Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Masinambouw, Eduard Karel Markus
"Keanekaragaman sukubangsa dan bahasa di Indonesia sering merupakan sumber kebanggaan orang karena dua alasan yang sedikit-banyak berlawanan satu dengan yang lain. Pada satu pihak keanekaragaman itu sendiri menunjukkan betapa kayanya warisan kebudayaan kita; pada lain pihak perbedaan yang tersimpul di dalam keanekaragaman itu menunjukkan betapa kita berhasil mengatasinya sehingga persatuan tetap terpelihara. Pada hakekatnya keanekaragaman itu baru merupakan masalah untuk diatasi jikalau terdapat komunikasi antara suku bangsa yang berbeda itu. Jikalau tidak, maka keanekaragaman itu hanyalah suatu tahap dari proses diferensiasi yang makin mendalam sebagaimana nyata terlihat di dalam perkembangan historic bahasa-bahasa di dunia ini.
Namun demikian, proses diferensiasi yang membuat bahwa masing-masing sukubangsa dan bahasa menjadi suatu sistem sosial-budaya yang bersifat unik dan khusus, tidaklah mengarah ke suatu tahap keadaan di mana sistem itu berbeda secara mutlak. Bagaimana pun berbedanya sistem sosial-budaya yang satu dari yang lain, terdapatlah selalu pola-pola yang berlaku secara umum bagi semua sistem sosial-budaya yang ada di dunia. Casagrande (1966: 280) mengutip Linton yang menyatakan bahwa ?behind the seemingly endless diversity of culture patterns there is a fundamental uniformity? Heseragaman itu dianggapnya terbukti oleh kenyataan bahwa manusia bisa dan memang mampu memperoleh penguasaan bahasa lain yang berbeda. Ditambahkannya bahwa ?...although perhaps with greater difficulty, (men) can come to appreciate each other's culture, if only by imaginative participation?.
Pernyataan yang dikutip itu memang terwujud dan dapat diamati secara jelas di pulau Halmahera. Sukubangsa-sukubangsa yang hidup di bagian Utara pulau ini secara linguistis memperlihatkan kontras yang sangat besar dengan yang hidup di bagian Selatan oleh karena bahasa masing-masing golongan sukubangsa itu mempunyai anal-usul genetic yang berbeda. Lagi pula banyak bahasa sukubangsa dalam masing-masing golongan itu berbeda sedemikian rupa sehingga tidak dipahami oleh yang lain. Namun demikian, diferensiasi yang demikian besarnya tidaklah menghambat komunikasi antar-sukubangsa. Rupa-rupanya kontras perbedaan sukubangsa dan bahasa teratasi, atau mengalami 'netralisasi' sebagai akibat interaksi etnis. Inter-aksi itu memperlihatkan derajat intensitas yang sangat tinggi di bagian Tengah pulau Halmahera di mana terjadi pertemuan antara sukubangsa yang beranekaragam dalam lingkungan satu desa dan dalam lingkungan satu keluarga. Dengan demikian, sementara perbedaan sukubangsa dan bahasa dari penduduk halmahera utara dan halmahera Selatan adalah akibat proses diferensiasi yang secara umum selalu berlangsung antara satu golongan manusia dengan golongan manusia lainnya, perbedaan itu di Halmahera tengah adalah akibat gerak pindah penduduk daerah itu.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1976
D208
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Masinambow, Eduard Karel Markus
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1976
D207
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syahruddin Kaseng
"Valensi morfologi dan penentuan kelas kata tanpa mengurangi pentingnya hasil pekerjaan para peneliti BB yang bekerja lebih dahulu daripada saya (B.F. Matthes, 1875.; N. Noorduyn, 1955: 8-20; R.A. Kern, 1940; Samsuri, 1962), sumbangan yang ingin saya berikan dalam rangka penelitian bahasa tersebut ialah pemerian (deskripsi) yang berkisar dalam kata kerja. Pemilihan kata kerja sebagai obyek tidak bersangkut paut dengan ciri linguistik pada tahun-tahun terakhir yang ditimbulkan oleh pengaruh dari ahli-ahli yang dikenal dengan nama tata bahasa generatif-transformasional,yang banyak mencurahkan perhatian pada soal-soal universal bahasa. Walaupun kata kerja (verb, predicator) telah dicanangkan sebagai salah satu unsur universal oleh ahli-ahli tersebut, tetapi pemilihan saya di sini hanyalah secara kebetulan saja karena, menurut hemat saya, mencari dan mengejar soal-soal universal lebih dahulu kemudian meneliti hal-hal khusus dalam bahasa yang belum diperkenalkan atau dideskripsikan secara sempurna, merupakan pekerjaan yang lebih sulit (dan mungkin tidak akan mungkin) jika dibandingkan dengan usaha meneliti hal-hal khusus lebih dahulu kemudian menentukan soal-soal universalnya.
