Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurkholis
"ABSTRAK
Kebijakan desentralisasi di Indonesia secara tegas mulai dilaksanakan pada tahun 2001, dan telah membawa perubahan yang besar terhadap kondisi perekonomian daerah. Saiah satu usaha dalam meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat pembangunan perekonomian daerah, pengelolaan potensi daerah, dan terwujudnya kesejahteraan masyarakat di samping sebagai sarana percepatan pertumbuhan kehidupan berdemokrasi dalam era desentralisasi adalah kebijakan pembentukan daerah. Pembentukan daerah yang secara massive terjadi adalah berupa pemekaran wilayah, khususnya wilayah Kabupaten/Kota. Terkait dengan kebijakan desentralisasi dan pembentukan daerah, ukuran yang optimal bagi pemerintahan daerah menemukan urgensinya karena memiliki keserasian dan kesinergian dalam mencapai tujuan pembangunan ekonomi daerah. Studi ini berusaha mengidentifikasi faktor-faktor yang signifikan dipertimbangkan dalam proses pemekaran daerah selama ini dan mengukur ukuran optimal bagi pemerintahan Kabupaten/Kota yang mendukung terwujud dan tercapainya tujuan dari kebijakan desentralisasi. Dari hasil studi ini, nantinya akan dapat disimpulkan bagaimana pola reformasi terhadap pemerintahan Kabupaten/Kota di Indonesia yang sehanisnya dilakukan. Hasil analisis dengan menggunakan model probit menunjukkan bahwa suatu wilayah Kabupaten/Kota akan memiliki peluang besar/kecenderungan untuk dimekarkan selama ini adalah apabila daerah tersebut (berdasarkan urutan bobot pertimbangan, dari yang terbesar sampai terkecil): a) terletak di luar Jawa dan Bali; b) daerah berstatus Kabupaten; c) memiliki rasio PDS terhadap pengeluaran total yang besar; d) bukan daerah Baru basil pemekaran; e) memiliki PDRB yang berkontribusi besar terhadap PDRB total (atas dasar harga berlaku) seluruh Kabupaten/Kota dalam satu Provinsi; f) mempunyai jumlah penduduk yang besar; g) mempunyai wilayah yang cukup luas; h) mendapatkan alokasi DAU yang besar; dan i) memiliki nilai PDRB yang relatif kecil. Dari faktor-faktor yang signifikan menjadi pertimbangan dilakukannya pemekaran wilayah selama ini tersebut, terlihat bahwa kinerja dari pembangunan daerah masih belum/tidak signifikan untuk dipertimbangkan. Hasil regresi fungsi translog dan fungsi kuadratik dengan menggunakan pendekatan minimisasi pengeluaran per kapita menunjukkan eksistensi economies of scale dari besarnya jumlah penduduk Kabupaten/Kota. Dengan menggunakan pendekatan maksimisasi, ditunjukkan pula bahwa pengeluaran Pemerintah KabupatenlKota selama ini belum efisien dan belum mendukung upaya pencapaian kinerja pembangunan seperti yang dicita-citakan.
Dengan berbagai ketentuan, variabel yang signifikan digunakan dalam pengukuran ukuran optimal adalah jumlah penduduk. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan pendekatan minimisasi dan maksimisasi, ukuran optimal bagi KabupatenlKota yang diperoleh tidak tunggal (berbeda-beda), baik antara Kabupaten dan Kota, antar setiap jenis pengeluaran per kapita, maupun antar waktu. Hasil perhitungan dengan pendekatan maksimisasi dan minimisasi menunjukkan adanya sating kesinergian. Secara umum, ukuran jumlah penduduk yang optimal bagi daerah KabupatenlKota agar pengeluaran per kapita dapat minimum dan jumlah penduduk minimal agar PDRB per kapita dapat meningkat adalah sekitar 2 (dua) juta jiwa. Realitas ukuran Pemerintah Kabupaten/Kota yang secara umum relatif kecil dibandingkan dengan ukuran optimal dan ukuran minimal, menunjukkan masih belum efisiennya pengeluaran Pemerintah Kabupaten/Kota, dan juga belum mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sehingga, kebijakan pemekaran wilayah yang dilakukan selama ini justru membuat semakin tidak tercapainya tujuan utama dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di daerah."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T17157
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Nurul Haq
