Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nila Indah Gayatri
Abstrak :
Latar belakang: Stratifikasi risiko dilakukan pada pasien dengan sindrom koroner akut non-elevasi segmen ST (SKA-NEST) saat admisi di instalasi gawat darurat. Iskemia miokardium menginduksi dispersi repolarisasi ventrikel yang bisa dinilai dengan interval Tpe pada EKG permukaan. Pemanjangan interval Tpe telah diketahui sebagai prediktor luaran buruk pada berbagai populasi dan interval Tpe yang dikoreksi dengan laju nadi (cTpe) memiliki nilai prediksi yang lebih baik. Belum diketahui apakah interval cTpe berhubungan dengan Major Adverse Cardiac Events (MACE) dalam-rumah-sakit pada pasien SKA-NEST. Tujuan: Untuk mengetahui manfaat interval cTpe pada EKG saat admisi pada pasien SKA-NEST sebagai modalitas stratifikasi risiko yang ekonomis, sederhana dan tersedia luas. Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif pada pasien dengan SKA-NEST. Data demografi, parameter klinis dan hasil laboratorium diambil dari rekam medis. EKG saat admisi di instalasi gawat darurat (IGD) dikumpulkan dan dilakukan pengukuran inteval Tpe secara manual dengan metode tangent. Corrected Tpe (cTpe) dihitung menggunakan rumus Bazzet. Luaran yang diteliti adalah composite MACE selama perawatan di rumah sakit, termasuk kematian, syok kardiogenik, infark miokardium akut berulang, edema paru akut, henti jantung, dan takiaritmia ventrikel maligna. Dilakukan analisis ROC untuk menilai performa interval cTpe yang dapat memprediksi MACE. Analisis bivariat dan multivariat digunakan untuk menilai pemanjangan interval cTpe sebagai prediktor kejadian MACE dalam-rumah-sakit. Hasil: Total terdapat 403 pasien yang masuk analisis akhir. Median usia adalah 60 tahun, mayoritas laki-laki (77,9%) dan terjadi MACE pada 25 kasus (6,2%). Performa interval cTpe dalam memprediksi kejadian MACE lebih baik dibandingkan dengan interval Tpe (AUC 0,727 dan 0,648). Diperoleh titik cut off interval cTpe yang optimal adalah 90,77 ms dengan sensitivitas 76,0% dan spesifisitas 63,2%. Setelah disesuaikan dengan faktor determinan lain, pemanjangan interval cTpe berhubungan dengan kejadian MACE dalam-rumahsakit (HR 2,86, IK 95% 1,08-7,56, p = 0,034). Kesimpulan: Risiko MACE dalam-rumah-sakit lebih tinggi pada kelompok dengan pemanjangan interval cTpe dibandingkan dengan kelompok tanpa pemanjangan interval cTpe. Penelitian selanjutnya perlu dilakukan untuk validasi sehingga modalitas ini bisa dimanfaatkan dalam praktik klinis. ...... Background: Risk stratification is performed at the emergency department in patients with non-ST-segment-elevation acute coronary syndrome (NSTEACS). Myocardial ischaemia induced ventricular reloparization dispersion and can be assessed with Tpe interval. Tpe interval has been recognized as a predictor of adverse outcomes in various populations and correcting the Tpe with heart rate (cTpe) improved the predictive value. The association of cTpe interval with inhospital Major Adverse Cardiac Events (MACE) in NSTEACS patients was unknown. Objective: This study aims to evaluated the cTpe interval on ECG at admission of SKA-NEST patients as an economical, simple and widely available risk stratification modality. Methods: This was a retrospective cohort study in patients with SKA-NEST. Demographic data, clinical parameters and laboratory results were taken from medical records. The ECG at admission in emergency room (ER) was collected and manually measured by the tangent method. Corrected Tpe (cTpe) was calculated using the Bazzet formula. The composite MACE during hospitalization were the endpoint, including death, cardiogenic shock, recurrent myocardial infarction, acute pulmonary edema, cardiac arrest, and malignant ventricular tachyarrhythmias. ROC analysis was performed to evaluate performance of the Tpe and cTpe interval that could predict MACE optimally. Bivariate and multivariate analyzes were used to assess the prolongation of the Tpe interval as a predictor of in-hospital MACE. Results: A total of 403 patients were included in the final analysis. The median age was 60 years, the majority were male (77,9%) and MACE occurred in 25 cases (6.2%). The performance of cTpe in predicting MACE events was better than Tpe (AUC 0.727 and 0.648). The optimal cut off point for the cTpe interval was 90.77 ms with sensitivity of 76.0% and specificity of 63.2%. After adjusting for other determinant factors, the prolongation of cTpe interval was associated to in-hospital MACE (HR 2,86, 95% CI 1,08-7,56, p = 0,034). Conclusion: The risk of in-hospital MACE was higher in the group with prolonged cTpe interval compared with the group without prolonged cTpe interval. Prospective studies are needed to validate whether this modality can be used in clinical practice.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Felix Chikita Fredy
