Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arinta Luthri Handini
Abstrak :
Kehadiran industri di suatu wilayah memang dapat bermanfaat bagi kehidupan penduduk sekitar bila ditinjau dari sisi ekonomi, namun kehadiran industri tanpa adanya penegelolaan limbah yang baik juga akan merugikan penduduk sekitar bila tidak tertangani dengan cepat. Bila benar masyarakat telah mengalami kerugian akibat limbah dari suatu industri baik yang mengakibatkan pencemaran air maupun udara maka pihak yang bertanggung jawab haruslah dituntut untuk menyelesaikan pertanggungjawabannya. Hukum dalam menanggapi kasus pencemaran yang diakibatkan oleh industri seringkali mengandalkan kehadiran data laboratorium untuk mensahihkan betul tidaknya telah terjadi pencemaran. Untuk dapat meminta pertanggungjawaban atas pencemaran itulah kehadiran data laboratorium dalam kasus pencemaran memegang peranan yang besar. Ketiadaan data laboratoium akan mengakibatkan kasus pencemaran lingkungan menjadi mentah. Sebaliknya kehadiran data laboratorium yang terlalu banyak juga dapat menghasilkan putusan yang keliru atas suatu kasus pencemaran. Penulisan ini untuk melihat sejauhmana ketentuan hukum yang telah ada mengatur menegnai data laboratorium dan sejauhmana hakim telah memahami adanya pembedaan pidana dalam lingkugan hidup dengan pidana biasa. Penulisan ini dilakukan dengan mendasarkannya pada studi kepustakaan dan studi lapangan berupa wawancara, yang memperlihatkan banyaknya pengaturan mengenai data laboratorium dan belum seragamnya pemahaman hakim dalam melihat kekhususan dari pidana lingkungan yang mengakibatkan tidak ada kecocokan putusan atas kasus yang serupa. Dilihat dari sana perlu kiranya untuk melakukan pengaturan secara lebih terpadu untuk penerapan data laboratorium dan juga perlu untuk melakukan penambahan kurikulum pendidikan lingkungan dalam pendidikan hakim sehingga mereka dapat lebih memahami penanganan terhadap kasus pencemaran.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S22167
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Athaya Safiraputri
Abstrak :
Pengelolaan sampah terutama di negara-negara berkembang memiliki tantangan sendiri dalam pelaksanaannya. Hal tersebut berkaitan dengan kegiatan-kegiatan dalam pengelolaan sampah sendiri yaitu pengurangan sampah dan penanganan sampah. Kegiatan penanganan sampah dimulai dari tahap pemilahan sampai dengan tahap pemrosesan akhir sampah. Pemrosesan akhir sampah sendiri tentu menjadi kegiatan pengelolaan sampah yang sangat penting dan berperan besar untuk mengetahui apakah bentuk pengembalian atau hasil pengembalian sampah yang dikembalikan ke media lingkungan dapat diproses dengan aman dan tidak menyebabkan pencemaran lingkungan hidup. Pemrosesan akhir sampah di kota-kota besar tentu memiliki permasalahan tersendiri dalam kegiatannya, termasuk Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota negara, perlu diingat bahwa transisi adanya perubahan paradigma pengelolaan sampah, termasuk dengan pemrosesan akhir sampah yang dulunya hanya sebatas open dumping (pembuangan terbuka), menjadi diproses dengan pengurugan di landfill atau dikenal dengan lahan urug terkendali tentu tidaklah mudah dalam pelaksanaannya. Adanya permasalahan-permasalahan dalam pengelolaan sampah di wilayah Provinsi DKI Jakarta sendiri mengharuskan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan kegiatan pengelolaan sampah termasuk kegiatan pemrosesan akhir sampah di TPST Bantargebang. Dalam hal ini membuat penulis ingin meneliti bagaimana tanggung jawab Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta terhadap kegiatan pemrosesan akhir sampah wilayah Provinsi DKI Jakarta, bagaimana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan kegiatan