Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
Dewinta Retno Kurniawardhani
"Perkembangan terapi adjuvan pada glaukoma untuk memperlambat progresi glaukoma saat ini terus dieksplorasi. Penelitian ini mengevaluasi efek Mirtogenol, pada perubahan perfusi okular (perfusi kapiler dan flux index), ketebalan lapisan serabut saraf retina (LSSR), dan tekanan intraokular (TIO) pada pasien glaukoma primer sudut terbuka (GPSTa) yang menerima terapi timolol maleat 0,5% tetes mata. Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol tersamar ganda. Terdapat 36 subjek (37 mata) dengan GPSTa dan TIO < 21 mmHg yang diacak untuk mendapatkan Mirtogenol atau plasebo selama 8 minggu. Kedua grup dibandingkan, pada kelompok Mirtogenol, rata-rata peningkatan perfusi kapiler dan flux index lebih baik, dan pada kuadran superior terdapat hasil yang signifikan secara statistik setelah 4 minggu (p=0.018). Rerata perbedaan ketebalan LSSR di seluruh kuadran terdapat penurunan dengan nilai yang lebih sedikit pada kelompok Mirtogenol (p>0.05). Penurunan TIO yang konsisten pada kelompok Mirtogenol setelah 8 minggu (p>0.05). Ditemukan efek samping pada 1 subjek yaitu gangguan lambung. Suplementasi Mirtogenol, sebagai terapi adjuvan pada pengobatan glaukoma dapat meningkatkan perfusi okular, mempertahankan ketebalan LSSR, dan menurunkan TIO.
The development of adjuvant therapies in glaucoma to slow its progression is currently being explored. This study evaluates the effects of Mirtogenol on changes in ocular perfusion (capillary perfusion and flux index), retinal nerve fiber layer (RNFL) thickness, and intraocular pressure (IOP) in primary open-angle glaucoma (POAG) patients receiving 0.5% timolol maleate eye drops. This study is a double-blind, randomized controlled clinical trial. There were 36 subjects (37 eyes) with POAG and IOP < 21 mmHg randomized to receive Mirtogenol or placebo for 8 weeks. Compared between the two groups, the Mirtogenol group showed a better average improvement in capillary perfusion and flux index, with statistically significant results in the superior quadrant after 4 weeks (p=0.018). The mean difference in RNFL thickness across all quadrants showed a smaller reduction in the Mirtogenol group (p>0.05). There was a consistent decrease in IOP in the Mirtogenol group after 8 weeks (p>0.05). One subject experienced side effects, specifically stomach disturbances. Mirtogenol supplementation, as an adjuvant therapy in glaucoma treatment, can improve ocular perfusion, maintain RNFL thickness, and reduce IOP."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Tsania Rachmah Rahayu
"Koroid memiliki peran dalam mengatur metabolisme fotoreseptor dan epitel pigmen retina (EPR) serta sumber perdarahan ke lapisan luar retina. Pada miopia terjadi elongasi aksial yang berdampak pada penipisan ketebalan koroid dan memengaruhi prognosis visual. Studi ini bertujuan mengetahui hubungan antara ketebalan koroid dengan derajat miopia dan ketebalan fotoreseptor-EPR. Studi ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan pada 102 mata. Setiap subjek dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu emetropia, miopia ringan, sedang, dan berat. Setiap subjek dilakukan pemeriksaan mata menyeluruh dan pemindaian makula menggunakan spectral domain optical coherence tomography (SD-OCT), dengan pengaturan HD-1-Line100x dan enhanced depth imaging (EDI). Gambar pemindaian dinilai secara manual dan dikelompokkan berdasarkan Early Treatment of Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) grid. Hasil studi menunjukkan ketebalan koroid terbesar ditemukan di subfovea atau lingkar superior bergantung pada kelompok, dan ketebalan terendah ditemukan pada regio nasal setiap kelompok. Terdapat perbedaan signifikan ketebalan koroid dengan derajat miopia pada setiap kelompok. Korelasi signifikan ketebalan koroid dan ketebalan lapisan fotoreseptor-EPR hanya ditemukan pada lingkar inferior dalam (r=0,34; p<0,001). Penelitian ini menunjukkan ketebalan koroid yang beragam dan signifikan tiap derajat miopia, serta korelasi negatif lemah antara ketebalan koroid dan ketebalan lapisan fotoreseptor-EPR pada di regio inferior.
