Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Savero Vasya Jendriza
"Latar Belakang: Talasemia merupakan penyakit kelainan hemoglobin (Hb) dengan prevalensi tinggi di Indonesia maupun dunia. Komplikasi pada talasemia dapat terjadi akibat kadar Hb pre-transfusi yang rendah dan penumpukan feritin serum. Pengetahuan, sikap, dan perilaku yang baik terhadap suatu penyakit dibutuhkan untuk mencapai kesehatan yang diinginkan dan mencegah komplikasi. Studi ini bertujuan untuk mencari hubungan antara pengetahuan, sikap, dan perilaku terhadap talasemia, Hb pre-transfusi dan kadar feritin serum pada pasien remaja talasemia karena mereka memiliki prevalensi tertinggi. Metode: Kuesioner pengetahuan, sikap, dan perilaku (PSP) melalui google form disebarkan untuk mendapatkan data dari pasien talasemia remaja yang memenuhi kriteria studi. Pengetahuan akan dibagi menjadi adekuat atau tidak adekuat, sikap dibagi menjadi positif atau negatif, perilaku dibagi menjadi baik atau buruk berdasarkan hasil skor kuesioner. Kadar Hb pre-transfusi dan feritin serum diambil dari rekam medik pasien, dan dikelompokkan menjadi Hb dan serum ferritin yang tinggi atau rendah. Hasil Penelitian: Dari 85 subjek, terdapat 49.4% pasien dengan pengetahuan adekuat, 91.8% pasien dengan sikap positif, dan 72.9% pasien dengan perilaku baik. Pasien masih kurang memahami fasilitas skrining dan pentingnya suplementasi vitamin. Pasien perlu meningkatkan sikap positif terhadap skrining thalassemia dan perilaku baik terhadap kepatuhan obat. Terdapat hubungan yang tidak bermakna secara statisik antara pengetahuan, sikap dan perilaku terhadap kadar Hb pre-transfusi dan kadar ferritin (p >0.05) pada remaja dengan talasemia. Kesimpulan: Remaja talasemia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo memiliki pengetahuan yang tidak adekuat, namun dengan sikap dan perilaku yang baik. Perlu adanya edukasi berkala untuk meningkatkan pengetahuan.

Introduction: Thalassemia is a hemoglobin (Hb) disorder that has a high prevalence in Indonesia and the world. Complications in thalassemia can occur due to low pre-transfusion Hb and accumulation of serum ferritin. A good knowledge, attitude, and practice towards a disease are needed to achieve desired health outcomes and prevent complications. This study aims to find the relationship between knowledge, attitude, and practice towards thalassemia, pre-transfusion Hb, and serum ferritin levels in thalassemic adolescents as they have the highest prevalence. Methods: Knowledge, attitude, and practice (KAP) questionnaire through google form were distributed to adolescent thalassemic patients who met the criteria. Knowledge will be divided into adequate or inadequate; attitudes are divided into positive or negative; practice is divided into good or bad based on the questionnaire results. Level of Pre-transfusion Hb and serum ferritin were taken from the patient's medical record and grouped into high or low Hb and ferritin. Result: Out of 85 subjects, there were 49.4% patients with adequate knowledge, 91.8% patients with positive attitude, and 72.9% patients with good practice. Patients still lack understanding of screening facilities and the importance of vitamin supplementation. Patients need to increase positive attitude towards thalassemia screening and good behavior towards treatment adherence. There was a statistically insignificant relationship between knowledge, attitude, and practice on thalassemia with pre-transfusion Hb and serum ferritin (p > 0.05) in thalassemic adolescents. Conclusion: Thalassemic adolescents at Cipto Mangunkusumo Hospital have inadequate knowledge, but with good attitudes and behavior. Periodic education is needed to increase knowledge."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ivan Riyanto Widjaja
"Latar belakang: Penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) adalah kejadian refluks gastroesofagus yang telah disertai gangguan kualitas hidup atau komplikasi. Angka kejadian PRGE di seluruh dunia sangat beragam dan dipengaruhi oleh distribusi usia. Penyakit gastrointestinal fungsional melatar belakangi terjadinya PRGE. Angka kejadian PRGE pada usia 10—12 tahun yang merupakan masa awal remaja serta hubungan PRGE dengan kejadian gastrointestinal di Indonesia belum pernah dilaporkan.