pemrosesan akhir sampah dengan metode yang tidak menyebabkan pencemaran lingkungan hidup, dan bagaimana peraturan perundang-undangan tentang persampahan mengatur mengenai kegiatan pengelolaan sampah dan kegiatan pemrosesan akhir sampah secara spesifik, dan bagaimana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejauh ini melaksanakan kegiatan pemrosesan akhir sampah di TPST Bantargebang dan bagaimana pemrosesan akhir sampah yang dilakukan di sana dengan regulasi-regulasi yang ada. Dalam menyusun penelitian skripsi ini, penulis menggunakan bentuk penelitian yang dikenal dengan bentuk penelitian yuridis normatif. ......Solid waste management, especially in developing countries, has its own challenges in its implementation. This is related to activities in solid waste management; waste reduction and waste handling. Waste handling activities start from the waste sorting to the final waste processing. The final waste processing itself is very significant in solid waste management activities and it plays a major role in determining whether the results of final waste processing returned to environmental media can be processed safely and will not cause any environmental pollutions. Final waste processing in large metropolitan areas, including DKI Jakarta Province as the capital of the country, it is necessary that there is a transition in solid waste management, including the final waste processing which was previously implemented open dumping method, being processed by landfilling the waste or known as controlled landfill, and it also has its own challenges in its implementation. The following problems in solid waste management activities in DKI Jakarta Province requires the responsible parties, mainly including the Local Government to execute solid waste management activities at Bantargebang Integrated Waste Disposal. This topic is brought up to examine the legal responsibility of the DKI Jakarta Provincial Government in final waste processing activities, how the DKI Jakarta Provincial Government conducts final waste processing activities with appropriate management methods that do not cause any environmental pollutions, and the compliance with environmental law and regulations and specifically regulate solid waste management activities and final waste processing activities in compliance with the existing regulations. A normative legal research method is used to conduct the research.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Muchairina
Abstrak :
Sebagai ekosistem peralihan antara wilayah darat dan laut, pengelolaan mangrove harus dilakukan secara terpadu dengan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan dan melalui berbagai pendekatan. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif melalui studi kepustakaan. Peneliti turut melakukan wawancara dengan sejumlah narasumber untuk sebagai data pendukung. Terdapat dua permasalahan yang akan dibahas di dalam penelitian ini, yaitu mengenai kelembagaan dan tata kelola hutan mangrove di Indonesia serta penerapan pengelolaan mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke (SM Muara Angke) dan Taman Wisata Angke Kapuk (TWA Angke Kapuk) sebagai bagian dari Kawasan Hutan Mangrove Angke Kapuk. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mangrove memiliki berbagai macam fungsi dan manfaat. Akan tetapi, pengelolaan terhadap mangrove di Indonesia belum dilaksanakan secara terpadu. Kemudian, dalam pengelolaan mangrove di kawasan SM Muara Angke dan TWA Angke Kapuk ditemui beberapa kendala, seperti keterbatasan anggaran, sarana prasarana, dan sumber daya manusia, kurangnya koordinasi antar para pihak, permasalahan batas kawasan, rendahnya keterlibatan masyarakat, serta kegiatan masyarakat di sekitar kawasan.