The choroid is crucial for regulating the metabolism of photoreceptors and the retinal pigment epithelium (RPE) while supplying blood to the outer retinal layer. Myopia, characterized by axial elongation, is linked to choroidal thinning, impacting visual prognosis. This study investigates the relationship between choroidal thickness (CT), different myopia degrees, and photoreceptor-RPE thickness. In a cross-sectional study of 102 eyes, categorized into emmetropia, mild, moderate, and high myopia groups, comprehensive eye exams and macular scans using spectral domain optical coherence tomography (SD-OCT) with HD-1-Line100x settings and enhanced depth imaging (EDI) were conducted. Manual evaluations of scan images based on the Early Treatment of Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) grid revealed varied and significant CT across myopia degrees. The thickest CT found either in the subfovea or superior ring depending on the group, and the thinnest consistently in the nasal region for all groups. A significant correlation between choroidal thickness and photoreceptor-RPE layer thickness was noted in the inner inferior circle (r=0.34; p<0.001). In summary, this study unveils varying and significant CT across myopia degrees, emphasizing weak negative correlations between choroidal thickness and photoreceptor-RPE layer thickness, specifically in the inferior region."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Agung Nugroho
"Latar Belakang: Melanoma konjungtiva adalah keganasan konjungtiva yang jarang dijumpai, namun berpotensi agresif. Rekurensi melanoma konjungtiva pada kasus melanoma konjungtiva mencapai 40% disertai persentase mortalitas yang tinggi (18%). Aktivitas mitosis dan ekspresi pulasan imunohistokimia (IHK) Ki-67 sebagai penanda proliferasi memiliki potensi sebagai prediktor prognosis kondisi ini. Penelitian ini bertujuan menilai hubungan aktivitas mitosis dan ekspresi Ki-67 dengan faktor prognosis klinis dan histopatologi pada melanoma konjungtiva yaitu lokasi tumor, invasi lokal, keterlibatan kelenjar getah bening (KGB), rekurensi, metastasis jauh, tipe sel, invasi limfovaskular, dan penyebaran pagetoid. Metode: Penelitian ini dilakukan dengan pengumpulan data rekam medis dan blok parafin pasien melanoma konjungtiva di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo selama periode Januari 2013 – Desember 2023. Sampel dikaji ulang dan dilakukan pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) serta pulasan IHK menggunakan antibodi Ki-67. Hasil hitung mitosis dan ekspresi Ki-67 selanjutnya dicek silang dengan faktor-faktor prognosis lain yang ditemukan dari rekam medis dan sampel yang diuji. Kemudian dilakukan analisis statistik untuk mengetahui hubungan keduanya. Hasil: Didapatkan 34 sampel penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara aktivitas mitosis dan ekspresi Ki-67 dengan faktor prognosis klinis dan histopatologi yang diuji (p>0.05). Mayoritas pasien melanoma konjungtiva pada penelitian ini memiliki aktivitas mitosis tinggi (85.3%), temuan ini melebihi persentase proporsi pada penelitian-penelitian sebelumnya. Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara aktivitas mitosis dan ekspresi Ki-67 dengan faktor prognosis buruk klinis dan histopatologi pada pasien melanoma konjungtiva. Terdapat ketimpangan proporsi populasi berupa ditemukannya hampir seluruh pasien dengan aktivitas mitosis tinggi.
