Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Latifa Hernisa
"ABSTRAK
Latar belakang: Kardioplegia merupakan komponen penting dalam proteksi miokard operasi jantung. Meskipun telah banyak penelitian yang mencoba membuktikan keunggulan kardioplegia darah dibanding kardioplegia kristaloid, namun kesepakatan kardioplegia terbaik untuk operasi jantung bawaan asianotik belum tercapai. Metode: Penelitian eksperimental dengan simple randomization pada 54 populasi pasien VSD, AVSD dan gangguan katup mitral yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu 24 pasien kelompok crystalloid cardioplegia CC sebagai kontrol, dan 30 pasien kelompok blood cardioplegia BC . Dilakukan pemeriksaan selisih kadar laktat darah arteri dan sinus koronarius, serta ekstraksi oksigen koroner segera, menit ke-15 dan menit ke-30 setelah CPB dihentikan. Dilakukan observasi terhadap durasi ventilasi mekanik, penggunaan inotropik, aritmia jantung, lama rawat icu dan lama rawat rumah sakit. Hasil: Selisih kadar laktat darah dan ekstraksi oksigen koroner tidak berbeda bermakna p>0,05 . Pada pasien tutup VSD, penggunaan intoropik lebih sedikit pada kelompok BC. Pasien tanpa inotropik kelompok BC dan CC yaitu 9/25 dan 2/22, 1 jenis inotropik 12/25 dan 13/22, dan lebih dari satu jenis inotropik 4/25 dan 7/22

ABSTRACT
Backgrounds Cardioplegia is an important myocardial protection in cardiac surgery. Many studies conducted to prove blood cardioplegia rsquo s superiority to crystalloid cardioplegia, but no agreement established for which cardioplegia is the best for acyanotic cardiac surgery. Methods Experimental study with simple randomization in 54 VSD, AVSD, and mitral valve disease patients, 24 crystalloid cardioplegia CC , and 30 blood cardioplegia BC . Lactate levels in arterial blood and coronary sinus, also coronary oxygen extractions were measured immediate, 15 and 30 minutes after CPB deactivated. Postoperative mechanical ventilation durations, inotropic administrations, arrhytmias, ICU and hospital length of stay were observed. Results No significant difference in the difference of lactate levels and coronary oxygen extractions immediate, 15 and 30 minutes after CPB P 0.05 . Less inotropics needed in VSD closure patients in BC group. No inotropic needed in 9 25 BC group to 2 22 in CC group, 1 inotropic needed in 12 25 BC group to 13 22 in CC group, and more than 1 intropic needed in 4 25 BC group to 7 22 in CC group p"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58896
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sari Febriana
"ABSTRAK
Latar Belakang. Kaki diabetik terinfeksi masih menjadi permasalahan serius bagi penderitanya dan kerapkali berujung pada amputasi ekstremitas bawah. Penentuan agresifitas tindakan diperlukan untuk mencegah perburukan kondisi pasien. Prokalsitonin sebagai salah satu penanda infeksi sensitif diharapkan dapat membantu untuk mendiagnosis lebih awal sehingga manajemen yang diterapkan lebih tepat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan prokalsitonin terhadap risiko terjadinya amputasi ekstremitas bawah. Metode. Dilakukan studi analitik komparatif dengan desain cross-sectional yang dilakukan di Divisi Bedah Vaskular dan Endovaskular Departemen Ilmu Bedah FKUI-RSCM periode Januari 2013-Juni 2016 pada semua pasien kaki diabetik terinfeksi yang datang ke IGD RSCM yang tidak disertai infeksi pneumonia, malaria, trauma berat, luka bakar, autoimun, dan karsinoma tiroid medula. Subjek dikelompokkan menjadi amputasi dan tidak, kemudian dilakukan analisis untuk melihat hubungan nilai prokalsitonin terhadap terjadinya amputasi ekstremitas bawah. Sumber data diambil dari rekam medik data sekunder . Dilakukan uji statistik dengan kemaknaan p ABSTRACT
Background. Diabetic foot infection remains a serious problem for the patient and often lead to lower limb amputation. Determination of aggressive action is needed to prevent the worsening of the patient 39 s condition. Procalcitonin as a sensitive marker of infection is expected to help to diagnose early so that management implemented more precise. This study aims to determine the relationship of procalcitonin on the risk of lower limb amputation. Method. Comparative analytic study with cross sectional design conducted at the Vascular and Endovascular Divison Department of Surgery Faculty of Medicine Universitas Indonesia Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2013 to June 2016 in all patients with diabetic foot infection who come to the ER RSCM without pneumonia, malaria, severe trauma, burns, autoimmune, and medullary thyroid carcinoma. Subject are grouped into amputation and not amputation, then do analysis to find correlation values of procalcitonin on the occurence of the lower limb amputation. Data are extracted from medical records secondary data and performed statistical tests with significance p "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Dwi Kurnia Robby A
"Latar belakang: Sepsis infeksi intra-abdomen SIA merupakan masalah klinik yang sampai saat ini merupakan mortalitas yang tinggi dan tantang tersendiri spesialis bedah. Dari data yang ada, insiden di Amerika Serikat pada tahun 2012 tercatat 3,5 juta penderita dengan mortalitas mencapai 60 , sedangkan di Eropa barat 30 . Timbul pertanyaan, faktor apa yang paling berperan dalam rantai perkembangan sepsis intra-abdomen. Dari informasi terkini tertuju pada biophenotype. Pada tahun 2007 istilah biophenotype diajukan oleh Human Nature Natural Health untuk menjelaskan suatu molekul yang terproyeksi dan melapisi permukaan seluruh sel yang ada di tubuh manusia.
Tujuan Penelitian: Diketahuinya hubungan golongan darah tertentu dengan kejadian sepsis intra-abdomen pada pasien trauma abdomen dan infeksi gastrointestinal.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan analtik dengan desain potong lintang. Subjek yang diambil merupakan pasien yang mengalami trauma abdmen dan infeksi gastrointestinal di RSCM melalui data rekam medis. Data yang diambil adalah usia, jenis kelamin, riwayat transfusi dengan golongan darah ABO, dan hasil kultur jaringan. Data tersebut dianalisis menggunakan SPSS dan dilakukan uji chi-square untuk mengetahui hubungan antara golongan darah ABO dengan kejadian sepsis.
Hasil Penelitian: Pada penelitian ini ditemukan terdapat 22 subjek 9,6 pasien yang mengalami sepsis intra abdomen pasca operasi selama periode Januari 2014 ndash; Maret 2016. Studi ini mendapatkan hubungan yang bermakna antara pemberian transfusi OR = 0.02; p < 0.001 dan grup diagnosis OR = 4.7; P = 0.015 terhadap terjadinya sepsis intra abdomen. Namun demikian, tidak ditemukan hubungan yang bermakna pada usia, jenis kelamin, dan golongan darah terhadap terjadinya sepsis intra abdomen.
Kesimpulan: Dari hasil penelitian ini belum dapat dibuktikan golongan darah tertentu berpotensi menyebabkan sepsis intra abdomen pada pasien dengan riwayat trauma abdomen dan infeksi gastro intestinal.