Abstrak :
Latar belakang: Pada era intervensi koroner perkutan primer (IKKP), angka kematian akibat infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) berhasil ditekan. Peningkatan angka sintasan tersebut berbanding dengan peningkatan insiden gagal jantung. Proses remodeling pascamiokard infark yang belum sepenuhnya dihambat oleh standar terapi saat ini akan berujung pada kondisi gagal jantung. Doksisiklin sebagai anti-matriks metaloproteinase (MMP) menunjukkan hasil yang baik dalam mencegah proses remodeling. Biomarker remodeling merupakan surrogate dini yang baik untuk memprediksi kejadian remodeling. Namun, efek doksisiklin terhadap biomarker remodeling dan luaran klins pasien IMA-EST belum diketahui. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek doksisiklin terhadap penurunan kadar biomarker remodeling pascainfark miokard. Metode: Penelitian ini menggunakan desain uji klinis tersamar tripel. Pasien IMA-EST dengan keterlibatan anterior atau Killip 2-3 dengan onset kurang dari 12 jam yang menjalani IKKP terbagi acak kedalam grup yang mendapat doksisiklin 2x100 mg selama 7 hari sebagai tambahan dari standar terapi dan grup dengan standar terapi. Pemeriksaan biomarker (netrofil, hs-Troponin T, hs-CRP, NT-pro BNP) dilakukan saat admisi rumah sakit dan evaluasi intraperawatan. Ekokardiografi dilakuan saat admisi dan hari ke-5 untuk menilai dimensi dan fungsi ventrikel kiri. Hasil: Terdapat 94 subyek yang diikutkan dalam penelitian dan terbagi rata ke dalam kedua grup. Karakteristik demografis dan klinis kedua grup homogen. Grup doksisiklin menujukkan nilai netrofil jam ke-24 yang lebih rendah dibanding grup kontrol (69,1±5,8% vs 71,9±8,0%, p=0,049). Peningkatan hs-Troponin T didapatkan lebih rendah pada kelompok dengan onset lebih dari 6 jam yang mendapatkan doksisiklin, namun tidak pada grup kontrol. Insiden gagal jantung 11,3% lebih rendah pada grup doksisiklin. Perbaikan fraksi ejeksi signifikan didapat pada grup doksisiklin dibanding grup kontrol (4,5±10,4% vs 0,3±10,3%, p=0,05). Peningkatan tersebut lebih besar pada pasien dengan onset lebih dari 6 jam dengan rerata peningkatan 5,9% (95%IK 0,05-11,7%, p=0,048). Kesimpulan: Doksisiklin memiliki efek perbaikan biomarker remodeling ventrikel, terutama netrofil dan hs-troponin T, serta fraksi ejeksi ventrikel kiri. Jumlah insiden gagal jantung lebih rendah pada grup doksisiklin. ......Background: In era of primary percutaneous coronary intervention (PPCI), mortaliry rate was reduced significantly. The increament in survival rate was followed by increament in heart failure cases. Cardiac remodelling after myocardial infarction was not fully anticipated by current therapy hence the patent would suffer for hear failure. Doxycycline as antimatrix metaloproteinase (MMP) inhibitor showed a promising results in modulation cardiac remodelling. Cardiac biomarkers for remodelling are surrogate parameters for early indentifying of remodelling. However, the effect of doxycyline to cardiac remodelling and its clinical implication are unknown. Objective: To determine the effect of doxycycline on cardiac remodelling biomarkers after myocardial infarction. Methods: We conducted triple blinded-randomized control trial. Patients with STEMI anterior or with Killip class 2-3 who underwent PPCI were randomly assigned to doxycycline (100 mg b.i.d for 7 days) in addition to standard therapy or to standar care. Cardiac remodelling biomarkers (neutrophils, hs-Troponin T, hs-CRP, NT-proBNP) were obtained on admission and during hospitalization. Echocardiography were assessed on admission and at 5 days to evaluate left ventricle dimmension and function. Results: There were 94 patients assigned into doxycycline and control group. Baseline demographics and clinical characteristics were comparable between 2 groups. Doxycycline group showed lower percent neutrophils at 12 hours compare to control group (69.1±5.8% vs 71.9±8.0%, p=0.049). hs-Troponin T changes were lower in patients with onset >6 hours who received doxycycline and there were no differences among control group. Heart failure incidence was 11.3% lower in doxycycline group to control group. The improvement of left ventricle ejection fraction was sifnificantly higher in doxycycline group than in control group (4.5±10.4% vs 0.3±10.3%, p=0.05). The imrpovement was even higher in those with onset >6 hours with mean increament of 5.9% (95%CI 0.05-11.7%, p=0.048). Conclusion: Doxycycline had effect in improving cardiac remodelling biomarkers, ie percent neutrophils and hs-Troponin T and left ventricle ejection fraction. Incidence of heart failure was lowe in doxycycline group.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58945