Background: Conjunctival melanoma is a rare but potentially aggressive conjunctival malignancy. Local recurrence of conjunctival melanoma cases reaches 40% with a high mortality rate (18%). Mitotic activity and Ki-67 immunohistochemistry (IHC) staining expression as proliferation markers can predict this condition's prognosis. This study aims to assess the association between mitotic activity and Ki-67 expression with clinical and histopathological prognostic factors in conjunctival melanoma, namely tumor location, local invasion, lymph node involvement, recurrence, distant metastasis, cell type, lymphovascular invasion, and pagetoid spread. Methods: This study was conducted using data from medical records and paraffin blocks of conjunctival melanoma patients at Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2013 - December 2023. Samples were reviewed, hematoxylin-eosin (HE) stained, and IHC stained using Ki-67 antibody. The mitotic count and Ki-67 expression results were then cross-checked with established prognostic factors. Then, statistical analysis was performed to determine the association between these two. Results: 34 research samples met the inclusion and exclusion criteria. There was no statistically significant association between mitotic activity and Ki-67 expression with the clinical and histopathological prognostic factors tested (p>0.05). Most conjunctival melanoma patients in this study had high mitotic activity (85.3%); this finding exceeds the percentage proportion in previous studies.Conclusion: In conjunctival melanoma patients, there was no statistically significant association between mitotic activity and Ki-67 expression with poor clinical and histopathological prognostic factors. There was an imbalance in the population proportion in the form of almost all patients with high mitotic activity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Andi Putra Jayanegara
"Strabismus merupakan suatu masalah kesehatan yang memiliki dampak negatif yang besar pada kualitas hidup seseorang. Strabimus tidak hanya menyebabkan terjadinya permasalahan dari aspek fungsi, tetapi juga permasalahan pada aspek psikososial. Studi ini bertujuan membandingkan kualitas hidup pada pasien strabismus dewasa yang belum dilakukan operasi koreksi strabismus dan pasien strabismus dewasa yang sudah dilakukan operasi koreksi strabismus menggunakan kuesioner AS-20 versi Indonesia. Studi ini merupakan studi potong lintang perbandingan Terdapat 84 subjek dalam penelitian ini dan dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok yang belum dilakukan operasi koreksi strabismus dan sudah dilakukan operasi koreksi strabismus dengan jumlah tiap kelompok sebanyak 42 subjek. Setiap subjek dilakukan pemeriksaan mata menyeluruh dan pemeriksaan strabismus. Setelah itu pasien diminta mengisi kuesioner AS-20 versi Indonesia. Hasil studi menunjukan pada pasien strabismus dewasa yang belum dilakukan operasi koreksi strabismus mempunyai kualitas hidup yang lebih rendah secara fungsi dan psikososial dibandingkan pasien strabismus dewasa yang sudah dilakukan operasi koreksi strabismus (p<0,001). Selain itu terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi penilaian kualitas hidup strabismus dewasa yaitu usia, diplopia dan deviasi.
Strabismus is a health issue that has a significant negative impact on a person's quality of life. Strabismus not only causes functional problems but also psychosocial issues. This study aims to compare the quality of life in adult strabismus patients who have not undergone corrective surgery and those who have undergone corrective surgery using the Indonesian version of the AS-20 questionnaire. This study is a cross-sectional comparative study. There were 84 subjects in this study, divided into 2 groups: the group that had not undergone strabismus correction surgery and the group that had undergone strabismus correction surgery, with each group consisting of 42 subjects. Each subject underwent a comprehensive eye examination and a strabismus examination. After that, the patients were asked to complete the Indonesian version of the AS-20 questionnaire. After that, the patients were asked to complete the Indonesian version of the AS-20 questionnaire. The study results showed that adult strabismus patients who had not undergone strabismus correction surgery had a lower quality of life regarding function and psychosocial aspects compared to adult strabismus patients who had undergone strabismus correction surgery (p<0.001). Additionally, factors influenced the quality of life assessment in adult strabismus: age, diplopia, and deviation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library