Metode: Studi potong lintang yang dilanjutkan dengan studi kasus kontrol dilakukan terhadap seluruh siswa kelas 4—6 SD, SDN Kenari 1—12, Jakarta pada bulan Mei—Juli 2014. Penegakkan diagnosis PRGE menggunakan kuesioner frequency scale for the symptoms of gastroesofageal reflux disorder (FSSG) dengan melalui translasi kuesioner. Kolik infantil dan gumoh ditegakkan sesuai kriteria ROME III. Sakit perut berulang ditegakkan sesuai kriteria Apley.
Hasil penelitian: Validasi kuesioner hasil translasi ke bahasa Indonesia menunjukkan validitas (seluruh pertanyaan memiliki r > 0,3 dengan p < 0,05) dan reabilitas (Cronbach alpha 0,853 dengan item reability index setiap pertanyaan > 0,3) yang baik. Angka kejadian PRGE 404 (44,6%) dari 905 orang anak usia 10—12 tahun dengan interval kepercayaan 95% (IK 95%) 41,4% sampai 47,9%. Odd ratio PRGE pada lelaki dibandingkan perempuan 0,841 (IK 95% 0,646 sampai 1,095; p = 0,198). Kejadian kolik infantil, gumoh, dan sakit perut berulang berturut-turut 23,3%, 16,9%, dan 3%. Tidak ditemukan hubungan bermakna antara jenis kelamin (p = 0,299), kelompok usia (p = 0,902), kolik (p = 0,226), dan sakit perut berulang (p = 0,353) dengan kejadian PRGE. Hasil analisis multivariat menunjukkan gumoh dan riwayat orang tua dengan PRGE berhubungan dengan kejadian PRGE pada anak usia 10—12 tahun dengan odd ratio berturut-turut 2,166 (IK 95% 1,226 sampai 3,827) dan 3,069 (IK 95% 1,233 sampai 7,637).
Simpulan: Angka kejadian PRGE pada anak usia 10—12 tahun di Indonesia adalah 44,6%. Regurgitasi pada masa bayi dan riwayat PRGE pada orang tua berhubungan dengan kejadian PRGE pada anak usia 10—12 tahun. Tidak ditemukan hubungan bermakna antara kolik infantil dan riwayat sakit perut berulang terhadap kejadian PRGE.

Introduction: Gastroesophageal reflux disease (GERD) is an event of gastroesophageal reflux followed by certain disruption in quality of life or one of which cause some complications. Prevalence of GERD varies greatly worldwide and influenced by age distribution. Functional gastrointestinal disorders are responsible for GERD. GERD prevalence in children aged 10—12 years old, which is an early adolescence phase, as well as correlation between GERD and other gastrointestinal disorder were never been reported in Indonesia.
Method: A cross sectional study followed by a case control study were done to all elementary students grade 4—6 who studied in SDN Kenari 1—12, from May to July 2014. Diagnosis of GERD was established using frequency scale for symptoms of gastroesophageal reflux disorder (FSSG), which was translated into Indonesian language. Infantile colic and regurgitation were diagnosed according to ROME III criteria while recurrent abdominal pain according to Apley criteria.
Result: Validation of the translated FSSG questionnaire showed that it was valid (all question had r > 0.3 with p < 0.05) and reliable (Cronbach alpha 0.853 with item reliability index on each question > 0.3). Prevalence of GERD was 404 (44.6%) out of 905 children aged 10—12 years old wih confidence interval of 95% (95% CI, 41.4% to 47.9%). Odd ratio (OR) of GERD in males compared to females was 0.841 (95% CI, 0.646 to 1.095; p = 0.198). Prevalence of infantile colic, regurgitation, and reccurent abdominal pain were 23.3%, 16.9%, and 3% respectively. There were no significant correlation in GERD prevalence with sex (p = 0.299), age group (p = 0.902), infantile colic (p = 0.226), and recurrent abdominal pain (p = 0.353). Multivariate analysis showed that GERD prevalence correlated with regurgitation (OR 2.166; 95% CI, 1.226 to 3.827) and parental history of GERD (OR 3.069; 95% CI, 1.233 to 7.637).
