Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Khaula Latifah Ramadhani Sahidah
"Dermatitis seboroik merupakan kondisi pengelupasan kulit yang disertai inflamasi dan pruritus di area-area seboroik tubuh dengan diiringi rasa gatal. Salah satu faktor yang diyakini dapat mempengaruhi keparahan dermatitis seboroik ialah paparan sinar matahari. Akan tetapi, peranan sinar matahari dalam patogenesis dermatitis seboroik sendiri masih kontroversial. Beberapa penelitian sinar matahari dikatakan dapat membantu perbaikan kondisi dermatitis seboroik, Sedangkan penelitian lain menyebutkan bahwa sinar matahari justru menimbulkan eksaserbasi gejala.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui korelasi antara durasi paparan sinar matahari dengan skor keparahan dermatitis seboroik di kepala. Pada penelitian ini, didapatkan 87 pasien dermatitis seboroik di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM. Skor keparahan dermatitis seboroik di kepala dinilai dengan menggunakan Seborrheic Dermatitis Area Severity Index SDASI, sedangkan data durasi paparan sinar matahari didapatkan melalui kuisioner. Rerata durasi paparan sinar matahari dalam medium ialah 120 0-660 menit, sedangkan rerata skor SDASI dalam medium ialah 2,25 0,25-21,00. Hasil uji korelasi Spearman menunjukan hasil yang bermakna p=0,002 berupa korelasi negatif antara durasi paparan sinar matahari dan skor keparahan dermatitis seboroik di kepala dengan kekuatan korelasi yang lemah r=-0,322.
Dermatitis seboroik merupakan kondisi pengelupasan kulit yang disertai inflamasi dan pruritus di area-area seboroik tubuh dengan diiringi rasa gatal. Salah satu faktor yang diyakini dapat mempengaruhi keparahan dermatitis seboroik ialah paparan sinar matahari. Akan tetapi, peranan sinar matahari dalam patogenesis dermatitis seboroik sendiri masih kontroversial. Beberapa penelitian sinar matahari dikatakan dapat membantu perbaikan kondisi dermatitis seboroik, Sedangkan penelitian lain menyebutkan bahwa sinar matahari justru menimbulkan eksaserbasi gejala. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui korelasi antara durasi paparan sinar matahari dengan skor keparahan dermatitis seboroik di kepala.
Pada penelitian ini, didapatkan 87 pasien dermatitis seboroik di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM. Skor keparahan dermatitis seboroik di kepala dinilai dengan menggunakan Seborrheic Dermatitis Area Severity Index SDASI, sedangkan data durasi paparan sinar matahari didapatkan melalui kuisioner. Rerata durasi paparan sinar matahari dalam medium ialah 120 0-660 menit, sedangkan rerata skor SDASI dalam medium ialah 2,25 0,25-21,00 . Hasil uji korelasi Spearman menunjukan hasil yang bermakna p=0,002 berupa korelasi negatif antara durasi paparan sinar matahari dan skor keparahan dermatitis seboroik di kepala dengan kekuatan korelasi yang lemah r=-0,322."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indina Sastrini Sekarnesia
"Latar belakang: Melasma merupakan kelainan hiperpigmentasi didapat yang
disebabkan disfungsi melanogenesis, berupa makula coklat kehitaman simetris,
terutama mengenai area wajah. Patogenesis melasma belum diketahui dengan jelas,
beberapa faktor yang diduga berperan, di antaranya disfungsi tiroid dan defisiensi seng.
Tujuan: Mengetahui kadar seng serum pada pasien melasma dan nonmelasma dengan
dan tanpa disfungsi tiroid.
Metode: Sebuah penelitian dengan desain potong lintang dilakukan di Jakarta pada
September-Desember 2019. Terdapat 60 pasien melasma dan 60 pasien nonmelasma.
Kedua kelompok dilakukan matching usia dan jenis kelamin. Atomic absorption
spectrophotometry digunakan untuk mengukur kadar seng serum. Laboratorium darah
untuk memeriksa fungsi tiroid (TSH dan FT4). Analisis statistik menggunakan software
SPSS.
