Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ewin Rahman Dzuhri
Abstrak :
Magnetotelurik (MT) adalah metode geofisika yang umumnya digunakan dalam eksplorasi potensi sumber daya alam panas bumi. Metode MT dapat menggambarkan penampang resistivitas bawah permukaan bumi mulai dari ratusan meter hingga ratusan kilometer tergantung dari periode pengukuran. Dengan menggabungkan tiga studi yaitu geologi, geokimia dan geofisika, maka dapat mendileneasi sistem geotermal yang terdiri dari clay cap, reservoir, dan sumber panasnya. Bagaimanapun juga, dalam akuisisi data MT, kita juga harus melihat kondisi sekitar daerah penelitian karena pasti terdapat gangguan yang mempengaruhi data MT. Salah satu gangguan dari sekitar daerah penelitian adalah gangguan yang berasal dari laut atau biasa disebut dengan sea effect. Untuk mengurangi gangguan dari sea effect, maka kita harus memahami pengaruh apa saja yang dihasilkan dari sea effect terhadap data MT untuk menghindari mis interptretasi data MT setelah diolah maupun setelah inversi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemodelan simulasi dan inversi 3D menggunakan data sintetik dan data real. Tujuan utama dari penelitian ini adalah menyimpulkan apa yang disebabkan oleh sea effect dalam mempengaruhi data MT. Sea effect ini dapat menyebabkan mis interpretasi pada data MT. Jadi, dengan memahami pengaruh sea effect pada data MT dan mengurangi efeknya dapat meningkatkan kualitas data MT dalam menggambarkan bawah permukaan dan mengurangi resiko eksplorasi geotermal. Berdasarkan studi yang sudah dilakukan diketahui bahwa sea effect mempengaruhi data magnetotelurik dalam kurva apparent resistivity dan fasenya pada semua rentang frekuensi yang berkorelasi dengan jarak antara titik stasiun dengan lautnya. Untuk hasil inversi 3-Dimensi, pengaruh dari laut cukup signifikan dengan adanya nilai-nilai resisitivitas yang kurang sesuai dengan model awal dan dapat diatasi dengan menggunakan oceanic model pada proses inversi.
Magnetotelluric (MT) is a geophysical method commonly used in the geothermal survey. MT method can image the resistivity of earth from a few tens of meters to several hundred kilometers depending on the measurements periods. With geology and geochemistry as supporting data (so-called 3G), integrated 3G data can be very powerful to delineate geothermal system which is clay cap, reservoir, and heat source.  However, in MT data acquisition we have to pay attention to the surroundings of the survey area because there are noises that will affect MT data. One of the noises from the surrounding area is noise from the sea or it is also called coast effect. In order to reduce the noise from MT data acquisition, especially noise from the sea, and miss interpretation of MT data after processing, we have to study the impact of coast effect on MT data during the acquisition and even when inversion. The method of this study is using forward modeling and 3-D inversion using synthetic MT data. The aim of this study is to conclude what causes showed up from MT data affected by the coast effect noise. This sea effect could lead to magnetotelluric data miss interpretation. Thus, by understanding the sea effect on magnetotelluric data and correct it, could improve the quality of subsurface image and lower the geothermal exploration risks. Based on this study, the effect of sea to magnetotelluric data shown in apparent resistivity and phase where this effect correlated to the distance of MT station and the sea. For 3-D inversion, the effect of sea is making inappropriate result in resistivity value. This effect can be overcome by using oceanic model in 3-D inversion process.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Yulianto
Abstrak :
