Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 107 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Denny Abdi
Abstrak :
ABSTRAK
Persemakmuran Negara-negara Merdeka atau yang dikenal juga dengan Commonwealth of Independent States (CIS) pertama kali didirikan pada tanggal 8 Desember 1991 oleh Belarus, Rusia, dan Ukraina . Presiden Uni Soviet, Gorbachev pada saat itu berusaha keras mempertahankan kesatuan Uni Soviet dengan suatu usulan "Persetujuan Uni Baru", yang akhirnya gagal karena tidak mendapat tanggapan yang menggembirakan dan para pemimpin republik di lingkungan Uni Soviet.

Kegagalan ini memaksa Gorbachev untuk mengundurkan diri yang sekaligus mengakhiri sejarah panjang Uni Soviet sebagai salah satu negara besar yang sangat disegani selama ini. Mulai saat itu masa depan republik pecahan Uni Soviet banyak tergantung kepada CIS yang dimotori oleh Rusia dengan 10 republik lainnya sebagai anggota. CIS diharapkan paling tidak dapat menjalankan dua fungsi, yaitu: sebagai stabilisator bidang politik dan keamanan, serta sebagai katalisator bagi kerjasama ekonomi diantara anggotanya.

Dalam mencapai tujuannya ada beberapa masalah yang dihadapi oleh Rusia dan kawan-kawan, yaitu: 1) rendahnya rasa saling percaya antara Rusia dengan negara-negara CIS lainnya; 2) sengketa kepemilikan persenjataan nuklir dan fasilitas militer lainnya; 3) buruknya perekonomian dan besarnya kesenjangan ekonomi antara Rusia dengan negara-negara CIS lainnya; 4) ancaman perluasan keanggotaan NATO ke Eropa Timur; 5) ketergantungan ekonomi Rusia dan negara-negara CIS lain terhadap modal asing.

Berpijak pada temuan-temuan di atas, kemudian penulis merumuskan pokok permasalahan sebagai berikut: 1) Bagaimana faktor-faktor internal di CIS mempengaruhi pengelolaan keamanan di kawasan tersebut ?; dan 2)Bagaimana pengaruh kekuatan-kekuatan ekstemal terhadap pengelolaan keamanan di CIS ?
Dengan bantuan beberapa kerangka pemikiran seperti: teori kolaborasi; kondisi security complex; dan interdependensi ekonomi politik maka diharapkan dapat dilakukan pembahasan yang komprehensif terhadap gagasan yang terkandung dalam pertanyaan-pertanyaan di atas sehingga pada akhirnya dapat mencapai tujuan penelitan ini yaitu: memberikan pengertian yang lebih mendalam kepada kita semua mengenai fenomena yang sedang terjadi di kawasan bekas Uni Soviet terutama yang berkaitan dengan pengelolaan keamanan.

Fakta awal digambarkan secara deskriptif untuk memberikan gambaran yang memadai terhadap latar belakang kawasan yang menjadi objek penelitian, dilanjutkan dengan penampilan data-data kualitatif maupun kuantitatif yang diperoleh dengan cara penelusuran terhadap sumber-sumber data sekunder.
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahmi Aris Innayah
Abstrak :
Seiring dengan terjadinya disintegrasi Yugoslavia pada tahun 1990, Republik Bosnia-Herzegovina menyatakan kemerdekaanya pada tanggal 20 Desember 1991, namun 31,4 % penduduknya yang termasuk golongan etnis Serbia tidak mendukung kemerdekaan tersebut. Sehingga terjadilah konflik paling berdarah di Eropa semenjak berakhirnya Perang Dunia kedua. Banyak upaya yang telah dilakukan pihak-pihak internasional untuk menyelesaikan konflik tersebut, namun ternyata perdamaian sulit untuk dicapai. Keterlibatan NATO dan Rusia yang mempunyai orientasi kebijakan yang berbeda di kawasan terjadinya konflik, telah membawa mereka kedalam suatu upaya yang secara sengaja atau tidak telah menggiring pihak yang bertikai untuk maju ke meja perundingan. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menjawab suatu pertanyaan penelitian yakni apakah keterlibatan NATO dan Rusia merupakan faktor utama penyelesaian konflik di Bosnia-Herzegovina. Bersandar pada kerangkan pemikiran melalui pendekatan power dan sejumlah asumsi penelitian yang dibangun, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah bahwa upaya yang dilakukan NATO dan Rusia berkorelasi dengan penyelesaian konflik di Bosnia Herzegovina Hipotesis ini diuji dengan menggunakan metode penelitian deskriptif-komparatif, sementara pengumpulan datanya dilakukan lewat studi kepustakaan. Hasil penelitian pada akhirnya mendapati bahwa NATO dan Rusia demi meraih tujuan politik luar negerinya, mereka melakukan kerjasama yang bersifat semu (pseudo-coalition). Hal ini terlihat pada saat NATO menerapkan kebijakan untuk memperluas pengaruh ke Eropa Timur, pada saat itu pula Rusia mencoba kembali mengukuhkan pengaruhnya di kawasan yang sama.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T3060
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novan Ivanhoe
Abstrak :
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk memaparkan dan menjelaskan secara teoritis dan empiris fenomena perubahan Strategi Keamanan NATO setelah terjadinya disintegrasi Uni Soviet dan perubahan sistemik di Eropa Timur.