Hasil: Rerata kadar seng serum pada kelompok melasma 10,25±1,89 μmol/L dan
nonmelasma adalah 10,29±1,46 μmol/L (p <0,901). Rerata kadar seng serum pada
pasien melasma dengan disfungsi tiroid 8,77±0,69, melasma tanpa disfungsi tiroid
10,33±1,89, nonmelasma dengan disfungsi tiroid 10,48±2,4, dan nonmelasma tanpa
disfungsi tiroid 10,27±1,4 (p <0,184).
Kesimpulan: Tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kadar seng serum pada
kelompok melasma dan nonmelasma dengan dan tanpa disfungsi tiroid.

Background: Melasma is an acquired hyperpigmentation disorder, clinically as
asymmetrical blackish brown macules, especially on the facial area. Several factors are
thought to play a role, including thyroid dysfunction and zinc deficiency.
Objective: To determine serum zinc levels in melasma and non-melasma patients with
and without thyroid dysfunction.
Methods: A cross-sectional study was conducted in Jakarta in September-December
2019. There were 60 melasma patients and 60 non-melasma patients. The two groups
were matched for age and sex. Atomic absorption spectrophotometry was used to
measure serum zinc levels. Blood laboratory was used to check thyroid function (TSH
and FT4). Statistical analysis was done by SPSS software.
Results: The mean serum zinc level in the melasma group was 10.25 ± 1.89 μmol / L
and non-melasma was 10.29 ± 1.46 μmol / L (p <0.901). The mean serum zinc level in
melasma patients with thyroid dysfunction was 8.77 ± 0.69, melasma without thyroid
dysfunction 10.33 ± 1.89, non-melasma with thyroid dysfunction 10.48 ± 2.4, and nonmelasma
without thyroid dysfunction 10.27 ± 1.4 (p <0.184).
Conclusions: There was no significant difference between serum zinc levels in the
melasma and non-melasma groups with and without thyroid dysfunction.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Widyasari
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: Pioderma superfisialis (PS) masih menjadi masalah
kesehatan di Indonesia dengan jumlah kunjungan yang masih tinggi di Poliklinik
Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (PKK-RSCM). Saat ini
pengobatan topikal lini pertama adalah asam fusidat 2% sedangkan penggunaan
mupirosin 2% dibatasi. Beberapa penelitian terdahulu memperlihatkan resistensi
terhadap asam fusidat 2% dan mupirosin 2%. Penelitian ini bertujuan untuk
membandingkan efektivitas mupirosin 2% dengan asam fusidat 2% terhadap
kesembuhan klinis PS di PKK-RSCM.
Metode: Uji klinis acak buta ganda dilakukan terhadap 42 pasien PS usia 12-59
tahun di PKK-RSCM. Setelah pemeriksaan bakteriologis, setiap subjek
mendapatkan satu jenis krim antibiotik untuk dioleskan selama tujuh hari. Evaluasi
klinis didasarkan pada pengurangan luas lesi dan skala nyeri. Pemeriksaan biakan
dan resistensi dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Klinik Universitas
Indonesia.
Hasil: Efektivitas krim mupirosin (kelompok M) adalah 83,3% dan krim asam
fusidat (kelompok AF) 40% (p=0,048), sedangkan persentase penurunan luas lesi
kelompok M sebesar 83,5% dan kelompok AF 60,7% (p=0,041). Tidak ditemukan
efek samping subjektif maupun objektif pada kedua kelompok. Pada biakan kuman,
54,8% sampel ditemukan 2 jenis kuman, jenis terbanyak adalah S.aureus dan
S.pyogenes. Sebagian besar S.aureus (78,8%, 75,8%) dan S.pyogenes (50%,94,4%)
memiliki kepekaan intermediet terhadap mupirosin 2% dan asam fusidat 2%.
Kesimpulan: Krim mupirosin 2% lebih efektif daripada krim asam fusidat 2%
terhadap PS.
Kata kunci: mupirosin 2%, asam fusidat 2%, kesembuhan klinis, luas lesi, skala
nyeri

ABSTRACT
Background and objectives: Superficial pyodermas (SP) are common health
problem in Indonesia with high incidence in the Dermatovenereology Outpatient
Clinic Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital (DV-CMH). Current guidelines endorses
2% fusidic acid as the first line topical therapy, while 2% mupirocin is reserved for
certain condition. Past studies demonstrated increasing resistance to 2% fusidic acid
and 2% mupirocin. This study aims to compare the effectiveness of 2% mupirocin
and 2% fusidic acid in SP treatment in our institution.
