Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Syerli Haryati
Abstrak :
ABSTRAK
Pajak adalah salah satu alat pembiayaan negara dalam rangka pengumpulan dana dari masyarakat. Pajak sebagai alat pembiayaan negara, adalah mudah dalam pemungutannya. Meskipun demikian, pemungutan pajak di Indonesia harus didasarkan pada undang-undang, agar tidak digunakan sewenang-wenang oleh pemegang kekuasaan. Pemerintah Indonesia, di tahun 1950-an mengambil kebijaksanaan pajak yang sesungguhnya dilematis. Pada satu pihak, rakyat Indonesia mengalami trauma akibat sistem perpajakan, namun di lain pihak, pemerintah melihat bahwa pajak adalah salah satu alternatif yang mudah dalam pengumpulannya. Dengan alasan tersebut, pemerintah melalui Menteri Keuangan menerapkan kebijakan pajak yang lebih ditujukan kepada modal asing. Pembebanan pajak yang lebih progresif terhadap modal asing ini, Nampak pada pajak-pajak perdagangan internasional dan pajak perseroan. Struktur ekonomi Indonesia pada saat itu, masih mengandalkan pada perdagangan bahan-bahan mentah yang sangat dipengaruhi oleh konjungtur di luar negeri. Keadaan ini, mengakibatkan penerimaan pajak dari modal asing menjadi tidak stabil. Dalam melaksanakan kebijakan pajak ini, pemerintah mengalami beberapa hambatan. Pertama, kurangnya tenaga-tenaga pelaksana di Jawatan Pajak dan Bea cukai. Kedua, seringkali dalam pelaksanaannya ditemukan usaha-usaha penghindaran pajak yang jelas-jelas merugikan negara. Munculnya usaha penghindaran pajak, menjadi fenomena yang menunjukkan kurangnya mekanisme pengawasan dalam pemungutan pajak. Ketiga, lambatnya realisasi rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pengalokasian pendapatan pajak kepada daerah dan pemberian beberapa pajak negara kepada daerah, telah menimbulkan keresahan di daerah. Akibatnya,pemerintah daerah berkeinginan mengelola potensi ekonominya sendiri terlepas dari pusat. Pengaruhnya terhadap aparat pajak di daerah adalah menyebabkan mereka tidak mempunyai dasar hukum yang kuat dalam melaksanakannya. Walaupun, kebijakan pajak lebih ditujukan kepada modal asing, namun akibatnya berdampak pula terhadap tingkat biaya hidup, sehingga muncul protes-protes dari masyarakat.
1996
S12617
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
W. R. Hendra Saputra
Abstrak :
ABSTRAK Tesis ini bertujuan untuk mengetahui peran Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dalam perjuangan mempertahankan kedaulatan RI 1945-1949. Permasalahan yang hendak dianalisis adalah apakah dalam menjalankan pemerintahan dan perjuangan mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia PDRI dapat diterima dan didukung oleh TNI, birokrasi pemerintahan, partai politik dan luar negeri?

Permasalahan tersebut dianalisis dengan pendekatan ilmu pemerintahan. Sumber sejarah yang digunakan adalah arsip-arsip PDRI, wawancara dengan pelaku yang masih hidup, biografi tokoh-tokoh yang terlibat, serta buku-buku sejarah yang membicarakan perjuangan revolusi kemerdekaan Indonesia.

Sebelum pemerintah pusat ditawan oleh Belanda saat Agresi Militer Kedua tanggal 19 Desember 1948, Presiden telah mengumumkan pemberian mandat kepada Mr Syafruddin Prawiranegara, untuk membentuk Pemerintahan Darurat, jika pemerintah pusat saat itu tidak dapat lagi meneruskan kewajibannya. Syafruddin yang berada di Bukittinggi ketika serangan Belanda dilancarkan, tidak mengetahui adanya mandat tersebut. Hal ini disebabkan karena terputusnya jalur komunikasi antara Yogyakarta dan Bukittinggi akibat serangan Belanda terhadap kedua kota itu. Setelah mengetahui dengan pasti Presiden beserta pimpinan pemerintahan lainnya ditawan, bersama pemimpin sipil dan militer di Sumatra Barat, Syafruddin mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) tanggal 22 Desember 1945.

