Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 26 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Suaydiy Okdiyanzah
"Banyak manfaat didapatkan dari mengkonsumsi sayuran. Namun sayuran dapat menjadi perantara penularan parasit usus (STH dan kista protozoa) dan meningkatkan angka kesakitan akibat infeksi ini. Berbagai penelitian membuktikan kontaminasi parasit usus diberbagai sayuran dengan jumlah beragam. Hal ini diperburuk dengan kebiasaan mengkonsumsi sayuran mentah (lalapan) di Indonesia. Maka dilakukanlah penelitian pada kubis karena sering dikonsumsi mentah.
Penelitian ini ingin mengetahui perbedaan jumlah kontaminasi parasit usus yang ditemukan pada kubis pasar tradisional dan pasar swalayan serta ingin mengetahui efektifitas perendaman antara larutan garam-cuka dengan air. Penelitian ini adalah cross sectional dengan menggunakan 20 sampel kubis pasar tradisional dan 20 sampel kubis pasar swalayan yang dibeli secara acak di lima wilayah Jakarta.
Hasil penelitian menunjukkan perbedaan bermakna (p=0,006) jumlah parasit yang ditemukan pada kubis pasar tradisional (2570 parasit) dan kubis pasar swalayan (1610 parasit). Ditemukan pada seluruh sampel (tradisional dan swalayan) terkontaminasi STH, 9 dari 20 sampel kubis pasar tradisional dan 7 dari 20 sampel kubis pasar swalayan terkontaminasi kista protozoa. Didapatkan pula perbedaan bermakna (p<0,05) jumlah parasit usus pada kubis yang direndam dengan larutan garam-cuka dibandingkan dengan air. Berdasarkan hasil penelitian ini jumlah parasit pada kubis pasar tradisional jauh lebih tinggi dan perendaman dengan larutan garam-cuka lebih baik dibandingkan dengan air.

We can get a lot of benefit by consuming vegetables. But, vegetables also can be a medium to transmit parasites (STH and protozoa) and increase the morbidity because of infection. Some researches proved parasites contamination in any vegetables with vary of number. It is worsen by a habit to consume raw vegetables (lalap) in Indonesia. This research was done by using cabbage that often consume uncooked.
This research wants to know the difference parasites quantity in cabbage from traditional and modern market and also the effectiveness between salt-acid solution and water as immersion medium. This cross-sectional research use 20 samples of cabbages from traditional market and 20 samples of cabbages from modern market in Jakarta.
The result show a different parasites quantity (p value = 0,006) between cabbage from traditional market (2570 parasites) and modern market (1610 parasites). All of samples (traditional and modern market) are contaminated by STH, 9 of 20 cabbages from traditional market and 7 of 20 cabbages from modern market are contaminated by protozoa. And also there is a different parasites quantity (p value < 0,05) found in cabbage using salt-acid solution then water only. As conclusion number of parasites found in cabbages from traditional market is higher than cabbages from modern market and using salt-acid as immersion medium is better than water only."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afini Faza
"Sayuran mentah dapat meningkatkan peluang transmisi parasit usus ke manusia. Sebagian besar masyarakat menganggap bahwa higienitas makanan mentah termasuk sayuran yang dijual di pasar swalayan lebih baik daripada pasar tradisional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan jumlah parasit usus pada sayuran kemangi dari pasar tradisional dan swalayan Jakarta. Sebanyak 20 sampel kemangi dari pasar tradisional dan 20 sampel kemangi dari pasar swalayan direndam dengan larutan garam jenuh dan selanjutnya dilakukan uji sedimentasi untuk mendapatkan jumlah parasit usus/ml.
Didapatkan 100% sampel kemangi terkontaminasi parasit usus. Jumlah parasit usus pada sampel dari pasar tradisional adalah 1630/ml sedangkan dari pasar swalayan sebesar 1400/ml (p>0,05). Pada kedua kelompok sampel, diketahui bahwa kontaminasi terbesar berasal dari protozoa dengan spesies yang paling banyak ditemui adalah Giardia lamblia. Perendaman dengan larutan garam jenuh berpengaruh terhadap hasil penelitian (p<0,05).