Di samping itu, perlu dijelaskan bahwa penelitian ini mendasarkan diri pada valensi morfologi dasar kata. Yang dimaksud valensi morfologi ialah sejumlah penggabungan dengan berbagai-bagai imbuhan, dan yang dimaksud dasar kata ialah kata yang biasa disebut kata dasar oleh penulis-penulis tata bahasa BI (S. Takdir Alisjahbana, 1959; Tardjan Hadidjaja, 1967; C.A. Maas, 1969).
Penelitian seperti ini akan berguna dalam usaha mendapatkan patokan pemberian ciri atau karakteristik formal dasar kata (atau membandingkan satu dasar kata dengan dasar kata lain). Saya berpendapat bahwa pemberian ciri dasar kata akan besar sumbangannya pula terhadap penelitian lain yang bersifat struktural, yang menyangkut segi-segi gramatika, morfologi dan sintaksis, dan terhadap penelitian yang bukan struktural--tetapi erat hubungannya dengan penelitian struktural-- yaitu leksikografi.
Identifikasi unit-unit penting bagi setiap bahasa termasuk BB. Apakah tudang itu dalam kalimat Tudang'i ri olona sumpang e 'ia duduk di depan pintu' sama dengan sumpang? Kalau tidak sama, ciri-ciri apa yang membedakannya? Selanjutnya, apakah iitu sama dengan i dalam tudangi 'duduki'? Apakah ri di sini sama dengan ri dalam katarienung 'diminum' ?
Mencari jawaban untuk pertanyaan seperti itu merupakan usaha yang bertujuan memberi kelengkapan pemerian suatu bahasa. Ambil saja contoh bahasa Inggris, yang sudah lanjut tingkat pemeriannya. Penelitian yang intensif dan ekstensif terhadap bahasa Inggris dapat dilihat dalam hasil yang berupa uraian gramatika atau penyusunan daftar leksikon yang lebih sempurna. Kelengkapan ciri yang dijelaskan dalam setiap leksikon, kelasnya (apakah kata benda atau kata kerja atau kelas lain), subkelasnya (apakah transitif atau intransitif) yang jauh melebihi daftar leksikon bahasa yang belum lanjut deskripsinya, tidak dapat diartikan sepenuhnya bahwa bahasa Inggris mempunyai sistem lain, yang biasa dilakukan dalam membandingkan antara leksikon bahasa Inggris dan leksikon BI (sehingga, bagi mereka, dalam daftar leksikon BI tidak perlu dicantumkan ciri leksikon seperti dalam bahasa Inggris). Begitu juga dengan unit-unit lain dalam bahasa Inggris. Imbuhan-imbuhan dalam bahasa itu telah diperinci, mana imbuhan derivasi dan mana imbuhan fleksi. Bahkan, dalam hasil penelitian Hans Marchand dapat dilihat sejarah beberapa imbuhan, kapan imbuhan itu mulai dipakai. Perlu saya tambahkan bahwa mengemukakan hasil pemerian bahasa Inggris yang lebih sempurna bukanlah maksud saya menyatakan bahwa setiap ciri itu harus dicari-cari pula dalam bahasa lain, BB dan BI misalnya; tetapi yang penting ialah mencari ciri berdasarkan penelitian dalam bahasa itu sendiri."