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yohanes Edwin Budiman
Abstrak :
Latar Belakang: Infeksi COVID-19 merupakan penyakit dengan komplikasi multi-organ, salah satunya komplikasi kardiovaskular. Dengan kejadian gagal jantung akut sebagai komplikasi COVID-19 dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi, perlu dilakukan identifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya gagal jantung akut pada pasien COVID-19, khususnya pada derajat sedang – berat. Tujuan : Mengetahui prediktor gagal jantung akut pada pasien COVID-19 yang dirawat, khususnya derajat sedang – berat Metode : Metode penelitian bersifat kohort retrospektif. Luaran primer adalah kejadian gagal jantung akut saat perawatan. Terdapat 15 faktor klinis dan laboratoris yang dianalisis secara bivariat dan multivariat. Hasil: Dari total 208 subjek sesuai kriteria inklusi dan eksklusi, sebanyak 73 subjek (35%) mengalami episode gagal jantung akut saat perawatan. Riwayat gagal jantung kronik memiliki risiko 5,39 kali (95% IK: 1,76 – 16,51; p = 0,003) mengalami kejadian gagal jantung akut. Pasien dengan nilai TAPSE < 17 mm memiliki risiko 4,25 kali (95% IK: 1,13 – 16,07; p= 0,033) mengalami gagal jantung akut. Sedangkan pemakaian ACE-i/ARB memiliki risiko 0,16 kali (95% IK: 0,05 – 0,51; p = 0,002) untuk mengalami gagal jantung akut intraperawatan dibandingkan kelompok tanpa pemakaian ACE-i/ARB. Kesimpulan: Riwayat gagal jantung kronik, TAPSE < 17 mm, dan pemakaian ACE-i/ARB diidentifikasi sebagai prediktor kejadian gagal jantung akut pada pasien COVID-19. ......Introduction: COVID-19 infection is a disease with multi-organ complications, including cardiovascular organ. As heart failure is one of COVID – 19 complications that has high morbidity and mortality, we need to identify factors that can predict acute heart failure in COVID – 19, especially in moderate to severe patients. Objective : to determine predictors of acute heart failure in hospitalized COVID -19 patients Method : This was a retrospective cohort study. The primary outcome was acute heart failure that happened during hospitalization. There were total of 16 clinical (age, sex, body mass index, hypertension, diabetes, smoking history, coronary artery disease, chronic kidney disease, chronic heart failure, chronic obstructive pulmonary disease, PaO2/FiO2 ratio, non-cardiogenic shock at admission, use of ACE-inhibitors/ARBs during hospitalization, ejection fraction, TAPSE) as well as 6 laboratory parameters (neutrophil - lymphocyte ratio, platelet - lymphocyte ratio, eGFR, D-Dimer, procalcitonin, CRP) that were used in statistical analysis. Result: From total of 208 subjects with moderate – severe COVID-19, 73 (35%) had acute heart failure. The median time of developing heart failure is 4 ( 1 - 27) days. On multivariate analysis, patients with history of chronic heart failure exhibited a 5.39-fold higher risk of acute heart failure compared with no history of chronic heart failure (95% CI: 1.76 – 16.51; p = 0.003). The risk of acute heart failure was multiplied by 4.25 in patients that was presented with TAPSE <17 mm (95% CI: 1.13 – 16.07; p= 0.033). In contrast, use/continuation of ACE-inhibitors/angiotensin receptor blockers during hospitalization showed reduced risk of acute heart failure (16% of the risk developing acute heart failure compared with patients with no use of ACE-inhibitors/angiotensin receptor blockers). In subjects developing acute heart failure, the mortality rate was 67%, compared with 57% in subjects without acute heart failure (p = 0,028). Conclusion: History of chronic heart failure, TAPSE <17 mm, and the use of ACE-inhibitors/angiotensin receptor blockers were identified as predictors of acute heart failure in hospitalized COVID-19 patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Felix Chikita Fredy
Abstrak :
