Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sherley Ika Christanti
"Kampung Pelangi adalah salah satu dari trend mendandani kampung di tengah kota untuk dipamerkan sekaligus meningkatkan taraf hidup dan membantu masyarakat mengembangkan potensi pada kampung tersebut. Bagian ruang publik dari Kampung di cat warna warni untuk mengundang wisatawan datang dan berfoto disana, menyebabkan kampung kota menjadi suatu objek tontonan (spectacle) bagi kalayak umum. Spectacle berarti situasi unik, menarik atau tidak biasa yang menarik perhatian banyak orang. Di dalam spectacle tercipta dua realitas dalam ruang/chora, yang dipertontonkan, dan realitas yang ingin disembunyikan dibaliknya. Aktor warga kampung dan pemerintah berlaga di dalam setting warna-warni kampung dan khalayak umum memberikan nilai terhadap spectacle melalui media. Riset ini mendiskusikan sejauh mana makna spectacle yang di ciptakan pada renovasi Kampung Pelangi di Semarang. Metode penelitian didapatkan dengan mengkonstruksikan pemahaman mengenai spectacle dan proses pembentukan ruang/chora, kemudian mencari makna dari ruang-ruang yang diciptakan melalui image yang tersebar di media maupun yang didapatkan ketika penelitian di tempat. Makna yang muncul dari image Kampung Pelangi, hanya sekedar kosmetik di luar saja sehingga chora yang tercipta tidak selaras dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini menyebabkan spectacle Kampung Pelangi hanya bertahan selama beberapa tahun saja setelah aktor pemerintah dan media menarik diri.

Kampung Pelangi is one of the trends of dressing up a village in the middle of the city to be exhibited while improving living standards and helping people develop the potential of the village. Part of the public space of the village is painted in colorful colors to invite tourists to come and take pictures there, causing the urban village to become a spectacle object for the general public. A spectacle means a unique, interesting, or unusual situation that attracts the attention of many people. In the spectacle, there are two realities in space/chora, which are displayed, and the reality that you want to hide behind them. Villagers and government actors competed in colorful village settings and the general public gave value to the spectacle through the media. This research discusses the extent to which the meaning of the spectacle was created in the renovation of Kampung Pelangi in Semarang. The research method is obtained by constructing an understanding of the spectacle and the process of forming space/chora, then looking for meaning from the spaces created through images spread in the media or those obtained during on-site research. The meaning that emerges from the image of Kampung Pelangi is only cosmetic on the outside so the chora that is created is not in harmony with the needs of the community. This caused the Kampung Pelangi spectacle to only last for a few years after the government and media actors withdrew."
Jakarta: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wendy Ivannal Hakim
"Penelitian ini mengenai fenomena bertempat tinggal yang dilakukan oleh beberapa migran Jawa di Balikpapan. Mereka merupakan migran muda berstatus lajang dan kerabat mereka masing-masing yang tergabung dalam unit rumah tangga. Penelitian ini bertujuan memahami fenomena tersebut sebagai persoalan housing dalam keilmuan Arsitektur. Penelitian ini melihat housing sebagai keragaman dan kompleksitas serta memperhatikan aspek mikro kehidupan manusia dan serta dimensi sosio-kultural kehidupan manusia. Hal ini diselami melalui ragam rumah tangga dan keluarga serta tahapan kehidupan manusia. Penelitian ini menyandarkan diri pada perspektif yang melihat rumah sebagai kehadiran, dengan menginvestigasi keberadaan manusia pelakunya serta menguak ide bertinggal mereka. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan khususnya Grounded Theory. Pelaku menamai kegiatan bertinggal ini sebagai “nderek” dan dapat dilihat sebagai koresidensi. Namun “nderek” berbeda dengan varian ko-residensi lainnya pada poin jenis hubungan kekerabatan, wujud dukungan antara kerabat tersebut, dan sutau tahap kehidupan tertentu. “Nderek” merupakan kegiatan merumah dan persoalan bermukim, yang secara khusus mengacu pada ide mukim (dwelling) menurut Heidegger. “Nderek” sebagai dwelling memuat pemahaman bahwa melalui sorge (care) –suatu karakteristik mendasar dari dwelling yang dalam hal ini adalah saling berbagi antar kerabat dalam pengasuhan anak muda menuju “mentas” –para aktor tidak menghadirkan dwelling yang meruang secara terikat di satu lokasi geografis saja, melainkan pada rentangan keterhubungan dan keterbukaan antara dua rumah dan dua daerah.