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran tingkat stres kerja dan faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat stres kerja pada petugas pemadam kebakaran di Suku Dinas Penanggulan Kebakaran dan Penyelamatan Kecamatan Matraman. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif dengan design penelitian cross sectional. Penelitian ini dilakukan di Suku Dinas Penanggulan Kebakaran dan Penyelamatan Kecamatan Matraman pada Maret – Juni 2020. Besaran sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah 53 responden. Variabel dependen dari penelitian ini adalah stres kerja dan variabel independen dari penelitian ini adalah beban kerja, desain kerja, jadwal kerja, peran dalam organisasi, pengembangan karir, hubungan interpersonal, dan home-work interface. Pengambilan data primer dilakukan dengan pengisian kuesioner COPSOQ untuk faktor psikososial dan PSS untuk stres kerja dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 31 petugas pemadam (58,5%) mengalami stres sedang. Terdapat hubungan yang bermakna antara beban kerja dengan stres kerja (p = 0,019), ada antara hubungan interpersonal dengan stres kerja (p = 0,004), tidak ada hubungan antara desain kerja dengan stres kerja (p = 0,070), tidak ada hubungan antara jadwal kerja dengan stres kerja (p = 0,501), tidak ada hubungan antara peran dalam organisasi dengan stres kerja (p = 0,948), tidak ada hubungan antara pengembangan karir dengan stres kerja (p = 0,983), tidak ada hubungan antara home-work interface dengan stres kerja (p = 0,683). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa beban kerja dan hubungan interpersonal merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan stres kerja pada petugas pemadam di Suku Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Kecamatan Matraman.

This study aimed to determine the factors related to work stress among firefighters. This study is a cross-sectional study with quantative and qualitative methods. The sample in this study were 53 firefighters. The dependent variabel is work stress and the independent variabels are workload, work design, work schedule, role in organization, career development, interpersonal relationship at work, and home-work interface. The instrument used in this study are Copenhagen Psychosocial Questionnaire III (COPSOQ III), Perceive Stress Scale (PSS) and interview. The findings revealed, 58,5% firefighters experienced moderate stress. While the variables that related to work stress are workload (p = 0,019) and interpersonal relationship at work (p = 0,004). The variables that not related to work stress are work design (p = 0,070), work schedule (p = 0,501), role in organization (p = 0,948), career development (p = 0,983), and home-work interface (p = 0,683). The study therefore concludes that workload and interpersonal relationship at work are the factors related to work stress in firefighters."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thias Aulia Ramadhanty
"Pemadam kebakaran menerapkan jadwal kerja 1 x 24 jam hal ini memiliki risiko kelelahan pada pekerja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran faktor risiko yang berhubungan terjadinya kelelahan pada petugas pemadam kebakaran. Variabel dependen dari penelitian ini adalah tingkat kelelahan pada pekerja pemadam kebakaran. Variabel independen adalah faktor tidak terkait pekerjaan (usia, waktu perjalanan, kuantitas tidur, kualitas tidur, kondisi kesehatan dan status gizi (IMT)) dan faktor terkait pekerjaan (masa kerja, pekerjaan sampingan dan variasi kerja). Sampel dalam penelitian ini adalah 56 petugas pemadam. Pengumpulan data menggunakan kuesioner. Pengukuran tingkat kelelahan menggunakan Subjective Self Rating Test dari IFRC, kualitas tidur diukur dengan kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index. Desain penelitian adalah Cross Sectional, dengan pendekatan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan 85,7% pekerja mengalami kelelahan ringan dan 14,3% kelelahan sedang. Hasil tersebut sejalan dengan jumlah kasus kebakaran selama sebulan terakhir hanya ada 16 kasus sehingga beban kerja pemadam tidak berat. Kelelahan responden berhubungan dengan masa kerja (OR 7.2), kondisi kesehatan (OR = 5.0), kuantitas tidur (OR = 5.8), kualitas tidur (OR = 0.02) dan waktu perjalanan (OR = 0.08). Oleh karena itu, perlu pengendalian faktor risiko yang teridentifikasi berhubungan dengan kelelahan.

