Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pradita Sari
"Latar Belakang. Neurosifilis merupakan infeksi susunan saraf akibat invasi bakteri Treponema Pallidum yang dapat menyebabkan kecacatan. Selain itu gejala klinis neurosifilis beragam, tidak khas, bahkan asimtomatik sehingga dapat menyebabkan kesalahan diagnosis yang cukup tinggi. Angka kejadian sifilis di Indonesia masih tinggi bahkan masih terus meningkat. Akan tetapi hingga saat ini belum diketahui prevalensi dan deskripsi neurosifilis di Indonesia. Studi ini bertujuan untuk mendapatkan prevalensi neurosifilis dan perbandingan karakteristik klinis dan penunjang antara neurosifilis dan non-neurosifilis di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo.
Metode. Studi potong lintang dengan data rekam medis di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada pasien dengan kecurigaan neurosifilis yang dikonsulkan ke neurologi sejak Januari 2019-Januari 2024. Dilakukan evaluasi karakteristik klinis dan penunjang baik profil darah berupa serum maupun cairan serebrospinal (CSS) serta pencitraan otak.
Hasil. Dari 100 subjek dengan kecurigaan neurosifilis yang dikonsulkan ke neurologi, terdapat 72 kasus neurosifilis dan 28 kasus non neurosifilis. Pada kelompok neurosifilis keluhan tersering saat dikonsulkan ke neurologi adalah gangguan penglihatan (OR 7,46 [2,83-19,64], p<0,001) dan nyeri kepala (OR 4,43 [1,22-16.14], p= 0,031). Titer RPR serum (median 1:128) dan TPHA serum kelompok neurosifilis (median 1:10240) lebih tinggi dibandingkan non neurosifilis. Kelompok neurosifilis cenderung memiliki jumlah leukosit CSS lebih tinggi (median 7 [1,00-155,0], p<0,001) dan jumlah protein lebih tinggi (median 47 [5,00-612,00], p<0,001) dibandingkan non-neurosifilis. Pada 10 subjek neurosifilis dengan gambaran pencitraan otak abnormal terdapat 3 subjek dengan gambaran space occupying lesion.
Kesimpulan. Prevalensi neurosifilis pada pasien sifilis yang dikonsulkan ke neurologi di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo sangat tinggi (72%). Kecurigaan neurosifilis lebih tinggi pada pasien sifilis dengan keluhan gangguan penglihatan atau nyeri kepala dan memiliki kadar limfosit darah yang rendah, dengan titer RPR serum ≥1:128 dan titer TPHA serum ≥1:10.240. Selain itu studi ini juga mendapatkan 10 subjek dengan abnormalitas pencitraan otak, sehingga pada pasien sifilis terutama dengan gejala dan tanda neurologi perlu dipertimbangkan untuk dilakukan pemeriksaan pencitraan otak MRI Kepala.

Background. Neurosyphilis is an infection of the nervous system caused by the invasion of the bacterium Treponema pallidum, which can lead to disability. Additionally, the clinical symptoms of neurosyphilis are varied, non-specific, and can even be asymptomatic, leading to a high rate of misdiagnosis. The incidence of syphilis in Indonesia remains high and continues to increase. However, to date, the prevalence and description of neurosyphilis in Indonesia are still unknown. This study aims to determine the prevalence of neurosyphilis and to compare the clinical and supporting characteristics between neurosyphilis and non-neurosyphilis patients at the National Central General Hospital Dr. Cipto Mangunkusumo.
Methods. A cross-sectional study utilizing medical records at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo will be conducted on patients suspected of having neurosyphilis who were referred to neurology from January 2019 to January 2024. The study will evaluate clinical characteristics and supportive data, including blood profiles (serum), cerebrospinal fluid (CSF) analysis, and brain imaging.