Methods: A double-blind randomized controlled trial was conducted on 42 SP
patients aged 12-59 years old in DV-CMH. Following bacteriologic examination,
each subject received a random antibiotic cream for seven days. Clinical evaluation
was determined by reduction of lesion size and pain scale. Bacteriologic culture and
susceptibility test were performed in Clinical Microbiology Laboratory University
of Indonesia.
Results: The effectiveness in 2% mupirocin group (M) was 83,3% and in 2%
fusidic acid group (FA) 40% (p=0,048). Lesion size decrease was 83.5% in M group
and 60.7% in FA group (p=0,041). No side effects were observed in both treatment
groups. At the bacteria culture , 54.8 % of the samples found two types of bacteria,
most types are S.aureus and S.pyogenes. Most of S.aureus (78,8%, 75,8%) and
S.pyogenes (50%,94,4%) have an intermediate susceptibility to 2 % mupirocin and
2% fusidic acid.
Conclusion: The 2% mupirocin cream was more effective than 2% fusidic acid
cream in SP treatment.
Keywords: 2% mupirocin, 2% fusidic acid, clinical cure, lesion size, pain scale
"
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eyleny Meisyah Fitri
"ABSTRAK
Latar belakang: Xerosis kutis sering ditemukan pada lanjut usia lansia . Aplikasi pelembap merupakan tatalaksana utama. Pelembap mengandung humektan, misalnya laktat dan urea, dapat memperbaiki hidrasi dan disfungsi sawar kulit. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efikasi dan keamanan antara krim pelembap yang mengandung amonium laktat 12 dan urea 10 dalam mengatasi xerosis kutis pada populasi lansia. Metode: Penelitian uji klinis acak tersamar ganda dengan subjek kelompok berpasangan dilakukan pada 40 orang penghuni panti werdha di Jakarta. Evaluasi specified symptom sum score SRRC , skin capacitance SCap , transepidermal water loss TEWL , dan efek samping dilakukan pada awal terapi, minggu kedua dan keempat terapi, serta minggu kelima seminggu setelah terapi dihentikan. Hasil: Penurunan nilai SRRC dan TEWL, peningkatan nilai SCap, setelah empat minggu tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok terapi dengan nilai p masing-masing 1,000; 0,636; dan 0,601. Pada minggu kelima, terjadi peningkatan nilai SRRC dan TEWL serta penurunan nilai SCap minggu keempat pada kedua kelompok, namun masih lebih baik daripada nilai dasar dan minggu kedua terapi. Tidak ditemukan efek samping subjektif dan objektif pada kedua kelompok. Kesimpulan: Efikasi dan keamanan krim pelembap yang mengandung amonium laktat 12 sama baiknya dengan krim pelembap yang mengandung urea 10 dalam mengatasi xerosis kutis pada populasi lansia. Kata kunci: amonium laktat 12 ; lanjut usia; urea 10 ; xerosis kutis

ABSTRACT
Background Xerosis cutis is widely known in geriatric population. Application of moisturizer is the treatment.. Moisturizer with humectant property, e.g lactate and urea, could restore skin hydration and barrier dysfunction. This study aims to compare the efficacy and safety between moisturizing cream containing 12 ammonium lactate and 10 urea in geriatric population with xerosis cutis. Methods A double blind randomized controlled trial with matching paired subject was conducted on 40 residents of a nursing home in Jakarta. Evaluation of specified symptom sum score SRRC , skin capacitance SCap , transepidermal water loss TEWL , and side effects were measured at baseline, week 2 and week 4 after therapy, and week 5 one week after therapy cessation. Results The decrease of SRRC and TEWL score, increase of SCap score after four weeks of therapy between two group yield no statistical different p 1.000 p 0.636 p 0.601 respectively . On the fifth week, SRRC and TEWL score were increased and SCap score was decreased compared to the fourth week, but they are still better than the score on baseline and the second week. No objective and subjective side effects were found. Conclusions The efficacy and safety of moisturizing cream containing 12 ammonium lactate are the same as 10 urea in treating xerosis cutis of geriatric population. Keywords 12 ammonium lactate 10 urea geriatric xerosis cutis"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahma Evasari