Penelitian ini mengindikasikan bahwa sayuran berpeluang meningkatkan transmisi parasit usus ke tubuh manusia. Diharapkan masyarakat selalu menerapkan kebiasaan mencuci sayuran secara adekuat sebelum dikonsumsi dari manapun sayuran didapatkan terutama pada sayuran yang langsung dikonsumsi tanpa dimasak.

Raw vegetables can increase probability of intestinal parasite transmission to human body. People believe that hygienity of raw foods sold in supermarkets, including vegetables, are better than traditional markets. The aim of this study was to investigate whether there was difference in the number of intestinal parasite found in basil collected from traditional markets and supermarkets in Jakarta. There were 20 samples collected from traditional markets and 20 samples obtained from supermarkets. The samples were soaked in saturated salt solution (sodium chloride) for 24 hours. Then, the water immersion of basil was treated with sedimentation test to get the number of intestinal parasite.
A hundred percent out of 40 samples was contaminated with intestinal parasite. The number of intestinal parasite found in basil collected from traditional market was 1630/ml and from supermarket was 1400/ml (p>0,05). The highest number of contamination was come from intestinal protozoa, Giardia lamblia. Sample submersion method with saturated salt solution influenced this study (p<0,05).
This finding indicates that basil is able to be a transmission media of intestinal parasite to human body. We suggest the consumer to properly wash vegetables obtained from two groups of markets before being consumed, especially vegetables consumed without cooking."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Efani Erfin
"Salah satu penyakit menular seksual (PMS) yang banyak terjadi pada wanita termasuk pekerja seks komersial adalah Trikomoniasis yang disebabkan parasit Trichomonas vaginalis. Trikomoniasis memiliki berbagai macam variasi yang bergantung kepada populasinya yang menyebar atau menular melalui hubungan seksual. Pekerja seks komersial memiliki faktor resiko yang lebih besar untuk terkena infeksi T. vaginalis dibandingkan dengan orang yang tidak berganti pasangan dalam aktivitas seksualnya.
Salah satu hal yang akan dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini adalah mengenai frekuensi berhubungan seksual pada PSK yang cenderung lebih dari satu kali dalam sehari. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini merupakan PSK yang berlokalisasi pada wilayah Tangerang. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode cross-sectional dengan sampel data sekunder yang diperoleh dari Departemen Parasitologi FKUI, dan dilaksanakan di Jakarta sejak bulan September 2014 hingga September 2015. Dalam penelitian ini, frekuensi berhubungan seksual dibagi dalam dua kategori; sedang (3-4 kali sehari) dan sering (lebih dari 5 kali sehari). Dari 155 sampel, dengan prevalensi infeksi T. vaginalis pada PSK adalah sebesar 62,6% (97 orang).
Nilai p yang didapatkan sebesar 0,029 yang menunjukkan hubungan yang bermakna antara infeksi T. vaginalis dengan frekuensi berhubungan seksual pada PSK di wilayah Tangerang. Hal ini membuktikan bahwa frekuensi berhubungan seksual yang sering dapat mempengaruhi infeksi T. vaginalis pada PSK.

One of the most common sexually transmitted disease in commercial sex workers is Trichomoniasis caused by parasite Trichomonas vaginalis. Trichomoniasis has many variants depend on its transmitted population by sexual intercourse. Commercial Sex Workers (CSW) have higher risk factor for being infected by T. vaginalis rather than settled couple in sexual activities.
A matter that will be further discussed is about the frequent of sexual intercourse in CSW, who do more than one time - sexual intercourse in a day. CSW taken as samples are located in Tangerang region. Cross sectional method is used with secondary data from Department of Parasitolgy Faculty of Medicine, Indonesia University. This research is done in Jakarta since September 2014 until September 2015. In this research, the frequency of sexual intercourse is divided in two groups; average (3-4 times a day) and frequently (more than 5 times a day).