This research is about housing phenomenon conducted by some Javanese migrants in Balikpapan. They are young single migrants and their respective relatives who are members of the household unit. This study aims to understand this phenomenon as a housing problem in architecture. This study sees housing in diversity and complexity and pays attention to micro aspects and the socio-cultural dimensions of human life. This is explored through the variety of households and families as well as the life courses. This research relies on a perspective that sees the house as an existence, by investigating the existence of the human actors and uncovering their idea of housing. This research employs qualitative research methods and specifically Grounded Theory. The actors name this activity as “nderek” and it can be seen as a coresidency. However, “nderek” differs from other co-residency variants in terms of the type of kinship relationship, the form of support between these relatives, and a certain stage of life. “Nderek” is a housing and also dwelling, which specifically refers to the idea of dwelling according to Heidegger. “Nderek” as a dwelling conveys understanding that through sorge (care) – a fundamental characteristic of dwelling, as in this case is sharing between relatives in nurturing young people towards “mentas” – the actors do not present dwelling that is bounded in one geographic location, but on the gamut of connectedness and openness between two houses and two areas."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Euis Puspita Dewi
"ABSTRAK
Disertasi ini mengungkap akar permasalahan dari bersih dan kotor pada kanal di Batavia dengan menggunakan pendekatan sejarah secara sinkronis-diakronis. Transformasi morfologi dan wacana poskolonial pada kanal juga diungkap untuk menunjukkan keterkaitan antara arsitektural kanal dengan muatan ideologis dalam perencanaan kota. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kekuasaan telah masuk di dalam proses transformasi kanal di Batavia pada masa kolonial melalui wacana bersih dan kotor yang diciptakan. Kanal telah berperan membentuk sebuah oposisi biner sekaligus penanda ambiguitas dari pembentukan oposisi tersebut. Oposisi biner pada Babak Kejayaan Kanal dibangun melalui sebuah sistem segregasi kanal yang memisahkan masyarakat Eropa dan non-Eropa, dan antara dalam dan luar kota. Namun, pada kenyataannya, sebuah segregasi tidak dapat secara murni terbentuk. Kanal menjadi sebuah representasi dari sebuah kehidupan yang saling ketergantungan, antara masyarakat Eropa dan non-Eropa. Kanal bagian dalam kota terbukti tidak dapat berdiri sendiri tanpa keberadaan kanal luar tembok sebagai penyangga. Pada Babak Kerusakan Kanal, oposisi biner antara ruang bersih dan kotor terbentuk melalui kontur dan jarak. Babak ini menghasilkan sebuah pemisahan antara daerah kota bawah Batavia Lama yang kotor dan daerah kota atas Weltevreden yang bersih. Namun, pada kenyataannya justru kanal telah pulalah yang berperan menyatukan di antara keduanya. Pada Babak Peralihan Fungsi Kanal, kanal menjadi penanda oposisi biner ruang bersih dan kotor antara masyarakat Eropa dan pribumi. Oposisi terbentuk dari perbedaan penggunaan ruang bersih dan kotor. Kanal digunakan sebagai ruang aktivitas sosial dan kebersihan bagi masyarakat non-Eropa pribumi dan menjadi area yang ditinggalkan oleh masyarakat Eropa sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Masyarakat Eropa telah beralih menggunakan kamar mandi dengan teknologi sanitasinya, sebagai area kebersihan dan menggunakan halaman rumah sebagai tempat berinteraksi sosial. Namun, di balik pemisahan tersebut, kanal telah menyatukan dua kehidupan tersebut melalui sebuah ruang binatu, sebagai ruang membersihkan pakaian Eropa oleh para petugas pribumiRealita di atas menunjukkan bahwa sebuah oposisi biner yang dibentuk melalui kanal pada masa kolonial tidak pernah seutuhnya terjadi. Di balik upaya pembentukan oposisi, tersimpan ketidakberdayaan untuk menciptakan batas-batas tersebut. Di antara batas-batas tersebut tercipta sebuah ambiguitas yang membentuk the liminal space between cultures.