Depok: Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 1974
D164
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salombe, Cornelius
"Penghuni sebagian terbesar daerah Sulawesi Tengah dan sebagian daerah Utara jazirah Sulawesi Selatan, secara konvensional disebut suku Toraja, dan bahasanya disebut bahasa Toraja. Adriani-Kruyt mengelompokkan suku tersebut atas: Toraja Timur (di daerah Tojo-Poso, Sulawesi Tengah), Toraja Barat (di daerah Kaili-Parigi, Sulawesi Tengah), dan Toraja Selatan (disebut juga Toraja Saqdan) di daerah Utara jazirah Sulawesi Selatan, sepanjang aliran sungai Saqdan (Adriani-Kruyt, 1950, I, 3).
Sesuai dengan pengelompokan tersebut di atas, maka bahasa-bahasa pada ketiga daerah itu berturut-turut diberi nama: bahasa Bareqe, bahasa Uma, Bahasa Taeq, berdasarkan kata negasi bareqe 'tidak', uma 'tidak', taeq 'tidak' (Salzner, 1960, 114-115) yang umum terdapat dalam masing-masing bahasa bersangkutan. Bahasa-bahasa tersebut meskipun serumpun, nampaknya agak berbeda satu dengan yang lain. Antara bahasa Bareqe dengan bahasa Taeq, misalnya, terdapat perbedaan tertentu dalam sistematik morfemisnya. Yang disebut pertama, antaranya membentuk kata kerja transitif (bentuk aktif) dengan prefiks ma- (Adriani, 1931, 172), prefiks mampo- (Adriani, 1931, 177) dan lain seterusnya, sedang yang disebut kemudian itu membentuk kata kerja transitif (bentuk aktif) dengan prefiks u(N)-, prefiks umpo- dan lain sebagainya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1978
D00316
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Keraf, Gregorius
"Tujuan penelitian untuk disertasi ini adalah mencoba mengungkapkan morfologi Dialek Lamalera, sebuah dialek yang dipergunakan penduduk desa Lamalera, yang terletak di pantai Selatan pulau Lembata. Persiapan-persiapan berupa penelitian pendahuluan telah diadakan di Jakarta pada pertengahan tahun 1973 dengan mempergunakan informan penutur asli yang berada di Jakarta. Penelitian dilanjutkan dengan penelitian lapangan selama empat bulan dari bulan Desember 1974 hingga bulan Maret 1975.
Dialek Lamalera sebagai obyek penelitian hanya akan bisa dilihat lebih jelas, bila statusnya di antara dialek/bahasa sekitarnya sudah diungkapkan secara lebih pasti. Sebab itu sudah dilakukan pula pencatatan tambahan berupa pengumpulan kosa kata dasar (basic vocabulary} dari 36 desa di Flores Timur. Data-data tersebut menghasilkan suatu klasifikasi linguistis sebagai yang terlihat dalam Lampiran VI. Di sana dapat dilihat dengan jelas di mana tempat dialek Lamalera di antara bahasa-bahasa sekitarnya, yang lazimnya disebut sebagai bahasa Soler. Uraian singkat sebagai latar belakang mengenai bahasa di Flores Timur ini akan dikemukakan dalam no. 4 dan 5.
Mengambil sebuah aspek yang lebih sempit dari morfologi Dialek Lamalera kami hindari dengan suatu alasan bahwa literatur mengenai bahasa Solor sangat kurang, sehingga aspek yang lebih sempit ini akan ketiadaan landasan yang lebih kuat. Sebab itu sebagai suatu karya awal yang mencoba melihat aspek bahasa-bahasa ini secara linguistis, kami menganggap perlu mengambil suatu topik yang lebih luas yaitu morfologi. Dengan landasan ini diharapkan akan muncul karya karya baru yang mencoba menganalisa dan mengupas aspek-aspek yang lebih sempit atau lebih khusus pada masa-masa mendatang.
Mengapa justru dialek Lamalera? Sebagai alasan pertama dapat dikemukakan bahwa dialek ini merupakan salah satu dari bahasa Lamaholot (istilah yang sekarang dikenal adalah bahasa Solar) sebagai yang pernah diselidiki oleh P.A. Arndt SVD. Dengan demikian hasil penelitian yang dikemukakan dalam uraian ini dapat kiranya dibandingkan dengan kesimpulan-kesimpulan atau deskripsi yang pernah dilakukan itu.