P score data retrieved by researcher is P 0.029 which shown meaningful relation for the T. vaginalis infection with the frequent of sexual intercourse of the CSW in Tangerang region. It means that higer frequencies of sexual intercourse does become a risk factor of T. vaginalis infection in CSW in Tangerang, Banten.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasna Sholihah
"Lebih dari satu juta orang di dunia terkena infeksi menular seksual (IMS) setiap harinya. Empat penyakit tersering adalah chlamidia, gonore, trichomoniasis, dan sifilis. Di Asia Tenggara, insiden sifilis hingga tiga juta kasus. Dari angka tersebut, insiden pada wanita jauh lebih tinggi dari pada laki ? laki. Pekerja seks komersial (PSK) di Indonesia adalah salah satu yang popular di Asia Tenggara. Tingginya angka PSK meningkatkan tingginya angka sifilis di Indonesia. Populasi PSK terdiri dari berbagai macam usia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara faktor usia dengan prevalensi sifilis pada pekerja seks komersial (PSK) di Tangerang, Banten. Desain penelitian ini adalah cross - sectional dengan menggunakan data sekunder dari Departemen Parasitologi FKUI. Subjek penelitian adalah 152 PSK di Tangerang, Banten. Terdapat 64 (42,1%) PSK yang berusia 10 ? 19 tahun dan 88 (57,9%) PSK yang berusia 20 tahun lebih. Didapatkan bahwa sebesar 79 (52%) PSK yang didiagnosis terkena sifilis. Dari 79 orang tersebut, terdapat 36 PSK berusia 10 ? 19 tahun dan 43 PSK berusia 20 tahun keatas. Berdasarkan analisis data, didapat p>0,05 sehingga terbukti bahwa faktor usia tidak memiliki hubungan bermakna dengan penyakit sifilis pada PSK di Tangerang, Banten. Jadi, sifilis dapat menyerang seluruh usia.

Everyday, more than one million people in the world infected by sexual transmitted infection (STI). The most common disease are chlamidia, gonorrheae, trichomoniasis, and syphilis. The incidence of syphilis about three million cases in South East Asia. From that case, syphilis happens in men less than women. Women prostitution in Indonesia is the popular one in South East Asia. Because the number of prostitute is high, incidence syphilis in Indonesia is high too. The population of commercial sexual worker has various ages. Goal of the research is to know the relation between age and prevalence of syphilis in commercial sexual worker in Tangerang, Banten. The design of research is cross ? sectional with secondary data from Parasitology, Faculty of Medicine, University of Indonesia. The subjects of research are 152 women who work as commercial sexual worker in Tangerang, Banten. There are 64 (42,1%) women who are 10 -19 years old, and 88 (57,9%) women who are ages more than twenty years old. Besides, 79 (52%) women are diagnosed syphilis. From 79 women, there are 43 women whom twenty years old and more. The result is p>0,05, it means that age has no significant relation with syphilis in commercial sexual worker in Tangerang, Banten. It means that syphilis can infect people in every age.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Martina Pinastika Daneswari
"Di Indonesia saat ini penyakit menular terutama Infeksi Menular Seksual (IMS) masih menjadi masalah utama. Infeksi T. vaginalis melalui hubungan seksual terutama pada PSK yang berganti-ganti pasangan mempunyai angka yang tinggi dan saat ini pengobatan utama adalah dengan menggunakan amebisid metronidazole.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui apakah pengobatan dengan metronidazole pada waktu dan dosis yang sesuai masih bersifat amebisid yang ampuh terutama pada populasi PSK yang rentan koinfeksi.
Desain penelitian ini menggunakan studi eksperimental dengan desain satu grup pretest-post test dengan pengambilan data melalui sekret vagina PSK sebelum dan sesudah pengobatan metronidazole dan diwarnai larutan giemsa kemudian dilihat dibawah mikroskop.
Responden penelitian ini adalah PSK yang terinfeksi T. vaginalis sebanyak 100 orang di daerah Tangerang, Banten. Didapatkan sebelum pengobatan metronidazole terdapat 16 responden (16%) dengan infeksi kurang dari 10 T. vaginalis dan terdapat 84 responden (84%) dengan infeksi lebih dari 10 T. vaginalis.
Setelah pengobatan dengan metronidazole didapatkan 56 responden (56%) yang sudah tidak terinfeksi, 43 responden (43%) yang terinfeksi kurang dari 10 T. vaginalis, dan 1 responden (1%) dengan infeksi lebih dari 10 T. vaginalis. Dari penelitian ini menunjukan hasil bahwa PSK dengan frekuensi berhubungan seksual sering sampai sangat sering masih efektif untuk diobati dengan metronidazole.