Background: Intra abdominal sepsis is a clinical problem with high mortality and a special challenge for surgeons. Based on research about glycocalyx, we obtained information regarding the differences of biophenotype on glycocalyx. So far, the research that leads to the difference in biophenotype is only focused on the ABO blood type system. Until recently there has been no data on the relationship between sepsis especially intra abdominal sepsis with blood type.
Methods: This is a descriptive and analytic research with cross sectional design in patients with abdominal trauma and gastrointestinal infections at dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital RSCM that fulfilled the inclusion and exclusion criteria.
Results: There were 230 subjects, who underwent post traumatic abdominal surgery as well as gastrointestinal infections at RSCM. There were 22 subjects incidence 9.6 who had postoperative intraabdominal sepsis. Most subjects who underwent surgery were aged around 41 60 years 50 , were men 56.1 , did not get transfusions 90.9 , had surgery caused by mechanical intestinal obstruction 24.8 , had blood type O 46.1 , had gastrointestinal infection 92.6 , and were living as the outcome of the procedure 96.5 . There was a significant correlation p 0,05 between transfusion p 0,0001 and diagnostic group p 0,015 on the occurrence of intra abdominal sepsis. In subjects receiving transfusion, the odds ratio OR was 0.02 and the group diagnosis OR was 4.7 at 95 confidence interval.
Conclusions. The high risk of sepsis is especially high in the gastrointestinal infection group. Similarly, amongst factors affecting sepsis, history of transfusion may increase the risk of sepsis. Results of this study could not be prove that certain blood groups potentially cause intra abdominal sepsis in patients with a history of abdominal trauma and gastro intestinal infections.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
RM Ardani Fitriansyah SY
"Pendahuluan. Fistula pankreas masih merupakan komplikasi paling sering setelah pankreatikoduodenektomi yang menyebabkan masa rawat lama dan biaya besar.  Fistula ini terjadi sampai 45%.  Kebocoran anastomosis pankreatikojejunostomi merupakan faktor yang paling penting. Belum ada data tentang faktor pankreas yang dapat memengaruhi fistula pankreas di Jakarta, khususnya RS Cipto Mangunkusumo sehingga dilakukan penelitian ini.

Metode.  Penelitian cross sectional ini dilakukan pada 70 orang penderita yang dilakukan pankreatikoduodenektomi. Data dikumpulkan dari data sekunder rekam medis tahun 2016-2019 berupa tekstur pankreas, diameter duktus pankreatikus, teknik anastomosis pankreatikojejunal, dan penggunaan stent pada pankreatikojejunal sebagai variabel bebas. Fistula pankreas sebagai variabel terikat. Data diuji dengan uji Spearman dikarenakan abnormalitas distribusi data.