Jadi dalam proses berdirinya PDRI, terdapat titik temu antara legalitas pusat dengan inisiatif lokal. Hal ini menunjukkan terdapatnya harapan umum kepada PDRI untuk meneruskan pemerintahan dan perjuangan mengahadapi agresi Belanda yang mengancam eksistensi negara dengan menawan kepala negara dan pimpinan pemerintahan pusat. Dengan adanya harapan umum ini kepada PDRI, maka sebaliknya harapan PDRI untuk mendapatkan dukungan penuh dari segenap kekuatan rakyat untuk meneruskan pemerintahan dan perjuangan menghadapi Belanda dengan mudah dapat diperoleh.

Dari fakta-fakta sejarah didapatkan bahwa setelah mengetahui PDRI berdiri di Sumatra, pihak TNI yang telah memulai perjuangan gerilya di Jawa dibawah Panglima Besar Jendral Sudirman, segera menyesuaikan diri, dengan "bersatu paham, tekad, sikap, dan tindak dengan PDRI." PDRI pun dapat mengkonsolidasikan pemerintahan, dengan membentuk Pemerintahan Militer yang menyatukan kekuatan sipil dan militer untuk memperkuat pertahanan menghadapi Belanda. Pemerintahan Militer yang berjalan secara mobil itu memiliki dua corak kepemimpinan: di Jawa dipimpin oleh pejabat militer dengan membawahi orang sipil, sedangkan di Sumatra pejabat sipil diberi kedudukan militer dengan membawahi orang militer.

Dengan sistem Pemerintahan Militer yang memiliki hirarki dari atas sampai ke bawah menurut struktur pemerintahan sebelumnya, rakyat yang sudah dihadapkan pada situasi perang pun dapat dimobilisir untuk menghadapi Belanda. Dukungan rakyat kongkrit -bukan rakyat abstrak sebagaimana biasa diatasnamakan oleh partai politik karena peran partai-partai politik tidak tampak pada saat itu - langsung didapat dari partsipasi rakyat sendiri dalam perjuangan gerilya menghadapi Belanda, baik di garis depan dengan ikut memanggul senjata, maupun di belakang dengan menyediakan perbekalan logistik.

Dengan berdirinya PDRI, perjuangan di luar negeri pun dapat diteruskan. Melalui Konferensi Asia untuk Indonesia di New Delhi yang diprakarsai India, yang diikuti oleh Menteri Luar Negeri PDRI beserta perwakilan-perwakilan RI di berbagai negara, berhasil disampaikan resolusi kepada Dewan Kemanan PBB untuk segera menyelesaikan persoalan Indonesia-Belanda. Dewan Kemanan PBB lalu mengeluarkan resolusi yang sesuai dengan tuntutan Konferensi Asia untuk Indonesia. Belanda yang tidak langsung mematuhi resolusi Dewan Keamanan PBB, akhirnya karena tekanan Amerika di satu pihak, dan karena telah merasa kewalahan menghadapi serangan balik Republik di pihak lain, memprakarsai perundingan.

Dalam perundingan itu Belanda mengajukan syarat hanya mau berunding dengan pemimpin Republik yang ditawan di Bangka, bukan dengan PDRI. Di sinilah muncul dilema di kalangan pemimpin-Republik, dalam memutuskan yang berhak mewakili Indonesia dalam perundingan: pemerintah yang sah (PDRI) atau pemimpin yang ditawan? Karena pertimbangan dukungan dari Sekutu Barat. terutama Amerika, pemimpin yang ditawan di Bangka lalu melaksanakan perundingan, walapun ada keberatan dari pihak PDRI dan TNI, karena alasan legalitas di satu pihak dan karena pertimbangan strategi gerilya yang hampir mencapai kemenangan di pihak lain. Perundingan itu menghasilkan Pernyataan Roem Royen berhasil mengembalikan pemimpin yang ditawan ke Yogyakarta serta disepakatinya rencana Konferensi Meja Bundar (KMB). Selanjutnya, dalam sidang kabinet luar biasa, mandat PDRI dikembalikan, dan Kabinet Hatta II terbentuk. Tidak lama kemudian melalui KMB di Den Haag, kedaulatan RI dipulihkan tanggal 22 Desember 1949.