Conclusion: GERD prevalence in children aged 10—12 years old in Indonesia was 44.6%. Infant regurgitation and parental history of GERD correlated with the event of GERD in children aged 10—12 years old. There is no significant correlation between infantile colic and history of reccurent abdominal pain with GERD prevalence.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anindita Basuki
"ABSTRAK
Latar Belakang dan tujuan: Pemeriksaan MRI T2 pankreas merupakan pemeriksaan yang lebih akurat dalam menilai hemosiderosis pankreas, namun memiliki keterbatasan karena hanya tersedia di kota-kota besar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi nilai T2 pankreas dengan kadar glukosa darah, karakteristik T2 pankreas dan kadar glukosa darah subyek penelitian, serta pengaruh letak ROI terhadap nilai T2 pankreas. Metode: Penelitian menggunakan desain potong lintang pada 52 subyek anak dan 12 subyek dewasa antara September 2015-Juni 2016. Hasil: Nilai T2 pankreas anak antara 2,71-48,77 ms dan dewasa 6,49-41,82 ms. Kadar glukosa darah puasa anak rerata 87,31 11,01 mg/dL dan dewasa 88,00 10,27 mg/dL. Korelasi nilai T2 pankreas terhadap kadar glukosa darah puasa anak r=0,198 p=0,160 dan dewasa r=0,004 p=0,991 . Hubungan nilai T2 pankreas dengan letak ROI didapatkan p=0,105. Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi nilai T2 pankreas dengan kadar glukosa darah puasa pada anak dan dewasa. Tidak terdapat perbedaan signifikan nilai T2 pankreas menurut letak ROI.

ABSTRACT
Background and Objective T2 MRI examination is more accurate in assessing pancreatic hemosiderosis but lack of availability to be used routinely in daily practice. This study aimed to determine the correlation value of T2 pancreas with blood glucose levels in thalassemic children and adults. Methods Cross sectional study that held in September 2015 June 2016, involving 52 children and 12 adults. Results Pancreatic T2 values of children are 2.71 to 48.77 ms and values of adults are from 6.49 to 41.82 ms. Mean of fasting blood glucose levels in children are 87.31 11.01 mg dL and mean of adults are 88.00 10.27 mg dL. Correlation r between value of pancreatic T2 against children rsquo s fasting blood glucose levels was 0.198 p 0.160 and adults was 0.004 p 0.991 . Significancy value p of relationship between pancreatic T2 and ROI of pancreas was 0.105. Conclusion There was no significant correlation between pancreatic T2 values with fasting blood glucose levels in children and adults, nor significant difference in T2 values according to ROI of pancreas."
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Ayuningtyas
"ABSTRAK
Latar belakang : Prevalens terjadinya malnutrisi bervariasi pada berbagai siklus kemoterapi LLA. Penelitian di Malaysia mendapatkan anak LLA pasca-kemoterapi fase induksi cenderung mengalami obesitas atau status gizi lebih. Penyebab malnutrisi pada anak LLA dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Perubahan status gizi selama kemoterapi dapat memengaruhi luaran kemoterapi.
Tujuan: mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi perbaikan status gizi anak LLA setelah kemoterapi fase konsolidasi, serta pengaruhnya terhadap luaran kemoterapi, sehingga dapat dipakai sebagai masukan untuk upaya mengatasi malnutrisi pada anak LLA.
Metode : Penelitian ini dengan uji retrospektif, di Rumah sakit Cipto Mangunkusumo, selama tahun 2016-2018. Total sampling pada pasien leukemia limfoblastik akut yang terdiagnosis, dan menjalani kemoterapi di RSCM hingga fase konsolidasi.
Hasil : Seratus empat puluh satu subyek pasien anak LLA diikutsertakan dalam penelitian ini. Terdapat 69,5% subyek mengalami perbaikan status gizi, dan 30,5% mengalami perburukan status gizi, dengan 60% perburukan ke arah overnutrition pasca-kemoterapi fase konsolidasi. Faktor risiko independen terhadap terjadinya perbaikan status gizi pasca-kemoterapi fase konsolidasi ialah tidak timbulnya efek samping kemoterapi (RR 1,36, 95% IK 1,02 - 1,81). Jenis makanan dan cara pemberian makan tidak memengaruhi perubahan status gizi anak LLA pasca-fase konsolidasi. Terdapat hubungan antara perbaikan status gizi anak LLA pasca-fase konsolidasi dengan kejadian remisi (RR 1,24, 95% IK 1,03 - 1,5).