Terdapat tiga variabel yang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini, yaitu: Disintegrasi Uni Soviet dan Perubahan Sistemik di Eropa Timur sebagai variabel pengaruh dan Strategi Keamanan NATO sebagai variabel terpengaruh.

Pengertian disintegrasi adalah proses perpecahan suatu negara menjadi berbagai negara yang lepas dari pemerintahan pusat. Disintegrasi Uni Soviet diawali dengan melemahnya kekuasaan pusat sebagai akibat dari kebijaksanaan Mikhail Gorbachev yang menghembuskan angin keterbukaan dan kebebasan di nagara itu. Kudeta yang terjadi pada bulan Agustus 1991 oleh kelompok radikal konservatif telah mernpercepat proses disintegrasi.

Eropa Timur mencakup semua negara yang berada di sebelah timur Jerman sampai ke pegunungan Ural di Rusia dimana sebagian besar merupakan anggota Pakta Warsawa. Eropa Timur merupakan suatu wilayah dimana telah terjadi perubahan mendasar dan secara menyeluruh pada sistem politik dan pemerintahannya.

NATO adalah organisasi atau aliansi militer yang berdiri pada tahun 1949 sebagai sarana untuk menjamin keamanan dan stabilitas kawasan melalui tindakan bersama sesuai dengan Piagam Perjanjian Atlantik Utara. Aliansi militer ini ditujukan untuk menangkal ancaman militer Uni Soviet dengan memadukan kekuatan konvensional dan nuklir guna melindungi negara-negara Eropa Barat.

Penelitian dilakukan melalui metode deskriptif - analisis yang bertujuan untuk mencari keterhubungan antara dua variabel independen dan variabel dependen. Untuk menunjang kebutuhan pengkajian tersebut di atas, dipergunakan teknik pengumpulan data dengan carra riset kepustakaan. Penelitian ini sampai pada kesimpulan bahwa disintegrasi Uni Soviet dan perubahan sistemik di Eropa Timur mempengaruhi perubahan strategi keamanan NATO.
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azwar Nurdin
Abstrak :
ABSTRAK
Ada beberapa cara pemeriksaan kadar hemoglobin dalam darah. Salah satu :ara yang dianjurkan oleh International Committee for Standardization in Hematology (ICSH) yang kemudian ditetapkan oleh NHD eebagai metoda rujukan adalah :ara hemiglobineianida (HiCN). Cara ini menggunkan larutan aianioa menurut van Kampen dan Zijlstfa yang terdiri dani beberapa b5h&D kimia dan larutan etandar HiCN. Larutan standar ini tidak eelalu tersedia di pasaran, eehingga banyak laboratorium klinik terutama di daerah terpaksa masih menggunakan Cara Sahli, eedangkan Cara ini tidak dianjurkan lagi oleh WHO karena mempunyai keealahan yang cukup besar. Cara lain yang lebih aederhana aoalah pemeriksaan Hb eecara oksihemoglooin (HbD7} yang hanya menggunakan larutan amonia encer aeoagai reagen.