Hasil.  Didapatkan 70 subjek. Tidak ada kejadian fistula pankreas sebanyak 21,4% dan ada fistula pankreas sebanyak  78,6%. Diameter duktus pankreatikus tidak melebar sebanyak 78,6% dan melebar sebanyak 21,4%. Tekstur pankreas soft sebanyak 22,9% dan hard sebanyak 77,1%. Penggunaan stent sebanyak 21,4% dan tidak ada penggunaan sebanyak 78,6%. Tipe anastomosis pankreatikojejunal dunking atau invaginasi sebanyak 82,9% dan duck to mucosa sebanyak 17,1%.  Faktor risiko yang bermakna pada analisis bivariat adalah diameter duktus pankreatikus (p=0,007). 

Kesimpulan. Penilaian diameter duktus pankreatikus intraoperatif mempunyai hubungan bermakna dalam memperkirakan kejadian fistula pankreas pascaoperasi pankreatikoduodenektomi.

 


Introduction. Pancreatic fistula is the most common complication after pancreaticoduodenectomy that cause longer hospital stay and higher cost. It happens 45%. Pancreaticojejunostomy anastomosis leakage is the most important factor. No data about pankreas’ factor that can influence pancreatic fistula in Cipto Mangunkusumo hospital so this study is held.

Method. This cross sectional study was done for 70 patients. Data was collected from medical record in 2016-2019.   The data are pancreatic texture, pancreatic duct diameter, pancreaticojejunal anastomotic technique, and use of  stent in pancreaticojejunal as the independent variables. Pancreatic fistula as the dependent variable.   We analyzed  using Spearman test due to abnormality data distribution.

 

Results. There are 70 subjects enrolled. Subjects with no pancreatic fistula about 21,4% and with pancreatic fistula 78,6%.   No dilated pancreatic duct diameter about 78,6% and dilated about 21,4%. Soft texture pancreas about 22,9% and hard 77,1%. Use of stent about 21,4% and no stent 78,6%. Pancreaticojejunal anastomotic type of dunking or invaginating about 82,9% and duck to mucosa about 17,1%.  The significant risk factor in bivariate analysis is diameter of the pancreatic duct (p=0,007). 

Conclusion. Intraoperative assessment of the pancreatic duct diameter associated significantly in predicting pancreatic fistula after pancreaticoduodenectomy.

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Filipus Dasawala
"Kemoterapi neoajuvan (KNA) merupakan salah satu modalitas terapi pada kanker payudara lanjut lokal (KPD-LL). Beberapa studi telah menunjukkan KNA dapat meningkatan kesintasan keseluruhan bila didapatkan respons patologis komplet, namun efektifitasnya dihambat oleh kemoresistensi yang dapat dimediasi oleh P-glycoprotein (Pgp). Tujuan dari studi ini adalah untuk mengkaji hubungan antara ekspresi Pgp dengan respons terhadap KNA pada pasien KPD-LL. Studi kohort prospektif multisentra dilakukan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan RSUD Koja pada periode September 2018 sampai Mei 2019. Analisis imunohistokimia dilakukan pada sampel biopsi untuk menilai ekspresi Pgp secara semikuantitatif. Respons klinis dinilai pascakemoterapi tiga siklus dengan menggunakan kriteria WHO. Subjek yang dinilai operabel pascaKNA menjalani operasi mastektomi radikal modifikasi. Respons patologis dinilai pada spesimen bedah dengan menggunakan kriteria Miller-Payne. Pgp didapatkan positif pada 21/27 subjek (77,8%) dan lemah/negatif pada 6/27 subjek (22,2%). Respons patologis komplet hanya didapatkan pada satu pasien dengan Pgp negatif. Tidak ada perbedaan secara statistik antara subjek dengan Pgp positif dan Pgp negatif dalam hal respons klinis maupun respons patologis. Hasil studi ini menunjukkan bahwa mayoritas pasien KPD-LL mengekspresikan Pgp, namun Pgp tidak dapat digunakan sebagai prediktor respons terhadap KNA, baik klinis maupun patologis.

Neoadjuvant chemotherapy (NACT) is one of the modalities used to treat locally advanced breast cancer (LABC). Studies have shown that it can improve overall survival if pathological complete response is achieved, but it is impeded by chemoresistance of which can be mediated by P-glycoprotein (Pgp). The aim of this study is to explore the association between Pgp expression and response to NACT. A multicenter prospective cohort study was carried out in Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital and Koja General Hospital from September 2018 to May 2019. Immunohistochemical analyses of the biopsy samples were done to semiquantitatively measure Pgp expression. Clinical response was evaluated after three cycles NACT using WHO response criteria. Subjects, who were deemed operable post-NACT, underwent modified radical mastectomy. Afterwards, the surgical specimens were evaluated for pathological response following Miller-Payne criteria. Pgp was strongly expressed in 21/27 subjects (77.8%) and weak/negative in 6/27 subjects (22.2%). pCR was seen only in one Pgp negative subject. There was no difference between Pgp positive and negative subjects in terms of clinical response and pathological response. The results show, Pgp is expressed in the majority of LABC patients, but it cannot be used as a predictor of response to NACT, either clinically or pathologically.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library