Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Karta
"ABSTRACT
This dissertation discusses tau-tau as one of the funeral equipment (mmbu solo?) for
the Torajan noble society (lana' bulaan). Tau-tau is a ?statue? of a deceased person.
There are 3 kinds of tau-tau: tau-tau nangka', tau-tau lampa?, and batelepong. After a
funeral, only tau-tau nangka is placed on top of a cliff, alongside other previous tau-tau
nangira, while tau-tau lampa and batelepong are thrown to the shrubs.
At first, tau-tau was worshiped and mourned by the Aluk to Dolo Torajan family and
community, but as the Torajan people left the Aluk to Dolo belief and most change
their belief to Christiani or some change to Islam, tau-tau is no longer worshiped and
mourned, but used to maintain and reinforce nobility. Therefore, tau-tau Aluk to Dolo
rituals are modified according to the belief of a family who practice the ritual.
The phenomenon mentioned above is a general picture and a small part of tau-tau's
existence and rituals in the past to present. Therefore, it is interesting to study it further;
although Aluk to Dolo belief is gradually left behind by the Torajan people, almost all
the principles are still practiced in various rituals, to maintain custom and tradition in
Torajan.
This research's question is how the Torajan community conducts funeral where tau-tau
is still made as a symbol of Torajan's nobility (although they do not practice Aluk to
Dolo), and the use of it in social life and rambu solo'ritual which are conducted by
Torajan Aluk to Dolo community and modern Torajan community.
This research uses Radcliffe-Brown's structure and function concept (1952), Durkheim
(1954), Turner (1957, 1974), who suggest that religion reflects the structure of a social
system, and functions to maintain the system throughout time. Structure and function concept sees the community as a system of social structures. Structure in this case is
real pattems of relations or interactions among various social components - pattems
which relatively last longer because those interactions occur in an approximately
organized way (Saifuddin, 2009. The function of religion is an effort to strengthen and
reaffirm social solidarity, and as something that has a signilicant symbol to a group or
community. The existence of tau-tau?s function and meaning which continuously
changed and modified (no longer suitable with Aluk to Dolo), is an indication that the
tau-tau they made no longer has a sacred meaning.
Findings in this research are: 1) Tau-tau is a personification, regarded as a reincarnation
and the residence of the deccased?s spirit after a series of Aluk to Dolo ceremonies.
Tau-tau is accepted as a depiction of the deceased, not only shaped by association of
costume and ritual which affirms tau-tau as a ?reincarnation? of the deceased, but also
caused by the positive response from Torajan conununity which submits to and accepts
the lau-tau and considers it resembles, even similar to the deceased. This made tau-tau
is highly respected and worshiped by the family and Torajan community in general, as
if the person is still alive. 2) Tau-tau represents nobility. This is because the making of
tau-tau is based on social stratification in Aluk to Dolo, which is still held firmly by
Toraja community up until now. Tau-tau as a representation of nobility also shows in
how attributes, costume, and how the costume is worn by tau-tau. For example, the
headband (passapu) on men, chignon (simbolon) on women, clothes (bayu), knee-
length trousers (seppa tallu buku), sarong (dodo), puch to store betel and nut (sepu).
In daily life, only noble society is allowed to wear the costume, while common people
are not allowed to.
Conclusion: The outcome of this research shows that the production of tau-tau as one
of the funeral equipments in Toraja?s noble families up to this day, has a close relation
to an elfort of reaffirmation and reconfirmation in group solidarity, and has a significant
symbol in the families' social status in many ways, particularly in ceremonies where it is
very respected by the Toraja community. The existence of tau-tau in a Toraja's noble
family funeral was a part of a religious ritual, Aluk to Dolo. Therefore, it is not easy for
a noble to remove a habit of making a tau-tau or a statue portraying a deceased person,
even though they have left Aluk to Dolo belief.
Therefore, there are different kinds of tau-tau that consist of: 1) Original tau-tau (tau-
tau Aluk to Dolo). It has a simple shape, not proportional, and entirely different from
the deceased, placed at the funeral site, a spirit is believed to reside in the tau-tau, and
is sacred. 2) Realistic tau-tau (Christian tau-tau). ldeal in shape and proportion, and
resembles the deceased, placed at the funeral site, and profane. 3) Portrait statue. The
shape, proportion and its style consider more on the artistic value to replicate the
deceased, and placed in houses as an artwork. 4) Souvenir tau-tau. Made with various
shapes, sizes, and materials, and sold around the funeral site and souvenir stores in
Rantepao and Makale."