Result. From 100 subjects with suspected neurosyphilis referred to neurology, there were 72 cases of neurosyphilis and 28 cases of non-neurosyphilis. In the neurosyphilis group, the most common complaints at the time of consultation were visual disturbances (OR 7.46 [2.83-19.64], p<0.001) and headaches (OR 4.43 [1.22-16.14], p=0.031). Serum RPR titers (median 1:128) and TPHA titers (median 1:10240) were higher in the neurosyphilis group compared to the non-neurosyphilis group. The neurosyphilis group tended to have higher CSF leukocyte counts (median 7 [1.00-155.0], p<0.001) and higher protein levels (median 47 [5.00-612.00], p<0.001) compared to the non-neurosyphilis group. Among 10 neurosyphilis subjects with abnormal brain imaging, 3 subjects had findings suggestive of a space-occupying lesion
Conclusion. The prevalence of neurosyphilis among syphilis patients referred to neurology at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo is very high (72%). Suspicion of neurosyphilis is higher in syphilis patients presenting with visual disturbances or headaches and having low blood lymphocyte levels, with serum RPR titers ≥1:128 and serum TPHA titers ≥1:10,240. Additionally, this study also identified 10 subjects with abnormalities in brain imaging. Therefore, in syphilis patients, especially those with neurological symptoms and signs, consideration should be given to performing brain MRI imaging.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Dokumentasi  Universitas Indonesia Library
cover
Feranindhya Agiananda
"Menikah dan memiliki keturunan merupakan sebuah fase penting dalam siklus kehidupan. Apabila kehamilan tak kunjung terjadi setelah dua belas bulan berhubungan teratur tanpa pengaman, maka disebut sebagai infertilitas. Fertilisasi in vitro (FIV) dilakukan saat metode lain telah mengalami kegagalan, namun tahapan yang dilalui memberikan stres bagi yang menjalaninya. Melihat kompleksitas permasalahan, perlu untuk dikembangkan model pendampingan, berupa Terapi Kognitif Perilaku (TKP). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas TKP dalam memperbaiki faktor psiko-neuro-endokrin.
Penelitian terdiri dari dua tahap yaitu uji face validity dan studi eksperimental berupa uji klinis tersamar ganda. Penelitian dilakukan di Klinik Infertilitas Yasmin RSCM dan Klinik Dr Sander B Daya Medika. Waktu penelitian adalah bulan Mei 2016 – Maret 2023. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dan penilaian selama prosedur FIV, meliputi kecemasan, depresi, serta kadar hormonal berupa kortisol, norepinefrin, triiodotironin bebas (fT3), estradiol, dan progesteron. Interaksi antara kelompok intervensi dan waktu pengukuran terhadap variabel dianalisis dengan menggunakan mixed-model repeated measure ANOVA dan analisis post-hoc menggunakan uji t tidak berpasangan pada setiap pengukuran.
Analisis akhir melibatkan 75 subjek, terdiri dari 38 subjek kelompok kontrol dan 37 subjek kelompok TKP. Distorsi kognitif yang paling sering dialami subjek penelitian adalah fortune telling (34,2%), personalization (22,8%), dan should statement (14,3%). Terdapat penurunan skor kecemasan di sesi 8 TKP (p < 0,001) dan penurunan skor depresi di sesi 6 dan 8 TKP (p = 0,027 dan p = 0,007). Penurunan skor kecemasan sejalan dengan penurunan kadar norepinefrin (p = 0,002), sementara penurunan skor depresi bersesuaian dengan penurunan kadar kortisol (p < 0,001) dan perbaikan kadar estradiol (p = 0,024). Kadar fT3 dan progesteron tidak mengalami perbaikan hingga akhir sesi TKP. Mixed-model repeated measure ANOVA menguatkan hasil dengan adanya tren penurunan kecemasan, depresi, norepinefrin, dan kortisol pada kelompok TKP, dengan ukuran efek kecil hingga sedang.
Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa TKP terbukti efektif dalam memperbaiki faktor psiko-neuro-endokrin pada perempuan yang mengikuti FIV. Penting untuk dilakukan advokasi hasil penelitian kepada rumah sakit dengan layanan FIV dan mengintegrasikan panduan TKP pada FIV ke dalam prosedur standar dan panduan pelayanan klinis rumah sakit. Penting untuk melakukan penelitian lanjutan pada populasi dengan karakteristik lebih beragam dan mengembangkan bentuk pendampingan bagi pasangan agar dapat memberikan dukungan yang adekuat dan mengoptimalkan luaran FIV.