Pengolahan data magnetotelurik merupakan tahapan penting dalam pengembangan eksplorasi panas bumi. Sehingga untuk mendapatkan kualitas data yang baik diperlukan pemahaman tentang data magnetotelurik. Sebelum memahami data magnetotelurik, langkah utama yang harus dipelajari adalah memahami metode magnetotelurik. Metode MT merupakan teknik elektromagnetik pasif yang memanfaatkan sumber alam untuk menentukan kondisi bawah permukaan dengan cara mendeskripsikan sebaran resistivitas batuan. Biasanya, dalam akuisisi data magnetotelurik, data yang terdiri dari sinyal dan noise akan direkam. Sinyal adalah komponen yang terdiri dari medan listrik dan magnet yang diukur dan saling berhubungan satu sama lain melalui suatu fungsi transfer, sedangkan noise merupakan bagian dari data pengukuran MT yang dapat merusak data dan harus dikurangi. Munculnya noise akan menurunkan kualitas data MT, dan signal to noise ratio akan lebih rendah. Umumnya, noise yang terekam memiliki sifat koheren yang tidak teratur seperti noise spike. Untuk mengurangi kebisingan koheren, filter digital dapat digunakan dengan metode ekstensi entropi maksimum dan dekonvolusi jendela. Setelah melakukan filter spike noise, nilai signal to noise ratio meningkat dan kualitas data lebih baik dari sebelumnya. Nilai rms untuk kesalahan filter ekstensi entropi maksimum adalah 9,8% dan dekonvolusi jendela filter adalah 2,06%. Berdasarkan pemrosesan kurva resistivitas semu dan fase, hasil setelah pemfilteran MT terlihat lebih baik daripada sebelumnya atau saat menggunakan perangkat lunak SSMT 2000. Berdasarkan hasil inversi 1D dan 2D terlihat bahwa hasil filter MT lebih baik dari pada SSMT 2000. ......Magnetotelluric data processing is an important stage in the development of geothermal exploration. So to get good data quality an understanding of magnetoteluric data is needed. Before understanding magnetoteluric data, the main step that must be studied is to understand the magnetoteluric method. The MT method is a passive electromagnetic technique that utilizes natural sources to determine subsurface conditions by describing the resistivity distribution of rocks. Usually, in magnetoteluric data acquisition, the data which consists of the signal and noise will be recorded. Signal is a component consisting of electric and magnetic fields that are measured and interconnected with each other through a transfer function, while noise is part of the MT measurement data which can damage data and must be reduced. The appearance of noise will reduce the quality of MT data, and the signal to noise ratio will be lower. Generally, recorded noise has irregular coherent properties such as spike noise. To reduce coherent noise, digital filters can be used with the maximum entropy extension method and window deconvolution. After filtering the spike noise, the signal to noise ratio value increases and the data quality is better than before. The rms value for the maximum entropy extension filter error is 9.8% and the filter window deconvolution is 2.06%. Based on the processing of pseudo resistivity curves and phase, the results after MT filtering look better than before or when using the SSMT 2000 software. Based on the results of 1D and 2D inversions, it can be seen that the results of the MT filter are better than that of SSMT 2000.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mufidatul Khoiroh
Abstrak :
ABSTRAK
Daerah di sekitar kawasan X merupakan kawasan yang berupa dataran tinggi yang berada di kawasan kompleks vulkanik. Di kawasan ini terdapat kawah panas yang menunjukkan aktivitas hidrotermal, dimana manifestasi utamanya muncul di kawasan X berupa fumarol Cd. Salah satu sasaran dalam eksplorasi panas bumi adalah menemukan titik-titik pemboran yang berkorelasi dengan zona suhu tinggi dan zona yang memiliki kriteria permeabilitas tinggi, dimana zona tersebut berkorelasi dengan struktur geologi. Berdasarkan analisis kurva pemisahan dan diagram kutub, terdapat sesar Wp 1, Ga, Wp 2, Pk, Dg, Cd, dan Jm yang umumnya berarah barat laut-tenggara. Sistem panas bumi wilayah X terutama dikendalikan oleh sesar Cd. Adanya struktur sesar memungkinkan fluida dari kawasan timur Jm, Kaipohan