"Sifilis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum subspesies pallidum (T. pallidum), merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik. Sifilis merupakan penyakit yang progresif dengan gambaran klinis aktif (stadium primer, sekunder, dan tersier) serta periode tidak bergejala (sifilis laten). Sifilis masih merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia dengan 80-90% kasus baru terjadi di negara berkembang dengan sedikit atau tidak ada akses diagnostik. Sejumlah besar sifilis tidak bergejala. Akibatnya, sebagian sifilis tidak terdiagnosis dan tidak mendapatkan tatalaksana yang baik, sehingga berpotensi menimbulkan gejala sisa serius, manifestasi sifilis tersier, kardiovaskular, neurologik, oftalmologik, otologik, dan berlanjutnya rantai penularan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kemampuan rapid Test STANDARD Q Syphilis Ab dengan menggunakan spesimen serum dan darah kapiler dibandingkan dengan TPHA dalam mendeteksi sifilis pada populasi risiko tinggi yang terdiri atas waria, lelaki yang berhubungan seksual dengan lelaki, dan wanita penjaja seks di Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Penelitian ini adalah uji diagnostik dengan dengan rancangan studi potong lintang. Hasil penelitian menggunakan spesimen serum memberikan hasil sensitivitas 91,30%, spesifisitas 97,53%, nilai duga positif 95,45%, nilai duga negatif 95,18%, dan akurasi 95,28% dibandingkan dengan TPHA sebagai baku emas. Hasil pengujian dengan spesimen darah kapiler memberikan hasil sensitivitas 84,78%, spesifisitas 98,77%, nilai duga positif 97,50%, nilai duga negatif 91,95%, dan akurasi 93,70% dibandingkan dengan TPHA sebagai baku emas. Kesesuaian hasil rapid test STANDARD Q Syphilis Ab antara spesimen serum dan darah kapiler sangat baik (κ = 0,8223). Rapid test STANDARD Q Syphilis Ab dapat dijadikan alternatif uji treponemal dalam menunjang diagnosis sifilis, baik sebagai penapisan rutin maupun konfirmasi hasil uji nontreponemal serta penggunaan spesimen darah kapiler dapat dijadikan alternatif uji treponemal yang lebih cepat dan mudah dilakukan.

Syphilis is a chronic and systemic disease caused by Treponema pallidum subspecies pallidum (T. pallidum). Syphilis is a progressive disease with active clinical features (primary, secondary, and tertiary syphilis) and asymptomatic periods (latent syphilis). Syphilis is still a worldwide health problem with 80-90% of new cases occurring in developing countries with little or no diagnostic access. A large number of syphilis are asymptomatic. As a result, some syphilis is undiagnosed and does not get good management, potentially causing serious sequelae, the manifestation of tertiary syphilis, cardiovascular, neurologic, ophthalmologic, otologic, and continuous chain of transmission. This study aimed to assess STANDARD Q Syphilis Ab's rapid test capability using serum and fingerprick whole blood specimens compared with TPHA in detecting syphilis in high-risk populations comprised of transgenders, men who have sex with men, and female sexual workers in Puskesmas Pasar Rebo. This study is a diagnostic test with a cross sectional study design. The results of this study using serum specimens were sensitivity of 91.30%, specificity of 97.53%, positive predictive value 95.45%, negative predictive value of 95.18%, and accuration 95.28%, compared to TPHA as the gold standard. Test results with fingerprick whole blood specimens gave sensitivity of 84.78%, specificity of 98.77%, positive predictive value of 97.50%, negative predictive value of 91.95%, and accuration 93.70%, compared to TPHA as the gold standard. Compatibility of rapid test STANDARD Q Syphilis Ab results between serum and fingerprick whole blood specimens was very good (κ = 0.8223). Rapid test STANDARD Q Syphilis Ab can be used as an alternative treponemal test in supporting syphilis diagnosis, either as routine screening or confirmation of nontreponemal test result and the use of fingerprick whole blood specimen can be used as treponemal test alternative which is faster and easier to do.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Riani
"Latar belakang: Akne vulgaris (AV) merupakan kelainan kulit akibat peradangan kronik folikel pilosebasea yang sering dijumpai pada remaja dan dewasa muda. Pada pasien perempuan didapatkan prevalensi AV yang lebih tinggi dan dampak psikososial yang lebih berat. Beberapa studi meneliti terdapat hubungan antara peningkatan kadar homosistein dengan derajat keparahan AV, namun peran homosistein dalam patogenesis AV masih belum jelas. Kadar homosistein ditentukan oleh multifaktor sehingga temuan di Indonesia dapat berbeda dibandingkan penelitian terdahulu. Secara fisiologis, kadar homosistein pada perempuan lebih rendah dari laki-laki.