Simpulan : Status gizi pasca-kemoterapi fase konsolidasi mengalami perbaikan dibandingkan sebelum kemoterapi, sedangkan yang mengalami perburukan status gizi cenderung mengalami overnutrition. Perbaikan status gizi anak LLA pasca-kemoterapi fase konsolidasi dipengaruhi oleh tidak timbulnya efek samping kemoterapi. Terdapat hubungan antara perbaikan status gizi anak LLA pasca-kemoterapi fase konsolidasi dengan kejadian remisi.

ABSTRACT
Background: Acute lymphoblastic leukemia (ALL) is the most common malignancy in childhood. The prevalence of malnutrition varies in phase of ALL chemotherapy. Study in Malaysia showed ALL children after induction phase of chemotherapy tended to be obese or overweight. The causes of malnutrition in ALL children can be influenced by various factors. Changes in nutritional status during chemotherapy can affect the outcome of chemotherapy.
Aim: To investigate factors that influence nutritional status improvement of ALL children after consolidation phase, as well as the effect on the outcomes of chemotherapy, so it can be used as an input to overcome malnutrition in ALL children.
Method: A retrospective design was performed in Cipto Mangunkusumo Hospital from 2016 until 2018. Total sampling in patients with acute lymphoblastic leukemia who was diagnosed and started chemotherapy at Cipto Mangunkusumo Hospital until the consolidation phase.
Result: A total of 141 subjects were included in this study. After consolidation phase, 69.5% of subjects experienced nutritional status improvements, and 30.5% worsened, of which 60% become over nutrition post-consolidation phase. Independent risk factor for the improvement of nutritional status after consolidation phase was the absence of chemotherapy side effects (RR 1.36, 95% CI 1.02 - 1.81). There were no association between type of food and route of feeding with nutritional status improvement of ALL children after consolidation phase. There was association between improvement in nutritional status of ALL children after consolidation phase with the incidence of remission (RR 1.24, 95% CI 1.03 - 1.5).
Conclusion: Nutritional status at post-consolidation phase has improved compared to pre- chemotherapy, while those who worsening nutritional status tend to overnutrition. The absence of chemotherapy side effects affects nutritional status improvement of ALL children after consolidation phase. There is a relationship between nutritional status improvement of ALL children after consolidation phase with the incidence of remission."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55513
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tuty Herawaty,author
"Stimulasi perkembangan yang dilakukan secara terarah pada usia dini meningkatkan kemampuan anak di semua ranah perkembangannya. Kualitas pengasuhan yang dilakukan oleh ibu dan lingkungan keluarga lain berperan dalam menentukan keberhasilan stimulasi. Metode edukasi yang lebih efektif dan informatif dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas pengasuhan ibu. Video panduan stimulasi diperkirakan bisa menjadi sarana belajar yang baik.
Tujuan. Menilai kenaikan tingkat perkembangan (Developmental Quotient/DQ) bayi usia 6-12 bulan sesudah diberikan stimulasi oleh ibu dengan video panduan stimulasi dibandingkan dengan bayi yang dilakukan stimulasi mandiri oleh ibu berdasarkan buku KIA.
Metode. Penelitian uji acak terkendali terbuka (open randomized controlled trial) yang membandingkan kualitas pengasuhan dan tingkat perkembangan bayi usia 6-12 bulan sebelum dan sesudah pemberian video stimulasi perkembangan kepada ibu dibandingkan dengan stimulasi berdasarkan buku KIA. Penilaian kualitas pengasuhan menggunakan instrumen HOME Inventory dan tingkat perkembangan (DQ) menggunakan Griffith-III. Dinilai kualitas pengasuhan anak, DQ anak secara keseluruhan, perbandingan DQ sebelum dan sesudah perlakuan pada kedua kelompok, hubungan kualitas pengasuhan dan DQ, serta kenaikan DQ pada kedua kelompok.