Infectious diseases, especially Sexually Transmitted Disease (STDs) is still one of the main health problem in Indonesia. There is a high prevalence rate for Trichomonas vaginalis infection through sexual intercourse, especially in commercial sex workers who have multiple sex partners. Amebisid Metronidazole is the drug of choice for this infection.
The goal of this research is to identify if metronidazole treatment is still effective especially in the commercial sex workers population, who is vulnerable to coinfection.
Experimental study design is used in this research, using pretestposttest method and data sampling from vaginal discharge before and after metronidazole treatment and then inspected using a microscope with giemsa staining.
Responden for this research is 100 commercial sex workers who is infected with Trichomonas vaginalis at Tangerang, Banten. Obtained before treatment metronidazole are 16 respondents (16%) with number of infection T. vaginalis is less than 10 and there are 84 respondents (84%) with number of infection more than 10 T. vaginalis.
After treatment with metronidazole obtained 56 respondents (56%) who are not infected, 43 respondents (43%) were infected with T. vaginalis is less than 10, and 1 respondent (1%) with number of infection more than 10 T. vaginalis. This findings shows that treatment with metronidazole is still effective in commercial sex workers with frequent sexual intercourse.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Belinda Pritasari
"Pekerja Seks Komersial adalah subjek yang memiliki risiko tinggi terkena infeksi menular seksual, salah satunya adalah Kandidiasis vulvovaginitis akibat Candida albicans. Mayoritas PSK menggunakan alat kontrasepsi berupa kontrasepsi hormonal, yang terdiri dari pil KB dan suntik KB, untuk mencegah kehamilan akibat pekerjaan. Akan tetapi, penggunaan kontrasepsi hormonal dapat mempengaruhi perubahan hormon dalam tubuh sehingga dapat menjadi faktor risiko kandidiasis vulvovaginitis. Pil KB dan suntik KB merupakan dua jenis kontrasepsi hormonal yang berbeda.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan antara prevalensi Kandidiasis vulvovaginitis dengan penggunaan pil keluarga berencana (KB) dibandingkan suntik KB pada pekerja seks komersial (PSK) di Tangerang, Banten. Desain penelitian ini adalah cross - sectional dengan menggunakan data sekunder dari Departemen Parasitologi FKUI. Subjek penelitian ini adalah 103 PSK di Tangerang, Banten.
Hasil penelitian ini, terdapat 70 PSK (68%) yang positif terkena Kandidiasis vulvovaginitis, dan 33 PSK (32%) yang negatif. Terdapat 70 PSK yang menggunakan pil KB (68%), 33 PSK menggunakan suntik (32%). Hasil statistik penelitian ini adalah p=0,014 (p<0,05) dan rasio prevalensi 1,4 dengan IK 95% 1,27 ? 1,88, sehingga dapat dinyatakan bahwa Kandidiasis vulvovaginitis memiliki hubungan yang bermakna dengan penggunaann pil KB dibandingkan dengan suntik KB. Kesimpulannya, pil KB merupakan faktor risiko kandidiasis vulvovaginitis.

Prostitutes are always in the high risk to develop sexually transmitted disease, one of the commonly found transmitted diseases is Candidiasis vulvovaginitis which is caused by Candida albicans. Meanwhile, some prostitutes are taking contraceptive to prevent pregnancy such as using birth control pills and the birth control in the form of injection.
The objective of the study is to identify the prevalence between Candidiasis vulvovaginitis and the administration of birth control pills compared with the injection birth control on prostitutes living in Tangerang, Banten. The study employs the cross-sectional design using secondary data from the Department of Parasitology, Faculty of Medicine the Universitas Indonesia. The subjects of this study are 103 prostitutes living in Tangerang, Banten, comprising 70 are regulary taking birth control pills (68%), 33 are using the birth control in the form of injection (32%).