Penelitian ini bertujuan untuk mencoba menetapkan pemeriksaan hemoglobin :ara HbU7 kiranya dapat dipakai di lahoratorium klinik, dengan membandingkannya dengan :ara HiCN. Ditentukan atabilitae larutan HbU2. larutan amonia encer, ketelitian dan ketepatan pemeriksaan kadar Hb cara HDUQ, linieritas kadar hemoglobin :ara HbO2 dan korelasi antara haeil pemerikeaan kadar hemoglobin :ara HiCN dan HDD2.

Bahan penelitian diperoleh dari pengunjung yang memeriksakan darahnya ke hagian Patologi Hlinik FKUI/RSCM yang diambilleebanyak 100 contoh darah secara acak. Tiap contoh darah diperikea kadar hemoglobinnya dengan memakai epektrofotometer Perkin Elmer 55 E menurut :ara HiCN dan Cara HhG2. Penentuan Cara HbD2 ada dua macam, pertama dengan menggunakan kurva standar dan kedua ditentukan dengan mempergunakan rumue yaitu membaca serapan pada panjang gelomoang 541 nm dan 560 nm : a) pada 541 nm = S x 0,0011E x 250 x 100 b) pada 560 nm = 5 x 0,00193 x 250 x 100 kadar hemoglobin (g/dl]-adalah rata-rata dari nilai a) dan b). Perhitungan ini hanya berlaku jika rasio S? fS` barkisar antara 1.57 - 1.72.

Hasll panelitian yang dldanat adalah larutan HbG~ stabil sampai 25 jam pada suhu kamar dan larutan amonia ancar masih atabil sampai 26 jam nada aunu kamar. Pada uji ketelitian aecara within run dipercleh CV = 1,14 1/2 yaitu masin dalam batas nilai yang diparkanankan olah WHO dan Secara day to day aampai hari ke~1O didapat CV = 8.69 I yaitu telan melewatl bata5 nilai yang diparkenankan Glen NHC. Hal ini diaababkan karena larutan HDD, hanya stabil 25 jam pada penalitian ini. Pada penentgan linieritaa kacar Hb didapatkan bahwa Radar Hb masih dapat diukuf dengan apektrofntometer Ferkln Elmer 55 E untuk :ara HiCN dan HbQ~ sampai dangan kadaf 22,9 g/dl. Hasil pemarikaaan dari 100 Contoh darah EDTA, didapatkan Radar H: denqan cara HDDZ rata-rata lebih randah daripada :ara HiCN. Perbadaan ini, dengan mampargunakan kurva standar adalan 0,06 gfdl atau 0,43 Z dan dangan mampergunakan rumus didapatkan perbedaan 0,03 g/dl atau 0,22 Z dan Secara statistik dinyatakan tidak barheda Dermakna (Q * 0,05) dan antara pamerikaaan kadar Hb ini 'terdapat koralasi yang baik.

Dari panalitian ini dapat disimpulkan bahwa pameriksaan Hb Cara HbD~ dapat dipakai di laboratorium klinik gina cafa I-iicm tidal: dapat dilakukar..