Dari kajian ini dapat disimpulkan, bahwa pemerintahan dan perjuangan PDRI yang berlangsung sekitar tujuh bulan, dan mendapat dukung dari TNI, birokrasi pemerintahan, serta partisipasi rakyat, dan luar negeri (negara-negara Asia) berperan penting dalam mempertahankan eksistensi negara RI di satu pihak, dan menghantarkan negara RI ke pintu gerbang pemulihan kedaulatan di pihak lain, walaupun bukan mereka yang menariknya ke dalam gerbang pemulihan kedaulatan itu, melainkan "kelompok diplomasi? yang didukung oleh, terutama, Amerika.
ABSTRACT
Indonesia Republic Emergency Government in Maintaning Indonesian Sovereignity 1945-1949This thesis aims at knowing the role of Indonesia Republic Emergency Government (PDRI, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) in the struggle for reaching Indonesian Sovereignty 1945-1949. The problem to be analysed is whether PDRI was accepted and supported by the army, governmental bureaucraty, political parties, and foreign nations?

That problem will be analyzed thought governmental science approach. The historical sources are PDRI?s archives, interview with some figures involved, the biography of the figurs, many books about Indonesian revolution, etc.

Before the Central Government was captured by the Dutch in its Second Military Action on December 19, 1948, the Indonesian President has given a mandate to Mr Syafruddin Prawiranegara to establish the Emergency Government if the Central Government failed to perform its duties. Mr Syafruddin who was in Bukittinggi at that time did not know about the mandate to himself because of the broken communicative channel between Yogayakarta and Bukttinggi as a result of Dutch bombarding to both city. After receiving certainty about the interning President and other Central Govermnment leaders, Syafruddin together with the military and civilian leaders of West Sumatra established the Indonesia Republic Emergency Government on December 19, 1948.

Thus in the process of PDRI establishment, there was affinity between the central legality and the local initiative. That shows, in one side, the existence of general expectation toward PDRI to continue the rules and the struggle against Dutch aggression that treat the state existence by capturing the head of state and government. In the other side, that general expectation facilitated PDRI to receive supporting from all people powers for its struggle against Dutch aggression.

It is received from historical facts that after knowing the PDRI establishment in Sumatra the army that already waged guerrilla warfare in Java under General Sudirman soon adjusted it self by saying "the uniting view, will, attitude, and action with PDRI" And so PDRI could consolidate itself by creating the Military Government that united military and civilian powers to strengthen the defense against Dutch aggression. The Military Government that run mobilically had two leadership types: while in Java it was leaded by the military officers that supervise the civilian leaders, in Sumatra it guided by the civilian leaders that subordinate the military officers.

Trough the system of Military Government with hierarchy from top to bottom, the people that already faced the warfare situation could be mobilized to fight against the Dutch. The support of the real people - not the abstract people as usually claimed by the political parties, because of the role of political parties has not be seen any more since the Second Military Action - directly gained from the grasroot level thought the participation of the people powers in the battle against the Dutch at the front line as well as in providing the logistic support at the back line.

With the establishment of PDRI, the struggle from abroad could be launched by Indonesian diplomats. The Asian Conference for Indonesia at New Delhi initiated by India that followed by Indonesian representatives from various states has succeed to issue the resolution to United Nation Security Council to resolve the Indonesia-Dutch conflict. The Security Council soon issued the resolution according to that Asian Conference resolution. The Dutch that initially did not obey that resolution was forced to receive it under the pressure of America and after it was frustrated by the counter attack of Indonesian army. The Dutch soon offered a conference to solve the conflict to Indonesia.