Tujuan: Mendapatkan data kadar homosistein plasma pada pasien perempuan dengan AV ringan (AVR), AV sedang (AVS), dan AV berat (AVB) serta mengetahui korelasi kadar homosistein plasma dengan berbagai derajat keparahan AV.
Metode: Studi potong lintang dilakukan terhadap 46 subjek penelitian (SP), direkrut secara consecutive sampling, yang terdiagnosis AV berdasarkan kriteria Lehmann pada bulan April-Juni 2019. Setiap SP akan diambil darahnya untuk dilakukan pemeriksaan kadar homosistein plasma dengan metode chemiluminescent microparticle immuno assay (CMIA).
Hasil: Pada pasien perempuan dengan AV didapatkan rerata kadar homosistein plasma kelompok AVR, AVS, dan AVB yaitu 7,39 (1,84) μmol/L, 7,14 (1,73) μmol/L, dan 6,95 (1,14) μmol/L. Terdapat korelasi negatif lemah yang tidak bermakna antara kadar homosistein plasma dengan derajat keparahan AV (r=-0,0964, p=0,524).
Kesimpulan: Kadar homosistein plasma ditemukan lebih rendah pada kelompok AVS dan AVB. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa semakin rendah kadar homosistein plasma, maka semakin berat derajat keparahan AV.

Background: Acne vulgaris (AV) is a skin disorder caused by chronic inflammation of pilosebaceus that is primarily found in adolescents and young adults. In female patient, there is a higher prevalence of AV and more severe psychosocial impact. Several studies have investigated association between the levels of serum homocysteine and severity of AV, but the role of homocysteine in AV is not clearly understood. Homocysteine levels are thought to be affected by varying factors, so it is assumed that homocysteine levels in Indonesian people will yield a different results. Physiologically, female has a lower homocysteine levels.
Objective: This study aims to know the levels of homocysteine plasma in female patients suffering from mild, moderate, and severe AV, also its correlation with the degree of AV severity.
Methods: This cross-sectional study included 46 subjects, recruited by consecutive sampling, who have been diagnosed with AV based on Lehmann criteria on April-June
2019. Blood sample will be taken from each subject to measure homocycsteine plasma levels by using chemiluminescent microparticle immuno assay method (CMIA).
Results: In female patients, the mean plasma homocycteine levels of mild, moderate, and severe groups were respectively 7,39 (1,84) μmol/L, 7,14 (1,73) μmol/L, and 6,95 (1,14) μmol/L. There was no significant corelation between plasma homocysteine levels and the degree of acne severity (r=-0,0964, p=0,524).
Conclusion: Levels of plasma homocysteine was found lower on moderate and severe AV groups. The lower the levels of plasma homocysteine, the more severe the the degree of acne severity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arleen Rainamira A.
"Latar Belakang: Rambut memiliki berbagai fungsi, salah satunya sebagai perkiraan usia individu. Kanitis, atau uban, merupakan tanda penuaan yang muncul pada rambut yang umumnya terjadi pada dekade ke-4 kehidupan. Kanitis prematur (KP) merupakan istilah munculnya kanitis sebanyak 5 helai rambut sebelum usia 25 tahun pada ras Asia. Etiologi penyakit KP belum sepenuhnya dipahami dan dianggap sebagai kelainan multifaktorial. Defisiensi mikronutrien tertentu, meliputi besi dan seng, diperkirakan berperan dalam munculnya KP. Oleh karena itu, diperkirakan kadar besi dan seng dalam serum dan rambut dapat mencerminkan risiko terjadinya KP pada seseorang.
