerism which was developing in Indonesia."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2006
S48632
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Palupi, Niken
"Modernisme tidak selalu berbicara masalah style atau gaya arsitektur. Walaupun modernisme nantinya dapat diwujudkan dalam bentuk arsitektural, akan tetapi dalam hal ini modemisme lebih cenderung kepada sebuah pola pikir dalam masyarakat yang sifatnya lebih esensial. Sebuah pola pikir yang menjadi penyebab munculnya budaya global. Di era globalisasi saat ini, pola pikir modemisme telah mendominasi masyarakat. Hal itu disebabkan oleh kapitalisme, birokrasi, teknologi, dan perkembangan ekonomi yang membuat sebuah tren global, sehingga budaya lokal masyarakat berubah menjadi budaya global. Kemudian dengan adanya teknologi, masyarakat menjadi sangat bergantung kepada mesin. Hal itu disebabkan karena' mesin sangat memudahkan masyarakat untuk memenuhi segala kebutuhannya. Lalu dengan adanya modemitas, tradisi masyarakat menjadi seragam dan keorisinalitas budaya lokal pun semakin menghilang.
Yang dimaksud dengan tradisi di sini adalah lebih mengacu kepada kehidupan sehari-hari atau domestik masyarakat yang merupakan suatu rutinitas dan telah diturunkan dari generasi ke generasi. Fenomena yang terjadi dalam kehidupan domestik sebuah keluarga adalah tradisi melayani dan dilayani. Dari fenomena tersebut dapat terlihat bahwa masih ada tradisi yang dipertahankan dan terdapat pula pengaruh modemisme di dalamnya. Namun benarkah terjadi bentrokan antara modemitas dan tradisi yang saling bertentangan tersebut? Atau kah saat ini masyarakat membutuhkan keduanya?"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2006
S48561
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shafiyatul Amaliyah
"Mahasiswa merupakan golongan kaum muda yang sedang dalam masa peralihan dalam berbagai hal. Dalam tahapan hidupnya mereka sedang mencoba mencapai kemandirian. Untuk keperluan menuntut ilmu sebagian harus pindah, sehingga mereka harus tinggal terpisah dari keluarganya. Di kehidupan sehari-harinya mahasiswa tidak pernah lepas dari kebutuhan, sehingga mereka harus melakukan berbagai aktivitas. Aktivitas utama mahasiswa ialah kuliah, yang merupakan rutinitas harian. Hal ini kadang membuat mahasiswa bosan, apalagi ditambah permasalahan yang kadang dihadapinya. Sehingga mereka membutuhkan sebuah pelarian, berupa sesuatu yang menyenangkan. Di sisi lain mereka membutuhkan bersosial dan rasa saling memiliki., yang sekarang tidak diperoleh dari keluarganya. Sehingga mereka tergabung dalam suatu komunitas yang dapat memberikan rasa kebersamaan dan rasa saling memiliki. Untuk itu mahasiswa membutuhkan suatu ruang lain yang dapat mewadahi aktivitas sosialnya dan aktivitas yang menyenangkannya. Ruang lain ini berupa tempat publik informal, sehingga mereka dapat bebas menjadi diri mereka. Ruang lain inilah yang menjadi other place bagi mereka. Di Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar, other place begitu 'hidup' dan mendatangi other place menjadi rutinitas harian bagi sebagian besar mahasiswa. Melihat hal ini saya ingin mengetahui lebih jauh apakah hal ini pengaruh mahasiswa di Yogyakarta yang sebagian besar mahasiswa perantauan, jadi mereka mendatangi other place demi kebuthan sosial, dan other place seperti apa yang dapat mewadahi aktivitas bagi mahasiswa.

College students as a youth during their transition phase have changed in many things. In this period they try to achieve their independency. To study at university most of them have to move from their recent town, so they have to live apart from their family. In their every day life college students have some needs; they do some activities to fulfill it. Study as necessary activities become their daily routine. Sometimes these conditions make them bored. They also have problems in their life, it makes them feel worse. So they need an escape to feel better again, it can be something that can make them happy. In other side college students need sense of belonging and need to interact with others. It can't be get from their family now, so they joint in a community which can give them sense of belonging. For that reason college students need other space which can provide a place for their social activity and optional activity. This other space is an informal public place which allows them freedom to be their own self. This other space which can be other place for them. In Yogyakarta which well known as a 'student' city, other place is so exist and come to other place be daily routine activity for almost college students. Based on this fact, I want to more to know about this, it is affected by live apart from their family so come to other place for fulfill their social need, or caused by other thing. And what kind of other place which can provide a place for their activities?."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2007
S48391
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>