In that conference the Dutch offered the prerequirement that it only wants to talk with the Indonesian leaders interned in Bangka islands, not with the PDRI leaders. The problems arised here among the Indonesians leaders to determine who has the right to represent Indonesia in that conference: the legal government (PDRI) or the interned leaders? Considering the Allied supports, the interned leaders soon accepted the Dutch prerequirement and followed the conference althought the army and PDRI had objections taking into account its government legality in one side and its near winning in the guerilla warfare strategy in other side. The conference that generated Roem-Royen Statement succeeded to time the interned leaders back to Yogyakarta to agree the future Round Table Conference.

Furthermore in the first extraordinary cabinets meeting the PDRI mandate was turned back and Hatta Cabinet it was created. Soon after the Round Table Conference in The Haque, the Indonesian sovereignty was restored on December 22, 1949.

The conclusion can be drawn from this study that the government and struggle of PDRI having gone on proximally seventh months and received support from the army, governmental bureaucracy, people powers, and foreign nations (especially the Asian nations) had played the important role in maintaining the existence of Indonesian state in one side and in bringing it to a destination to the gate of sovereignty restoration in other side, although it was not them but the "diplomatic group" that pulled it inside.
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulfan
Abstrak :
Latar Belakang
Para pengusaha adalah orang yang bertugas untuk membuat dan menjalankan keputusan-keputusan dalam bidang ekonomi. Kelas pengusaha seperti ini telah ada dalam stratifikasi sosial masyarakat Aceh sejak masa kesultanan. Golongan ini hampir tidak mempunyai hubungan politik dengan sultan, akan tetapi mempunyai status sosial tertentu karena potensinya yang dapat meningkatkan pendapatan kerajaan. Dengan demikian boleh dikatakan menonjol dalam sistem pelapisan sosial pada masa itu sebagai akibat dari peranannya dalam bidang ekonomi pada umumnya dan dalam bidang perdagangan pada khususnya, mereka berada pada puncak jenjang sosial yang mempunyai hak-hak istimewa, golongan ini dapat diwakili oleh para Orang Kaya (OK). Golongan bangsawan dan pedagang ini dalam stratifikasi sosial pada masa itu berada diantara elit politik dan agama dengan golongan rakyat biasa.

Pada masa kesultanan. usaha-usaha perdagangan sepenuhnya dikuasai oleh Sultan sendiri, sedangkan para Uleebalang (pemimpin negeri) dan para pedagang lainnya hanya diizinkan bertindak sebagai pedagang perantara, antara sultan dengan pedagang asing. Hubungan antara Sultan dengan para Uleebalang mulai dipererat baik dalam bidang politik maupun ekonomi pada tahun 1520, yaitu setelah Sultan Ali Muhayatsyah mendirikan kerajaan Aceh Darussalam.

Sultan sebagai penguasa pemerintahan menjalankan sistem monopoli perdagangan, sehingga terjadi pembatasan terhadap aktivitas perdagangan para kelompok pedagang yang berkedudukan pada tingkat kenegerian, yang pada umumnya didominasi oleh para Uleebalang. Para Uleebalang sebagai pemimpin negeri dan juga sekaligus sebagai pedagang dalam kerajaan Aceh tidak memperoleh kebebasan untuk mengadakan perdagangan secara langsung dengan pedagang asing. Para pedagang diwajibkan untuk memasukkan semua komoditi ekspor kepusat kesultanan, setelah itu komoditi tersebut baru diekspor keluar negeri.