Hasil. Skor HOME Inventory kategori baik (skor ≥27) pada kelompok perlakuan sebesar 84,09% dan 15,91% kurang baik (skor <27), sedangkan pada kelompok kontrol 53,45% kategori baik dan 46,55% kurang baik. Tingkat perkembangan anak dalam DQ mendapatkan 16,16% di bawah rerata (<90), 58,82% rata-rata (DQ 90-109), dan 23,23% di atas rerata (>110). Kenaikan DQ dari pretest ke post-test pada kelompok perlakuan sebesar 14,27+12,12 dibandingkan dengan 1,37+18,55 pada kelompok kontrol.
Simpulan. Stimulasi dengan panduan video meningkatkan DQ bayi usia 6-12 bulan lebih tinggi daripada stimulasi berdasarkan buku KIA.

Developmental stimulation at an early age improves children's abilities in all areas of development. The quality of care performed by the mother and other family plays a role in determining the success of stimulation. More effective and informative educational methods are needed to improve the quality of maternal care. Stimulation guide videos are expected to be a good learning tool for mothers and caregivers of the child.
Objective.
Assessing the increase in the level of development (Developmental Quotient/DQ) infants aged 6-12 months after being given stimulation by mothers who received stimulation guidance videos compared to babies who were self-stimulated by mothers based on the MCH Handbook.
Methods.
An open randomized controlled trial that compared the quality of care and development levels of infants aged 6-12 months before and after treatment in the form of providing developmental stimulation videos to mothers compared to a control group that performed stimulation based on the MCH book. Assessment of the quality of care using the HOME Inventory instrument, and the level of development (DQ) using Griffith-III. Assessed the quality of childcare, DQ of children as a whole, comparison of DQ before and after treatment in the two groups, the relationship between the quality of care, and DQ and the increase in DQ in both groups.
Results.
HOME Inventory scores in the good category (score 27 and above) in the treatment group were 84.09% and 15.91% were not good (below 27), while in the control group 53.45% were in good categories and 46.55% were not good. The level of child development in the DQ was 16.16% below the average (<90), 58.82% on average (DQ 90-109) and 23.23% above the average (> 110). The increase in DQ from pretest to posttest in the treatment group was 14.27 + 12.12 compared to 5.02 + 18.55 in the control group.
Conclusions.
Video stimulation can increase the DQ value of infants aged 6-12 months more than self-stimulated method based on the MCH handbook.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Halimma Cempaka Salsabilla
"Introduction. Thalassemia is one of the hemoglobin disorders with high prevalence worldwide and in Indonesia. A continuous red blood cells transfusion can result in accumulation of iron in the body and stored as ferritin. The excessive iron is removed using iron chelation therapy where a good compliance to iron chelators is required for desirable outcomes. Hence, this study aims to find the association between patients’ compliance to oral iron chelators (Deferasirox and Deferiprone) and serum ferritin level in adolescent thalassemia patients as they have been known to be non-compliant towards their medication.
Methods. Questionnaire and patient diary card were distributed to adolescent thalassemia patients who had fulfilled exclusion and inclusion criteria. Subjects were divided into poor and good compliance based on the result of patient diary card which were filled for 30 days. Based on Adherence Barrier Questionnaire (ABQ), high and low ABQ score were obtained. The serum ferritin level pre- and post-study was obtained from patients’ medical record. The association between patients’ compliance from the diary card report was assessed using SPSS along with identification of adherence barriers and questionnaire’s total score from the ABQ result.
Results. Out of 29 subjects, from the result of patient diary card, there were 72% subjects with poor compliance and 28% subjects with good compliance. Based on ABQ result, there were 4.8% subjects with high ABQ score and 55.2% subjects with low ABQ score. There was a statistically significant correlation between ABQ score and serum ferritin level difference pre- and post-study (ρ = -0.394, p = 0.034). The correlation between patient’s compliance from diary card and serum ferritin level was insignificant (ρ = -0.040, p = 0.838). Based on ABQ result, it was found that forgetfulness, patients’ attitude towards their regiments, and fear of side effects are barriers towards patients’ compliance for iron chelators.
Conclusion. There is a correlation between patients’ compliance and serum ferritin level based on the result of ABQ.