Wp, dan sekitar kawasan Pk mengalir sebagai imbuhan. Selain itu, berdasarkan hasil inversi 3 dimensi, data magnetotelurik menunjukkan bahwa zona alterasi sebagian besar terkonsentrasi pada kedalaman sekitar 1500 m hingga 1000 m dengan indikasi bahwa batas zona konduktor (BOC) sudah mulai terlihat. pada ketinggian sekitar 1000 m dan zona reservoir berada pada kedalaman dibawah 1000. m yang ditunjukkan dengan nilai resistivitas sedang antara 20 - 63 Ωm. Zona resistif basement pada kedalaman -3000 m ditunjukkan dengan sebaran nilai resistivitas yang tinggi, dengan sumber utama didominasi oleh pegunungan Dm, Al, dan Jm dengan satuan litologi dominan berupa lahar andesit. Zona upflow kemungkinan terletak di sekitar prospek zona Cd atau di sekitar titik MT-37, dengan arah outflow ke barat daya. Berdasarkan pengukuran panas bumi, temperatur prospek utama diperkirakan 270 0C. Lokasi sasaran pemboran dapat ditarik di sekitar geothermal Cd dengan kedalaman pemboran yang dapat ditarik sekitar 1000 m sampai 1500 m di bawah permukaan.
ABSTRACT
The area around area X is an area in the form of a plateau located in a volcanic complex area. In this area there are hot craters showing hydrothermal activity, where the main manifestation appears in region X in the form of fumarole Cd. One of the targets in geothermal exploration is to find drilling points that are correlated with zones of high temperature and zones that have high permeability criteria, where these zones are correlated with geological structures. Based on the analysis of the separation curve and polar diagram, there are faults Wp 1, Ga, Wp 2, Pk, Dg, Cd, and Jm which generally run northwest-southeast. The X region geothermal system is mainly controlled by the Cd fault. The existence of a fault structure allows fluid from the eastern region of Jm, Kaipohan Wp, and around the Pk area to flow as a recharge. In addition, based on the results of the 3-dimensional inversion, the magnetotelluric data shows that the alteration zone is mostly concentrated at a depth of about 1500 m to 1000 m with an indication that the conductor zone boundary (BOC) is already visible. at an altitude of about 1000 m and the reservoir zone is at a depth below 1000. m which is indicated by a moderate resistivity value between 20 - 63 Ωm. The basement resistive zone at a depth of -3000 m is indicated by the distribution of high resistivity values, with the main source being dominated by mountains Dm, Al, and Jm with the dominant lithological unit in the form of andesite lava. The upflow zone is likely located in the vicinity of the prospect zone Cd or around the point MT-37, with the outflow direction to the southwest. Based on geothermal measurements, the temperature of the main prospect is estimated to be 270 0C. The drilling target location can be drawn around the geothermal Cd with a drilling depth that can be drawn from about 1000 m to 1500 m below the surface.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vito Giovani Amin
Abstrak :
Metode gravitasi merupakan salah satu metode geofisika yang sudah umum digunakan dalam eksplorasi sistem panas bumi. Parameter yang terdeteksi berupa variasi nilai gravitasi yang menggambarkan distribusi densitas bawah permukaan. Dalam sistem panas bumi, batuan reservoir dapat dipetakan dengan metode gravitasi dikarenakan batuan reservoir memiliki densitas yang lebih rendah dibandingkan sekitarnya, sehingga menimbulkan anomali kontras densitas. Selain reservoir, struktur bawah permukaan juga akan teridentifikasi melalui peta residual, yang juga dikorelasikan dengan analisis derivatif berupa First Horizontal Derivative FHD , dan Second Vertical Derivative SVD. Melalui identifikasi patahan, zona recharge, zona discharge, serta daerah upflow dan outflow dapat dipetakan dengan lebih baik untuk merancang model konseptual sistem panas bumi. Kemudian dalam penelitian ini, sistem panas bumi akan dibuat model 3D inversi untuk penggambaran yang lebih jelas.