ABSTRACT
This dissertation reveals the root problems of the clean and dirty on the canals in Batavia by using a synchronous diachronic historical approach. The morphological transformation and postcolonial discourse on the canal are also revealed to show the linkage between the canal architecture and the ideological charge in urban planning.The results of this study indicate that power has entered into the process of canal transformation in Batavia during the colonial period through a clean and dirty discourse created. The canals have been instrumental in forming a binary opposition as well as a marker of ambiguity from the formation of the opposition. The binary opposition in the Glory of Canals Period was built through a system of channel segregation that separates European and non European societies, and between within and outside the city. However, in reality, a segregation cannot be purely formed. The canal becomes a representation of a life of interdependence, between European and non European societies. The inner city canal proved unable to stand on its own without the outside canal as a buffer. In the Damage of Canals Period, the binary opposition between clean and dirty spaces is formed through contours and distances. This round resulted in a separation between the dirty downtown area Batavia Lama and the clean upper town area Weltevreden . However, in fact, it is also the channel that has also played a role together between the two. In the Switching Function of Canals Period, the canals became a marker of the binary opposition of clean and dirty spaces between European and indigenous communities. The opposition was made up of differences in the use of clean and dirty spaces. The canal was used as a social and hygiene activity space for indigenous communities and became an area left behind by European society as a part of everyday life. The European community has switched to using bathrooms with sanitary technology, as the cleanliness area and using the home page as a place of social interaction. However, behind this separation, the canal has united the two lives through a laundry room, as a space for cleaning European clothing by native officersThe above realities show that a binary opposition formed through the canals during the colonial period never fully occurred. Behind the efforts of the formation of the opposition, stored powerlessness to create these limits. Among the boundaries was created an ambiguity that forms the liminal space between cultures. "
2017
D2420
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Freta Oktarina
"Pasar merupakan satu simpul penting di dalam ruang kota. Sebagai generator perekonomian dan tempatberkumpul bagi masyarakat, pasar berperan besar dalam mengarahkan kota dan membentuk struktur sosio-budaya masyarakat. Salah satu pasar paling berpengaruh di Indonesia adalah Pasar Tanah Abang, sebuah pusat grosir tekstil terletak di Kota Jakarta. Dengan intensitas perdagangan yang tinggi, Pasar Tanah Abang tidak saja telah menghidupkan Jakarta, namun merupakan tonggak perekonomian nasional yang menjangkau hingga ke berbagai pelosok daerah. Di sisi lain, dengan kedudukan strategis yang dimilikinya Pasar Tanah Abang juga merupakan sumber permasalahan bagi kota dan pemicu hadirnya beragam konflik ruang.
Ruang adalah sebuah produksi sejarah. Di balik kehadiran sebuah pasar terkandung perjalanan yang menghantarkannya untuk sampai pada keberadaan hari ini. Pasar Tanah Abang yang dibangun pada tahun 1735 merupakan di antara jejak kolonial yang masih terus hidup hingga era pasca kemerdekaan. Kolonialisme telah mengambil volume begitu besar di dalam perjalanan Indonesia. Konflik-konflik di dalam ruang kota hari ini sebagian lahir dari konstruksi ideologi yang terbangun pada era kolonial. Penelitian Pasar Tanah Abang digagas sebagai suatu langkah untuk lebih mengenali aspek-aspek terkait keberlangsungan pasar dan memperoleh pemahaman lebih menyeluruh, terutama dalam penjelasan mengenai jejak historis pasar. Melalui kajian arsip dan dokumen, penelitian mencoba menelusuri peran kuasa pengelolaan pasar dan perdagangan tekstil di dalam ruang-ruang pasar untuk menggali makna di balik keberadaan arsitektur Pasar Tanah Abang sejak pasar berdiri hingga kini.
Temuan menunjukkan jejak historis Pasar Tanah Abang merupakan sebuah ceruk yang menyimpan satu rentang perjalanan mengenai perkembangan pasar dan arsitektur di Indonesia beserta segenap aspek yang melingkupinya. Pasar Tanah Abang adalah sebuah gambaran mengenai peran kuasa kota dalam pembangunan pasar dan intervensi yang berlangsung di sepanjang pengelolaan pasar, paradigma di dalam konsep pasar di Indonesia sebagai ruang transisi dari pasar tradisional era kolonial menuju pasar modern pasca kemerdekaan, dan peran perdagangan tekstil sebagai sebuah kekuatan di dalam pergerakan pasar Indonesia bersamaan merupakan pengarah serta penentu sistem kemasyarakata

The market is an important node in the urban space. As a generator of the economy and a gathering place for the community, the market plays a major role in directing the city and shaping the socio-cultural structure of society. One of the most influential markets in Indonesia is Tanah Abang Market, a textile wholesale center located in Jakarta City. With a high trading intensity, Tanah Abang Market has not only revived Jakarta, but is a pillar of the national economy that reaches out to various remote areas. On the other hand, with its strategic position, Tanah Abang Market is also a source of problems for the city and a trigger for various spatial conflicts.
Space is a historical production. Behind the presence of a market is a journey that led the market to arrive at its existence today. Tanah Abang Market, which was built in 1735, is one of the colonial traces that have survived into the post-independence era. Colonialism has taken up so much volume in Indonesia's journey. Conflicts in urban space today are partly born of ideological constructions that were built in the colonial era. The Tanah Abang Market research was initiated as a step to better identify aspects related to market sustainability and gain a more comprehensive understanding, especially in explaining the historical traces of the market. Through archive and document studies, the research tries to trace the role of the power of market management and textile trade in market spaces to explore the meaning behind the existence of Tanah Abang Market architecture since the market was built in the colonial era until now.
