Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abdullah Muhammad Syafi`i
"Latar Belakang
Keterlambatan wicara adalah kondisi ketika seorang anak belum dapat mencapai batas kemampuan bicara yang ideal sesuai dengan anak normal seusianya. Salah satu penyebab keterlambatan wicara adalah gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran dapat diintervensi dengan tepat apabila pemeriksaan tidak terlambat. Baku emas pemeriksaan pendengaran pada anak oleh Joint Committee on Infant Hearing adalah Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA). Namun, BERA memiliki nilai standar yang berbeda pada setiap institusi, sehingga diperlukan nilai standar nilai BERA pada anak dengan keterlambatan wicara di Poliklinik THT RSCM
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif numerik dengan model penelitian cross- sectional. Subjek dalam penelitian ini adalah anak berusia 2-3 tahun dengan keterlambatan wicara yang melakukan pemeriksaan BERA dengan hasil fungsi pendengaran perifer normal untuk dicari rerata hasil pemeriksaan BERA pada 2018-2023.
Hasil
Dari 133 sampel yang dikumpulkan, didapatkan nilai normal masa laten absolut gelombang V BERA click dengan intensitas 20 dB pada anak dengan keterlambatan wicara adalah 7,30±0,41 ms pada telinga kanan dan 7,29±0,41 ms pada telinga kiri. Terdapat perbedaan hasil pada laki-laki dan perempuan, dengan rerata nilai gelombang V BERA pada anak laki-laki sebesar 7,37±0,41 ms pada telinga kanan dan 7,38±0,39 ms pada telinga kiri, sedangkan pada anak perempuan sebesar 7,16±0,38 ms pada telinga kanan dan 7,13±0,42 ms pada telinga kiri.
Kesimpulan
Terjadi pemanjangan hasil nilai normal gelombang V BERA pada anak dengan keterlambatan wicara di poliklinik THT RSCM. Terdapat perbedaan yang bermakna pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, dengan nilai rerata nilai normal gelombang V BERA anak laki-laki lebih panjang dibanding pada anak perempuan.

Introduction
Delayed speech is condition when a child can’t reach the milestones for their age. Hearing loss is one reason speech delay occurs. Hearing loss could intervened appropriately if diagnosed correctly. Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) is the gold standard for child hearing tests, according to the Joint Committee on Infant Hearing. However, BERA standard values is vary in each institution, so it’s need a standard BERA value in children with speech delays at the ENT Polyclinic of RSCM
Method
This study is a descriptive numerical study with a cross-sectional model. Children aged 2-3 years with delayed speech who underwent BERA examinations with normal hearing function as the subject to find the average wave V BERA results in 2018-2023.
Results
From 133 samples collected, the average value of wave V BERA click with intensity 20 dB in children with delayed speech was 7.30±0.41 ms in right ear and 7.29±0.41 ms in left ear. There were differences in the results in boys and girls, with the average value of wave V BERA in boys being 7.37±0.41 ms in right ear and 7.38±0.39 ms in left ear, while in girls it was 7.16±0.38 ms in right ear and 7.13±0.42 ms in left ear.
Conclusion
The results of the normal value of wave V BERA in children with speech delay at ENT clinic of RSCM is prolonged compared to normative value. There is a significant difference in boys compared to girls, with prolonged average value of wave V BERA in boys than girls.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aurellie Tabitha Putri
"Latar Belakang
Sindrom down merupakan suatu kondisi kelainan genetik, yang menyebabkan beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi tubuh, menjadikan populasi sindrom down berisiko terkena gangguan pendengaran (38-78%) dan berbagai infeksi seperti otitis media (50%- 75%). Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat hubungan antara otitis media dengan derajat gangguan pendengaran pasien sindrom down.