The result of this study demonstrates that the statistic p=0,014 and the ratio prevalence is 1,4 with 95% CI (1,27-1,88) which is significantly lower than the standard reference 0,05. Thus, Candidiasis vulvovaginitis has the significance prevalence with the use of contraception, where birth control pills has the highest prevalence on prostitutes living in Tangerang, Banten.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ike Deswita
"Salinomisin dan monensin merupakan antibiotik polieter golongan ionofor yang banyak dipergunakan sebagai imbuhan pakan untuk pencegahan koksidiosis pada ayam. Pemberian monensin dan salinomisin yang melebihi dosis yang direkomendasikan akan menimbulkan toksisitas pada ayam dan pada akhirnya akan menimbulkan residu yang dapat membahayakan manusia yang mengkonsumsinya. Untuk menganalisis kadar kedua antibiotik ini dalam pakan diperlukan metode yang pengerjaannya mudah, cepat, peka dan sederhana peralatannya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan metode analisis salinomisin dan monensin pada pakan ayam dengan menggunakan kromatografi lapisan tipis serta menentukan kandungan kedua jenis imbuhan pakan tersebut pada pakan ayam pedaging yang dikumpulkan dari peternak di daerah Bogor, Sukabumi, Serang apakah kandungannya sesuai atau melebihi dosis yang dianjurkan.
Metode terbaik untuk analisis salinomisin dan monensin dalam pakan pada penelitian ini adalah dengan cara mengekstrak sampel dengan larutan etilasetat-etanol (97:3) yang dilanjutkan dengan melarutkan dalam metanol 80% setelah melalui tahap pengeringan. Selanjutnya lemak dan pengotor dihilangkan dengan petroleum benzin dan senyawa tersebut ditarik dengan karbon tetraklorida. Tahapan berikutnya adalah pemurnian melalui kolom silika gel yang akhirnya dielusi dengan kloroform-metanol dan dikeringkan sebelum dideteksi dengan KLT menggunakan fase gerak etilasetat- toluen (3:1), dan diidentifikasi dengan larutan penampak noda vanilin-asam sulfat dalam metanol. Uji perolehan kembali untuk metode ini adalah 54,8% ± 1,2% untuk salinomisin dan 61,1% ± 1,8 %untuk monensin.
Sedangkan hasil analisis terhadap 19 sampel pakan ayam menunjukkan bahwa tidak satupun dari sampel-sampel tersebut yang mengandung baik monensin maupun salinomisin yang melebihi dosis yang direkomendasikan, sedangkan 47,4% diantaranya negatif terhadap monensin maupun salinomisin99

Salinomycin and monensin are polyether ionophor antibiotics that are widely used as feed additives for prevention of chicken coccidiosis. The addition of that exceeding recommended dosage can cause toxicity to chickens and finally it will produce residuesto to the man who consumed it that cause toxict effect. To analysis consentration of these compounds in poultry feed needs the effective method which are easy, fast, sensitive and simply in the equipment. The objective of this research is to develop an analytical method for salinomycin and monensin in poultry feed by using TLC and to determine both of these compounds' levels in poultry feed collected from broiler breeders in Bogor, Sukabumi and Serang whether the concentration is adequate or higher than the recommended dosage.
The best extraction method for analysis of salinomycin and monensin in poultry feed is by extracting the sample with ethylacetate-ethanol (97:3). After evaporation to dryness, the residue was dissolved in methanol 80%.Then the fat and contaminants were removed with petroleum benzine and these compounds partitioned in to carbon tetrachloride. The next step was purifying on silica gel column by eluating with chloroform-methanol (95:5) before detecting by TLC with a mobile phase ethylacetate-toluene (3:1) and Identification by spraying with vanillin-sulfuric acid in methanol. The recovery results for these method were 54,8% ± 1,2% for salinomycin and 61,1% ± 1,8% for monensin.
The analysis results of 19 poultry feed samples indicated that none of these samples consisted either salinomycin or monensin exceeding the recommended dosage, whereas 47,4% of them are negative from salinomycin or monensin.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1997
S32091
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gustin Candra Devi
"IMS (Infeksi Menular Seksual) merupakan kelompok penyakit pada genital yang ditularkan melalui hubungan seksual. Salah satu jenis IMS yang paling sering adalah trikomoniasis vaginalis dan sifilis setelah gonore dan kandidiasis.Infeksi ini dapat terjadi sebagai infeksi tunggal maupun bersamaan dengan IMS lain pada seorang individu. IMS dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pekerjaan, pendidikan, dan jenis kontrasepsi. Di Indonesia, prostitusi merupakan salah satu jalur penyebaran IMS yang paling dominan dimana 67% PSK (Pekerja Seks Komersial) tercatat terinfeksi IMS. PSK sebagai salah satu komponen didalamnya, memiliki faktor risiko yang tinggi untuk terinfeksi.