The findings show that the historical footprint of Tanah Abang Market is a niche that stores a range of journeys regarding the development of markets and architecture in Indonesia and all the aspects that surround it. Tanah Abang Market is an illustration of the role of city power in market development and the interventions that take place throughout market management, a paradigm in the concept of the market in Indonesia as a transitional space from the colonial era traditional market to the post-independence modern market, and the role of textile trade as a force in the movement of the Indonesian market as well as a guide and determinant of the social system.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Olga Nauli Komala
"Urban foodscape merepresentasikan kemelekatan makanan dengan lanskapnya di ruang kota. Berbagai penelitian terdahulu mengungkapkan bahwa foodscape bersifat nested, interconnected, dan multidimensi. Namun, gagasan foodscape belum memberikan pemahaman bagaimana pengkondisian fit atau kesesuaian dari kehadiran makanan pada lanskapnya. Gagasan form (bentuk) menekankan fitness sebagai pengkondisian yang ideal dari kehadiran makanan pada habitat urban. Habitat urban merujuk pada pengkondisian yang khusus dari lanskap, dengan gagasan form dari foodscape yang tergantung pada konteks spasialnya. Kawasan Pancoran, Glodok, Jakarta, sebagai salah satu urban foodscape, memiliki karakter fisik dan nonfisik sebagai suatu Pecinan, termasuk karakter urban form sebagai struktur pembentuk habitat urbannya. Tujuan penelitian ini adalah menelusuri form dari urban foodscape, yang mengindikasikan fitness dari urban foodscape dan hubungan di antara food patches. Penelitian ini mempertanyakan gagasan form dari urban foodscape pada suatu konteks habitat. Pertanyaan ini merujuk pada kesesuaian atau fitness dari suatu urban foodscape dalam skala makro dan mikro; serta bagaimana relasi antara urban food system dengan berbagai elemen urban form. Metode multilayer yang komprehensif dalam pendekatan studi kasus ini bertujuan untuk menelusuri aspek makanan dan lanskap. Pemodelan habitat urban dengan land mosaic sebagai the puzzle-pieces-plan merujuk pada keberagaman elemen spasial, yang terdiri dari matriks, patch, dan koridor. Patch merupakan unit spasial yang dianalisis sebagai suatu set (himpunan) yang berhubungan dengan urban food system dan urban form. Pemetaan superimposed berfungsi menelusuri enam layer terkait kehadiran makanan, yaitu ruang-ruang yang menghadirkan komoditas makanan; aktivitas dalam urban food system; jenis komoditas makanan; sifat permanen ruang yang menghadirkan komoditas makanan; fungsi sekitar kawasan; dan pusat kegiatan. Temuan pertama mengungkapkan bahwa kawasan Pancoran, Glodok, memiliki sembilan tipe food patch sebagai pengkondisian fit, yaitu food corridor; street food festival; food patch di sekitar pusat kegiatan; food patch di sekitar simpul pergerakan; food patch di ruang kota dengan skala intim; street market; food node; food patch makanan tidak halal; dan transisi antara food patch (embrio atau jejak food patch terdahulu). Temuan kedua mengungkapkan empat tipe relasi antara food patches yaitu relasi set yang sama; bagian; berpotongan atau beririsan; dan saling lepas. Temuan ketiga menekankan food mosaic sebagai gagasan form dari foodscape yang memiliki sifat nested di dalam food patches dan interconnected dalam hubungannya dengan food patches lainnya. Pemahaman mengenai food mosaic akan memberikan panduan arah pengembangan urban foodscape sesuai habitat urbannya.