Dengan demikian para pedagang pada tingkat kenegerian tidak dapat berkembang secara optimal. Hal ini pula yang menyebabkan para Uleebalang,dan kelompok pedagang pada tingkat kenegerian berusaha menentang kekuasaan Sultan pada waktu-waktu yang memungkinkan. Sultan Aceh mendominasi usaha perdagangan secara intensif pada akhir abad ke 19 dan pada permulaan abad ke 17, yaitu pada pemerintahan Alkahar dan Iskandar Muda. Mengenai dominasi Sultan Iskandar Muda dalam bidang perdagangan, Anthony Reid mengemukakan bahwa kebesarannya dalam bidang politik dan militer sebenarnya didasari oleh keberhasilannya dalam bidang ekonomi, melakukan monopoli perdagangan dalam negeri. Pada masa pemerintahannya, ia berhasil menghancurkan kekuasaan pedagang babas atau " orang kaya ". Seluruh kegiatan perdagangan baik didalam negeri maupun yang berhubungan dengan pedagang asing berada dibawah kontrolnya. Dengan demikian ia merupakan Raja Pedagang yang sesungguhnya seperti yang dikenal dalam sejarah Asia Tenggara pada umumnya.
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suparjo Rohman
Abstrak :
Bursa Efek Jakarta diaktifkan pada tahun 1977 dengan tujuan menciptakan pemerataan pendapatan masyarakat. Dalam upaya mewujudkan hal tersebut,pemerintah membentuk berbagai aturan tentang pasar modal. Akan tetapi, aturan tersebut ternyata menyebabkan Bursa Efek Jakarta mengalami kelesuan. Atas dasar ini, pemerintah memberikan deregulasi terhadap pasar modal. Pasca deregulasi, Bursa Efek Jakarta menjadi terbuka untuk investor asing dan mengalami booming di tahun 1987—1989. Bursa Efek Jakarta kemudian mengalami swastanisasi. Namun saat krisis 1997, bursa mengalami penurunan drastis. Akhirnya, tujuan pemerataan pun tidak tercapai. Penelitian ini menggunakan metode sejarah, yang terdiri dari tahap heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. ......The Jakarta Stock Exchange that has activated in 1977 have purposes to create an equity distribution income. In efforts to achieve the goal, the government set up some rules about capital markets. However, these rules cause the Jakarta Stock Exchange experienced a decline. To solve the cause, the government make deregulation of capital market. The impact of deregulation, Jakarta Stock Exchange is opened for foreign investors and experienced a boom in 1987—1989. And then, Jakarta Stock Exchange subjected to privatization. But in 1997’s crisis,stock exchange have taking down drastic. At last, the equity distribution income not coming. This research use historical method, that comprise with heuristic,critic, interpretation, and historiography.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S46029
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harry Waluyo
Abstrak :
Tesis ini berusaha menjelaskan adanya persamaan dan perbedaan alam pikiran budayawan Lekra dan Manifestan dalam mencari sosok budaya bangsa Indonesia yang tidak kunjung selesai sampai sekarang. Proses pencarian sosok budaya bangsa sudah, diawali sejak perdebatan di kalangan budayawan/intelektual tahun 1930-an antara Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dengan Ki Hadjar Dewantara (KID) dan kawan-kawan. Proses pencarian sosok budaya bangsa ini terus berlanjut dalam Kongres Kebudayaan Nasional I tahun 1948 di Magelang yang dilanjutkan dengan Konferansi Kebudayaan di Jakarta tahun 1950, Kongres Kebudayaan II tahun 1951 di Bandung, Kongres Kebudayaan III tahun 1954 di Surakarta, dan Kongres Kebudayaan IV tahun 1991 di Jakarta. Proses pencarian sosok budayabangsa tidak dapat dilepaskan dari situasi politik dalam dan luar negeri yang mempengaruhi alam pikiran penguasa politik di tanah air dan di kalangan budayawan. Kongres Kebudayaan I di Magelang dilaksanakan beberapa bulan sebelum terjadi peristiwa Madiun tahun 1948 dan Agresi Militer Belanda kee 2 tanggal 18 Desember 1948. Suasana hingar bingar politik pada masa Demokrasi Liberal (1950-1959) turut pula menggiatkan suasana Kongres Kebuda.yaan II di Bandung tentang pentingnya organisasi kebudayaan. Pada tahun 1950 lahirlah