As mangroves are an ecosystem at the interface between land and sea, their management involves various stakeholders as well as various approaches. Therefore, an integrated management of mangroves is required to protect and preserve them. This normative juridical research study uses materials derived from literature. The researcher also conducted several interviews to obtain supporting data. There are two questions that will be discussed in this study, namely the authority and management of mangrove forest in Indonesia, and the implementation of mangrove management in Muara Angke Wildlife Reserve and the Angke Kapuk Nature Recreation Park, which are part of the Angke Kapuk Mangrove Forest. The results show that mangroves have important functions and uses. However, the management of mangroves in Indonesia has not been yet integrated. The implementation of mangrove management in both the Muara Angke Wildlife Reserve and the Angke Kapuk Nature Recreation Park has faced several obstacles, such as limited budget, infrastructure, and facilities as well as lack of personnel and coordination, boundary issues, limited engagement from the local community, and human activities.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adelwin Airel Anwar
Abstrak :
Aceh yang merupakan daerah khusus dan istimewa di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan daerah yang memiliki banyak kewenangan yang unik dan tidak dimiliki daerah lainnya. Salah satu yang melatarbelakangi kekhususan dan keistimewaan ini adalah konflik Aceh yang pernah terjadi atas ketidakpuasan Pemerintah Pusat memperlakukan Aceh. Konflik tersebut menyisakan banyak dampak yang masif khususnya kepada korban dan keluarga korban sehingga diduga terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia berat. Pada akhirnya, Aceh diberi kewenangan khusus melalui UndangUndang No. 13 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh sebagai lembaga independen di daerah demi mengungkapkan kebenaran dan menciptakan rekonsiliasi di Aceh. Namun, pembentukan lembaga tersebut menuai kontroversi di awal pembentukannya karena masih belum terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional karena Undang-Undang pembentukannya diputus tidak mengikat hukum secara keseluruhan oleh Mahkamah Konstitusi. Padahal, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Komisi Kebenaran Rekonsiliasi Nasional dan berpedoman pada Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Dengan metode yuridis-normatif yang disusun secara deskriptif-analitis, penelitian ini menemukan bahwa melalui internalisasi nilai-nilai hak asasi manusia di pemerintahan Aceh menyebabkan penanganan pelanggaran hak asasi manusia berat di Aceh juga menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh salah satunya melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh yang tetap dapat berdiri dengan dibentuk melalui Qanun Aceh karena pada dasarnya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh merupakan lembaga non-struktral dan independen di daerah yang telah diatribusikan pembentukannya oleh Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang mengatur secara khusus kelembagaan yang berdiri di Aceh sehingga tidak tergantung dengan dinamika politik hukum pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh juga berdiri atas dasar perlunya penanganan korban secara cepat dan menyeluruh. Sayangnya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh harus menghadapi banyak tantangan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pertama di Indonesia tetapi bekerja dalam lingkup daerah. ......Aceh, which is an exclusive and special region under the Unitary State of the Republic of Indonesia, is a region that has many unique authorities that other regions do not have. One of the reasons behind this exclusivity and specialty is the Aceh conflict that once occurred over dissatisfaction with the treatment of the Central Government towards Aceh. This conflict left a lot of massive impacts, especially on the victims and their families so that serious human rights violations are suspected. In the end, Aceh has exclusive authority through Law no. 13 of 2006 on the Government of Aceh to establish the Aceh Truth and Reconciliation Commission as an independent regional institution to reveal the truth and create reconciliation in Aceh. However, the formation of this institution sparked controversy at the beginning of its formation because the National Truth and Reconciliation Commission has not yet been formed because the Constitutional Court ruled that the Law on Truth and Reconciliation Commission was not legally binding as a whole. Yet, the Aceh Truth and Reconciliation Commission is an integral part of the National Truth and Reconciliation Commission and is guided by the Law on Truth and Reconciliation Commission. Using a juridical-normative method compiled in a descriptive-analytical manner, This study found that through the internalization of human rights values in the Aceh government, the handling of serious human rights violations in Aceh also became the authority of the Aceh