Untuk menjamin hasil yang lebih dapat dianjutkan mambuat larutan amnnia ancar segaf tiap hafi pemariksaan dan pambacaan larutan HDD, sagara dikarjakan. Spektrofotomatar yang dipakai harus mampunyai panjang galombang yang tapat pada 541 nm dan 560 nm.
1898
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pinuji Prasetyaningtyas
Abstrak :
Using the intelligence evidence, the US with the UK as its main backup, had convinced UN Security Council's member states to decide on sending disarmament military forces to Iraq. Aside from the political reason which the two states might have as their real vest interest in Iraq, it is interesting to explore the condition of how could such proposed sophisticated intelligence might turn so wrong. There must be factors which caused that intelligence failure. Based on the thought that in principle intelligence product is heavily depended on input data and its analysis, the real failure factors of intelligence in assessing the real condition of Iraq's weapons of mass destruction program is sought through examination on data collection and its analytical process. As the result it found that unavailability of information as the most common problem involving restrictions on the circulation of sensitive in-formation was one of the intelligence failure factors. The other factor is the systemic, systematic, idiosyncratic and communicative variables within analytical process employed by the intelligence community. Unavailability of information has been exacerbated by counterintelligence (deception and denial attempts) of Iraqi security apparatus and the absence of an intelligence collection in Baghdad with the capability to penetrate government, military and scientific establishment in the capital. Overestimation of Saddam Hussein's warfare capability is caused by mirror imaging of western method he would choose in nuclear and weaponry research, while conventional wisdom is indicated being use as the analytical bases and there were also subordination of intelligence to policy which not because of pressure but rather the insufficient evidence analyst could get.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T17952
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Puji Santoso
Abstrak :
This thesis takes a critical look at the practice of industrial espionage. By focusing on one recent case of industrial espionage, the case occurred on 2002 involving major multinational such as Ericsson and Russian intelligence interferences, focus on current developments in the competitive intelligence gathering 'industry' and the ethical problems that are typically surfaced. The argument is made that, from an ethical point of view, industrial espionage can be assessed according to three main considerations: the tactics used in the acquisition of information; the privacy of the information concerned; and the consequences for the public interest as a result of the deployment of the information by the intelligence gatherer. These issues are examined in the context of the case, and implications for the overall definition and assessment of industrial espionage are considered. To complete the case analysis, author will make a study. A study needs to be conducted to show that security measures and counterintelligence techniques will reduce and resist the effects of economic espionage for companies. Economic espionage results in tremendous losses for the firms every year. A study needs to be done to show that these losses can be reduced and they should not be viewed as unavoidable. The assumption are : with new and innovative security countermeasures and counterintelligence techniques in place, companies will be more prepared to detect and deter industrial spies from robbing them of their secrets. Through this study, the author feels that the implementation of security measures and counterintelligence techniques designed to prevent economic espionage would greatly benefit to the companies specially and state in general. In term of research methodology, this study is planned to pattern a lesson learned from a case study, Using modeling approval, this thesis analyzes the Ericsson case and uses Insider Threat approach, Categorical Imperative theory Approach and Ethical Intelligence Approach.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T16957