Gravity is a common geophysical method to be used in geothermal exploration. The detected parameter is the variation of gravity value, which represents the distribution of subsurface density. In geothermal system, we can detect reservoir rock with gravity method because the reservoir rock has a lower density rather than its surrounding which makes a contrast anomaly. For subsurface structures, the author will analyze it with derivative method FHD First Horizontal Derivative and SVD Second Vertical Derivative . Through subsurface structure identification, we can delineate the recharge and discharge area, together with uplow and outflow zone to design the geothermal conceptual model. Last but not least, the author will make a 3d inversion model for a better understanding.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitriyani Mustika Ruslita
Abstrak :
Energi panas bumi adalah energi terbarukan yang sedang dikembangkan di dunia ini. Namun sebelum energi panas bumi dapat dimanfaatkan, perlu dilakukan eksplorasi untuk mengetahui kondisi bawah permukaan. Ada tiga hal yang harus dipenuhi dalam menentukan target eksplorasi sistem panas bumi, yaitu adanya suhu bawah permukaan yang tinggi, fluida dengan derajat keasaman netral, dan adanya zona dengan permeabilitas tinggi. Zona dengan permeabilitas tinggi berkaitan dengan adanya struktur geologi bawah permukaan atau patahan. Metode Magnetotellurik (MT) dan Metode Microearthquake dapat digunakan untuk mendelineasi keberadaan struktur bawah permukaan. Data MT riil diolah dengan metode inversi 3-D sampai akhirnya didapatkan karakteristik dari diagram polar, induction arrow, dan penampang resistivitas. Diagram polar dapat mengidentifikasi adanya patahan, sedangkan induction arrow dapat mengidentifikasi zona konduktif yang biasanya mengindikasikan struktur bawah permukaan. Hasil ini didukung oleh data MEQ riil yang telah diolah dengan menggunakan metode single station sampai didapatkan lokasi hiposenter yang menandakan zona dengan permeabilitas tinggi. Data geologi dan geokimia yang dikombinasikan dengan hasil dari pengolahan data riil MT dan MEQ tersebut menghasilkan delineasi daerah dengan suhu yang tinggi, memiliki fluida dengan derajat keasaman netral, serta zona dengan permeabilitas tinggi dan memiliki struktur bawah permukaan yang nantinya akan dijadikan target pengeboran.
Geothermal energy is a renewable energy which is now being developed all over ther world. However, before it can be optimized, exploration needed to be done in order to understand about the subsurface condition. There are three things that needed to be fulfilled in order to define the exploration target of geothermal system : high subsurface temperature, neutral fluids, and a zone with high permeability. High permeability zones are often associated with subsurface geological structure or fault. Magnetotelluric (MT) dan Microearthquake (MEQ) methods can be utilized to delineate subsurface structures. Polar diagram, induction arrow, and resistivity section are obtained from 3-D inversion of a real MT data. Polar diagram can identify the existence of a fault, meanwhile induction arrow can only identify conductive zones. These results will be supported with high permeability zone and hipocenters of real MEQ data which has been processed by single station method. Geology and geochemistry data can be combined with MT and MEQ results, thus the high subsurface zone, neutral subsurface fluids, high permeability zone and subsurface structure can be delineated, also well target location can be obtained.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhara Adhnandya Kumara
Abstrak :