government, one of which was through the Aceh Truth and Reconciliation Commission that can still exist by being formed through the Aceh Qanun because The Aceh Truth and Reconciliation Commission is a nonstructural and independent institution in the region whose establishment has been attributed to the Aceh Government Law which specifically regulates institutions that exist in Aceh so that it is not dependent on the dynamics of legal politics for the formation of the National Truth and Reconciliation Commission. The Aceh Truth and Reconciliation Commission was also established on the basis of the need for quick and thorough handling of victims. Unfortunately, the Aceh Truth and Reconciliation Commission had to face many challenges in carrying out its duties and functions as the first Truth and Reconciliation Commission in Indonesia but working in a regional scope.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gracella Tabhitha Vivian
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai Mediasi secara Elektronik berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2022 yang mana Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang harus dilakukan sebelum tahap pembacaan gugatan dalam peradilan perdata. Mediasi menjunjung tinggi pelaksanaan yang sukarela, rahasia, efektif, aman, dan akses terjangkau. Pada skripsi ini, pembahasan dibagi menjadi tiga. Pertama, pembahasan mengenai perkembangan Mediasi di Indonesia dan pengaturannya. Kedua, mengenai Mediasi secara Elektronik yang diatur dalam PERMA Nomor 3 Tahun 2022 dan perbandingannya dengan Mediasi secara Elektronik yang dilakukan di Jepang dan Malaysia. Ketiga, pembahasan mengenai prinsip-prinsip dari Mediasi yang harus dipenuhi oleh Pengadilan. Penelitian ini menggunakan metode yuridis-normatif, di mana data penelitian berasal dari studi kepustakaan dan undang-undang terkait. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa proses Mediasi mengalami perkembangan di Indonesia, baik secara prosedurnya maupun pelaksanaannya sampai pada perkembangan menjadi Mediasi secara Elektronik. Dalam perbandingan dengan negara Jepang dan Malaysia yang terlebih dahulu melakukan Mediasi secara Elektronik, Pengadilan di Indonesia masih tertinggal jauh dalam pelaksanaanya. PERMA Nomor 3 Tahun 2022 sudah mengatur mengenai prinsip-prinsip yang harus diterapkan, tetapi belum ada aturan yang mengatur secara khusus mengenai teknis yang harus dipersiapkan oleh Para Pihak maupun Pengadilan. Kata kunci: Mediasi, Akta Perdamaian, Prinsip Kerahasiaan, Mediasi secara Elektronik ......This thesis discusses Electronic Mediation based on Peraturan Mahkamah Agung Number 3 of 2022. Mediation is a dispute resolution process that must proceed when a person is litigating in a civil court. Mediation upholds the implementation of voluntary, confidential, effective, safe, and affordable access. In this thesis, the discussion is divided into three. First, this thesis discussed the development of Mediation in Indonesia and its regulation. Second, regarding Electronic Mediation which is regulated in PERMA Number 3 of 2022 and its comparison with Electronic Mediation conducted in Japan and Malaysia. Third, the discussion regarding the elements of Mediation that must be fulfilled by the Court. This research uses a juridical-normative method, where the research data comes from a study of literature and related laws. The results of this study state that Mediation has been developing in Indonesia in these years, both in terms of procedures and implementation. In comparison with the implementation in Japan and Malaysia that previously carried out Electronic Mediation, the Courts in Indonesia are still far behind. PERMA Number 3 of 2022 already regulates the elements that must be implemented, but there are no rules that specifically regulate the technicalities that must be prepared by the Parties or the Court.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Dhani Maulana
Abstrak :
Konsumsi mineral untuk pembuatan alat dan fasilitas yang berguna bagi manusia terus meningkat selama beberapa dekade. Penambangan terestrial telah menjadi metode penambangan utama untuk mengekstraksi mineral bumi selama beberapa ribu tahun, namun kemunculan deep-sea mining sedang dalam perjalanan sejak tahun 1960-an dan sudah pada titik komersialisasi. Isu dampak dari penambangan laut dalam menjadi alasan utama berkembangnya deep-sea mining. deep-sea mining berada pada ekosistem yang paling rapuh di planet ini yang disebut zona bentik, sekaligus merupakan ekosistem terpenting di planet ini untuk mendukung ekosistem lain dalam memelihara telur, larva, dan juvenilnya. Dampak deep-sea mining terhadap ekosistem laut dalam juga menjadi perhatian Indonesia, karena penambangan laut dalam dimungkinkan untuk dilakukan, namun belum ada peraturan perlindungan lingkungan nasional untuk melestarikan atau melindungi ekosistem laut dalam. Kondisi kekosongan hukum dalam deep-sea mining ini dapat diisi dengan prinsip kehati-hatian yang telah dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia dalam UU No. 32 Tahun 2009, namun hal tersebut