Tujuan: Menganalisis perbedaan rerata kadar besi dan seng rambut dan serum KP dibandingkan populasi sehat dan menganalisis korelasi antara kadar besi dan seng rambut dan serum pasien KP dengan derajat keparahan KP.
Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional analitik dengan desain kasus kontrol dan dilakukan matching jenis kelamin dan usia. Populasi target penelitian adalah pasien KP dan individu sehat yang diambil dengan metode consecutive sampling berdasarkan kriteria penerimaan dan penolakan. Analisis statistik yang sesuai dilakukan untuk membuktikan hipotesis penelitian. Nilai p<0,05 dianggap signifikan secara statistik.
Hasil: Diantara 32 sampel kelompok KP, 7 orang mengalami KP ringan, 14 orang mengalami KP sedang, dan 11 orang mengalami KP berat. Diperoleh perbedaan kadar seng rambut yang bermakna secara statistik antara kelompok KP dengan kelompok sehat (184,03 vs. 231,83; p=0,01). Perbedaan parameter lainnya ditemukan tidak bermakna secara statistik. Tidak ditemukan adanya korelasi yang bermakna secara statistik antara kadar besi dan seng serum maupun rambut terhadap kejadian atau derajat keparahan KP. Data tambahan, ditemukan korelasi positif lemah antara indeks massa tubuh (IMT) dengan derajat keparahan KP (rρ= 0,392; p=0,026). Riwayat KP keluarga merupakan faktor risiko KP (aOR 14,829; 95% IK 3,073–71,566, p=0,001). Setiap penurunan 1 unit (µg/g) kadar seng rambut, kemungkinan mengalami KP meningkat (aOR 1,007; 95% IK 1,001–1,013, p=0,022).
Kesimpulan: Kadar seng rambut pada kelompok KP lebih rendah dan berbeda bermakna secara statistik dibandingkan dengan kelompok kontrol sehat, namun tidak ditemukan perbedaan rerata yang bermakna pada parameter lainnya. Tidak ditemukan korelasi antara kadar besi dan seng rambut dengan serum, maupun dengan derajat keparahan KP.

Background: Hair has various functions, one of which is an estimate of an individual's age. Canities, or gray hair, is a sign of aging that appears on the hair and generally begins to occur in the 4th decade of life. Premature canities (PC) is a term for the appearance of gray hair as much as 5 strands of hair before the age of 25 years in Asian ethnicity. The etiology of PC is not fully understood and is considered a multifactorial disorder. Certain micronutrient deficiencies, including iron and zinc, are thought to play a role in the development of PC. Therefore, it is predicted that iron and zinc levels in serum and hair can reflect a person's risk of developing PC.
Aim: To analyze the difference in mean serum and hair levels of iron and zinc between subjects with PC and healthy controls and to assess their correlation with the severity of PC.
Method: This study is an analytic observational study with a case-control design and matched according to age and gender. The target population of the study was patients with PC and healthy individuals who were recruited by consecutive sampling based on inclusion and exclusion criteria. Appropriate statistical analysis was performed to prove the research hypothesis. A p-value of <0.05 is considered statistically significant.
Results: Among the 32 subjects of the PC group, 7 subjects had mild PC, 14 subjects had moderate PC, and 11 subjects had severe PC. There was a statistically significant difference in hair zinc levels between the PC group and the healthy controls (184.03 vs. 231.83; p=0.01). Differences in other parameters were found to be not statistically significant. There was no statistically significant correlation between serum and hair iron and zinc levels on either the incidence or the severity of PC. A weak positive correlation between body mass index (BMI) and the severity of PC (rρ= 0.392; p= 0.026) was obtained. Family history of PC is a risk factor for PC with an aOR 14,829; 95% CI 3.073–71,566, p=0.001. In addition, for every 1 µg/g decrease in hair zinc levels, the probability of experiencing PC increased (aOR 1.007; 95% CI 1.001–1.013, p=0.022).