Dewasa ini Indonesia tengah berusaha untuk memenuhi kebutuhan energi untuk tujuan ketahanan energi nasional. Salah satu energi yang tengah diusahakan adalah energi baru dan terbarukan yang salah satunya adalah energi panas bumi. Untuk mencapai target ini, eksplorasi energi panas bumi perlu digencarkan. Dalam eksplorasi panas bumi, metode yang sering digunakan adalah metode magnetotellurik. Dalam melakukan survei magnetotellurik terdapat banyak hal yang perlu dipertimbangkan untuk membuat suatu desain survei. Salah satu parameter penting dalam proses akuisisi data adalah mengetahui jumlah dan jarak antar stasiun yang tepat untuk memberikan gambaran bawah permukaan terbaik. Jarak antar stasiun sebaiknya tidak terlalu besar, dikhawatirkan apabila terlalu besar resolusi yang didapatkan terlalu rendah dan juga terjadi ekstraplorasi pada saat pengolahan data. Namun, apabila membuat jarak terlalu rapat itu juga akan menguras biaya dan waktu selama pengukuran. Terutama dalam survei magnetotellurik, untuk mendapatkan data yang dalam diperlukan waktu pengukuran yang semakin lama. Biasanya dalam eksplorasi panas bumi, pengukuran data magnetotellurik dapat dilakukan hinnga 24 jam. Sehingga apabila semakin banyak titik yang diukur semakin lama juga waktu yang diperlukan untuk mengukur. Pada saat ini, belum ada penelitian yang membahas berapa jarak optimum dalam akuisisi data magnetotelurik untuk eksplorasi panas bumi. Penggunaan jarak antar stasiun pada penelitian-penelitian sebelumnya sangatlah bervariatif. Hal ini tentunya berpengaruh pada gambaran sistem panas bumi hasil pengolahan data magnetotelurik tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jarak antar stasiun yang paling optimum untuk eksplorasi pada lapangan panas bumi. Dimana penelitian ini akan dilakukan dengan melakukan pemodelan kedepan (forward modelling) dan pemodelan inversi (inverse modelling). Dengan membuat beberapa model dan melakukan variasi jarak stasiun, jarak antar stasiun yang optimal dapat disimpulkan. Berdasarkan studi yang dilakukan diketahui bahwa dengan jarak 500-1000 meter untuk daerah interest sudah mampu menggambarkan batasan clay cap dengan baik sehingga jarak ini sudah optimum. Sementara itu, diluar daerah interest diperlukan beberapa stasiun pengikat dengan jarak 1000 meter. Dibandingkan dengan inversi 2D, inversi 3D mampu menggambarkan sistem dengan lebih baik.
Currently Indonesia is trying to meet energy needs for national energy security goals. One of the energies being consideredis new and renewable energy, one of which is geothermalenergy. To meet this goal, exploration for geothermalenergy need to be intensified. The geophysics method which usually used for geothermal energy exploration is the magnetotelluric method. One of the important parameters in the data acquisition is decidingthe number and spacing for eachstation to provide the best sub-surfaceimage. The distance between stations should not be too large, that caused the resolution obtained will betoo low and extrapolation also occurs when the data processing obtained. However, if the distance too denseit will also drain the cost and time during the measurement. Especially in magnetotelluric surveys, to obtain deep depthrequires a longer measurement time. Usually in geothermalexploration, measurement of magnetotelluric data can be done up to 24 hours. Thus, whenmore points are measured the longer the time needed to measure. At present, there is no research that discusses the optimum distance in magnetoteluric data acquisition for geothermal exploration. The use of distance between stations in previous studies ishighly varied. This certainly affects the imaging of the geothermal system resulting from the processing of the magnetoteluric data. This study aims to determine the most optimum distance between stations for exploration on geothermal fields. Where this research will be carried out by doing forward modeling and inverse modelling. By building several models and varied the station spacing, optimum spacing in geotermalarea could be concluded. The study result shown that the optimum spacing is 500-1000 meters for the interest zone, it is capable to delineate the Top of Resevoar. Moreover, outside the interest zone several stasion should be put with the station spacing for about 1000 meters. 3D inversion shown better result in the ability on mapping the system compared with 2D inversion.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhara Adhnandya Kumara
Abstrak :
ABSTRAK