Dari sekian banyak dialek/bahasa Lamaholot, dialek Lamalera memperlihatkan identitas sendiri berupa fonemīˇ“fonem tertentu (i./f/ dan /.f } di samping struktur morfologis dan perbendaharaan kata yang khas, bila dibandingkan dengan dialek-dialek atau bahasa-bahasa yang ada di sekitarnya.
Ketiga, dalam sejarah Lamalera sudah disebut dalam berita mengenai perkembangan agama Katolik, yaitu mengenai pembunuhan dua orang pastor dalam tahun 1662. Sesudah itu Lamalera perlahan-lahan berkembang menjadi pusat pengembangan keagamaan di pulau Lembata, yang secara resmi ditetapkan sebagai satu paroki pada tahun 1921, dengan pusatnya di Lamalera. Penyampaian pengajaran agama, ibadahibadah keagamaan dilakukan dengan dialek Lamalera ke seluruh pulau ini. Dalam tahun 1937 disusunlah sebuah buku kebaktian Soedoe Horinat yang dipakai pula di semua gereja di seluruh Lembata, dengan mempergunakan dialek Lamalera. Semua kotbah dan injil juga disampaikan dengan dialek ini kepada penganut agama katolik di seluruh pulau Lembata. Sehingga dengan demikian, walaupun tidak menjadi bahasa standar untuk kabupaten Flores Timur, namun sekurang-kurangnya selama puluhan tahun dialek ini memegang peranan yang sangat penting sebagai bahasa ?resmi? dalam bidang keagamaan, termasuk daerah Kedang di ujung timur Lembata, yang secara linguistis sudah termasuk dalam keluarga bahasa yang lain.
Alasan lain adalah bahwa dalam waktu yang terbatas tidak akan dicapai hasil yang memuaskan bila peneliti tidak mengenal dan tidak mengetahui semua latar belakang masyarakat yang dapat mempengaruhi analisa bahasa ini. Penulis sendiri adalah seorang penutur asli dialek ini."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1978
D166
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Badudu, Jusuf Syarif
"ABSTRAK
Menurut dongengnya daerah Gorontalo yang ada sekarang ini berasal dari sebuah pulau. Lama-kelamaan air laut sekitar pulau itu sudut dan di sekitar pulau itu tampaklah daerah yang luas dengan tiga buah gunung di tengah-tengahnya, masing-masing bernama Gunung Malenggalila don Gunung Tilonggabila, yang kemudian berubah namanya ,menjadi Tilongkabila. Gunung yang ketiga tidak bernama. Sebuah lembah di sebelah selatan Gunung Tilongkabila itulah yang bernama Hulontalangi, daerah yang kemudian bernama Hulontalo atau Gorontalo.
Bermacam-macam pendapat orang mengenai arti kata hulontalangi. H.M. Liputo mengatakan, bahwa kata hulontalangi berasal dari dua patah kata, yaitu kata huluntu yang berarti ?lembah? dan kata langi yang berarti ?mulia?. Jadi hulontalangi berarti lembah yang mulia. Kano mengatakan, bahwa hulontalangi berasal dari kata huntu yang berarti ?onggokan? (tanah, dsb.) atau ?pematang?, dan langi-langi yang berarti ?tergenang? . Jadi hulontalangi berarti ?daratan yang tergenang air? sesuai dengan dongeng asal daerah ini."
1975
D57
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Henry Guntur
"ABSTRAK
Tulisan ini merupakan deskripsi mengenai bahasa simalungun yang mencakup fonologi, morfofonemik dan morfologi. Fonologi dan morfofonemik dibicarakan secara garis besar saja, karena fungsinya merupakan pembantu saja bagi pembicaraan morfologi, yang merupakan inti pokok pembicaraan pada tulisan ini.
Pada Bab 4 khusus membicarakan morfologi kata kerja yang dimaksud dengan morfologi kata kerja ialah segala pembentukan kata yang menghasilkan kata kerja, dengan perkataan lain titik berat ditekankan pada hasil pembentukan tersebut. Kata kerja dapat diturunkan dari kata dasar kata kerja, kata dasar kata benda, kata dasar kata keadaan, kata dasar kata bilangan, kata dasar kata ganti orang. Dengan dasar tersebut pembagian dibuat berdasarkan jenis kata dasar.dengan cara itu pula diadakan penguraian morfologi kata bilangan.
