Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Suripto
Abstrak :
Dalam rangka mempercepat penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi, Kebijakan Penempatan bidan desa perlu didukung dengan Program pembentukan pondok bersalin desa (Polindes), agar bidan desa tersebut dapat memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan dapat meningkatkan jangkauan pelayanan. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang pemanfaatan Polindes tersebut sebagai sarana pelayanan KIA dan KB, khususnya di wilayah Kabupaten Kabupaten Sukabumi. Penelitian ini merupakan studi pendahuluan tentang pemanfaatan Polindes, untuk itu dipergunakan penelitian studi kualitatif, agar didapatkan informasi yang lebih rinci, sehingga hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1) Proses pembentukan Polindes di Kabupaten Sukabumi telah melibatkan berbagai pihak baik pemerintah meliputi Kepala desa, dan petugas puskesmas, maupun masyarakat meliputi LKMD, dan tokoh-tokoh masyarakat, seperti hainya dalam pembentukan upaya kesehatan bersumber daya masyarakat yang lain, 2) Keterlibatan sektor terkait meliputi hubungan, kerja sama, dan koordinasi antara kepala desa, LKMD, dan bidan dalam pelaksanaan Polindes belum berjalan dengan balk sehingga perkembangan Polindes belum seperti yang diharapkan. 3) Kemampuan bidan desa sudah cukup memadai terutama dalam menjalankan tugas pokok memberikan pelayanan kesehatan dasar. Hanya kemampuan dalam menjaiankan manajemen pengelolaan Polindes masih kurang. 4) Sebagian besar Polindes di kabupaten Sukabumi belum dilengkapi perlengkapan yang memadai. 5) Persepsi masyarakat terhadap Polindes, sebagian besar sudah mengetahui Polindes, dan dibutuhkan oleh masyarakat, namun belum ditunjang perilaku masyarakat terhadap pemanfaatan Polindes, walaupun lokasi Polindes dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat, serta biaya pelayanan kesehatn jugs dapat di jangkau warga masyarakat. 6) Pembinan bidan desa di Polindes oleh petugas puskesmas sudah baik,. 7) Kategorisasi Tingkat perkembangan Polindes di Kabupaten Sukabumi masih sangat lamban dan sebagian besar masih dalam kategori tingkat pratama atau strata 1. 8). Pemanfaatan Polindes masih kurang karena baru dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat, dan belum optimal. Untuk disarankan kepada: 1). Pengelola Program Polindes di Depkes Pusat, untuk melakukan; a) untuk melakukan pelatihan manajemen pecan serta masyarakat pada bidan pengelola Polindes, agar mereka dapat menjalankan Polindes dengan baik; b) agar mengadakan bantuan paket perlengkapan Polindes terutama desa tertinggal. 2) Untuk Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi, agar : a) agar melakukan pembahasan pembentukan Polindes di Tingkat Kabupaten agar mendapat dukungan politis dari Pemda setempat. b) mengusulkan pengadaan perlengkapan Polindas dari APED, c) agar melakukan percepatan pembentukan Polindes di setiap desa. 3) Untuk bidan Pengelola Polindes; a) Perlu meningkatkan hubungan, kerja sama, dan koordinasi dengan sektor-sektor terkait untuk mendapat dukungan dari berbagai pihak. b) Perlu peningkatan penyuluhan kepada masyarakat secara lebih intensif dan diarahkan pada pemanfaatan Polindes. 4) Untuk Kelapa Desa dan LKMD, agar berperan serta aktif dalam pengelolaan dan pengembangan Polindes. 5) Untuk Penelitian, perk) dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pemanfaatan Polindes.