Metode
Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang, dengan sampel yang diperoleh dari data rekam medis pasien yang mengunjungi poli THT Komunitas di RSCM. Subjek penelitian akan diamati dalam dua kelompok, yaitu kelompok tanpa otitis media dengan gangguan pendengaran, dan kelompok dengan otitis media dan gangguan pendengaran. Hasil
Subjek yang diambil dengan total sampling tidak memenuhi sampel minimum untuk kelompok otitis media dengan gangguan pendengaran. Kemudian, dari hasil analisis tidak ditemukan adanya hubungan antara otitis media dengan derajat gangguan pendengaran, dengan p value=0,522, OR=0,667 (CI=0,192-2,313). Hasil ini mungkin dipengaruhi oleh berbagai faktor lain yang tidak dipertimbangkan dalam penelitian, seperti abnormalitas anatomi telinga, kejadian epilepsi atau kejang, dan penyakit penyerta lainnya. Kesimpulan
Tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara otitis media dengan derajat gangguan pendengaran, dengan dugaan terdapat faktor lain yang juga mempengaruhi hal tersebut. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang menganalisis berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi derajat gangguan pendengaran pasien sindrom down, dengan melibatkan lebih banyak subjek penelitian.

Introduction
Down syndrome is a genetic disorder that causes several changes in the human’s anatomy and physiological function, putting them at risk for hearing loss (38-78%) and various infections such as otitis media (50-75%). This study aims to see whether there is a relationship between otitis media and degree of hearing loss in patients with down syndrome.
Method
A cross-sectional study was performed using samples obtained from medical records data of patients visiting the community ENT polyclinic at RSCM. The subjects will be observed in two groups: group without otitis media with hearing loss, and group with otitis media and hearing loss.
Results
Subjects obtained with total sampling did not meet the minimum sample for group of otitis media with hearing loss. Result of the analysis shown that there’s no relationship between otitis media and degree of hearing loss (p=0,522, OR=0,667 (CI=0,192-2,313)). This result could be influenced by several factors that not considered in the study, such as anatomical abnormalities of the ear and the occurrence of epilepsy or seizure, and several comorbidities.
Conclusion
There was no relationship found between otitis media and degree of hearing loss, with suspicion that several factors might have a bigger impact on hearing loss. Therefore, further research is needed to analyze various factors that may influence the degree of hearing loss in patients with down syndrome, involving more research subjects.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yesi Mardhatillah
"Latar belakang : Gangguan penghidu saat ini lebih disadari oleh masyarakat akibat terjadinya pandemi COVID-19. Tatalaksana gangguan penghidu pasca-virus belum disepakati secara universal meskipun beberapa obat telah diuji coba. Tujuan: Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran jenis dan derajat gangguan penghidu pasca-virus serta efektifitas kombinasi latihan penghidu ortonasal (LPO) dan protokol terapi penghidu terhadap perbaikan fungsi penghidu pasca-virus. Metode: Penelitian dilakukan bulan Februari – Mei 2022 di poliklinik THT-KL RSCM. Desain penelitian yang digunakan uji kuasi eksperimental 1 grup pre dan post test dengan 12 subjek gangguan penghidu yang terjadi mendadak pasca infeksi virus. Subjek penelitian dilakukan penilaian fungsi penghidu dengan uji penghidu alkohol (UPA), uji penghidu intravena (UPI) dan sniffin stick test (SST). Subjek penelitian diberikan kombinasi LPO dan protokol terapi hidung yang terdiri dari irigasi hidung, steroid intranasal, dekongestan topikal, omega-3 dan oles balsam aromatik selama 6 minggu kemudian dilakukan penilaian statistik. Hasil: Didapatkan hiposmia 8 subjek dan ansomia 4 subjek. Pada subjek hiposmia terdapat 2 subjek pantosmia dan 3 subjek parosmia, sedangkan pada subjek anosmia didapatkan 1 subjek pantosmia. Pada penelitian ini didapatkan 9 subjek jenis sensorineural dan 3 subjek jenis konduksi. Setelah dilakukan terapi didapatkan hasil siginifikan berdasarkan pemeriksaan UPA, UPI, diskriminasi, identifikasi dan total ADI (p<0,05). Kesimpulan: Karakteristik gangguan penghidu pada penelitian ini sesuai dengan jenis gangguan penghidu sensorineural dan konduksi serta derajat anosmia dan hiposmia. Kombinasi LPO dan protokol terapi hidung selama 6 minggu terbukti efektif pada gangguan penghidu pasca-virus.