Marriage and parenthood are significant life stages. When a couple has regular, unprotected intercourse for 12 months without pregnancy, they are considered infertile. In vitro fertilization (IVF) is pursued when other methods fail, though it can cause significant stress for women. This study aims to assess the effectiveness of Cognitive Behavioral Therapy (CBT) in improving psycho-neuro-endocrine factors in women undergoing IVF.
The research comprises two phases: the assessment of face validity and an experimental study designed as a double-blind clinical trial, conducted at the Yasmin Infertility Clinic RSCM and Dr. Sander B Daya Medika Clinic. The research spanned from May 2016 – March 2023. Data were collected through questionnaires and evaluations during the IVF process, focusing on anxiety, depression, and hormonal levels, including cortisol, norepinephrine, free triiodothyronine (fT3), estradiol, and progesterone. The interaction between the intervention group and the timing of measurements for each variable was analyzed using a mixed-model repeated measures ANOVA and post hoc analysis with an unpaired t-test at each measurement interval.
The final analysis comprised 75 participants, 38 assigned to the control and 37 to the cognitive behavioral therapy (CBT) group. The predominant cognitive distortions identified included fortune telling (34.2%), personalization (22.8%), and should statements (14.3%). Notably, there was a significant reduction in anxiety scores observed during session 8 of CBT (p < 0.001), alongside a marked decrease in depression scores during sessions 6 and 8 (p = 0.027 and p = 0.007, respectively). The decline in anxiety scores was significantly correlated with a reduction in norepinephrine levels (p = 0.002), while the decrease in depression scores was linked to a significant drop in cortisol levels (p < 0.001) and an enhancement in estradiol levels (p = 0.024). However, no improvements were noted in the levels of fT3 and progesterone. The mixed-model repeated measures ANOVA corroborated these findings, indicating a significant trend in the reduction of anxiety, depression, norepinephrine, and cortisol within the CBT group, with effect sizes ranging from small to medium.
It can be inferred that CBT is effective in enhancing psycho-neuro-endocrine factors among women undergoing IVF. Consequently, it is crucial to promote these research outcomes within IVF service hospitals and incorporate CBT protocols into standard practices and clinical guidelines. Additional research should be pursued involving more diverse populations and the formulation of support models for couples, aimed at delivering adequate assistance to women undergoing IVF and optimizing the outcomes of the procedure.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Feranindhya Agiananda
"Menikah dan memiliki keturunan merupakan sebuah fase penting dalam siklus kehidupan. Apabila kehamilan tak kunjung terjadi setelah dua belas bulan berhubungan teratur tanpa pengaman, maka disebut sebagai infertilitas. Fertilisasi in vitro (FIV) dilakukan saat metode lain telah mengalami kegagalan, namun tahapan yang dilalui memberikan stres bagi yang menjalaninya. Melihat kompleksitas permasalahan, perlu untuk dikembangkan model pendampingan, berupa Terapi Kognitif Perilaku (TKP). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas TKP dalam memperbaiki faktor psiko-neuro-endokrin.
Penelitian terdiri dari dua tahap yaitu uji face validity dan studi eksperimental berupa uji klinis tersamar ganda. Penelitian dilakukan di Klinik Infertilitas Yasmin RSCM dan Klinik Dr Sander B Daya Medika. Waktu penelitian adalah bulan Mei 2016 – Maret 2023. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dan penilaian selama prosedur FIV, meliputi kecemasan, depresi, serta kadar hormonal berupa kortisol, norepinefrin, triiodotironin bebas (fT3), estradiol, dan progesteron. Interaksi antara kelompok intervensi dan waktu pengukuran terhadap variabel dianalisis dengan menggunakan mixed-model repeated measure ANOVA dan analisis post-hoc menggunakan uji t tidak berpasangan pada setiap pengukuran.