Pendahuluan. Talasemia adalah salah satu kelainan hemoglobin dengan prevalensi tinggi di dunia dan di Indonesia. Transfusi darah dalam jangka waktu panjang menyebabkan penumpukan zat besi dalam tubuh yang disimpan sebagai feritin serum. Zat besi yang berlebihan dikeluarkan dengan terapi kelasi besi, dimana dibutuhkan kepatuhan yang baik terhadap obat kelasi besi agar hasil pengobatan baik. Studi ini bertujuan untuk mencari hubungan antara kepatuhan pasien terhadap obat kelasi besi oral (Deferasiroks dan Deferipron) dengan jumlah feritin serum pada pasien talasemia remaja karena remaja dikenal sering tidak patuh terhadap pengobatan mereka.
Metode. Kuesioner dan buku diari disebarkan untuk mengumpulkan data dari pasien talasemia remaja yang memenuhi kriteria eksklusi dan inklusi. Subjek dibagi menjadi kepatuhan baik dan buruk berdasarkan hasil buku diari yang diisi selama 30 hari. Berdasarkan hasil Adherence Barrier Questionnaire (ABQ), didapatkan skor ABQ tinggi dan rendah. Jumlah feritin serum sebelum dan sesudah studi diambil dari rekam medik pasien. Hubungan antara kepatuhan pasien berdasarkan buku diari dinilai menggunakan SPSS bersamaan dengan identifikasi penghambat kepatuhan dan skor total kuesioner berdasarkan hasil ABQ.
Hasil. Dari 29 subjek, berdasarkan hasil buku diari, terdapat 72% subjek dengan kepatuhan yang baik dan 28% subjek dengan kepatuhan yang buruk. Berdasarkan hasil ABQ, terdapat 44.8% subjek dengan skor ABQ tinggi dan 55.2% subjek dengan skor ABQ rendah. Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara skor ABQ dan perbedaan feritin serum sebelum dan sesudah studi (ρ = -0.394, p = 0.034). Sementara itu, hubungan antara kepatuhan pasien bedasarkan buku diari dengan perbedaan jumlah feritin serum tidak bermakna (ρ = -0.040, p = 0.838). Ditemukan bahwa lupa, sikap pasien terhadap obatnya, dan ketakutan terhadap efek samping adalah penghalang kepatuhan pasien terhadap obat kelasi besi berdasarkan hasil respon dari ABQ.
Kesimpulan. Terdapat hubungan antara kepatuhan pasien dengan jumlah feritin serum berdasarkan hasil ABQ.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Dina Maritha
"Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah keganasan yang paling sering terjadi pada anak-anak. Angka kesembuhan yang besar terjadi akibat terapi kanker saat ini, namun respon toksik yang terkait dan pembentukan radikal bebas meningkatkan angka kematian akibat pengobatan daripada kematian akibat penyakitnya itu sendiri. Komplikasi kemoterapi meningkatkan rasa ingin tahu dokter untuk mempelajari penggunaan antioksidan sebagai pengobatan tambahan pada kanker. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi peran N-asetilsistein ​​(NAS) sebagai terapi antioksidan pada anak-anak dengan LLA SR (standard risk) selama fase induksi kemoterapi, dan kemungkinan peran mereka dalam pencegahan dan pengendalian komplikasi hati terkait dengan penggunaan agen kemoterapi. Sebuah uji klinis acak tersamar tunggal NAS dibandingkan dengan plasebo yang dilakukan pada pasien anak Departemen Ilmu Kesehatan Anak Divisi Hematologi dan Onkologi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Penelitian ini dilakukan pada 11 pasien anak-anak usia mereka berkisar antara 2 dan 10 tahun dengan LLA SR yang menjalani kemoterapi fase induksi dan memenuhi kriteria inklusi. Pasien secara acak dialokasikan ke dalam dua kelompok, NAS atau kelompok plasebo. Mereka dievaluasi secara klinis untuk terjadinya komplikasi dan sampel darah dikumpulkan sebagai parameter laboratorium (plasma malondialdehid (MDA), enzim transaminase, dan bilirubin). Sebanyak 11 subjek dilakukan analisis yang terdiri dari 6 pada kelompok n-asetilsistein dan 5 pada kelompok plasebo. Karakteristik subjek didominasi oleh anak laki-laki dengan status gizi kurang. Kadar rerata MDA cenderung mengalami penurunan, sebanyak tiga subjek dari enam subjek pada kelompok perlakuan dan tiga subjek dari lima subjek pada kelompok plasebo. Insidens peningkatan kadar enzim transaminase sebesar 25%. Tidak terjadi kejadian kolestasis pada subjek penelitian. Pengobatan NAS ​​berdasarkan dosis antioksidan cenderung menurunkan kadar MDA, dan mencegah peningkatan enzim transaminase, dan bilirubin.