Latar belakang: Pada era intervensi koroner perkutan primer (IKKP), angka kematian akibat infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) berhasil ditekan. Peningkatan angka sintasan tersebut berbanding dengan peningkatan insiden gagal jantung. Proses remodeling pascamiokard infark yang belum sepenuhnya dihambat oleh standar terapi saat ini akan berujung pada kondisi gagal jantung. Doksisiklin sebagai anti-matriks metaloproteinase (MMP) menunjukkan hasil yang baik dalam mencegah proses remodeling. Biomarker remodeling merupakan surrogate dini yang baik untuk memprediksi kejadian remodeling. Namun, efek doksisiklin terhadap biomarker remodeling dan luaran klins pasien IMA-EST belum diketahui. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek doksisiklin terhadap penurunan kadar biomarker remodeling pascainfark miokard. Metode: Penelitian ini menggunakan desain uji klinis tersamar tripel. Pasien IMA-EST dengan keterlibatan anterior atau Killip 2-3 dengan onset kurang dari 12 jam yang menjalani IKKP terbagi acak kedalam grup yang mendapat doksisiklin 2x100 mg selama 7 hari sebagai tambahan dari standar terapi dan grup dengan standar terapi. Pemeriksaan biomarker (netrofil, hs-Troponin T, hs-CRP, NT-pro BNP) dilakukan saat admisi rumah sakit dan evaluasi intraperawatan. Ekokardiografi dilakuan saat admisi dan hari ke-5 untuk menilai dimensi dan fungsi ventrikel kiri. Hasil: Terdapat 94 subyek yang diikutkan dalam penelitian dan terbagi rata ke dalam kedua grup. Karakteristik demografis dan klinis kedua grup homogen. Grup doksisiklin menujukkan nilai netrofil jam ke-24 yang lebih rendah dibanding grup kontrol (69,1±5,8% vs 71,9±8,0%, p=0,049). Peningkatan hs-Troponin T didapatkan lebih rendah pada kelompok dengan onset lebih dari 6 jam yang mendapatkan doksisiklin, namun tidak pada grup kontrol. Insiden gagal jantung 11,3% lebih rendah pada grup doksisiklin. Perbaikan fraksi ejeksi signifikan didapat pada grup doksisiklin dibanding grup kontrol (4,5±10,4% vs 0,3±10,3%, p=0,05). Peningkatan tersebut lebih besar pada pasien dengan onset lebih dari 6 jam dengan rerata peningkatan 5,9% (95%IK 0,05-11,7%, p=0,048). Kesimpulan: Doksisiklin memiliki efek perbaikan biomarker remodeling ventrikel, terutama netrofil dan hs-troponin T, serta fraksi ejeksi ventrikel kiri. Jumlah insiden gagal jantung lebih rendah pada grup doksisiklin. ......Background: In era of primary percutaneous coronary intervention (PPCI), mortaliry rate was reduced significantly. The increament in survival rate was followed by increament in heart failure cases. Cardiac remodelling after myocardial infarction was not fully anticipated by current therapy hence the patent would suffer for hear failure. Doxycycline as antimatrix metaloproteinase (MMP) inhibitor showed a promising results in modulation cardiac remodelling. Cardiac biomarkers for remodelling are surrogate parameters for early indentifying of remodelling. However, the effect of doxycyline to cardiac remodelling and its clinical implication are unknown. Objective: To determine the effect of doxycycline on cardiac remodelling biomarkers after myocardial infarction. Methods: We conducted triple blinded-randomized control trial. Patients with STEMI anterior or with Killip class 2-3 who underwent PPCI were randomly assigned to doxycycline (100 mg b.i.d for 7 days) in addition to standard therapy or to standar care. Cardiac remodelling biomarkers (neutrophils, hs-Troponin T, hs-CRP, NT-proBNP) were obtained on admission and during hospitalization. Echocardiography were assessed on admission and at 5 days to evaluate left ventricle dimmension and function. Results: There were 94 patients assigned into doxycycline and control group. Baseline demographics and clinical characteristics were comparable between 2 groups. Doxycycline group showed lower percent neutrophils at 12 hours compare to control group (69.1±5.8% vs 71.9±8.0%, p=0.049). hs-Troponin T changes were lower in patients with onset >6 hours who received doxycycline and there were no differences among control group. Heart failure incidence was 11.3% lower in doxycycline group to control group. The improvement of left ventricle ejection fraction was sifnificantly higher in doxycycline group than in control group (4.5±10.4% vs 0.3±10.3%, p=0.05). The imrpovement was even higher in those with onset >6 hours with mean increament of 5.9% (95%CI 0.05-11.7%, p=0.048). Conclusion: Doxycycline had effect in improving cardiac remodelling biomarkers, ie percent neutrophils and hs-Troponin T and left ventricle ejection fraction. Incidence of heart failure was lowe in doxycycline group.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ghina Shabirina K
Abstrak :