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui hubungan antara trikomoniasis vaginalis dan sifilis pada PSK serta hubungannya dengan faktor usia, tingkat pendidikan, dan jenis kontrasepsi yang digunakan. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan data sekunder mengenai IMS pada PSK yang dikumpulkan di Puskesmas Kuningan, Kuningan, Jawa Barat.
Penelitian ini menunjukkan bahwa 50% subjek yang positif trikomoniasis vaginalis juga sifilis. Berdasarkan uji chi-square tidak ditemukan adanya hubungan bermakna antara infeksi trikomoniasis vaginalis dan sifilis (p>0,001). Selain itu, faktor usia ditemukan memiliki hubungan yang bermakna dengan trikomoniasis vaginalis juga sifilis (p<0,001) sedangkan faktor tingkat pendidikan (p=0,484) dan jenis kontrasepsi (p=0,084) tidak memiliki hubungan yang bermakna. Berdasarkan hasil tersebut, wanita usia reproduktif pada berbagai tingkat pendidikan dan jenis kontrasepsi yang digunakan, dapat mengalami trikomoniasis vaginalis dan koinfeksi sifilis.

STD (Sexual Transmitted Disease)is a group of genital disease which is distributed by sexual course. Trichomoniasis vaginalis (15,1%) and siphylis (8,7%) are the most common kind of STD after gonore and candidiasis. This infection can be manifestated as single infection or combination with another kind of STD in one person. IMS can be influenced by many factors such as age, education, and contraception. In Indonesia, prostitution is the most common way of STD distribution where 67% of FSW (Female Sex Workers) are infected. FSW as an important component of prostitution have high risk to be infected.
Therefore, this study aimed to understand the association between trichomoniasis and siphylis in FSW also its association with age, education, and contraception used. This study used cross-sectional design with secondary entry about STD among FSW collected in Puskesmas Kuningan, Jawa Barat.
The result showed 50% FSW were positif trichomoniasis vaginalis and siphylis. The chi-square test claimed there was nosignificant association between trichomoniasis and siphylis infection (p>0,001). Beside that, age factor had significant association with trichomoniasis also siphylis coinfection but education and contraception didn't have any significant association. Due to results of this study, woman in reproductive age with different education and contraception used, could have trichomoniasis vaginalis and coinfected with siphylis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theresia Rini Krisniati
"Trikomoniasis dan kandidiasis vulvovaginal keduanya memiliki prevalensi yang cukup tinggi. Sebanyak 75% populasi wanita pernah mengalami kandidiasis vulvovaginal setidaknya sekali seumur hidupnya. Kondisi tersebut disebabkan oleh gangguan flora normal pada vagina yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Di lain pihak, trikomoniasis merupakan Infeksi Menular Seksual (IMS) ketiga terbanyak dengan prevalensinya pada Pekerja Seks Komersial (PSK) di Indonesia cukup tinggi yaitu sebanyak 15,1%. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan antara trikomoniasis dan kandidiasis vulvovaginal, serta hubungan keduanya dengan usia, kontrasepsi dan tingkat pendidikan pada PSK di Kuningan, Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan menggunakan data sekunder yang dikumpulkan di Puskesmas Kuningan, Jawa Barat.
Berdasarkan uji chi-square didapatkan hubungan bermakna antara infeksi trikomoniasis dan kandidiasis vulvovaginal (p=0,009). Faktor usia ditemukan memiliki hubungan yang bermakna dengan trikomoniasis (p=0,000) tapi tidak memiliki hubungan dengan kandidiasis vulvovaginal (p=0.056). Faktor kontrasepsi berupa kondom tidak memiliki hubungan bermakna dengan trikomoniasis (p=0,18) dan kandidiasis vulvovaginal (p=0,173), begitu juga dengan (Intra Uterine Device) IUD tidak memiliki hubungan bemakna dengan trikomoniasis (p=0,3) dan kandidiasis vulvovaginal (p=0,537). Di lain pihak kontrasepsi hormonal memiliki hubungan bermakna dengan kandidiasis vulvovaginal (p=0,017), namun tidak dengan trikomoniasis (p=0,264). Tingkat pendidikan tidak memiliki hubungan bermakna dengan trikomoniasis (p=0,3) maupun kandidiasis vaginalis (p=0,3).