Acute lymphoblastic leukemia (ALL) is the most commonly malignancy in children. Cancer therapies have experienced great success nowadays, yet the associated toxic response and free radicals formation have resulted in significant number of treatment-induced deaths rather than disease-induced fatalities. Complications of chemotherapy increases physicians curiosity to study antioxidant use as adjunctive treatment in cancer. This study aims to evaluate the role of N-acetylcysteine (NAC) as antioxidant therapy in children with ALL during the induction phases of chemotherapy, and their possible role in prevention and control of hepatic complications associated with the use of chemotherapic agents. A randomized single-blind clinical trial of NAC in comparison with placebo conducted in hematology and oncology pediatric patient of Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. The study was performed in 11 pediatric patients with ALL with their ages ranging between 2 and 10 years, undergoing induction phase chemotherapy that fulfilled the inclusion criteria consecutively. Patient were randomly allocated into of two groups, NAC or placebo group. They were evaluated clinically for the occurance of complications and blood samples were collected as the laboratory parameters (plasma malondyaldehide (MDA), transaminase enzyme, and bilirubin). A total 11 participants were included in analysis consisted of 6 in n-acetylcysteine group and 5 in placebo group. Characteristics of subject were predominated by boys and moderate malnourished. Mean MDA levels tended to decrease, as many as three subjects from six subjects in the NAC group and three subjects from five subjects in the placebo group. Incidence of increased levels of the transaminase enzyme by 25%. There was no cholestasis events in the study subjects. NAS treatment based on antioxidant doses tends to reduce MDA levels, and prevent the increase in the transaminase enzyme and bilirubin."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T57623
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Destianti
"Latar belakang: Pemeriksaan cardiac siderosis dengan MRI T2 1,5 Tesla merupakan baku emas tetapi belum ada yang menggunakan MRI 3 Tesla. Provinsi Aceh merupakan daerah yang mempunyai banyak pasien thalassemia mayor di Indonesia, sampai saat ini belum ada data mengenai cardiac siderosis dan gangguan fungsi diastolik yang diperiksa dengan ekokardiografi tissue Doppler. Pemeriksaan cardiac siderosis yang tersedia di Aceh adalah MRI 3 Tesla.
Tujuan: Menilai korelasi antara gangguan fungsi diastolik dengan cardiac siderosis ekokardiografi tissue Doppler dan feritin serum pada pasien anak thalassemia major di Aceh.
Metode: Studi observasional dilakukan di Rumah Sakit Umum Dr. Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh pada bulan Juli hingga September 2018. Dilakukan pencatatan data karakteristik, Hb pre-transfusi, feritin serum, data ekokardiografi dan nilai MRI T2 3 Tesla jantung. Korelasi antara MRI T2 jantung dengan ekokardiografi dan feritin serum dinilai dengan uji Pearson.
Hasil: Penelitian ini mengikutsertakan 34 subyek usia 8-17,5 tahun. Cardiac siderosis didapat pada 8 (23,5%) subyek. Gangguan diastolik didapati pada 10 (29,5%) subyek. Tidak dijumpai korelasi antara MRI T2 jantung dengan fungsi diastolik ETD (r= 0,086; p= 0,62). Terdapat korelasi signifikan antara MRI T2 dengan feritin serum (r= -0,537; p < 0,0001).