Latar Belakang: Kongesti merupakan penyebab utama pada kondisi perburukan dari gagal jantung kronis yang disebut juga sebagai gagal jantung dekompensasi akut (GJDA). Pemeriksaan status kongesti intravaskular pada pasien GJDA dengan fraksi ejeksi rendah dan diabetes mellitus (DM) sangat penting dilakukan karena mempengaruhi prognosis dan memiliki angka kematian dan readmisi yang lebih tinggi. Pemeriksaan status volume intravaskular pada populasi ini dinilai sulit karena terjadi peningkatan permeabilitas dinding vaskular, sehingga lebih banyak terjadi kongesti interstitial. Beberapa penelitian menggunakan perhitungan estimasi volume plasma (eVP) dengan membandingkan kadar hemoglobin dan hematokrit sebagai indikator adanya kongesti intravaskular yang berperan sebagai modalitas prognostik pada pasien GJDA dan DM tipe 2. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara estimasi volume plasma (eVP) terhadap luaran lama rawat, readmisi 30 hari dan mortalitas 180 hari pada pasien GJDA dengan fraksi ejeksi rendah dan DM tipe-2. Metode: Penelitian kohort retrospektif dengan populasi penelitian pasien dengan GJDA dan DM tipe 2 selama periode Januari 2016 sampai dengan Januari 2021 di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Hasil: Sebanyak 373 pasien yang memenuhi kriteria inklusi, Nilai eVP awal > 5,04 ml/g berhubungan secara bermakna terhadap mortalitas 180 hari dengan sensitifitas 61% dan spesifisitas 59% (HR 2,12; IK95 1,13-3,98; p = 0,019). Nilai eVP akhir berhubungan secara bermakna terhadap readmisi 30 hari (OR 1,23; IK95 1,05 – 1,46; p = 0,025). Nilai eVP akhir secara bermakna berkorelasi positif dengan lama rawat inap (koefisien B 0,412, p = 0,02). Kesimpulan: Nilai estimasi volume plasma yang tinggi berhubungan dengan lama rawat, readmisi 30 hari, dan mortalitas 180 hari pada pasien GJDA dengan DM tipe 2. ......Background : Congestion is the main cause of the worsening condition of chronic heart failure which is also known as acute decompensated heart failure (ADHF). Examination intravascular congestion status in patients with ADHF with low ejection fraction and diabetes mellitus (DM) is very important because it affects the prognosis and has a higher mortality and readmission rate. Examination of intravascular volume status in this population is considered difficult due to increased permeability of the vascular wall, resulting in more interstitial congestion. Several studies used the calculation of estimated plasma volume (ePV) by comparing hemoglobin and hematocrit levels as an indicator of intravascular congestion which acts as a prognostic modality in patients with ADHF and type 2 DM. Aim : To determine the relationship between estimated plasma volume (eVP) and outcome of length of stay, 30-day-readmission and 180-day-mortality in ADHF patients with low ejection fraction and type-2 DM. Methods: This is a retrospective cohort involving patients with ADHF, low ejection fraction and type 2 DM from Januay 2016 to January 2021 in National Cardiovascular Center Harapan Kita. Results: As many as 373 patients fulfilled inclusion criteria. Initial eVP > 5,04 ml/g is associated with 180-day-mortality with sensitivity and specificity of 61% and 59%, respectively (HR 2,12; 95%CI 1,13-3,98; p = 0,019). Pre-discharge eVP is also associated with 30-day-readmission (HR 1,23; IK95 1,05 – 1,46; p = 0,025). Pre-discharge eVP is also significantly correlated with length of stay (B coefficient 0,412, p 0,02) Conclusion: High estimated plasma volume is associated with length of stay, 30-day-readmission and 180-day-mortality in patients with ADHF, low ejection fraction and type 2 DM.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Risca Rini Aryanti
Abstrak :
Latar Belakang: COVID-19 di Indonesia menyebabkan kematian hingga lebih dari 150.000 orang. Salah satu populasi yang mengalami dampak dengan risiko kematian yang tinggi adalah populasi penyakit kardiovaskular. Severitas COVID-19 sering dikaitkan dengan rendahnya rasio PaO2/FiO2 dan tingginya kadar D-dimer. COVID-19 varian Omicron diketahui memiliki angka penyebaran yang lebih tinggi dengan severitas infeksi yang lebih rendah dibandingkan varian sebelumnya. Namun dampak jangka panjang pada pasien COVID-19 varian Omicron, khususnya pada populasi pasien dengan penyakit kardiovaskular masih menjadi pertanyaan. Penelitian ini ingin mengetahui dampak pasca COVID-19 varian Omicron dengan melihat kadar ST2 terlarut dan adanya gangguan paru yang dinilai dengan pemeriksaan spirometri. Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan Rasio PaO2/FiO2 dan Kadar D-dimer pada saat admisi terhadap kadar ST2 terlarut dan gambaran spirometri pada pasien pasca COVID-19 varian Omicron dengan penyakit kardiovaskular. Metode: Penelitian berupa studi potong lintang terhadap pasien COVID-19 varian Omicron dengan riwayat komorbid penyakit kardiovaskular yang dirawat di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Diagnosis COVID-19 varian Omicron dilakukan dengan menggunakan metode WGS/SGTF. Pasien dengan kriteria inklusi menjalani pemeriksaan spirometri dan pengukuran kadar ST2 terlarut pada 6 bulan pasca perawatan. Hasil dan Pembahasan: Penelitian ini menunjukkan rasio PaO2/FiO2 dengan median 454 dan kadar D-dimer 790ng/mL. Mayoritas pasien menunjukkan gambaran gangguan resktriktif. Kadar ST2 terlarut pasca perawatan memiliki median 2716,8pg/mL. Tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara rasio PaO2/FiO2 dan kadar D-Dimer terhadap kadar ST2 terlarut maupun gambaran spirometri pada 6 bulan pasca COVID-19. Hal ini dapat dikaitkan dengan severitas COVID-19 yang lebih rendah sehingga tidak terdapat hubungan bermakna terhadap parameter admisi serta hubungan pengukuran 6 bulan pasca COVID-19 dengan kemungkinan adanya perbaikan fibrosis. Kesimpulan: Tidak ada hubungan yang signifikan antara rasio PaO2/FiO2 dan kadar D- Dimer terhadap kadar ST2 terlarut ataupun gambaran spirometri pada 6 bulan pasca COVID-19 varian Omicron. ......Introduction: COVID-19 in Indonesia has caused more than 150,000 deaths. One of the affected populations with a high risk of death is the cardiovascular disease population. The severity of COVID-19 is associated with a low of PaO2/FiO2 ratio and the increased levels of D-dimer. Omicron variant is known to have higher transmission with less severe infection than the previous variant. However, research related to long term effect post COVID-19 with Omicron variant in cardiovascular population is not yet known. Aim: This study was conducted to determine the relationship of PaO2/FiO2 ratio and D- dimer levels at admission to sST2 levels and spirometry profile in post COVID-19 variant Omicron patient with cardiovascular disease. Method: Research in the form of a cross-sectional study was conducted on Omicron variant COVID-19 patients with a history of comorbid cardiovascular disease who were treated at the Harapan Kita Heart and Blood Vessel Hospital (RSJPDHK). The diagnosis of COVID-19 is carried out using the WGS/SGTF method. Patients undergo spirometry examination and measurement of sST2 levels at 6 month after hospitalization. Results and Discussion: This study shows a PaO2/FiO2 ratio with a median of 454 with D-dimer levels 790 ng/mL. The majority of patients have a restrictive patterns. The median sST2 value in Omicron variant COVID-19 patients at 2716.8 pg/mL. There was no significant relationship between the ratio of PaO2/FiO2 and D-Dimer levels to sST2 levels and spirometry profile at 6 months after COVID-19 infection. This can be associated with lower COVID-19 severity so that there is no significant association with inflammatory parameters such as PaO2/FiO2 ratio and D-dimer levels, as well as the relationship between measurements 6 months post COVID-19 and the possibility of fibrosis improvement. Conclusion: There was no significant relationship between the ratio of PaO2/FiO2 and D-Dimer levels to sST2 levels and spirometry abnormality at 6 months post COVID-19 variant Omicron.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Christian Rendy Chandra
Abstrak :
Latar Belakang: COVID-19 menyebabkan respon inflamasi sistemik dan ganguan koagulasi yang memperberat disfungsi endotel dan destablisasi plak intrakoroner yang berhubungan dengan beban trombus tinggi sehingga menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Pasien dengan COVID-19 dengan infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMAEST) yang memiliki beban trombus tinggi dihubungkan dengan mortalitas jangka pendek yang lebih besar namun pengaruhnya terhadap mortalitas dengan waktu yang lebih lama masih belum jelas. Tujuan: Mengetahui hubungan COVID-19 dengan mortalitas 6 bulan pada pasien IMAEST dengan beban trombus tinggi (BTT) intrakoroner yang menjalani intervensi koroner perkutan (IKPP). Metode: Terdapat 124 pasien dengan IMAEST yang memiliki BTT intrakoroner yang menjalani IKPP pada periode April 2020 hingga November 2021 dianalisis secara retrospektif. BTT intrakoroner berdasarkan kriteria TIMI. Status COVID-19 positif atau negatif berdasarkan pemeriksaan laboratorium dan variabel lainnya dilihat hubungannya terhadap mortalitas 6 bulan dengan analisis kesintasan dan cox regresi. Hasil: Terdapat mortalitas tinggi pada pasien COVID-19 positif (31%) dibanding pasien COVID-19 negatif (4,2%) sampai dengan 6 bulan sejak admisi rumah sakit. Pasien dengan COVID-19 cenderung meninggal