Analisis akhir melibatkan 75 subjek, terdiri dari 38 subjek kelompok kontrol dan 37 subjek kelompok TKP. Distorsi kognitif yang paling sering dialami subjek penelitian adalah fortune telling (34,2%), personalization (22,8%), dan should statement (14,3%). Terdapat penurunan skor kecemasan di sesi 8 TKP (p < 0,001) dan penurunan skor depresi di sesi 6 dan 8 TKP (p = 0,027 dan p = 0,007). Penurunan skor kecemasan sejalan dengan penurunan kadar norepinefrin (p = 0,002), sementara penurunan skor depresi bersesuaian dengan penurunan kadar kortisol (p < 0,001) dan perbaikan kadar estradiol (p = 0,024). Kadar fT3 dan progesteron tidak mengalami perbaikan hingga akhir sesi TKP. Mixed-model repeated measure ANOVA menguatkan hasil dengan adanya tren penurunan kecemasan, depresi, norepinefrin, dan kortisol pada kelompok TKP, dengan ukuran efek kecil hingga sedang.
Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa TKP terbukti efektif dalam memperbaiki faktor psiko-neuro-endokrin pada perempuan yang mengikuti FIV. Penting untuk dilakukan advokasi hasil penelitian kepada rumah sakit dengan layanan FIV dan mengintegrasikan panduan TKP pada FIV ke dalam prosedur standar dan panduan pelayanan klinis rumah sakit. Penting untuk melakukan penelitian lanjutan pada populasi dengan karakteristik lebih beragam dan mengembangkan bentuk pendampingan bagi pasangan agar dapat memberikan dukungan yang adekuat dan mengoptimalkan luaran FIV.

Marriage and parenthood are significant life stages. When a couple has regular, unprotected intercourse for 12 months without pregnancy, they are considered infertile. In vitro fertilization (IVF) is pursued when other methods fail, though it can cause significant stress for women. This study aims to assess the effectiveness of Cognitive Behavioral Therapy (CBT) in improving psycho-neuro-endocrine factors in women undergoing IVF.
The research comprises two phases: the assessment of face validity and an experimental study designed as a double-blind clinical trial, conducted at the Yasmin Infertility Clinic RSCM and Dr. Sander B Daya Medika Clinic. The research spanned from May 2016 – March 2023. Data were collected through questionnaires and evaluations during the IVF process, focusing on anxiety, depression, and hormonal levels, including cortisol, norepinephrine, free triiodothyronine (fT3), estradiol, and progesterone. The interaction between the intervention group and the timing of measurements for each variable was analyzed using a mixed-model repeated measures ANOVA and post hoc analysis with an unpaired t-test at each measurement interval.
The final analysis comprised 75 participants, 38 assigned to the control and 37 to the cognitive behavioral therapy (CBT) group. The predominant cognitive distortions identified included fortune telling (34.2%), personalization (22.8%), and should statements (14.3%). Notably, there was a significant reduction in anxiety scores observed during session 8 of CBT (p < 0.001), alongside a marked decrease in depression scores during sessions 6 and 8 (p = 0.027 and p = 0.007, respectively). The decline in anxiety scores was significantly correlated with a reduction in norepinephrine levels (p = 0.002), while the decrease in depression scores was linked to a significant drop in cortisol levels (p < 0.001) and an enhancement in estradiol levels (p = 0.024). However, no improvements were noted in the levels of fT3 and progesterone. The mixed-model repeated measures ANOVA corroborated these findings, indicating a significant trend in the reduction of anxiety, depression, norepinephrine, and cortisol within the CBT group, with effect sizes ranging from small to medium.
It can be inferred that CBT is effective in enhancing psycho-neuro-endocrine factors among women undergoing IVF. Consequently, it is crucial to promote these research outcomes within IVF service hospitals and incorporate CBT protocols into standard practices and clinical guidelines. Additional research should be pursued involving more diverse populations and the formulation of support models for couples, aimed at delivering adequate assistance to women undergoing IVF and optimizing the outcomes of the procedure.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library