Urban foodscape represents the attachment of food to its landscape in an urban spatial context. Previous studies reveal that foodscape is nested, interconnected, and multidimensional. However, the idea of foodscape is not sufficient to comprehend how food fits in its landscape. The concept of form highlights fitness as the ideal condition for the presence of food in urban habitat. Urban habitat constitutes a distinctive landscape so that the form of foodscape depends on its spatial context. Pancoran, Glodok, as one of Jakarta’s urban foodscape, has specific physical and non-physical aspects as Jakarta’s Chinatown, which characterize its urban forms as the structure of urban habitat. The objective of this research is to explore the form of urban foodscape in relation to food system and urban form. This research questions the form of foodscape, which indicates the fitness of urban foodscape and the relationship between food patches. A comprehensive multilayered method in this case study is applied to explore the multidimensional aspects of food and landscape. In the case of urban habitat, the approach of land mosaic as the puzzle-pieces-plan refers to the heterogeneity of spatial elements constructed by matrix, patch, and corridor. Patch as a spatial unit is analyzed as a set of urban food systems related to urban forms. The superimposed mapping functions to separate, sequence, and overlay the spatial presence of food patch in urban forms in six layers, such as the layer of food spatial distribution; activities related to food or urban food system; food types; the spatial permanency of food spots; surrounding context; as well as centers of activities around food environment. This research has three findings regarding the concept of urban foodscape form. The first finding discovers that Pancoran, Glodok, has nine types of food patch considered as fitness, such as: food corridor; street food festival; food patch around activities center; food patch around an intersection; food patch in intimate scale; street market; food node; non-halal food patch; and food patch as a transition zone. The second finding reveals four types of relationship between food patches which can be categorized as “including it; being included by it; partially including; and partially excluding it”, in order to be fit in its landscape. Furthermore, the third finding highlights food mosaic as the form of foodscape, which refers to the fitness of part-to-whole-relationship, determined by the relationship between food and the urban form. Food mosaic represents the concept of being nested in food patches and interconnected with other food patches and elements within the food environment. Understanding food mosaic will lead to prescriptive purposes in the development of urban foodscape that fits in its urban habitat."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Mira Sophia
"Kalimantan adalah pulau terbesar ketiga di dunia, yang memiliki ratusan, bahkan ribuan, sungai dan anak sungai. Sungai Kapuas di Kalimantan Barat, dengan panjang 1.143 kilometer, merupakan sungai terpanjang di Indonesia, yang selama berabad-abad telah membentuk masyarakat yang berkebudayaan sungai, dalam wujud kota-kota tepi sungai dari hulu hingga hilir sungai-sungainya. Dengan mengangkat 'lanting', salah satu bentuk permukiman tepi sungai di Kalimantan, penelitian ini ingin mengungkap fenomena kehadiran permukiman tepi sungai dalam konstitusi masyarakat perkotaan di Kalimantan. Ekologi politik digunakan sebagai pendekatan untuk mengungkap proses-proses sosial, ekonomi dan politik serta lingkungan pada permukiman lanting, untuk memberikan makna yang lebih mendalam terhadap hubungan kota dan sungai, yang merupakan representasi hubungan manusia dan alam yang kompleks. Lokasi studi adalah Kota Sintang, Kalimantan Barat. Penelitian di lapangan dilaksanakan dalam rentang waktu Oktober 2016 hingga Januari 2018. Partisipan berjumlah 25 orang, dengan penentuan partisipan melalui teknik purposive sampling dan snowball sampling, untuk menghasilkan sampel ilustratif. Data-data diolah dengan mengikuti kaidah teori beralas klasik (classic grounded theory), yang meliputi tahapan pengodean terbuka, penyusunan kategori dan properti (sub kategori) serta kategori inti, yang dijalin oleh proses penulisan memo dan perbandingan konstan hingga mencapai tahap saturasi. Penelitian ini menghasilkan usulan teori substantif baru yaitu 'urbanisme jejaring berbasis sungai' atau 'urbanisme dendritik' yang menawarkan cara pandang baru dalam memahami permukiman tepi air perkotaan sebagai manifestasi dari 'nexus' sosial-ekonomi-politik-lingkungan yang kompleks.

Borneo is the third-largest island in the world, boasting hundreds, if not thousands, of rivers and tributaries. The Kapuas River in West Kalimantan, with a length of 1,143 kilometers, is the longest river in Indonesia, which for centuries has shaped the culture of the community. By using 'lanting', a form of a river settlement in Kalimantan, this study aims to reveal the phenomenon of the river settlements in the constitution of urban society. Political ecology is used as an approach to reveal social, economic, and political as well as environmental processes in the lanting settlement, to give a deeper understanding of the relationship between the city and the river, which represents a complex relationship between human and nature. The study was conducted in Sintang City, West Kalimantan. In carrying out this research, the Glaserian grounded theory method is used. Field research was carried out in the period from October 2016 to January 2018, at two lanting settlements in Sintang City: Pasar Durian and Tanjung Puri, with 25 participants, which were chosen following the purposive and snowball sampling. This research produces a new substantive theory, 'river-based network urbanism' or 'dendritic urbanism' which offers a new perspective in understanding urban waterfront settlements as a manifestation of a complex socio-economic-political-environmental 'nexus'. The political ecology itself can be seen as a novelty to fill the methodological gap in architectural research and urban settlement studies."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library