lebih besar dalam 6 bulan dibanding pasien tanpa COVID-19 (HR 8.45 IK95% 2.6- 27.5). Pada model akhir multivariat analisis, status COVID-19 positif merupakan prediktor independen terhadap kematian 6 bulan sejak admisi (HR 12,89 ; IK95%:3,34 – 49,76 ; p ≤ 0,001). Status COVID-19 positif pada pasien IMAEST dengan BTT intrakoroner yang menjalani IKPP ini juga mempengaruhi level kesintasan (survival rate) yang lebih rendah dalam 6 bulan. Kesimpulan: Terdapat hubungan antara COVID-19 dengan mortalitas 6 bulan pada pasien dengan IMAEST dengan BTT intrakoroner yang menjalani IKPP. ......Background: COVID-19 causes systemic inflammatory response and disturbance in coagulation function which might give detrimental effect on endothelial dysfunction and instability of coronary plaque leading to high thrombus burden and affecting morbidity and mortality. Patients with COVID-19 with ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI) that have Intracoronary High Thrombus Burden (IHTB) is reported to have higher intrahospital mortality but its impact on long-term mortality is still not known. Objective: To determine whether COVID-19 is affecting 6 months mortality in STEMI patients with IHTB who undererwent Primary Percutanoeus Coronary Intervention (PPCI). Methods: There were 124 patients with STEMI with IHTB who underwent PPCI form April 2020 to November 2021 from retrospective analysis. IHTB were classified according TIMI thrombus grade. COVID-19 status (positive or negative) were obtained according to laboratory results and other variables were analysed with cox regression analysis and survival analysis. Results: Higher 6 months mortality rate from admission was found among COVID 19 patients compared to COVID-19 negative patients (31% vs 4,2%). The risk of death within 6 months from admission was higher in COVID-19 positive patients compared to COVID-19 negative patients ( HR 8.45 CI95% 2.6 -27.5, p < 0.001). In multivariate analysis, COVID-19 positive was independent predictor for 6 months mortality from admission ( HR 12.89 CI95% 3.34- 49.7 , p ≤ 0,001). Patients with COVID-19 positive were also had lower survival rate within 6 months from admission. Conclusion: COVID-19 is associated with 6 months mortality from admission in patients with STEMI with IHTB who underwent PPCI.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Erick Hoetama
Abstrak :
Latar belakang: Resistensi klopidogrel merupakan salah satu faktor risiko penting terjadinya kejadian iskemik berulang pada pasien yang telah mendapat terapi anti platelet yang optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran metilasi DNA gen CYP2C19 sebagai salah satu faktor epigenetik terhadap kejadian resistensi klopidogrel pada pasien infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP). Metode: Pasien IMA-EST yang menjalani IKPP diberikan antiplatelet klopidogrel dan menjalani pemeriksaan fungsi platelet degan VerifyNowTM. Kriteria untuk mendefinisikan resistensi klopidogrel adalah nilai PRU >208. Pemeriksaan metilasi DNA gen CYP2C19 dilakukan dengan metode bisulfite genomic sequencing technology. Data klinis, laboratorium, dan angiografik termasuk TIMI flow dikumpulkan untuk dilakukan analisis. Hasil: Dari 122 subjek, resistensi klopidogrel ditemukan pada 22% subjek. Kelompok dengan presentase metilasi DNA <50% mempunyai risiko lebih tinggi terjadinya resistensi klopidogrel (OR 4.5 IK95% 2.1-9.3, nilai p 0.018). Grup ini juga diketahui mempunyai TIMI flow post-IKPP yang suboptimal (OR 3.4 IK95% 1.3 - 8.7, nilai p 0.045). Kesimpulan: Hipometilasi DNA gen CYP2C19 meningkatkan risiko terjadinya resistensi klopidogrel dan luaran klinis yang lebih buruk. ......Background: Clopidogrel resistance is an important risk factor of recurrence of ischemic event after optimal antiplatelet therapy. We aimed to investigate the role of DNA methylation of CYP2C19 gene as one of epigenetic factor to the risk of clopidogrel resistance in ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI) patients undergoing primary percutaneous coronary intervention (PPCI). Methods: STEMI patients undergoing PPCI were pretreated with clopidogrel, and their platelet function was measured using VerifyNowTM assay. The criteria for high on- treatment platelet reactivity (HPR) was defined according to the expert consensus criteria (PRU >208). DNA methylation of the CYP2C19 gene was performed using bisulfite genomic sequencing technology. Furthermore, clinical, laboratory and angiographic data including TIMI flow were collected. Result: Among 122 patients, clopidogrel resistance was found in 22% patients. After dividing into two groups, methylation <50% was associated with increased risk of clopidogrel resistance (OR 4.5 95%CI 2.1-9.3, P value 0.018). This group also found to have suboptimal post-PCI TIMI flow (OR 3.4 95%CI 1.3 - 8.7, P value 0.045). Conclusions: The lower DNA methylation level of the CYP2C19 gene increases the risk of clopidogrel resistance and subsequent poorer clinical outcome.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Halimi