Pada Bab 5 membicarakan morfologi kata benda yang dapat diturunkan dari kata dasar-kata dasar kata benda, kata kerja, kata keadaan dan katabilangan.
Bab 6 membicarakan morfologi kata keadaan yang dapat diturunkan dari kata dasar kata keadaan dan kata benda.
Bab 7 membicarakan morfologi katabilangan yang dapat diturunkan dari kata dasar kata bilangan dan kata benda.
"
1974
D397
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Toety Heraty Noerhadi Rooseno, 1933-
"Bahwa manusia dan budaya tak dapat dipisahkan adalah suatu kenyataan universil yang tak perlu langsung dimasalahkan. Tetapi bila kita dalam budaya mutakhir melihat derap pembangunan disertai arus pengalihan teknologi, kemudian dihadapkan pada pola-pola dan gaya hidup konsumtif, maka sudah saatnya kiranya untuk memperhatikan masalah manusia dalam budaya, sebagai suatu subyek menghadapi obyek-obyek dalam lingkungannya.
Di sinilah letak sumbangan suatu orientasi filsafat yang sebagai orientasi teoretis dapat memberi suatu kerangka referensi untuk meneliti fenomena budaya dalam lingkungan kita, khususnya di mana di satu fihak pengalihan teknologi menjadi sumber daya utama bagi pembangunan. Di lain fihak manusia harus meningkatkan daya seleksi terhadap pengalihan teknologi ini.
Dalam sistematik filsafat, maka bidang filsafat tentang manusia mengetengahkan kodrat manusia adalah pada subyektivitas, sebagai suatu subyek atau aku di satu fihak. Di lain fihak pula pada kehidupan budayanya, sehingga semakin menariklah untuk memasalahkan bersama kedua kodrat manusia, akte dalam budaya ini.
Suatu pembedaan budaya dalam tahap ontologis, fungsional dan mitis menyertai pembedaan aku ontologis, fungsional, dan mitis pula yang menampilkan bersama berbagai hakekat dan dimensi aku pada umumnya.
Aku ontologis mendasari dimensi aku yang mengambil jarak dari obyek, meneliti, dan kemudian cenderung untuk menguasai, bersikap intrumentil-teknologis. Teknologi sebagai penerapan sistematis akal-budi kolektif manusia memang ingin mencapai pcnguasaan yang lebih besar atas alam dan atas semua proses manusiawi. Aku ontologis merupakan dimensi aku yang mutlak untuk suatu aku teknologis dalam ruang lingkup budaya.
Aku ontologis mengambil jarak dari lingkungan secara absolut tetapi pada filsafat Rene Descartes dan Maine de Biran keduanya, akan nyata bahwa aku ontologis yang semula dianggap bersifat terpisah murni dan mandiri, menunjuk pada unsur lain, ialah unsur nonaku. Rupanya aku ontologis menampilkan selalu aspek fungsional, subyek selalu menunjuk kehadiran hal yang lain, subyek ataupun obyek lain.
Filsafat analitik menanggapi filsafat sebagai kumpulan pernyataan-pernyataan bahasa, dan aku pula merupakan suatu kata dalam bahasa, dikenal sebagai salah satu kata deiktik. Kata aku sebagai kata deiktik ternyata merupakan suatu pusat orientasi bagi kata-kata lainnya. Pernyataan bahasa yang bertolak dari obyek-obyek menunjuk selalu pada suatu pusat referensi, suatu subyek atau aku.
Aku ontologis yang ternyata nyaris bersifat ontologis murni, menampilkan bahwa subyek menunjuk pada obyek, sebaliknya filsafat analitik dari obyek menunjuk pada subyek; dua gerak bertentangan ini saling menunjang mengetengahkan aspek fungsional pada aku.
Aku fungsional melihat dirinya dalam relasi dengan obyek, dan relasi ini yang semakin menjadi realita. Teknologi dan teknokrasi cenderung untuk melihat manusia melebur menurut fungsi mereka dalam relasi ini: pengaturan yang efisien menguasai kehidupan manusia demi kelancaran sistem-sistem kolektif--relasionil. Ini pun ciri suatu teknologi modern: aku fungsional menjadi aku operasional."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1979
D243
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library