Fatigue is a feeling of constant tiredness that can reduce the ability to perform a task in a safe and effective way. Firefighters work in 1x24 hours shift, this increase the risk of fatigue among workers. The aim of this study is to determine the risk factors related to fatigue in firefighters. The dependent variable in this study is the level of fatigue on firefighters. The independent variables in this study are divided into non-work-related factors (age, commuting time, sleep quantity, sleep quality, health condition and Body Mass Index (BMI)) and work-related factors (work period, other job and work variations). The sample of this study are a total of 56 firefighters. The data was collected subjectively using questionnaires. This study used Subjective Self Rating Test by IFRC to determine the level of fatigue and Pittsburgh Sleep Quality Index to determine the sleep quality. This study used Cross Sectional design to determine the relationship between the dependent and independent variable. Methods that used is quantitative (Chi-square) and odd ratio to determine the relationship level of the variables. Result showed 85,7% workers experienced low level of fatigue and 14,3% experienced moderate level of fatigue. Based on these results in line with the number of fire cases during the last month there were only 16 cases so that the workload of firefighters is not heavy. The results showed there is a relationship between workers fatigue and work period (OR= 7.2), health condition (OR = 5.0), sleep quantity (OR = 5.8), sleep quality (OR = 0.02) and commuting time (OR = 0.08). Therefore, control related to risk factors related to fatigue is needed."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ellyza Herda
"Sampai saat ini bahan tambal amalgam khususnya amalgam tembaga tinggi masih banyak dipakai sebagai restorasi. Ukuran kualitas material yang dapat dianggap sesuai untuk memprediksi perilaku klinik suatu material restorasi adalah sifat kekakuan (modulus elastisitas) dan struktur mikro. Pada penelitian ini dibuat fasa Cu3Sn dan Ag3Sn (fasa-fasa yang ada di dalam paduan amalgam tembaga tinggi) dan fasa CuSSn6 (fasa yang ada di dalam amalgam tembaga tinggi) untuk mendapatkan modulus elastisitas dan gambaran struktur mikro dan fasa-fasa tersebut. Selain itu dibuat dua macam paduan amalgam tembaga tinggi yaitu tanpa palladium dan dengan penambahan 7 w/o palladium untuk mengetahui efek penambahan 1 w/o Pd terhadap stabilitas termtal fasa Ag2Hg3 (fasa matriks amalgam tembaga tinggi). Salah satu amalgam tembaga tinggi komersial ("valiant" dipakai sebagai model komposit untuk mendapatkan nilai modulus elastisitas teoritis dari suatu komposit amalgam tanmbaga tinggi.
Fasa Cu3Sn (Cu-38,37 w/o Sn), Ag3Sn (Ag-26,84 w/o Sn), CusSn6 (Cu-60,87 w/o Sn) dan Cu-85 w/o Sn dibuat dengan teknik pengecoran. Hasil cor didinginkan dengan 3 cara yaitu di udara terbuka (UT), disemprot udara (SU) dan dicelup ke dalam air (CA), kecirali paduan Cu-85w/o Sn dilakukan hanya dengan 1 cara pendinginan yaitu di udara terbuka (UT). ldentikasi fasa diuji dengan teknik diffraksi sinar-x (XRD) dan analisa termal menggunakan Differential Scanning Calorimetry (DSC). Gambaran struktur mikro didapat dari uji metalografi dan SEM + EDS. Untuk mendapatkan modulus elastisitas fasa-fasa tersebut dilakukan uji ultrasonik.
Pernbuatan paduan amalgam tembaga tinggi tanpa Palladium (60 w/o Ag-27 w/o Sn-13 w/o Cu = amalgam 1) dan dengan Palladium (59 w/o Ag-27 w/o Sn-13 w/o Cu-I w/o Pd amalgam 2) dilakukan dengan teknik pembuatan seperti yang dikerjakan di Logam Mulia. Spesimen amalgam dibuat dengan rasio paduan amalgam : Hg adalah 1: 1.15. Bentuk, ukuran dan cara pembuatan spesimen mengikuti standard ADA sp no. 1. Spesimen kemudian disimpan selama 7 hari dan 18 bulan pada temperatur 37° C. Pada spesimen umur 7 hari dilakukan analisa diffraksi sinar-x, analisa termal dengan DSC dan Thermogravimetri (TG), sedangkan pada spesimen umur 18 bulan hanya dilakukan analisa termal rnenggunakan DSC.