Background: Postviral olfactory dysfunction is becoming more aware of the public due to the COVID-19 pandemic. The management of chronic postviral olfactory dysfunction is still unknown, although several drugs have been tried, but the treatment is not universally agreed yet. Objective: This study was conducted to describe the types and degrees of postviral olfactory dysfunction and the effectiveness of the combination of orthonasal olfactory training and nasal protocols therapy on the improvement of postviral olfactory function. Methode: The research was conducted from February to May 2022 at ENT outpatient clinic Dr. Cipto Mangunkusumo hospital. The research design used was a quasi-experimental test with 1 pre and post-test group with 12 subjects with olfactory dysfunction that occurred suddenly after viral infection. The research subjects will be assessed for olfactory function using the alcohol sniff test (AST), the intravenous olfactory test (IOT) and the sniffin stick test (SST). Subjects will be given a combination of orthonasal olfactory training and a nasal protocol therapy consisting of nasal irrigation, intranasal steroids, topical decongestants, omega-3 and aromatic balsam for 6 weeks then statistical analysis was performed. Results: There were 8 subjects with hyposmia and 4 subjects with ansomia. In hyposmic subjects there are 2 phantosmia subjects and 3 parosmia subjects, while in anosmia subjects there are 1 subject with phantosmia. The types of post-viral olfactory disorders in this study were 9 sensorineural subjects and 3 conductive subjects. The results of statistical calculations of olfactory function after therapy were found to be significant based on AST, IOT, discrimination, identification and TDI (p<0.05). Conclusion: The characteristics of the olfactory dysfunction in this study are sensorineural and conduction olfactory dysfunction. The combination of orthonasal olfactory training and nasal protocol therapy for 6 weeks has been shown to be effective in improving olfactory function in postviral olfactory dysfunction."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahri Reza
"Rumah sakit sebagai instansi pelayanan kesehatan tidak terhindar dari bahaya bising. Efek yang ditimbulkan bising dapat berupa efek auditori dan efek non auditori. Salah satu efek non auditori yang ditimbulkan bising adalah burnout syndrome. Penelitian ini merupakan studi potong lintang untuk mencari prevalensi risiko tinggi burnout syndromepekerja RSUPNCM dan hubungannya dengan kebisingan ruangan yang ditentukan peneliti. Analisis statistik dilakukan untuk mencari hubungan antara faktorjenis kelamin, usia, status pernikahan, serta pengalaman kerja dengan risiko tinggi burnout syndrome. Peneliti melakukanaudiometri nada murni, timpanometri, dan pemeriksaan emisi otoakustik untuk kemudian dicari hubungannya antara hasil pemeriksaan dengan risiko tinggi burnout syndrome. Pekerja diminta mengisi kuesioner Maslach Burnout Inventoryuntuk skrining risiko tinggi burnout syndrome. Satu dari 77 subyek penelitian ditemukan memiliki risiko tinggi burnout syndrome. Prevalensi risiko tinggi burnout syndrome pada pekerja RSUPNCM adalah 1,3%. Analisis statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin, usia, status pernikahan, pengalaman kerja, audiometri nada murni, timpanometri, serta otoakustik emisi dengan risiko tinggi burnout syndrome.