Abstrak :
Latar belakang: Pasien gagal jantung sering mengalami readmisi dengan tingkat mortalitas yang tinggi sehingga diperlukan deteksi dini dan tatalaksana yang tepat untuk memperbaiki prognosis. Resiko rawat inap akibat gagal jantung bahkan lebih meningkat pada pasien diabetes mellitus (DM) tipe 2, yaitu 1.5x lebih tinggi. Menggunakan kecerdasan buatan, dapat dilakukan integrasi antara data klinis dengan pemeriksaan penunjang seperti EKG dan rontgen thorax. Selain itu, kecerdasan buatan juga dapat membantu diagnosis di bidang kardiovaskular tanpa adanya variabilitas antar pengamat, serta meningkatkan efisiensi waktu dan biaya. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kemampuan kecerdasan buatan dengan statistik konvensional dalam memprediksi luaran klinis lama rawat, readmisi 30 hari, mortalitas 180 hari, dan luaran gabungan pada pasien gagal jantung dekompensasi akut (GJDA) dengan penurunan fraksi ejeksi dan DM tipe 2. Metode: Dilakukan studi kohort retrospektif terhadap pasien GJDA dengan penurunan fraksi ejeksi dan DM tipe 2 pada periode Januari 2018 – Maret 2023. Dilakukan analisis data menggunakan statistik konvensional dengan analisis bivariat dan multivariat, dimana hasilnya kemudian dibandingkan dengan analisis menggunakan algoritme kecerdasan buatan, yaitu Balanced Random Forest. Hasil: Melalui rekam medis, didapatkan 292 subjek penelitian dengan persentase lama rawat >5 hari, readmisi 30 hari, mortalitas 180 hari, dan luaran gabungan yang diobservasi adalah 39.7%, 14.0%, 10.6%, dan 21.2% berturut-turut. Kemampuan diskriminasi kecerdasan buatan lebih baik dibandingkan statistik konvensional untuk keempat luaran, dengan AUC lama rawat >5 hari adalah 0.800 vs 0.775, readmisi 0.790 vs 0.732, mortalitas 0.794 vs 0.785, dan luaran gabungan 0.628 vs 0.596. Kesimpulan: Kecerdasan buatan lebih baik dibandingkan statistik konvensional untuk memprediksi luaran klinis berupa lama rawat, readmisi 30 hari, mortalitas 180 hari, dan luaran gabungan pada pasien GJDA dengan penurunan fraksi ejeksi dan DM tipe 2. ......Background: Heart failure patients often experience readmissions with a high mortality rate, therefore early detection and appropriate management are required to improve the prognosis. The risk of hospitalization due to heart failure is increased 1.5x in type 2 diabetes mellitus (DM) patients. Using artificial intelligence, clinical data can be integrated with supporting examinations such as ECG and chest X-ray. Artificial intelligence can also help diagnoses in the cardiovascular field without inter-observer variability, as well as increasing time and cost efficiency. Objective: This study aims to compare the ability of conventional statistics with artificial intelligence in predicting clinical outcomes, namely length of stay, 30-day readmission, 180- day mortality, and composite outcome in acute decompensated heart failure (ADHF) patients with reduced ejection fraction and type 2 DM. Methods: A retrospective cohort study was conducted on 292 ADHF patients with reduced ejection fraction and type 2 DM in the period January 2018 – March 2023. Data analysis was carried out using conventional statistics with bivariate and multivariate analysis, where the results were then compared with analysis using artificial intelligence algorithm, namely Balanced Random Forest. Results: The percentages of outcomes observed for length of stay >5 days, 30 day readmission, 180 day mortality, and composite outcome were 39.7%, 14.0%, 10.6%, and 21.2% respectively. The discrimination ability of artificial intelligence was better than conventional statistics for all four outcomes, with the AUC of length of stay >5 days were 0.800 vs 0.775, readmission 0.790 vs 0.732, mortality 0.794 vs 0.785, and combined outcome 0.628 vs 0.596. Conclusion: Artificial intelligence is better than conventional statistics in predicting clinical outcomes in the form of length of stay, 30-day readmission, 180-day mortality, and composite outcome in ADHF patients with reduced ejection fraction and type 2 DM.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library