Conclusion: Hair zinc levels in the PC group were lower and statistically significant compared to the healthy controls but no significant difference was found in other parameters. There was no correlation between hair iron and zinc levels with serum, nor with the severity of PC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Komarasari
"Latar belakang : Reaksi ENL disebabkan oleh ketidakseimbangan imunitas selular dan humoral. Kortikosteroid merupakan obat standar yang digunaktapi dapat menimbulkan efek samping pada berbagai organ. Sehubungan dengan itu perlu dipikirkan terapi ajuvan yang efektif untuk reaksi ENL. Seng merupakan mikronutrien yang berperan penting pada berbagai fungsi enzimatik, aktivasi sel T, efek antiinlamasi, menghambat pembentukan kompleks imun, dan mempunyai efek antioksidan, dipikirkan dapat digunakan sebagai terapi ajuvan untuk terapi reaksi ENL.
Tujuan : Menilai perbandingan perbaikan klinis reaksi ENL pada pasien kusta yang diberikan ajuvan seng dengan yang diberikan plasebo.
Metode : Penelitian ini merupakan suatu uji klinis acak tersamar ganda menggunakan plasebo dengan desain paralel. Dilakukan randomisasi blok untuk membagi subyek menjadi dua kelompok, yaitu kelompok perlakuan dan kelompok plasebo. Evaluasi dilakukan tiap dua minggu selama enam minggu.
Hasil : Pada akhir perlakuan, perbaikan klinis kelompok perlakuan adalah 79,2% dan kelompok plasebo adalah 72,7%. Perbedaan tersebut tidak bermakna secara statistik.
Kesimpulan : Tidak terdapat perbedaan bermakna pada perbaikan klinis reaksi ENL antara pasien kusta yang diberikan ajuvan seng dengan yang diberikan plasebo.

Background : ENL reaction is caused by imbalance of cellular and humoral immunity. Corticosteroid is the standard drug used to treat ENL, but can cause serious side effects in multiple organs. There for, it is needed to find effective adjuvant drug for ENL. Zinc is essential micronutrient for various enzymatic proceses, T cell activation, antiinflamation effect, inhibiting the formation of immune complexes, and has the effect of antioxidant. Several studies have shown the benefit of addition zinc for ENL reaction.
Objective : To assess the comparative clinical improvement ENL reaction in leprosy patients given adjuvant zinc with placebo.
Methods : Randomized double-blind clinical trial using placebo with parallel design. Block randomization divided the subjects into two groups, namely the treatment group and the placebo group. The evaluation was performed every two weeks for six weeks.
Result : At the end of treatment, the clinical improvement ENL reaction obtained was 79,2% treatment group and the placebo group was 72,7%. The differences were not statistically significant.
Conclusion : There were no significant differences in clinical improvement ENL reaction in leprosy patient treated with adjuvant zinc compared to placebo.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herni
"[ABSTRAK
Duh tubuh vagina adalah cairan yang keluar dari alat genital perempuan yang tidak berupa darah. World Health Organization (2007) merekomendasikan dalam menegakkan diagnosis duh tubuh vagina dengan menggunakan alur pemeriksaan dengan spekulum. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah merekomendasikan alur tersebut untuk seluruh puskesmas di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai sensitivitas dan spesifisitas alur pemeriksaan duh tubuh vagina dengan spekulum oleh dokter puskesmas di Kota Pontianak yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium. Uji diagnostik sensitivitas dan spesifisitas dilakukan terhadap 52 subyek penelitian. Hasil penelitian menunjukkan nilai sensitivitas dan spesifisitas diagnosis vaginitis menggunakan spekulum sebesar 57,1% dan 52%, sedangkan sensitivitas dan spesifisitas untuk diagnosis servisitis sebesar 75% dan 57,7%. Hal tersebut menunjukkan nilai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah (≤85%), menunjukkan bahwa pemeriksaan menggunakan spekulum tidak cukup baik untuk digunakan sebagai dasar dalam menegakkan diagnosis duh tubuh vagina.