Dari hasil analisa XRD dan DSC didapat bahwa pembuatan fasa Cu3Sn dengan komposisi Cu-38,37 w/o Sn menghasilkan fasa Cu3Sn. Sedangkan pembuatan fasa Ag3Sn dengan komposisi Ag-26,84 w/o Sn rnenghasilkan fasa Ag3Sn + fasa eutektik dan jumlah fasa eutektik semakin besar dengan semakin cepatnya pendinginan. Paduan dengan komposisi Cu-60,87 w/o Sn tidak dapat menghasilkan fasa tunggal Cu6Sn6 melainkan menghasilkan fasa Cu3Sn + Cu6Sn6 + Sn, sedangkan paduan Cu-85 w/o Sn memberikan fasa Cu6Sn6 + Sn. udara terbuka (UT) umumnya lebih besar dibandingkan dengan paduan yang disemprot udara (SU) dan dicelup ke dalam air (CA). Nilai modulus Bulk dari paduan Cu-38,37 w/o Sn SU lebih besar dari pada paduan Cu-38,37 w/o Sn UT dan CA, sedangkan modulus Bulk paduan Ag-26,84 w/o Sn UT, SU dan CA kurang lebih sama. Nilai modulus Young dan modulus Geser dari fasa Cu5Sns (salah satu fasa penguat di dalam amalgam tembaga tinggi) lebih besar dari pada modolus Young dan modulus Geser fasa Ag3Sn.
Amalgam Valiant yang dipakai sebagai model komposit mengandung 0,6116 fraksi volume fasa Ag2Hg3 (matriks), 0,1598 fasa CusSr6 (penguat) dan 0,2288 fasa Ag3Sn sisa (penguat). Hasil perhitungan modulus Young teoritis dari komposit amalgam tembaga tinggi terletak dalam rentang 75-80 GPa. Nilai modulus longitudinal komposit amalgam berbeda 5,4 % (penguat UT), 4,7% (penguat SU), dan 3,5% (penguat CA) dengan nilai modulus Longitudinal eksperimen.
Hasil analisa diffraksi sinar-x menunjukkan bahwa pada amalgam 2 tidak terbentuk fasa Sn7Hg. Hasil analisa termal dengan DSC menunjukkan bahwa pada amalgam 1 terbentuk 2 macam fasa Ag2Hg3 yaitu dengan temperatur transisi 88° dan 109° C. Pada amalgam 2 terbentuk 1 macam fasa Ag2Hg3 dengan temperatur transisi 110,7° C. Aging salami 18 bulan menaikkan temperatur transisi fasa Ag2Hg3. Dari hasil analisa termal dengan TG didapat bahwa pada saat transformasi fasa Ag2Hg3 tidak terjadi pelepasan uap Hg dan fasa AgHg mengalami dekomposisi pada temperatur 390° C (amalgam 1) dan 410° C (amalgam 2).
Dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa morfologi struktur mikro mempengaruhi modulus elaslisitas suatu material dan morfologi struktur mikro dipengaruhi oleh kecepatan pendinginan saat proses solidifikasi. Modulus elastisitas fasa Cu3Sn yang besar dapat menguatkan paduan amalgam tembaga tinggi. Modulus Young komposit amalgam tembaga tinggi teoritis yang besamya 75-80 GPa mendekali nilai modulus Young email gigi (76,9 GPa) dengan demikian dapat diprediksi bahwa amalgam tembaga tinggi akan menghasilkan restorasi gigi yang kuat. Penambahan 1 w/o Pd ke dalam amalgam tembaga tinggi (13 w/o Cu) menstabilkan amalgam dengan jalan mencegah pembentukkan fasa Sn7Hg dan membentuk fas a Ag2Hg3 dengan temperatur transisi yang lebih tinggi. Merkuri di dalam amalgam terikat kuat pada perak dan fasa AgHg mengalami dekomposisi pada temperatur yang jauh di atas temperatur normal yang dapat terjadi di dalam mulut.

Until now amalgam restoration especially high copper amalgam is still widely used. The material quality measurement that is considered acceptable for a material restoration in clinical behavior is the rigidity (modulus of elasticity) and microstructure. Cu3Sn and Ag3Sn phases (phases in high copper amalgam alloy) and Cu6Sn6 phase (phase within high copper amalgam) were made in this research in order to obtain the modulus of elasticity and microstructure. Furthermore, The lathe cut type of high copper amalgam alloys, with the following compositions (weight percent = w/o) : 60%Ag-27%Sn-13%Cu and 59%Ag-27%Sn-13%Cu-1 %Pd were also fabricated in order to investigate the effects of palladium on the thermal behavior of the Ag2Hg3 phase. The commercially available high copper amalgam (Valiant-USA) was used as a composite model in order to get the modulus of elasticity theoritically from a high copper amalgam composite.
