Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adianto Nugroho
Abstrak :
Latar Belakang. Pembelajaran laparoskopik kolesistektomi umumnya hanya menekankan pada aspek keterampilan teknis dan belum memanfaatkan keterampilan nonteknis laparoskopik kolesistektomi dengan optimal, sehingga rentan terpajan risiko melakukan laparoskopik kolesistektomi yang mengalami cedera duktus biliaris. Penguasaan keterampilan nonteknis sangat penting bagi seorang dokter bedah, namun bukti-bukti studi yang menguatkan peran itu masih terbatas, terlebih di Indonesia. Studi ini bertujuan menganalisis peran pembelajaran keterampilan nonteknis kognitif dan merumuskan modul pembelajarannya. Metode. Dilakukan penelitian mixed method dengan pendekatan kualitatif dengan survei perilaku dokter bedah dalam melakukan laparoskopik kolesistektomi, dilanjutkan dengan analisis video operasi menggunakan sistem penilaian video Objective Structured Assessment of Technical Skills (vOSATS) dan Critical View of Safety (CVS) score. Hasil analisis kedua data tersebut menjadi bahan untuk wawancara mendalam yang menggali lebih lanjut fenomena yang mendasari perilaku dalam laparoskopik kolesistektomi. Selanjutnya data tersebut digunakan untuk menyusun modul pembelajaran melalui consensus Delphi, berdasarkan kebutuhan pembelajaran yang telah dieksplorasi. Pendekatan kuantitatif dirancang untuk mengevaluasi hasil pembelajaran dalam studi kuasi eksperimental yang membandingkan keterampilan nonteknis kognitif pada kelompok modul dan kelompok regular. Hasil dan Pembahasan. Hasil penelitian tahap kualitatif menemukan perilaku laparoskopik kolesistektomi responden penelitian yang belum baik, ditunjukkan oleh proporsi cedera duktus biliaris selama karir yang dilaporkan 62,79%, pencapaian CVS yang tidak sempurna, penggunaan alat bantu yang tidak optimal, dan kecenderungan untuk terlambat melakukan konversi. Pembelajaran keterampilan nonteknis kognitif dalam laparoskopik kolesistektomi juga belum terstruktur dan mendalam. Konsensus Delphi menyusun modul pembelajaran keterampilan nonteknis kognitif dalam bentuk kuliah didaktik dan diskusi berbasis kasus, dengan instrumen evaluasi keterampilan nonteknis kognitif laparoskopik kolesistektomi yang sahih dan andal, dalam bentuk pilihan ganda dan concordance test. Tahap kuantitatif menunjukkan rerata skor pilihan ganda, skor concordance test dan skor total yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok regular (p < 0,001; Uji Mann-Whitney). Kesimpulan. Penelitian ini telah berhasil menyusun modul pembelajaran dan instrument evaluasi keterampilan nonteknis kognitif yang dapat mengajarkan dan menilai keterampilan nonteknis kognitif dengan baik. ......Background. The current focus of laparoscopic cholecystectomy training primarily emphasizes technical skills and does not fully utilize the non-technical laparoscopic cholecystectomy skills to their best potential. This leaves a vulnerability to the risk of bile duct injuries during laparoscopic cholecystectomy. Mastery of non-technical skills is crucial for a surgeon, yet there is limited evidence from studies supporting this role, especially in Indonesia. The purpose of this study is to analyze the role of cognitive non-technical skills learning and formulate its learning modules. Method. A mixed method research was conducted using a qualitative approach to survey the behavior of surgeons performing laparoscopic cholecystectomy, followed by an analysis of operation videos using the Objective Structured Assessment of Technical Skills (vOSATS) and Critical View of Safety (CVS) score. The analysis of both data sets serves as material for an in-depth interview that further explores the underlying phenomena of behavior in laparoscopic cholecystectomy. Subsequently, the data is utilized to construct a learning module through the Delphi consensus, based on the explored learning needs. The quantitative approach is designed to evaluate learning outcomes in quasi- experimental studies comparing cognitive non-technical skills between the module group and the normal group. Results