2007
D819
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anton Sumartono
"Berawal dari suatu kondisi masyarakat desa dengan latar belakang kehidupan pertanian yang sederhana, masyarakat Desa Sukodono, Jepara, Propinsi Jawa tengah, berkembang menjadi kelompok masyarakat pengrajin seni kerajinan meubel ukir kayu yang handal. Dalam tesis ini hendak dijawab pertanyaan, berkaitan dengan pernyataan di atas, yaitu: Mengapa mereka memilih usaha di bidang seni kerajinan ukir kayu sebagai mata pencaharian pokoknya; bagaimana potensi mereka sehingga mampu mengembangkan kreativitasnya di bidang itu; bagaimana kaitannya dengan sumber daya lingkungan yang ada dan dapat dimanfaatkannya; bagaimana bentuk desain-desain ukir yang diciptakannya, dan; bagaimana fungsi seni kerajinan ukir kayu itu dalam kehidupan mereka sehari-hari?
Untuk mengkerangkai penjelasan terhadap data dan informasi yang dikumpulkan digunakan konsep kebudayaan, kesenian, kreativitas dan kreativogenik seni, serta desain dalam seni ukir. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan kualitatif, khususnya metode etnografis. Sasaran penelitian mengacu kedua arah yaitu kehidupan para perajin seni kerajinan ukir kayu di Desa Sukodono dan desain ukir yang diciptakannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat pengrajin Desa Sukodono mengawali usahanya sebagai buruh serabutan, tukang kayu atau tukang ukir di industri-industri kerajinan meubel ukir kayu di wilayah kota Jepara. Akan tetapi, karena pada tahun 1965 sampai tahun 1972 mengalami persaingan yang ketat untuk memperoleh peluang pekerjaan tersebut di wilayah kota Jepara, mereka mengambil alternatif untuk pergi merantau ke kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya untuk bekerja di bidang yang sama di perusahaan industri meubel besar di kota-kota besar tersebut.
Pengalaman pergi merantau di kota-kota besar merupakan pengalaman yang berharga, dan sekaligus menjadi modal besar, bagi masyarakat Desa Sukodono untuk mendirikan usaha industri kerajinan meubel ukir kayu di desanya sendiri. Selanjutnya, industri kerajinan meubel ukir kayu di Desa Sukodono berkembang pesat membentuk sistem jaringan pekerjaan yang dapat memberikan peluang kerja yang menguntungkan bagi warga masyarakat desa. Dengan demikian perekonomian masyarakat setempat pun ikut berkembang dengan baik.
Lingkungan alam yang ada cukup mendukung usaha di bidang kerajinan ukir kayu. Walaupun sekarang bahan alam sudah tidak semelimpah pada waktu.yang lampau, tetapi tampaknya kayu jati dan mahoni masih tetap dapat diperoleh dari wilayah sekitar Jepara, yang relatif kaya akan hutan kayu jati. Selain itu, faktor kesejarahan telah melekat dalam kesadaran orang-orang Sukodono yang merasa bahwa keahlian membuat ukiran kayu merupakan keahlian warisan dari nenek-moyangnya, yang secara khusus merupakan keahlian orang Jepara pada umumnya.
Desain ukir yang berkembang dan dirancang oleh para pengrain Desa Sukodono pada awalnya adalah desain khas Jepara. Namun, sekarang untuk memenuhi permintaan pasar yang semakin meluas, mereka juga membuat berbagai desain dan corak tradisional berbagai daerah di Indonesia, bahkan corak Eropa, Cina, dan Jepang pun sudah mulai dibuatnya. Barang yang dihasilkan juga semakin beragam. Industri kerajinan ukir Jepara, khususnya Desa Sukodono, telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupari sehari-hari masyarakat Desa Sukodono. Industri kerajinan ukir fungsional bagi pemenuhan kebutuhan hidup mereka, baik secara ekonomi maupun estetis, dan fungsional pula bagi pemenuhan berbagai kebutuhan lainnya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T8987
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Limbeng, Julianus
"Disertasi ini membahas tentang strategi bertahan seni pertunjukan Jaipong, yaitu Lingkung Seni Sinar Budaya di Bekasi. Jaipong sebagai sebagai sebuah seni pertunjukan Sunda yang tumbuh dan berkembang di Jawa Barat memiliki berbagai tantangan dalam kesinambungannya, khususnya di kota Bekasi, sehingga ada beberapa kelompok seni pertunjukan Jaipong yang mati. Namun ada juga yang hingga saat ini masih tetap eksis meskipun telah terjadi perubahan-perubahan disana. Lingkung Seni Sinar Budaya adalah salah satu kelompok seni pertunjukan Jaipong yang tetap hidup.