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Hendra Maujana
Abstrak :
Penelitian ini memaparkan tentang ASEAN Regional Forum yang terbentuk pasca perang dingan. Pembentukan forum ini setidak-tidaknya menjadi prestasi besar bagi ASEAN yang berarti ASEAN telah melakukan pembicaraan lebih lanjut tentang penataan dan pengelolaan masalah keamanan baik di Asia Tenggara itu bahkan di Asia Pasifik. Sejatinya ASEAN Regional Forum telah memiliki substansi kerja sama dan sasaran yang akan dicapai dengan memahami tantangan-tantangan yang ada di lapangan melalui kemampuan anggota-anggotanya untuk memecahkan permasalahan yang ada. Bagi penulis salah satu masalah yang dipandang cukup pelik yakni konflik territorial Laut Cina Selatan dimana di dalamnya bertikai Cina dan hampir negara besar anggota ASEAN kecuali Indonesia. Negara-negara tersebut mengklaim bahwa merekalah pemilik sah atas teritorial tersebut. Adalah wajar manakala ASEAN Regional Forum melakukan peranannya yang signifikan dan memainkan kendali terhadap konflik yang terjadi. Maksimalisasi peran ASEAN Regional Forum begitu tampak dan jelas dengan indikasi bahwa pertemuan yang dilakukan dari tahun ke tahun menjadi bermanfaat dan bermakna bagi terciptanya suasana damai dan kondusif di kawasan tersebut. Peran yang dilakukan oleh ASEAN Regional Forum adaiah dengan mengupayakan dalam setiap pertemuan tahunannya yaitu mendukung dialog yang terus-menerus dalam bentuk seminar workshop dan lain-lain. Agar tidak terjadi konflik terbuka yang tentunya membawa petaka bagi setiap negara yang mengklaim atas territorial Laut Cina Selatan. Upaya lainnya yang diusahakan oleh ASEAN Regional Forum adalah dengan melalui konvensi hukum laut 1982. Berangkat dari paparan diatas maka pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana peran ASEAN Regional Forum dalam permasalahan konflik teritorial Laut Cina Selatan. Kerangka Teori penelitian ini adalah menggumdcan Confidence Building Measures yang didalamnya meliputi langkah-langkah yang diperlukan seperti transparansi dan pembatasan-pembatasan dengan segala varian-variannya. Jenis penelitian adalah penulisan ini menggunakan penelitian deskriptif yang mana unit analisisnya adalah insititusi yang tidak permanen yang dibentuk pasca perang dingin yaitu ASEAN Regional Forum. Penelitian ini menggambarkan secara khusus dan lengkap akan fakta sosial yang diamati mengenai duduk permasalahan hubungan-hubungan sosial yang terdapat di dalamnya. Hasil studi ini diharapkan tersedianya gambaran lengkap tentang subjek yang diteliti.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T 22152
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arsyad
Abstrak :
Tulisan ini berusaha menggambarkan kondisi kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang dilakukan oleh Presidennya yaitu George W. Bush. Kebijakan yang dilakukannya melahirkan kontroversi baik di dalam negeri maupun di lingkungan ekstenalnya. Meskipun demikian Presiden Amerika Serikat melakukan kebijakan luar negerinya dengan faktor-faktor yang dianggapnya sangat determinan. faktor-faktor yang mempengarubjn kebijakan tersebut di antaranya adalah keamanan nasionai, ekonomi dan politik. Sebagaimana diketahui bahwa sebelumnya kebijakan luar negeri Amerika Serikat pada waktu perang teluk pertama di masa pemerintahan George Bush Senior selalu mengedepankan multilateralisme. Namun sebelum peristiwa 11 September 2001 unilateralisme Amerika Serikat lebih berorientasi ke dalam, yaitu untuk melindungi kepentingan Amerika Serikat secara langsung, tanpa mengubah tatanan internasional yang berlaku. Situasi berubah setelah serangan teroris yang menghancurkan WTC mempermalukan negara adidaya tersebut, dan membuatnya untuk pertama kali merasa sangat terancam dan tidak berdaya. Dengan menggunakan kekuatan militernya yang tak tertandingi kebijakan unilateralisme Amerika Serikat akhimya diarahkan ke luar, tidak saja untuk menghancurkan ancaman atau potensi ancaman, tetapi juga untuk mengubah lingkungan strategis sesuai perspektif dan kepentingan Washington. Di antara perubahan kebijakan tersebut adalah dengan melakukan invasi ke Irak yang menggunakan dalih dan dalil yang harus dipertanyakan ulang (unilateralisme) dan ini dilakukan karena Amerika Serikat mernpunyai kekuatan hegemoni dalam bidang militer dan ekonomi.