and Discussion. The findings of the qualitative research phase revealed suboptimal laparoscopic cholecystectomy behavior among the study respondents, as indicated by a reported 62.79% proportion of bile duct injuries during their careers, imperfect achievement of CVS, suboptimal use of assistive tools, and a tendency to delay conversion. The teaching of non-technical cognitive skills in laparoscopic cholecystectomy is also lacking structure and depth. The Delphi consensus developed a module for teaching cognitive non-technical skills in the form of didactic lectures and case-based discussions. The module includes a valid and reliable evaluation instrument for cognitive non-technical skills in laparoscopic cholecystectomy, in the form of multiple-choice and concordance tests. The quantitative stage demonstrates that the mean scores of multiple-choice questions, concordance test scores, and overall scores are higher compared to the regular group (p < 0.001; Mann-Whitney test). Conclusion. This study has successfully developed a learning module and an evaluation instrument for cognitive non-technical skills that can effectively teach and assess cognitive non-technical skills.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agi Satria Putranto
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang. Striktur usus merupakan suatu bentuk komplikasi dari hernia stangulata, yang menyebabkan obstruksi usus setelah beberapa bulan pascaoperasi. Kejadian striktur usus sangat berkaitan dengan fibrosis. Namun tidak semua fibrosis usus akan menjadi striktur. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran TGF-β, sitoglobin, miR-21, miR-29b sebagai faktor dalam memprediksi striktur usus pada tikus dengan studi eksperimental penjepitan usus. Metode. Studi dilakuakn di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada 2018-2019. Hewan coba yang digunakan di dalam penelitian adalah galur Sprague-Dawley dewasa muda berusia 6-8 minggu dengan berat 150-200gram. Tikus di anestesi menggunakan ketamin dan dilakukan laparotomi untuk melakukan tindakan penjepitan pada usus tikus. Penjepitan menggunakan cable tie dengan ukuran diameter lilitan 6 mm dan terlebih dahulu lindungi plastik rigid, pada bagian ileum terminal. Spesimen yang diperoleh berupa bagian usus di antara jepitan sepanjang 1 cm serta darah dari jantung pada jam ke-6 dan ke-24. Untuk pemeriksaan histopatologi diberikan pulasan hematoksilin-eosin dan Masson trichrome. Analisa serum biokimia menggunakan RT-PCR dan ELISA. Hasil. Serat kolagen ditemukan bermakna pada perlakuan jam ke-6 vs kontrol (10.66±4.66; p<0.05) dan jam ke-24 vs kontrol (17.98±6.93; p<0.01) serta deposit serat kolagen paling banyak terdapat pada lapisan submukosa. Deposisi kolagen usus diikuti peningkatan konsentrasi miR-21 baik pada serum (med.6jam=54.25; p>0.05&med.24jam=37 ;p>0.05) maupun jaringan (med.6jam=21.9; p<0.05&med.24jam=144 ;p>0.05) Deposisi kolagen usus diikuti peningkatan miR-29b baik serum (med.6jam=631.5; p>0.05 & med.24jam=863.5 ; p>0.05) maupun jaringan (med.6jam = 675; p>0.05& med.24jam=759.5 ; p>0.05). Deposisi kolagen usus diikuti dengan peningkatan yang bermakna pada TGF-β serum (medp.6jam= 32.85; p<0.05&med.24jam = 24.87; p<0.05) maupun jaringan (medp.6jam=14.8; p<0.05&med.24jam=58.32; p<0.05). Deposisi kolagen usus diikuti dengan peningkatan bermakna sitoglobin serum (medp.6jam=162.9; p<0.05&medp.24jam=263.72; p<0.05) dan jaringan (medp.6jam=2712.61; p<0.01&medp.24jam=1308.38; p>0.05). Terdapat korelasi yang bermakna antara serat kolagen dengan TGF-β jaringan (r= 0.436; p=0.033). Uji diagnostik menunjukkan TGF-β serum yang tinggi dan sitoglobin yang tinggi yang diperiksa pada jam ke 24 setelah jepitan memiliki sensitivitas yang tinggi untuk mendeteksi serat kolagen (fisher<0.01; sensitivitas 100%; spesifisitas 63%). Simpulan. Pemeriksaan serum TGF-B dan sitoglobin yang dilakukan secara bersamaan pada waktu 24 jam mempunyai hubungan dengan peningkatan serat kolagen yang berpotensi menjadi fibrosis sehingga dapat digunakan sebagai prediktor kejadian striktur usus.