bukanlah solusi yang mutlak atau optimal untuk mengatasi dampak deep-sea mining, dengan tetap mengacu pada konvensi, perjanjian, atau traktat internasional yang telah diratifikasi atau dikontribusikan oleh Pemerintah Indonesia. ......The consumption of minerals for manufacturing tools and facilities that are helpful for humans is on the rise for decades. Terrestrial mining has been the main mining method to extract the earth's minerals for several thousand years, yet the emergence of deep-sea mining is on its way since the 1960s and is already on the point of being commercialized. The issues of impact from deep-sea mining are the main reason for the development of deep-sea mining. The action of deep-sea mining is located in the most fragile ecosystem on this planet called as benthic zone, while also the most important ecosystem on this planet to support other ecosystems to nurture their eggs, larvae, and juveniles. The impact of deep-sea mining on deep-sea ecosystems is also a concern for Indonesia, as it is possible to do deep-sea mining, yet there are no national environmental protection regulations to preserve nor protect the deep-sea ecosystem. This legal vacuum condition in deep-sea mining could be filled with the precautionary principle that the Indonesia Government in Law No. 32 of 2009, yet it isn’t the absolute nor the optimal solution to tackle the impact of deep-sea mining, while reflecting on any International convention, agreement, or treaty that have been ratified or contributed by the Indonesian government.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Wulandari
Abstrak :
Daerah diberikan wewenang untuk mengelola keuangan daerahnya dituangkan dalam APBD. APBD diharapkan dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat di daerah tersebut untuk meningkatkan pembangunanan. Namun, integrasi gender dalam prosesnya menimbulan kesenjangan gender di berbagai sektor. Pemerintah pun mencoba untuk mengintegrasikan isu gender ke dalam APBD dengan strategi Anggaran Responsif Gender. Pemerintah pun mengeluarkan Permendagri No. 15 Tahun 2008 tentang Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender di daerah, DKI Jakarta menerbitkan Peraturan Gubernur tentang Pelaksanaan PPRG di DKI Jakarta, serta POKJA yang akan melaksanakannya. Adapun pengumpulan data dilakukan dengan telaah data dan dokumen RPJMD, RKPD, KUA PPAS, APBD, dan wawancara dengan stakeholder terkait.Hasil Penelitian menunjukan bahwa DKI Jakarta sepanjang 2018-2022 telah menerapkan PPRG, tetapi dalam prosesnya masih terdapat banyak masalah yang disebabkan oleh berbagai faktor. ...... Local governments are given the authority to manage their regional finances as stated in the APBD (Anggaran Belanja Pendapatan Daerah). The APBD is expected to accommodate the needs of the society in the area to increase local development. However, gender integration in the process creates gender gaps in various sectors. The government is also trying to integrate gender issues into the regional budget with the Gender Responsive Budget strategy. The government also issued Permendagri No. 15 of 2008 concerning Gender Responsive Planning and Budgeting in the regions, DKI Jakarta issued a Governor's Regulation on the Implementation of PPRG in DKI Jakarta, and the Working Group (POKJA) that will implement it. The data was obtained out by revieweing data and documents of the RPJMD, RKPD, KUA PPAS, APBD, and interviews with relevant stakeholders. The results showed that DKI Jakarta throughout 2018-2022 has implemented PPRG, but in the process there are still many problems caused by various factors. Key words: APBD, Planning And Budgeting on Gender, Gender Gap, DKI Jakarta.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silitonga, Andri Malkiyano
Abstrak :
Perkembangan litigasi perubahan iklim dalam beberapa dekade terakhir memungkinkan individu dan kelompok mengajukan gugatan langsung terkait isu dan kebijakan perubahan iklim. Meskipun pengadilan berperan penting, penggunaan penyelesaian di luar pengadilan masih minim. Padahal, isu perubahan iklim bersifat luas, kompleks, dan melibatkan banyak pihak di luar batas yurisdiksi negara. Tulisan ini mengeksplorasi potensi mekanisme arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan untuk menangani sengketa yang berkaitan dengan perubahan iklim. Hasil yang ditemukan adalah sengketa perubahan iklim yang diajukan melalui arbitrase memiliki perbedaan karakteristik dibandingkan dengan forum pengadilan. Sengketa yang diajukan setidaknya merupakan isu peripheral, di mana perubahan iklim merupakan motivasi suatu gugatan meskipun bukan merupakan suatu bahasan secara utuh. Sengketa dapat diselesaikan dengan adanya mutual consent antara pihak, di mana sengketa yang timbul antara lain timbul dari perubahan komitmen pemerintah mengenai kebijakan perubahan iklim serta kegagalan pemerintah dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Di Indonesia, arbitrase dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa perubahan iklim dengan cara mengadakan arbitrase secara Ad hoc maupun institusional. Berkaca dari komitmen