Pokok permasalahan penelitian ini adalah mengapa terjadi perubahan kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Irak Pasca Tragedi WTC tahun 2001-2003. Adapun teori yang digunakan adalah tentunya erat kaitannya dengan kepentingan nasional Amerika Serikat itu sendiri. Hipotesa penelitian ini adalah setelah terjadinya Tragedi WTC 11 September 2001 Amerika Serikat memandang penting untuk menciptakan stabilitas keamanan, ekonomi dan politik, maka negara ini melakukan perubahan kebijakan luar negerinya dari multilateral ke unilateral.

Paparan tulisan ini menggunakan metode penelitian eksplanatif yang berusaha menerangkan kausalitas yang terjadi di dalamnya, dalam hal ini penyebab terjadinya perubahan kebijakan luar negeri Amerika Serikat pada masa pemerintahan George W. Bush Pasca Pemboman WTC Terhadap Irak 2001-2003.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T22579
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ema Puspadewi
Abstrak :
Pada wanita hamil trimester kedua terjadi peningkatan kebutuhan besi. Defisiensi besi yang terjadi pada awal kehamilan akan menjadi anemia defisiensi besi pada akhir kehamilan. Defisiensi besi pada kehamilan dapat menimbulkan komplikasi seperti perdarahan akibat atonia uteri. Akhir-akhir ini dikembangkan parameter baru untuk mendeteksi defisiensi besi yaitu soluble transferrin receptor serum (sTfR) yang diharapkan tidak dipengaruhi oleh adanya inflamasi. Penggabungan parameter kadar feritin dan sTfR menjadi rasio sTfR 1 log. feritin diharapkan lebih baik dalam deteksi defisiensi besi. Pada penelitian secara potong lintang pada 108 wanita hamil primigravida trimester kedua didapatkan proporsi defisiensi besi sebesar 43,5% terdiri dari defisiensi besi tahap I sebesar 31,5% ; defisiensi besi tahap II sebesar 8,3% dan defisiensi besi tahap III sebesar 3,7%. Dijumpai 8 (7,4%) wanita hamil dengan anemia, 4 (3,7%) orang diantaranya disebabkan karena defsiensi besi. Pemeriksaan kadar sTfR menggunakan cara imunonephelometri. Dari hasil penelitian ini didapatkan nilai median kadar sTfR pads wanita hamil tanpa defisiensi besi (n=61) sebesar 1,3 mg/L ( 0,97 - 2,32 mg/L), pada defisiensi besi tahap I (n=34) sebesar 1,6 mg/L ( 0,92 - 3,26 mg/L), pada defisiensi besi tahap II (n=9) ditemukan rentang nilai 1,19 - 2,64 mg/L dan pada defisiensi besi tahap III (n=4) ditemukan rentang nilai 3,03 - 5,16 mg/L. Kadar sTfR pada defisiensi besi tahap I Iebih tinggi dibanding tanpa defisiensi besi, pada defisiensi besi tahap II dan III tampak lebih tinggi dibanding defisiensi besi tahap I. Rasio sTfR / log. feritin pada wanita hamil tanpa defisiensi besi didapatkan nilai median 0,68 (0,46-1,34); defisiensi besi tahap I sebesar 1,26 (0,71-3,54); defisiensi besi tahap II didapatkan rentang nilai 0,94-3,22 dan pada defisiensi besi tahap III sebesar 4,28-14,74. Rasio sTfR 1 log. feritin pada defisiensi besi tahap I Iebih tinggi dibanding tanpa defisiensi besi. Pada 50% wanita hamil didapatkan peningkatan kadar CRP. Kadar sTfR pada kadar CRP meningkat maupun normal tidak ditemukan adanya perbedaan yang bermakna. Kadar feritin dan sTfR ditemukan korelasi negatif dengan kekuatan sedang (r = - 0,676; r2 = 0,46); dan sebesar 46% penurunan feritin yang disertai dengan peningkatan kadar sTfR. Pada 47 wanita hamil dengan defisiensi besi ditemukan 19% subyek dengan peningkatan kadar sTfR, sedangkan peningkatan rasio sTfR 1 log. feritin dijumpai pada 55% subyek. Penghitungan rasio sTfR / log. feritin lebih baik dibandingkan hanya memakai kadar sTfR saja dalam hal mendeteksi defisiensi besi. Disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan bahwa rasio sTfR 1 log. feritin yang lebih sensitif dalam hal mendeteksi adanya defisiensi besi, dengan memakai pemeriksaan baku emas untuk mengetahui cadangan besi yaitu pemeriksaan cadangan besi di dalam sum-sum tulang.