ABSTARCT
Background. Intestinal stricture has been a troublesome complication following strangulated hernia, which may result in intestinal obstruction after several months postsurgery. The occurrence of intestinal stricture is closely related to fibrosis. Not all of the fibrotic lesions, however, lead to stricture. The present study is aimed to investigate the role of TGF-β, cytoglobin, miR-21, miR-29b and collagen deposition as factors in predicting the occurrence of intestinal stricture in the rats underwent experimental intestinal strangulation. Methods. The study was conducted in Animal Cluster and Laboratories at Faculty of Medicine, University of Indonesia during 2018-2019. Adult, male Sprague-Dawley rats of 6-8 weeks old, 150-200 g were used in the study. Following anesthesia with ketamine, the rats were laparotomized and intestinal strangulation was conducted bymeans of a cable tie. Intestinal tissues and blood samples were collected at 6 and 24 hours of strangulation. Tissue samples were stained with Hematoxylin-eosin and Massons trichrome to visualize collagen and pathological alteration. TGF-β, cytoglobin, miR21 and miR29b were determined in blood sera and tissue samples and analyzed using RT-PCR and ELISA. Results. Collagen fiber was found to be significant at the 6th hour vs. control (10.66 ±4.66; p <0.05) and 24th hour vs control (17.98 ± 6.93; p <0.01), most collagen fibers deposit were found in the submucosal layer. Increase in intestinal collagen deposition was followed by an increase in the concentration of miR-21 both in serum (med.t.6 hours = 54.25; p> 0.05 & med. t.24 hours = 37; p> 0.05) and tissue (med.t.6 hours = 21.9; p <0.05 & med.t.24 hours = 144; p> 0.05) Increase in deposition of intestinal collagen followed by an increase in miR-29b both serum (med. t.6 hours = 631.5; p> 0.05 & med. t.24 hours = 863.5; p> 0.05) and tissue (med. t.6 hours = 675; p> 0.05 & med. t.24 hours = 759.5; p> 0.05). Increase in intestinal collagen deposition was followed by a significant increase in serum TGF-β (med.t.6 hours = 32.85; p <0.05 & med.t.24 hours = 24.87; p <0.05) and tissue (med.t.6 hours = 14.8; p <0.05 & med t.24 hours = 58.32 hours); p <0.05). Increase in intestinal collagen deposition was followed by a significant increase in serum cytoglobin (med.t.6 hours = 162.9; p <0.05 & med. t.24 hours = 263.72; p <0.05) and tissue (med.t.6 hours = 2712.61; p <0.01 & med.t.24 hours = 1308.38; p> 0.05). There was a significant correlation between collagen fiber and TGF-β tissue (r= 0.436; p = 0.033). Diagnostically, high serum TGF-β and cytoglobin that were examined at 24 hours after strangulation occur have high sensitivity to detect collagen fiber (fisher <0.01; sensitivity 100%; specificity 63%). Conclusions. Simultaneous increase of serum TGF-β and cytoglobin at 24 hours of strangulation associated with increased collagen fibers may become potential factors in predicting intestinal stricture in the rat underwent experimental strangulated intestines
2020
D2794
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library