Vulvovaginal candidiasis and Trichomonas vaginalis infection have a high prevalent among women. Nearly 75% women at least had experienced candidiasis once in their lifetime. As well as trichomoniasis which is globally ranked 3rd among all Sexual Transmitted Diseases. In FWS in Indonesia, the prevalent of STDs is about 64%, which 15,1% of it trichomoniasis . In the other hand, vulvovaginalc andidiasis is endogen infection caused by imbalance in normal vaginal flora. This study aimed to understand the association between trichomoniasis and vulvovaginal candidiasis in FSW also its association with age, education, and contraception method. This study used cross-sectional design with secondary entry about STD among FSW collected in Puskesmas Kuningan, Jawa Barat.
The chi-square test showed that there was a significant association between trichomoniasis and vulvovaginal candidiasis (p=0,009). Age factor also had significant association with trichomoniasis (p=0,000) but not with vulvovaginal candidiasis. Contraceptions such as condoms shows no significant association with vulvovaginal candidiasis (p=0,173) nor trichomoniasis(p=0,18), also Intra Uterine Device (IUD) shows no significant association with vulvovaginal candidiasis (p=0,537) nor trichomoniasis (p=0,3). Hormonal contraception shows a significant association with vulvovaginal candidiasis (p=0,017) but not with trichomoniasis (p=0,264). Education level doesn’t have significant association with vulvovaginal candidiasis (p=0,3) and trichomoniasis (p=0,3).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risqon Nafiah
"Infeksi Saluran Reproduksi (Reproductive Tract Infections) telah menjadi masalah besar kesehatan Dunia, yang meliputi berbagai penyakit pada organ reproduksi baik infeksi endogen, Infeksi Menular Seksual, ataupun iatrogenik. Angka kejadian penyakit ini semakin meningkat dan menimbulkan berbagai komplikasi, sehingga memerlukan perhatian yang lebih serius. Salah satu kelompok infeksi endogen yang banyak diderita oleh masyarakat adalah kandidiasis vulvovaginal, sedangkan kelompok Infeksi Menular Seksual yang juga banyak diderita adalah gonore. Kelompok masyarakat yang mempunyai resiko tinggi mengalami dan bahkan menularkan penyakit saluran reproduksi ini adalah PSK (Pekerja Seks Komersial), sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut pada kelompok ini.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kandidiasis vulvovaginal dengan gonore pada PSK, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Desain penelitian ini adalah potong lintang dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari 265 PSK dan diambil di kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan bermakna antara kandidiasis vulvovaginal dengan gonore (p=0,02). Faktor yang mempengaruhi koinfeksi kandidiasis vulvovaginal dan gonore adalah kontrasepsi hormonal (p=0,014). Sedangkan faktor-faktor lain, yaitu usia (p=0,367), tingkat pendidikan (p=0,223), serta kondom (p=0,193) tidak mempunyai hubungan yang bermakna. Diperlukan adanya edukasi dan promosi kesehatan kepada pada PSK, terutama mengenai penggunaan kontrasepsi yang benar.

Reproductive Tract Infections (RTI) present mayor health problems, which include endogenous infections, Sexually Transmitted Infections (STI), and also iatrogenic infections. These infections have increased incidence and can cause many complications, therefore we should give more concern about these infection. One of endogenous infections that has high prevalence among people is candidiasis vulvovaginal and one of Sexually Transmitted Infections that also has high prevalence is gonorrhoeae. Female Sex Workers (FSW) has higher risk to suffer and also spread RTI because they have multiple sex-partner.
This study aims to find out relationship between candidiasis vulvovaginal and gonore among FSW and other associated factors. A cross-sectional study was used on a secondary data collected from 265 FSW in Kuningan, Jawa Barat. The result showed that there was significant relationship between candidiasis vulvovaginal and gonorrhoeae (p=0,02). Factor that has significant relationship with coinfection between candidaisis vulvovaginal and gonorrhoeae is hormonal contraception (p=0,014). Whereas other factors including age (p=0,367), educational level (p=0,223), and condom (p=0,193) didn’t have any significant relationship. FSW should get health education and promotion, especially about using contraception.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>