In the pregnant women second trimester, the iron demand is increased. Iron deficiency that occurs in the early pregnancy can develop to be iron deficiency anemia. One of the complications of iron deficiency in pregnant women is bleeding due to atonia uteri. Recently there is a new parameter for detection iron deficiency, i.e. soluble transferring receptor serum (sTfR), which is not influenced by inflammation process. We hope that the use of ratio sTfR/ log. feritin will be better than sTfR alone in the detection of iron deficiency. This is a cross sectional study, with 108 pregnant women who were in the second trimester of their 1 6' pregnancy, as subjects. The proportion of iron deficiency is 43,5%; 31,5% had level I iron deficiency; 8,3% had level II iron deficiency and 3,7% was level III. We found 8 (7,4%) pregnant women with anemia; 4 (3,7%) was caused by iron deficiency. We measure sTfR level by immunonephelometry. The result of this research showed that the median of sTfR level in pregnant women without iron deficiency (n=61) was 1,3 mg/L (0,97 - 2,32 mg1L); level i iron deficiency (n=34) was 1,6 mg1L (0,92 - 3,26 mg1L). The range of sTfR value in level II was 1,19 -2,64 mg1L and in the level III (n=4) was 3,03 - 5,16 mg/L. The sTfR level in level I iron deficiency was higher than in pregnant women without iron deficiency. in level II and Ill sTfR was apparently higher than level I iron deficiency. Soluble transferring receptor 1 log. feritin ratio in pregnant women without iron deficiency (n=61) the median value was 0,68 (0,46 -1,34); in the level I iron deficiency (n=34) was 1,26 (0,71 - 3,54). The range in level II iron deficiency was 0,94 - 3,22 and in level III iron deficiency was 4,28-14,74. The sTfR 1 log. feritin in the level I iron deficiency was higher than without iron deficiency. In this research we found that CRP level were increased in 50% subjects. The sTfR level in the higher CRP level was not different from the normal CRP level. Feritin and sTfR level in the iron deficiency state was negatively correlated with moderate strength (r 0,676; rr=0,46) and 46% of subjects showed decreased feritin level associated with increased sTfR level. In the 47 pregnant women with iron deficiency; increased sTfR level was found in 19% of subjects and the ratio sTfR 1 log. feritin was found in 55% of subjects. The sTfR 1 log. feritin ratio was better than sTfR level in the detection of iron deficiency. We suggested to continue this research to prove that sTfR 1 log. feritin ratio more sensitive in the detection of iron deficiency, with the bone marrow iron stores as gold standard.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21440
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Apriyono
Abstrak :
Reunifikasi Jerman yang menandai berakhirnya era Perang Dingin yang memisahkan Eropa ke dalam blok Barat dengan blok Timur, memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan dalam struktur dunia internasional terutama di kawasan Eropa. Tidak lama kemudian diikuti dengan pecahnya Uni Soviet dan berimbas dengan jatuhnya rezim Komunis di negara - negara Eropa Tengah dan Timur, maka sistem sosialis komunis yang selama ini dianut mulai ditinggalkan oleh negara - negara di kawasan itu. Negara - negara yang secara geografis terletak di Eropa Tengah dan Timur mulai beralih menuju sistem demokrasi Barat dan ekonomi pasar. Akibatnya proses transformasi di kawasan tersebut mulai gencar dilakukan dengan intensif. Di Polandia, proses transformasi dengan cepat dan disertai adanya perubahan mendasar sistem ekonomi Polandia, yang mana sistem ekonomi terpusat diganti sistem ekonomi pasar. Adanya perubahan radikal itu mempunyai pengaruh terhadap perekonomian Polandia yang secara perlahan namun pasti tumbuh dan berkembang. Jerman merupakan negara besar di Eropa serta menjadi salah satu pendiri Uni Eropa dan berbatasan langsung dengan Polandia di wilayah Eropa bagian Tengah memandang perlu untuk memberikan bantuan di segala bidang termasuk ekonomi kepada Polandia agar dapat berhasil dalam rangka melaksanakan proses transformasinya. Bantuan Jerman diperlukan dan berguna tidak hanya pada proses transformasi saja melainkan untuk membantu Polandia dalam memenuhi kriteria - kriteria yang ditetapkan oleh Dewan Eropa untuk menjadi anggota Uni Eropa. Jerman sangat berkepentingan akan keberhasilan Polandia dalam usaha - usaha itu dikarenakan hubungannya dengan Polandia mempunyai keterkaitan erat dengan sejarah masa lalunya. Kebijakan luar negeri yang digariskan oleh Jerman sangat mendukung diberikannya bantuan terhadap Polandia baik moril maupun materil untuk mendukung segala upaya Polandia agar dapat menjadi anggota penuh Uni Eropa.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22338
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>