Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Erwiza
Abstrak :
Pada tahun 1904, B.Hoetink, Inspektur Perburuhan di Deli, menulis sebuah laporan tentang kehidupan buruh tambang di pulau Belitung: Bagi seseorang yang bersimpati dengan Cina, suatu kunjungan ke Billiton Maatschappij merupakan penyegaran, mengingat di mana-mana kuli Cina digambarkan sebagai binatang, pengisap candu dan hina, di sini tidak hanya barang-barang mereka yang bagus...tetapi juga jarak antara majikan dan kuli tidak sebesar seperti di tempat lain...saya telah meninggalkan Belitung dengan kesan bahwa sekarang di mana pun penambang Cina semestinya memiliki apa yang diinginkannya (Mailrapporll904 no.283). Kutipan dari laporan Hoetink di atas agaknya bukanlah contoh yang khas dalam kebanyakan laporan pejabat kolonial pada periode ini; ia mencerminkan semangat zamannya,[l ] khususnya sehubungan dengan pandangan moral politik etis tentang beberapa aspek kondisi buruh di Belitung. Laporan ini sangat menarik untuk dipelajari lebih jauh karena isinya mengungkapkan sedikit dan banyak hal yang masih gelap dalam dunia perburuhan. la mengesankan keadaan yang menyenangkan ketika melukiskan kondisi kehidupan buruh, baik mengenai kondisi fisik mereka, maupun jarak sosial antara buruh dan majikan di lingkungan tambang timah di pulau itu. Sebagaimana terlihat dari kutipan di atas, pengalaman yang dihadapi Hoetink selama melakukan perjalanan dinas ke berbagai perusahaan Belanda di daerah luar Jawa ketika itu, lalu ditulis dalam suatu laporan, khususnya mengenai kondisi buruh tambang di pulau Belitung dibanding dengan keadaan buruh di daerah lain di Hindia-Belanda. Apapun kondisi buruh yang sebenarnya, masih buruh tambang timah Belitung tampaknya sudah mendapat perhatian yang hampir sama lamanya dengan masalah yang muncul di dalam dunia kehidupan buruh itu sendiri. Sejak awal pembukaan daerah tambang timah pertama pada tahun 1852, usaha penambangan timah di pulau Belitung boleh dikatakan mengalami perkembangan yang lamban, jika dibandingkan dengan pulau tetangganya, Bangka yang sudah mulai diusahakan sejak tahun 1711.[2] Ada banyak faktor penyebabnya. Pertama, perhatian VOC, Inggris (1813-1816) dan kemudian pemerintah kolonial Belanda lebih tertuju untuk menguasai timah Bangka yang sudah terkenal sejak lama. Keuntungan yang dapat ditarik dari nilai ekspor timah Bangka yang melimpah, mendorong VOC untuk memonopoli perdagangannya lewat Palembang. Demikian juga halnya dengan Inggris. Pejabat Inggris lebih terfokus perhatiannya untuk mengelola langsung produksi timah Bangka dari pada mengeluarkan dana untuk kepentingan penelitian timah di Belitung. Kedua, arah politik kolonial Belanda sejak abad ke-19 lebih tertuju untuk memperluas wilayah kekuasaannya ke daerah-daerah luar Jawa.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lindayanti
Abstrak :
ABSTRAK
Sektor pertanian pada waktu ini masih memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat Jambi. Selain pertanian rakyat, perkebunan juga merupakan usaha yang penting, khususnya perkebunan rakyat: kopi, lada, cengkeh, karet, kelapa, tebu, tembakau, dan teh. Pada waktu ini di antara berbagai tananan keras ini, yang terbanyak dihasilkan oleh Jambi adalah karet.
Luas perkebunan karet rakyat di Jambi pada tahun 1990 adalah 476.859 Ha dengan produksi sebanyak 209.447 ton. Menurut Sensus Pertanian tahun 1983 jumlah petani karet di Jambi adalah 84.495 orang, sedangkan jumlah seluruh petani di Indonesia adalah 881.908 orang.
Selain di Jambi terdapat perkebunan karet rakyat juga di beberapa daerah lain, seperti Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah.
Pada waktu ini karet masih merupakan produk ekspor yang penting bagi propinsi Jambi. Tulisan ini akan mengka,ji proses masuknya karet ke Jambi, sampai men jadi tanaman. rakyat, dan proses perkembangan perkebunan karet rakyat di Jambi selama masa kolonial Belanda.
Perkebunan karet pada dasarnya dapat digolongkan dalam dua kategori, yang dibedakan menurut modal yang ditanamkan, sistem pembayaran kepada penyadap dan pelaksanaan administrasi perkebunan, yaitu perkebunan besar dan perkebunan rakyat. Di Jambi semasa jaman kolonial Belanda hanya terdapat tiga perkebunan besar, yaitu Batanghari, Pondok Meja dan Sungei Bluru, sedangkan jumlah perkebunan rakyat adalah besar sekali.
Dalam suatu proses yang panjang perkembangan perkebunan karet rakyat dari tahun 1906 sampai berakhimya kekuasaan pernerintah Belanda pada tahun 1942, karet merupakan satu faktor yang berhasil meningkatkan ekonomi masyarakat Jambi. Oleh karena itu masa karet dikenal oleh penduduk setempat sebagai masa hujan emas (istilah hujan emas juga dikenal di daerah Palembang). Permasalahan yang dikaji dalam tulisan ini adalah bagaimana pengaruh perkebunan karet rakyat terhadap perekonornian masyarakat Jambi.
Tulisan mengenai perkebunan karat rakyat di Jambi sebenarnya sudah pernah dilakukan bersama dengan pembahasan kebun karet rakyat di Palembang oleh A.H.P. Clemens dalam skripsinya 'De Bevolkingsrubbercultuur in Djambi en Palembang Tijdens het Interbellum' (Perkebunan Karet Rakyat.di. Jambi dan Palembang Di Antara Dua Perang Dunia). Clemens membandingkan perkebunan karet rakyat di Jambi dan Palembang dengan perkebunan karet milik orang Eropa dan juga mengkaji bagaimana produsen karet pribumi menanggapai perkembangan harga karet di pasaran dunia dan terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda mengenai masalah yang berkenaan dengan karet rakyat.
1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tundjung
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library