Saat ini Indonesia sedang berupaya memenuhi kebutuhan energi untuk kepentingan ketahanan energi nasional. Salah satu energi yang sedang diupayakan adalah energi baru dan terbarukan, salah satunya energi panas bumi. Untuk mencapai target tersebut, eksplorasi energi panas bumi perlu diintensifkan. Dalam eksplorasi panas bumi, metode yang sering digunakan adalah metode magnetotelurik. Dalam melakukan survey magnetotelluric, banyak hal yang perlu diperhatikan dalam membuat desain survey. Salah satu parameter penting dalam proses akuisisi data adalah mengetahui jumlah dan jarak yang tepat antar stasiun untuk menghasilkan citra bawah permukaan yang terbaik. Jarak antar stasiun tidak boleh terlalu besar, dikhawatirkan resolusi yang didapat terlalu rendah dan terjadi ekstraplorasi pada saat pengolahan data. Namun, jika jarak terlalu sempit juga akan memakan biaya dan waktu selama pengukuran. Khususnya pada survei magnetotelluric, untuk mendapatkan data yang dalam dibutuhkan waktu pengukuran yang lebih lama. Biasanya dalam eksplorasi panas bumi, pengukuran data magnetotelurik dapat dilakukan hingga 24 jam. Sehingga jika semakin banyak titik yang diukur, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mengukurnya. Saat ini belum ada penelitian yang membahas jarak optimum perolehan data magnetotelurik untuk eksplorasi panas bumi. Penggunaan jarak antar stasiun pada penelitian sebelumnya sangat bervariasi. Hal ini tentunya mempengaruhi gambaran sistem panas bumi yang dihasilkan dari pengolahan data magnetotelurik tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jarak optimal antar stasiun untuk eksplorasi di lapangan panas bumi. Dimana penelitian ini akan dilakukan dengan melakukan pemodelan maju (forward modelling) dan pemodelan inversi (inverse modelling). Dengan membuat beberapa model dan memvariasikan jarak antar stasiun maka dapat disimpulkan jarak optimal antar stasiun. Berdasarkan studi yang dilakukan diketahui bahwa jarak 500 - 1000 meter untuk area yang diinginkan mampu menggambarkan batas-batas clay cap dengan baik sehingga jarak tersebut optimal. Sedangkan di luar areal kepentingan diperlukan beberapa strapping station dengan jarak 1000 meter. Dibandingkan dengan inversi 2D, inversi 3D mampu mendeskripsikan sistem dengan lebih baik.
ABSTRACT
Currently, Indonesia is trying to meet energy needs for the benefit of national energy security. One of the energies that is being pursued is new and renewable energy, one of which is geothermal energy. To achieve this target, geothermal energy exploration needs to be intensified. In geothermal exploration, the method that is often used is the magnetoteluric method. In conducting a magnetotelluric survey, many things need to be considered in making a survey design. One of the important parameters in the data acquisition process is knowing the exact number and distance between stations to produce the best subsurface imagery. The distance between stations should not be too large, it is feared that the resolution obtained is too low and extraploration occurs during data processing. However, if the distance is too narrow it will also cost money and time during measurement. Especially in the magnetotelluric survey, it takes a longer measurement time to obtain the required data. Usually in geothermal exploration, the measurement of magnetoteluric data can be carried out for up to 24 hours. So that if the more points are measured, the longer it will take to measure it. Currently, there is no research that discusses the optimum distance to obtain magnetoteluric data for geothermal exploration. The use of the distance between stations in previous studies varies widely. This certainly affects the description of the geothermal system resulting from the processing of the magnetoteluric data. This study aims to determine the optimal distance between stations for exploration in geothermal fields. Where this research will be carried out by doing forward modeling (forward modeling) and inversion modeling (inverse modeling). By making several models and varying the distance between stations, it can be concluded that the optimal distance between stations. Based on the study conducted, it is known that the distance of 500 - 1000 meters for the desired area is able to describe the boundaries of the clay cap well so that the distance is optimal. Meanwhile, outside the area of ​​interest, several strapping stations with a distance of 1000 meters are required. Compared to 2D inversion, 3D inversion is able to describe the system better.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library