Dari sisi historis, Jaipong memang telah memiliki pergeseran fungsi, baik dari sisi pertunjukannya sendiri maupun masyarakat pendukungnya. Sebuah kesenian yang lahir dan erat kaitannya dengan ritus pertanian (sakral), dimana sistem mata pencaharian masyarakat pada masa itu memang didominasi masyarakat agraris, menjadi kesenian yang erat hubungannya dengan fungsi hiburan (sekuler) dengan pendukungnya yang lebih spesifik yang disebut dengan Bajidor. Dari fungsi penghormatan kepada Dewi Sri (yang dianggap sebagai Dewi Kesuburan) hingga penghormatan terhadap nilai-nilai ekonomi atau fungsi-fungsi ekonomi.
Fungsi ekonomi dilihat sebagai faktor yang sangat penting dalam keberlangsungan seni pertunjukan Jaipong. Jika dilihat kaitannya seni pertunjukan tersebut dengan lingkungannya, maka faktor ekonomi dapat dilihat sebagai sebuah nilai baru yang kemudian dijadikan sebagai dasar seluruh aktivitas pelaku seni pertunjukan Jaipong. Faktor ekonomi ini pulalah yang kemudian mempengaruhi bentuk seni pertunjukan tersebut. Ketika seni pertunjukan tersebut dapat memberikan nilai ekonomi bagi para pelakunya, maka seni pertunjukan tersebut tetap dapat bertahan. Ini menunjukkan bahwa seni pertunjukan tradisional pun sebenarnya telah masuk dalam ranah pasar.
Ia dipandang sebagai sebuah komoditas yang memiliki nilai ekonomi yang dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif menangani masalah ekonomi rumah tangga. Namun dalam konteks Lingkung Seni Sinar Budaya, strategi bertahannya tidak hanya dilihat dari sisi perubahan seni pertunjukannya saja, tetapi juga dilihat bagaimana hubungan mutualisme simboiosis yang dilakukan dengan berbagai struktur sosial yang ada, dengan memanfaatkan faktor kelebihan dan kekurangan masing-masing.

This dissertation describe survival strategic performing arts of Jaipong Lingkung Seni Sinar Budaya Bekasi. Jaipong, who know Sundanese performing arts has been many challenges in his continuity, in case in Bekasi. Within the las ten years, several Jaipong group. However the Lingkung Seni Sinar Budaya could stay afloat with many changes. From the historical side, Jaipong have change of function, both from the side of his own (performing), as well as from the community supporters.
Jaipong was born and intimately connected with the rite of agriculture, a rite that is considered sacred in peasant community, but now turned into common art, with supporters of a more specific who called Bajidor. The function of the veneration of the goddess, Dewi Sri, who is considered as the goddess of fertility, and now Jaipong respect for the value of economic value or economic function.
Economy function is seen as a very important factor in the existence of the Jaipong, then the economic factors can be seen as new value, the value that affects the action of perpetrators. Economic factor that are the basis of managing the Jaipong as a performing arts. When the perfoming arts can provide economic impact for the its actor, the Jaipong can stay afloat. This shows that the traditional performing arts has entered the realm of the market.
Jaipong viewed as a commodity of value economic, which can be used as an alternative to deal with the problem of household economy. In the Jaipong Lingkung Seni Sinar Budaya context, its survival strategy not only as seen from changes caused by economic factors only, but also how to relationship mutualisme symbiosis conducted with various social structures that exist in their environment. By leveraging the advantage and disadvantage of each to live in its environtment.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
D1330
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library