ABSTRACT
Vaginal discharge is the discharge from womens genitals which does not consist of blood. World Health Organization in 2007 provide recommendations for diagnosis vaginal discharge in health care one of them by using a speculum. The Ministry of Health of Indonesia has recommended speculum examination of vaginal discharge to all health centers in Indonesia. This research aim was to study the sensitivity and specificity of vaginal discharge examination using a speculum by doctors in primary health care in Pontianak confirmed by laboratory examination. Sensitivity and specificity of diagnostic testing were conducted on 52 research subjects. The result of the study showed the sensitivity and specificity for the diagnosis of vaginitis using a speculum were 57.1% and 52%, whereas the sensitivity and specificity for the diagnosis of cervicitis were 75% and 57.7%. Low sensitivity and specificity values (≤85%), indicating that the use of a speculum examination is not good enough to be used as a basis in the diagnosis of vaginal discharge., Vaginal discharge is the discharge from womens genitals which does not consist of blood. World Health Organization in 2007 provide recommendations for diagnosis vaginal discharge in health care one of them by using a speculum. The Ministry of Health of Indonesia has recommended speculum examination of vaginal discharge to all health centers in Indonesia. This research aim was to study the sensitivity and specificity of vaginal discharge examination using a speculum by doctors in primary health care in Pontianak confirmed by laboratory examination. Sensitivity and specificity of diagnostic testing were conducted on 52 research subjects. The result of the study showed the sensitivity and specificity for the diagnosis of vaginitis using a speculum were 57.1% and 52%, whereas the sensitivity and specificity for the diagnosis of cervicitis were 75% and 57.7%. Low sensitivity and specificity values (≤85%), indicating that the use of a speculum examination is not good enough to be used as a basis in the diagnosis of vaginal discharge.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nahla Shihab
"ABSTRAK
Latar belakang: Melasma merupakan kelainan pigmentasi yang menyebabkan gangguan kosmetik serta berdampak negatif pada kualitas hidup, kesehatan emosi, dan interaksi sosial. Terdapat berbagai modalitas terapi melasma, namun efektivitas dan keamanan masing-masing terapi masih belum memuaskan. Asam traneksamat diketahui memiliki kemampuan menghambat inflamasi, faktor pertumbuhan melanosit, dan aktivitas tirosinase, sehingga dapat berperan dalam terapi melasma. Belum pernah dilakukan penelitian mengenai efektivitas asam traneksamat oral sebagai terapi melasma di Indonesia. Tujuan: Menilai efektivitas asam traneksamat oral dalam kombinasi terapi topikal pada tata laksana melasma.Metode: Uji klinis acak terkontrol tersamar ganda. Lima puluh subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok, satu kelompok mendapatkan intervensi terapi topikal melasma berupa krim hidrokuinon 4 dan tabir surya SPF 30 ditambah asam traneksamat oral, sedangkan kelompok lainnya mendapatkan terapi topikal melasma dan kapsul plasebo selama 3 bulan. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan skor MASI modifikasi dan mexameter.Hasil: Nilai efektivitas kombinasi asam traneksamat dengan terapi topikal hidrokuinon dan tabir surya terhadap perbaikan klinis berdasarkan skor MASI dan mexameter berturut-turut sebesar 72 dan 52 sedangkan terapi topikal saja sebesar 4 dan 0 . Simpulan: Kombinasi asam traneksamat oral 500 mg dengan terapi topikal hidrokuinon 4 lebih efektif dibandingkan dengan terapi topikal saja untuk perbaikan klinis melasma.

ABSTRACT
Melasma is a pigmentary disorder that cause not only cosmetic impairment but also gives negative impact in the quality of life, emotional health and social interaction. There are different theurapeutic modalities for melasma, but none of those have the best satisfactory effectivity and safety yet. Tranexamic acid is known to have the abitily to inhibit inflamation, melanocyte growth factor, and tyrosinase activation, thus may have a role in the treatment of melasma. Until recently, there is no study about the effectiveness of oral tranexamic acid as a treatment of melasma in Indonesia. Objective To assess the effectiveness of oral tranexamic acid in combination with topical therapy in the treatment of melasma.Methods A double blinded controlled randomized clinical trial. Fifty subjects were divided into two groups, one group received a topical therapy of 4 hydroquinone and sunscreen SPF 30 with oral tranexamic acid, while the other group received topical therapy with placebo capsules for three months. Evaluation is done by using a modified MASI score and mexameter.Results The effectiveness of oral tranexamic acid in combination with topical hydroquinone and sunscreen for melasma clinical improvement based on the modified MASI score and mexameter respectively are 78 and 52 , whereas the topical therapy alone are 4 and 0 . Conclusion Combination of oral tranexamic acid 500 mg with topical 4 hydroquinone is more effective than topical therapy alone for clinical improvement of melasma. "
2017
T55685
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>