To accelerate the decrease in the maternal and child mortality, the policy of rural midwives placement should be supported by the Village Maternity Home (Polindes) Establishment program to make them able to provide health services of quality, and improve the extent of services. Accordingly, this study is carried out for gathering information about the utilization of Polindes as the instrument of KIA (Maternal and Child Health) and KB (Family Planning) services, especially in the regency of Sukabumi. This is a preliminary study of the utilization of Polindes that it employs the qualitative method for a detailed information to make it show that (1) the process of establishing Polindes in the Regency of Sukabumi has involved many parties including village head, agents of Health Centre of Puskesmas or community such as LICMD (Village Social Activities Group) and social figures as in the establishment of health care of other human resources, 2) the involvement of relevant sectors including cooperation, and coordination among the village head, LICMSD and midwives in the implementation of Polindes does not work well that the Polindes development is not as it should be. 3) the ability of rural midwives is sufficient particularly in handling main duties of providing basic health services. They only lack ability in handling the Polindes management. 4) Polindes in the Regency of Sukabumi is mosly not well-equipped. 5) Social perception Polindes indicates that it is familiar and required by the community but it is not used to a maximum although it is not far from the entire community and the health treatment cost is reasonable. 6) Rural midwives development at Polindes by the Puskesmas agency is good. 7) Categorization of growth rate of Polindes in the regency of Sukabuani is stagnant and most still lie in Strata -1 (first category). 8) The utilization of Polindes remains insufficient deficient since it is not used to an optimum. It is suggested to : I) the Polindes Program management under the Central Ministery of Health: a) to manage training of social roles for midwives managing Polindes (Village Maternity Home) in order to handle it well; b) to provide Polindes facility package especially for any under-developed village. Z) the Health Agency of Sukabumi Regency: a) to discuss the establishment of Polindes on Regency level for a political support from the local government, b) to propose the facilities of Polindes and APED (local budget), c) to accelerate the Polindes establishment in any villages. 3) Midwives managing Polindes: a) to improve cooperation and coordination with the related sectors for any supports from many parties, b) to improve counseling with the community intensively towards the utilization of Polindes. 4) Head Village and LKMD (Village Social Activities Group) to play active roles in Polindes management and development. 5) to carry out further research of the factors affecting the Polindes utilization.
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Suparniati
Abstrak :
Kontribusi wanita dalam ekonomi semakin hari nampak semakin meningkat, baik dalam ekonomi rumah tangga maupun ekonomi nasional. Tetapi tanggung jawabnya di dalam rumah tangga tetap tidak berkurang. Hal ini yang sering disebut sebagai peran ganda. Adanya peran ganda akan menyebabkan beban kerja wanita meningkat. Hal ini akan mempengaruhi tingkat kesehatannya. Seperti diketahui tingkat kesehatan akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja sesearang. Selain itu tentunya akan berpengaruh pula terhadap morbiditas, kesehatan reproduksi dan kematian prematur. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap beban kerja seorang wanita kawin. Apa faktor -faktor yang berpengaruh, sampai sekarang ini belum diketahui secara pasti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap beban kerja wanita kawin (ibu rumah tangga). Dipilihnya Tangerang Jawa Barat sebagai daerah karena daerah ini merupakan daerah industri yang sedang berkembang. Dan penelitian sebelumnya (LEKNAS-LIPI,1985) didapatkan bahwa tingkat partisipasi wanita dalam angkatan kerja meningkat di daerah industri yang sedang berkembang. Dalam penelitian ini digunakan disain penelitian survey yang bersifat diskriptif. Disini tidak dilakukan pengujian hipotesa. Analisa data yang digunakan adalah analisa univariat dan bivariat, ditambah dengan analisa multivariat yaitu regresi logistik multipel. Populasinya adalah semua wanita kawin yang ada di kelurahan Uwung Jaya. Sampel diambil dengan Cara 'simple random sampling: Sample frame- nya adalah kepala keluarga yang ada suami dan istrinya. Hasil analisa bivariat meaunjukkan bahwa ada perbedaan rata-rata skor beban kerja pada ibu rumah tangga yang bekerja di pabrik dengan ibu rumah tangga tanpa pekerjaan tambahan. Sedangkan antara ibu rumah tangga yang bekerja di pabrik dan yang bekerja di sektor lain (pekerja informal dan pekerja kantor) tidak ada perbedaan rata-rata skor beban kerja. Dan dari analisa univariat didapatkan bahwa kelompok ibu rumah tangga tanpa pekerjaan tambahan merupakan kelompok yang terbesar, yaitu merupakan 69,5 % dari seluruh sampel. Sedangkan kelompok pekerja informal persentasenya (17,.5%). Dari analisa multivariat ternyata yang berpengaruh terhadap beban kerja wanita kawin (ibu rumah tangga) adalah status pekerjaan dan balita. Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan untuk mengadakan penelitian lanjutan, terutama di kelompok pekerja informal, karena kelompok ini masih belum banyak ditangani. Selain itu untuk meringankan beban kerja wanita dan ikut serta dalam mebangun sumber daya manusia disarankan untuk mendirikan tempat penitipan anak (balita) yang profesional tetapi dapat dijangkau oleh golangan ekanomi menegah ke bawah.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Derisca Yosa
Abstrak :
Pelayanan pemeriksaan laboratorium Klinik Pratama KKP dirasakan masih rendah. Berdasarkan hasil studi pendahuluan pemantapan mutu internal pada tahap pra analitik, pasien mengeluhkan darah tidak berhenti sebanyak 3%, terdapat bekuan darah tabung EDTA sebanyak 7,5%, terjadi hemolisis sebanyak 10,5%. Pada tahap analitik, tidak adanya catatan evaluasi pada nilai control sedangkan pada tahap pasca analitik tidak dilakukan verifikasi validasi hasil pemeriksaan laboratorium dan ketidaklengkapan data pasien pada lembar hasil sebanyak 1,5%. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pemantapan mutu internal pada instalasi Laboratorium Klinik Pratama Kementerian Kelautan dan Perikanan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif menggunakan metode wawancara mendalam dan telaah dokumen. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret – Juli 2020. Kriteria informan penelitian adalah terdiri unsur pimpinan, pelaksana dan pengguna jasa laboratorium. Hasil penelitian ditemukan bahwa terdapat komponen input (organisasi dan manajemen) belum sepenuhnya terlaksana dengan baik, kemudian secara garis besar pada komponen proses dan ouput (tahap pra analitik, analitik dan pasca analitik) terdapat factor penghambat yaitu ketidaklengkapan SOP pada tiap tahapan. Sedangkan factor pendukungnya adalah tersedianya insfrastruktur penunjang kegiatan laboratorium. Dari hasil dapat disimpulkan bahwa pemantapan mutu internal laboratorium belum terlaksana dengan baik dan masih terdapat ketidaklengkapan acuan di tiap tahap pra analitik, analitik dan pasca analitik. Perlu dilakukan monitoring seberapa jauh unsur organisasi dan sistem manajemen guna meningkatkan mutu laboratorium, kemudian dukungan sarana dan prasana dalam menunjang kegiatan laboratorium. Pada tahap pra analitik, analitik dan pasca analitik, petugas laboratorium perlu menambahkan kelengkapan SOP di setiap tahapan. ......Primary KKP Clinic laboratory examination services are still felt low. Based on the results of a preliminary study of internal quality assurance in the pre-analytical stage, patients complained of non-stopping blood by 3%, there was a 7.5% EDTA tube blood clot, hemolysis occurred by 10.5%. At the analytical stage, there was no evaluation record on the control value while at the post analytic stage there was no verification and validation of the results of the laboratory examination and incomplete patient data on the result sheet as much as 1.5%. This study was conducted to analyze internal quality assurance at the Primary Laboratory Laboratory in the Ministry of Marine Affairs and Fisheries. This research is a qualitative study using in-depth interviews and document review. This research was conducted in March – July 2020. The criteria for the research informants consisted of elements of leadership, executors and users of laboratory services. The results of the study found that there are input components (organizational and management) that have not been fully implemented well, then in broad outline in the procces and output components (pre-analytic, analytic and post-analytic stages) there are inhibiting factors namely incomplete Standard Operating Procedure at each stage. While the supporting factor is the availability of supporting infrastructure for laboratory activities. From the results it can be concluded that the strengthening of laboratory internal quality has not been carried out properly and there are still incomplete references in each component pre-analytic, analytic and post-analytic. It is necessary to monitor the extent of the elements of the organization and management system in order to improve the quality of laboratories, then to support facilities and infrastructure to support laboratory activities. In the pre-analytical, analytic and post-analytic stages, laboratory staff need to add the completeness of the Standard Operating Procedure at each stage.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Delistia Afifi