Hospital as public health service can not avoid noise hazard. Effect of hospital noise including auditory effect and non auditory effect. One of the non auditory effect is burnout syndrome. This research is a cross sectional study in order to find the prevalence of high burnout syndrome risk on CMCGH workers and its relation with certain noise room which have determined by researcher. Statistic analysis have conducted in order to find relationship between several factors including gender, age, marital status,working history with high burnout syndrome risk. Researcher examine workers including pure tone audiometry, tympanometry, otoaccoustic emission. Relationship analysis between those examination and high burnout syndrome risk haveconducted. Researcher instruct workers to fill the Maslach Burnout Inventory questionnaire as screening for high burnout syndrome risk. One of 77 workers have been revealed having high risk.The prevalence of high burnout syndrome risk is 1,3 %. There is no relationship between gender, age, marital status, working history, pure tone audiometry, tympanometry, acoustic emission with high burnout syndrome risk due to statistic analysis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Duhita Yassi
"ABSTRAK
Tesis ini melaporkan gambaran skor nasalance pada defek celah palatum, hubungan antara skor nasalance percontoh celah palatum dan percontoh tanpa celah palatum serta mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan skor nasalance pada pasien celah palatum berdasarkan klasifikasi Veau. Desain penelitian adalah comparative cross sectional. Pengambilan percontoh dilakukan dengan purposive sampling, dilakukan di Departemen THT-KL FK UI-RSCM serta Instalasi Rehabilitasi Medik RSUP Fatmawati. Percontoh dikelompokkan menjadi 2 yaitu kelompok celah palatum dan tanpa celah palatum sebagai kontrol. Jumlah percontoh adalah 17 untuk masing-masing kelompok. Dilakukan pengumpulan data berupa wawancara, pengisian kuesioner, selanjutnya pemeriksaan THT, audiometri, timpanometri, nasoendoskopi dan nasometri. Didapatkan hasil gambaran rerata skor nasalance percontoh celah palatum Uji Gajah kelompok Veau 1 45,40% ± 10,6; Veau 2 41,74% ± 11,6; Veau 3 52,88%; celah palatum sub mukosa 55,67% ± 6,2. Pada Uji Hantu didapatkan rerata skor nasalance kelompok Veau 1 43,90 % ± 6,8; Veau 2 40,59% ± 13,7; Veau 3 59,8% dan celah palatum sub mukosa 49,02% ± 7,5. Pada Uji Sengau, rerata kelompok Veau 1 40,16 % ± 7,2; Veau 2 41,77% ± 13,4; Veau 3 70,51% dan celah palatum sub mukosa 62,75% ± 6,3. Terdapat perbedaan yang bermakna antara skor nasalance percontoh celah palatum dan tanpa celah palatum pada Uji Gajah dan Uji Hantu (p<0,001), sedangkan pada Uji Sengau tidak bermakna (p>0,05). Pada analisis multivariat secara keseluruhan faktor-faktor yang berhubungan dengan skor nasalance ((adenoid, Otitis Media Efusi (OME) dan gangguan pendengaran)) dan keberadaan celah palatum berpengaruh secara signifikan terhadap skor nasalance pada semua uji nasalance (p<0,05) pada pengujian terhadap kedua kelompok percontoh, dan tidak berpengaruh secara signifikan pada pengujian kelompok celah palatum saja. Bila dilihat secara parsial faktor adenoid berpengaruh secara signifikan terhadap skor semua uji nasalance baik pada analisis kedua kelompok percontoh maupun pada percontoh celah palatum saja.

ABSTRACT
This paper reported nasalance score in cleft palate patients, the correlation between nasalance score in cleft palate and non cleft palate patients and also factors related with nasalance score in cleft palate patients in Veau criteria. The design of this study is comparative cross sectional, with purposive sampling in ENT Department of Indonesian University-Cipto Mangunkusumo Hospital and Instalation of Medical Rehabilitation Fatmawati Hospital. Sample devided in to 2 groups, cleft palate and non cleft palate group with 17 samples in each group. Data was collected with interview, questioner application, ENT examination, audiometry, tympanometry, nasoendoscopy and nasometry. The result of this study reported mean of nasalance score in cleft palate patients, Uji Gajah in Veau 1 patients is 45,40% ± 10,6; Veau 2 41,74% ± 11,6; Veau 3 52,88% and sub mucous cleft palate 55,67% ± 6,2. In Uji Hantu the nasalance score are Veau 1 patients 43,90 % ± 6,8; Veau 2 40,59% ± 13,7; Veau 3 59,8% and sub mucous cleft palate 49,02% ± 7,5. In Uji Sengau, the score are Veau 1 40,16 % ± 7,2; Veau 2 41,77% ± 13,4; Veau 3 70,51% and sub mucous cleft palate 62,75% ± 6,3. There is significant difference in nasalance score between cleft palate and non cleft palate patients in Uji Gajah and Uji Hantu (p>0,05) but no differences in Uji Sengau. In multivariate analysis, in general the factors related with nasalance score ((adenoid, Otitis Media with Effusion, hearing loss)) and also existancy of cleft palate is significantly correlated with nasalance score in all nasalance test (p<0,05) in both groups analysis but no signifficant correlation in cleft palate group analysis. Partially, adenoid is significantly correlated with nasalance score in both group analysis and cleft palate group analysis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library