Indonesia terkait perubahan iklim, arbitrase memiliki potensi besar untuk menyelesaikan sengketa perubahan iklim yang timbul di masa depan. ......The development of climate change litigation in recent decades has allowed individuals and groups to directly file lawsuits related to the issues and policies of climate change. Despite the crucial role of the courts, the use of non-litigation dispute resolution is still minimum. However, the issue of climate change is broad, complex, and involves many parties beyond the jurisdiction of a single country. This article explores the potential of arbitration mechanisms as a dispute resolution forum outside the court system to address disputes related to climate change. The findings indicate that climate change disputes submitted through arbitration exhibit different characteristics compared to court forums. These disputes are typically peripheral issues, where climate change serves as the motivation for a lawsuit rather than the main focus. Disputes can be resolved through mutual consent, with issues arising from changes in government commitments to climate change policies and the government's failure to address the impacts of climate change. In Indonesia, arbitration can be used to settle climate change disputes through ad hoc or institutional arbitration. Reflecting on Indonesia's commitment to climate change, arbitration has significant potential to resolve future climate change disputes.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdurrahman Al-Fatih Ifdal
Abstrak :
Pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) merupakan suatu pembangkit tenaga listrik dengan daya termal yang memaksimalkan satu atau lebih reaktor nuklir selaku sumber panas. PLTN memiliki ragam manfaat esensial terhadap pemenuhan kebutuhan energi suatu negara, tak terkecuali di Indonesia. Sampai sekarang, Indonesia belum memiliki PLTN terlepas dari adanya wacana pembangunan PLTN dari sejak disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Tenaga Atom. Hingga akhirnya UU ini dicabut dengan UU Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, pengaturan PLTN kembali diperkuat dengan adanya landasan hukum yang membolehkan PLTN untuk dibangun di Indonesia selama mempertimbangkan faktor keselamatan yang ketat. Kendati demikian, prospek yang cerah terhadap pembangunan PLTN pun tidak kunjung membawakan adanya realisasi pembangunannya secara nyata di Indonesia. Berangkat dari latar belakang berikut, tulisan ini akan menggali, mengkaji, dan menganalisis tinjauan rencana pembangunan PLTN di Indonesia yang dilihat dari segi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Penggunaan lensa hukum lingkungan dalam menjelaskan prospek PLTN jarang diliput secara ilmiah, terlebih dari kacamata hukum lingkungan Indonesia. Analisis dalam tulisan menggunakan pendekatan yuridis berupa penelitian keseluruhan data sekunder hukum terkait PLTN di Indonesia untuk menjawab permasalahan kajian prinsip hukum ketenaganukliran, kesesuaian rencana PLTN, dan tinjauan lainnya dalam rangka memberikan gambaran komprehensif secara meluas (helicopter view). Dari sini, akan didapatkan rekomendasi langkah yang harus diambil Indonesia dalam menetapkan peta jalan pembangunan PLTN jika (akhirnya) terwujudkan.
A nuclear power plant (NPP) is a power plant with thermal power that maximizes one or more nuclear reactors as heat sources. NPPs have a variety of essential benefits for meeting the energy needs of a country, including in Indonesia. Until now, Indonesia has not had a nuclear power plant apart from the discourse on nuclear power plant development since the enactment of Law Number 31 of 1964 concerning the Basic Provisions of Atomic Energy. Until finally this law was repealed by Law Number 10 of 1997 concerning Nuclear Energy as amended by Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation, the regulation of NPP was again strengthened by the existence of a legal basis that allowed nuclear power plants to be built in Indonesia as long as it considered strict safety factors. However, the bright prospects for the construction of NPPs have not led to a real realization of its development in Indonesia. Departing from the following background, this paper will explore, study, and analyze a review of the NPP development plan in Indonesia in terms of environmental protection and management. The use of environmental law lenses in explaining the prospect of nuclear power plants is rarely covered scientifically, especially from the perspective of Indonesian environmental law. The analysis in the paper uses a juridical approach in the form of research on all secondary legal data related to nuclear power plants in Indonesia to answer the problems of nuclear law principle studies, the suitability of nuclear power plants, and other reviews in order to provide a comprehensive overview in a broad manner (helicopter view). From this, this thesis provides recommendations for steps that Indonesia should take in determining the road map for NPP development if (in the end) it is realized.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>