Cu3Sn (Cu-38,37 w/o Sn), Ag3Sn (Ag-26,84 w/o Sn), Cu6Sn5 (Cu-60,87 w/oSn) and Cu-85 w/o Sn phases were made by casting method. The casting specimens were subjected to different cooling rate condition. The first casting specimen was allowed to solidify at room temperature (UT), the second casting specimen was blown by air (SU), and the third was quenched in water (CA). These casting specimens were subsequently analyzed by using X-ray diffraction (XRD) and Differential Scanning Calorimetric (DSC) techniques. The microstructure of the specimens were examined using standard metallography and SEM + EDS technique. A non destructive technique is the most preferable evaluation method for the elastic property of these phases, that is by utilizing longitudinal and transversal waves velocity employed by ultrasonic pulse-echo method.
The manufacturing process and procedure to obtain the high copper alloys were the same as the ones to produce low copper alloys. Amalgam specimens were prepared from two different composition alloys according to the American Dental Association specification No.1.Trituration parameters for amalgamation were prepared with Hg : Alloy ratio of 1.15 :1. Amalgam specimens without Palladium is referred here as amalgam I and the amalgam (1 w/o Pd) is referred as amalgam2 (which were stored for 7 days at 37° C). These two amalgams were subsequently analyzed using X-ray diffraction technique. The thermal behavior of the samples held for 7 days and 18 months at 3T° C were studied by Differential Scanning Calorimetry and Thermogravimetry (only for 7 days old specimens).
From XRD and DSC analysis, it was learnt that the production of Cu3Sn phase with Cu 38,37 w/o Sn composition gave off Cu3Sn phase. While the production of Ag3Sn phase with Ag-26,84 wlo Sn composition gave off Ag3Sn + eutectic phase, and the amount of eutectic phase increased as the cooling rate accelerated. Alloy with Cu-60,87 w/o Sn composition failed to give Cu6Sn5 phase, but produced Cu3Sn + Cu6Sns + Sn phases, while Cu-85 wlo Sn produced Cu6Sn5 + Sn phases. The metallography and SEM + EDS test was shown that cooling rate influenced the microstructural morphology and the difference of microstructural morphology influenced the modulus of elasticity value. The longitudinal modulus, Young's modulus and Shear modulus of Cu-38,37 w/o Sn UT, generally have higher value compared to alloys SU and CA. The Bulk modulus of Cu-38.37 w/o Sn SU was higher than Cu-38,37 w/o Sn UT and CA, while the Bulk modulus of Ag-26.84 w/o Sn UT, SU, and CA was nearly equal. The Young's modulus of CusSns phase was higher than Ag3Sn phase.
Valiant amalgam which was used as a composite model contained 0,6116 volume fraction of Ag2Hg3 (matrix), 0,1598 of Cu6Sn5 and 0,2288 of Ag3Sn phases (reinforcers). The calculation product of Young's modulus theoritically from high Cu amalgam composite was in range of 75-80 GPa. The longitudinal modulus value of amalgam composite differed by 5.4% (UT reinforcer), 4.7 % (SU reinforcer ), and 3.5% (CA reinforcer) with experimental longitudinal module's value.
X-ray diffraction analysis showed that in amalgam 2, Sn7Hg phase wasn't formed. The thermogram data of the specimen from amalgam I showed two endothermic peaks at 88° and 1090 C which indicated the presence of two type Ag2Hg3 phase. One endothermic peak at 110,7° C is seen in amalgam 2. This indicated that the addition of 1 w/o Pd into a high copper amalgam (13 wlo Cu) can stabilize the Ag2Hg3 phase. The thermogram data (TG) of amalgam 1 showed that AgHg phase undergoes a phase decomposition at 390° C (amalgam 1) and 410° C for amalgam 2.
From this research, It can be concluded that microstruclural morphology influences the modulus of elasticity of material and that the microstructural morphology is influenced by the cooling rate. The high Cu3Sn phase's elasticity could strengthen the high Cu amalgam alloy. The Young's modulus of high Cu amalgam composite theoritically of 75-80 GPa is nearing the Young's modulus of tooth enamel (76.9 GPa), thus it can be predicted that high Cu amalgam will produce a strong amalgam restoration. An addition of 1 w/o Pd into a high Cu amalgam (13 w/o Cu) can stabilize amalgam by preventing the forming of Sn7Hg phase and producing Ag2Hg3 phase with a higher transition temperature. The mercury in amalgam is strongly bonded with silver and AgHg phase decomposizes in a much higher temperature than the average temperature inside the mouth."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
D11
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library