organisasi kebudayaan yang berafiliasi kepada PKl, Lembaga Kebudayaan Rakyat yang disingkat Lekra. Organisasi ini berkiprah di bidang kebudayaan sejak Kongres Kebudayaan II (1951) di Bandung. Pada tanggal 19 Nopember 1946 di Jakarta lahir gagasan dari kolompok "Gelanggang" yang didirikan oleh Chairil Anwar, Asrul Sani dan kawan-kawan. Di dalam preamblue anggaran dikatakan bahwa "Generasi Gelanggang'' terlahir dari pergolakan roh hidup. Generasi yang harus mempertanggungjawabkan dengan sesungguhnya penjadian dari bangsa kita. Kita hendak melepaskan diri dari susunan lama yang telah mengakibatkan masyarakat yang lapuk, dan kita berani menantang pandangan, sifat, dan anasir lama ini untuk menjalankan baru kekuatan baru. Akar budaya "humanisme universal" ternyata sudah masuk ke tanah air bersamaan dengan masuknya sistem pendidikan masa kolonial Belanda yang terkenal dengan nama "Budi Utomo," tetapi sudah memikirkan tentang "pentingnya" persatuan di kalangan "pribumi" yang kemudian diikuti dengan ikrar "Sumpah Pemuda" pada tanggal 2.8 Oktober 1928. Pada tahun 1930-an, seorang seniman muda Indonesia yang menyadari akan arti penting "persatuan dan kesatuan" memperjuangkan kemerdekaan di bidang kebudayaan (sastra) dan melahirkan aliran "Pujangga Baru" yang ingin melepaskan kreativitas sastra daerah (Malaya) menjadi sastra Indonesia yang dimanifestasikan dalam bahasa Indonesia Gerakan di bidang kebudayaan ini terus berlanjut dengan perdebatan STA dengan KHD mengenai sejarah dan perkembangan kebudayaan Indonesia di masa depan. Perdebatan di kalangan budayawan tahun 1930-an ini sudah terlihat adanya dua pola pikir yang "bertabrakan" yaitu pola. pikir "Barat? yang dikehendlaki oleh STA dengan pola pikir :?Tradisi" yang dikehendaki oleh KHD dan kawan-kawan. Pola pikir STA sangat dipengaruhi oleh pola pikir :Barat" yang dalam hal ini diartikan Belanda. Ide dasar perjuangan budayawan yang mendukung prinsip "humanisme universal" ialah "kebebasan kreatif." Ide dasar "humanisme universal" terus berkembang menjadi gerakan yang manuntut "kemanusiaan yang adlil dan beradab" yang dituntut Chairil Anwar dalam "Aku ini binatang jalang, dan kumpulan yang terbuang" dan melahirkan Angkatan 45 di bidang kesastraan yang dilanjutkan oleh Asrul Sani dan kawan-kawan dangan kelompok Galanggangnya. Perdebatan di kalangan budayawan kembali menghangat setelah situasi politik dalam negeri yang didukung dengan "Manifesto Politik" Soekarno yang memperkenalkan konsepsi baru dalam berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang disebut NASAKOM (Nasional-Agama-Komunis). Konsepsi ini sangat didukung oleh budayawan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) karena sejalan dengan ideologi realisme sosialis yang merupakan bagian dan ajaran komunisme, sedangkan budayawan Manifestan menggunakan ideologi humanisme universal yang merupakaan bagian dari ideologi liberalisme untuk menentang kebijakan pemerintah di bawah rezirn Saekarno. Kontroversi lahirnyaPancasila dan gagalnya Konstituante (1959) dalam memecahkan masalah "dasar negara" Islam, Pancasila, atau Sosial-Ekonomi, menjadikan' bangsa ini tidak matang dalam kehidupan berbaangsa, bernegara, dan bermasyarakat, Sebagai orang Indonesia, budayawan Lekra dan Manifestan sangat menyadari akan arti penting "seni" dalam kehidupan mereka, tetapi sebagai warga bangsa dan negara Indonesia, budayawan Lekra dan Manifestan memanfaatkan "situasi politik" bagi kelompoknya daripada kepentingan bangsa dan negara Indonesia berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Tesis ini menyimpulkan bahwa budayawan Lekra dan Manifestan baru menyadari kedudukannya dan perannya sebagai anggota kelompok "seniman kerakyatan" atau "seniman inerdeka" tetapi belum sepenuhnya menyadari kedudukan dari perannya sebagai "warga bangsa Indonesia" yang berkepentingan dalam mowujudkan cita-cita masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undarig Dasar 1945 di dalam negara persatuan yang bernama Repubik Indonesia.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library