Abstrak :
Latar belakang: Wanita Pekerja Seks (WPS) adalah populasi berisiko tinggi terhadap kejadian infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Persentase HIV pada WPS di Kota Jayapura kian mengalami peningkatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor perilaku berisiko yang dapat mempengaruhi kejadian HIV pada WPS di Kota Jayapura. Metode: Sebanyak 361 WPS terpilih sebagai sampel melalui Time Location Sampling (TLS) dan Simple Random Sampling (SRS). Uji statistik yang digunakan pada penelitian ini adalah chi square dan regresi logistik. Variabel yang diikutsertakan dalam analisis ini meliputi variabel karakteristik demografi dan faktor perilaku berisiko yang dilakukan oleh WPS. Hasil: Persentase HIV pada penelitian ini diestimasikan mencapai 6.6%. Hasil analisis multivariabel menunjukkan variabel yang berhubungan dengan kejadian HIV diantaranya: (a) usia muda [p=0.03; 18-24 tahun: AOR=2.92; 95% CI=0.89-9.57 | 25-34 tahun: AOR= 3.93; 95% CI=1.33-11.63]; (b) usia seks pertama kali yang sangat muda [p=0.03; AOR=3.31; 95% CI=1.09-10.05]; (c) penggunaan kondom [p=0.03; AOR-0.10; 95% CI=0.01-0.81]. Kesimpulan: WPS yang berusia muda lebih berpotensi untuk terinfeksi HIV. Sementara WPS muda yang terinfeksi HIV, juga berisiko untuk terjangkit penyakit lain Human Papillomavirus (HPV) yang persisten dan dapat berujung pada kanker serviks. Oleh karena itu, pemeriksaan HIV dan penyakit menular seksual lain perlu dilakukan secara rutin untuk kalangan WPS agar dapat ditangani lebih dini. ......Background: Female Sex Workers (FSW) are high-risk population for Human Immunodeficiency Virus (HIV) infection. Prevalence of HIV among FSW in Jayapura has increased. This study aims to identify behavioral factor of HIV among FSW in Jayapura. Method: Data were collected on 361 FSW that selected by Time Location Sampling (TLS) and Simple Random Sampling (SRS). Chi-square and logistic regression were used to determine variables that associated with HIV infection. Demographic characteristics and behavioral factors are included in this study. Results: HIV prevalence was estimated at 6.6% among FSW. In multivariable analysis variables associated with HIV infection included: (a) young age [p=0.03; 18-24 years: AOR=2.92; 95% CI=0.89-9.57 | 25-34 years: AOR= 3.93; 95% CI=1.33-11.63]; (b) early age at first sexual intercouse [p=0.03; AOR=3.31; 95% CI=1.09-10.05]; (c) condom use [p=0.03; AOR-0.10; 95% CI=0.01-0.81]. Conclusion: Young FSW are at higher risk to be infected with HIV. Meanwhile, young FSW with HIV are also at high-risk of having other diseases, such as Human Papillomavirus (HPV) and cervical cancer. Therefore, for FSW, it is necessary to routinely do medical check up for HIV and other sexually transmitted infection so that they can be treated early.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Warouw, Sonny Priajaya
Abstrak :
ABSTRAK Proses pengelasan merupakan salah satu sumber sinar UV buatan manusia Pemaparan radiasi sinar UV pada pekerja las bila tidak dikendalikan/dibatasi dapat menimbulkan efek kesehatan yang merugikan. Akibat dari sinar UV antara lain terhadap mata, yang dapat menyebabkan peradangan selaput mata, selaput bening, dan peradangan kelopak mata, biasa disebut "welder's flash" atau "arc eye". Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat radiasi sinar UV dan beberapa faktor yang berhubungan dengan keluhan mata "welder's flash". Faktor faktor yang diteliti adalah tingkat radiasi efektif alat las, lingkungan kerja, lama pemaparan, dan pemakaian alat pelindung diri. Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan pendekafan Crossectional, yang dilakukan terhadap 98 pekerja las dari 2 sentry industri kecil yaitu Perkampungan Industri Kecil (PIK) dan Santa. Usaha/ndustri Kecil (MK) Pulogadung Jaktim. Dari hasil penelitian diketahui tingkat radiasi efektif berkisar antara 120 - 4580 μW/cm2 . Tingkat radiasi terbanyak antara 300-3000 μW/cm2 , yang berdasarkan NAB ACGIH exposure level hanya boleh 1-10 detik tanpa alat pelindung diri. Prevalensi keluhan mata welder's flash (tiga bulan terakhir) adalah 62,2%. Dengan jumlah keluhan berkisar 1 sampai 3 kali. Jenis proses las terbukti berhubungan dengan tingkat radiasi efektif (p<0,05). Kuat arcs (amper) berhubungan dengan tingkat radiasi efektif dengan pola hubungan linier positif (r=0,44, R2=0,21, p<0,05). Diameter kawat las berhubungan dengan tingkat radiasi dengan pola hubungan linier positif (r=0,53, R2 =0,27, p<0,05). Lokasi kerja (indoor,outdoor) terbukti berhubungan dengan tingkat radiasi efektif (F=7,25, p<0,05). Cat dinding tidak terbukti berhubungan dengan radiasi efektif (P=0,61, p> 0,05). Jarak dinding dengan alat las tidak terbukti berhubungan dengan radiasi efektif (t=-0,75,p>0,05). Tingkat radiasi efektif berhubungan dengan keluhan mata (X2=11,54 p<0,05). Pemakaian APD tidak baik ada 40,8%. Pemakaian APD terbukti berhubungan dengan keluhan mata (X2=4,80,p<0,25). Lama pemaparan berkisar antara 90-400 menit perhari dan terbukti berhubungan dengan keluhan mata (X2=1,92, p< 0,25). Model regresi linier ganda radiasi efektif sbb : Y = 246,87-2,94(amper)-293,47(kawat)+560, 66(proses)+77,62(lokasi kerj a)+12,52(amperxpros)+5,56(amperx kawat), 0,-47,93, R2=0,86, Re .= 0,85). Model regresi logistic keluhan mata sbb : Logit p(x) = -1,9647+2,21(T_RAD)+1,16(APD)+0,46(L EXPOS) dengan (X2= 18,09, p< 0,05). Nilai Odds Ratio (95% Confident Interval) tingkat radiasi = 9,1 (2,16-38,32), pemakaian APD = 3,2(1,20-8,51), lama pemaparan =1,6 (0,59-18,98). Melihat keadaan tersebut di atas, maka perlu diadakan upaya pelayanan kesehatan dan keselamatan kerja, serta perlu upaya pengawasan dan pembinaan K3 di industri kecil las.
ABSTRACT Welding process is a source of UV radiation created by human made. Exposure to UV radiation from the welding arc can result a serious health problems to the welder, and impact of UV ray on the eyes is inflammatory of conjungtivita, cornea and eyelid, also known as "welder's flash" or "arc eye". The objectives of this research were to identify the level of UV radiation and several factors related welder's flash eye complaints. Several factors in research of this study were the level of effective irradiance (eflr), welding process, the current levels used (ampere), welding rod diameters, working station, length of exposures, and the use of personal protective equipment (PPE). The research was descriptive analysis with crossectional approach, which was conducted to 98 welders in 2 centers of small scale welding industry called Perkampuagan Industri Kecil (PIK) and Sentra Usaha Industri Kecil (SUM) Pulogadung Jakarta Timur. The results of this research showed that the level of effective irradiance were arround 120 - 4580 µW/cm2. Mostly the level of ef.irr were between 300 -3000 µW/crn2, based on TLV ACGH exposure level allow only 1-10 second without PPE. The prevalence of welder's flash eye complaints (for late 3 month) was 62,2% with amount of frequency around 1 - 3 times. There was significant association between the type of welding process and the level of effective irradiance (p<0,05). The current levels used (ampere) was proved significant association with the eff.lrr, by the type of relation was liner positive (r 0,44, R2=0.36,pcz0.05), and also was Welding rod diameters with efIR, by the type of relation was linier positive (r 0.53,R2=0,27,p<0.05). Places of working station (indoor/semi, outdoors) were proved significant association with level of efIrr (F=7.25,p<0.05). There was no significant association between wall painting and e£Irr. (F=0.61,p?0.05), and also no significant association between distance of wall and welding equipment with e£Lr. (t=0.75,p>0.05). From 98 of welders , there were 40.8% bad uses for PPE. Using PPE was proved significant association with the welder's flash eye complaints (X2=4.80,p<0.25)_ Length of exposure were between 90-400 minutes per days and it's proved significant association with welder's flash eye complaints.(X2=2.14,p<0.25). Using multiple linear regression analysis, the fit model of eflrr prediction was Y=246.87-2.94(amp er)-93.47(kawat)+5 60.66(proses)+77.62(lokasi kerj a)+12.5 2 (amperxproses)+5.56(amperxkawat), (r'193,R2=0.86, Ra=0.85). Using multiple logistic regression, the fit model of welder's flash eye complaints prediction was ' : Logit p(x) = -1.9647+2.21(level of e£Tr) +1.16(PPE) + 0.46(length of exposure) with (X2=18.09, p<0.05). Value of Odds Ratio(95% Confident Interval) level of efective irradiance = 9.1(2.16-38.32), using PPE = 3.2(1.20-8.51), length of exposure = 1.6(0.59-18.98). By looking for the reasons above, it is important to conduct the occupational health services, and necessary to control and establish safety practices in welding small scale industry.
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library