Simpulan: Terdapat korelasi kuat antara MRI T2 jantung dengan kadar feritin serum, tetapi tidak terdapat korelasi antara fungsi diastolik dengan MRI T2 3 Tesla jantung

Backgrounds: Cardiac T2 MRI at 1,5 T remains gold standard for cardiac siderosis. However in some centres only MRI 3 T is available. Aceh Province is the largest region with thalassemia careers in Indonesia, there are no data about cardiac siderosis and diastolic dysfunction in children with thalassemia major in Aceh. Thalassemia center in Aceh has only MRI 3 Tesla
Objectives: To study correlation diastolic function cardiac siderosis with cardiac T2 MRI 3 Tesla among Acehnesse children thalassemia.
Methods: Observational studies were conducted at Dr. General Hospital Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh from July to September 2018. Data on characteristics, pre-transfusion hemoglobin, serum ferritin, echocardiography and cardiac T2 MRI were recorded. Correlation between heart T2 MRI is carried out by the Pearson test as well as serum ferritin.
Results: Thirty-four subjects participated in the study aged 8-17.5 years. Eight subjects (23.5%) experienced cardiac siderosis which was examined by cardiac T2 MRI T2 3 Tesla. Diastolic dysfunction examination by tissue Doppler echocadiography were found in 10 (29.5%) subjects. There was no correlation between MRI of heart T2 with diastolic function tissue Doppler echocardiography (r = 0.086; p = 0.62). There was a significant correlation between MRI T2 and serum ferritin (r = -0.537; p <0.0001).
Conclusion: There was no correlation between cardiac T2 MRI 3 Tesla and diastolic function ETD. There was a strong and significant correlation between MRI T2 and serum ferritin. Tissue Doppler can detect early diastolic dysfunction in thalassemia patients better than conventional.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Dina Maritha
"Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah keganasan yang paling sering terjadi pada anak-anak. Angka kesembuhan yang besar terjadi akibat terapi kanker saat ini, namun respon toksik yang terkait dan pembentukan radikal bebas meningkatkan angka kematian akibat pengobatan daripada kematian akibat penyakitnya itu sendiri. Komplikasi kemoterapi meningkatkan rasa ingin tahu dokter untuk mempelajari penggunaan antioksidan sebagai pengobatan tambahan pada kanker. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi peran N-asetilsistein ​​(NAS) sebagai terapi antioksidan pada anak-anak dengan LLA SR (standard risk) selama fase induksi kemoterapi, dan kemungkinan peran mereka dalam pencegahan dan pengendalian komplikasi hati terkait dengan penggunaan agen kemoterapi. Sebuah uji klinis acak tersamar tunggal NAS dibandingkan dengan plasebo yang dilakukan pada pasien anak Departemen Ilmu Kesehatan Anak Divisi Hematologi dan Onkologi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Penelitian ini dilakukan pada 11 pasien anak-anak usia mereka berkisar antara 2 dan 10 tahun dengan LLA SR yang menjalani kemoterapi fase induksi dan memenuhi kriteria inklusi. Pasien secara acak dialokasikan ke dalam dua kelompok, NAS atau kelompok plasebo. Mereka dievaluasi secara klinis untuk terjadinya komplikasi dan sampel darah dikumpulkan sebagai parameter laboratorium (plasma malondialdehid (MDA), enzim transaminase, dan bilirubin). Sebanyak 11 subjek dilakukan analisis yang terdiri dari 6 pada kelompok n-asetilsistein dan 5 pada kelompok plasebo. Karakteristik subjek didominasi oleh anak laki-laki dengan status gizi kurang. Kadar rerata MDA cenderung mengalami penurunan, sebanyak tiga subjek dari enam subjek pada kelompok perlakuan dan tiga subjek dari lima subjek pada kelompok plasebo. Insidens peningkatan kadar enzim transaminase sebesar 25%. Tidak terjadi kejadian kolestasis pada subjek penelitian. Pengobatan NAS ​​berdasarkan dosis antioksidan cenderung menurunkan kadar MDA, dan mencegah peningkatan enzim transaminase, dan bilirubin.

Acute lymphoblastic leukemia (ALL) is the most commonly malignancy in children. Cancer therapies have experienced great success nowadays, yet the associated toxic response and free radicals formation have resulted in significant number of treatment-induced deaths rather than disease-induced fatalities. Complications of chemotherapy increases physicians curiosity to study antioxidant use as adjunctive treatment in cancer. This study aims to evaluate the role of N-acetylcysteine (NAC) as antioxidant therapy in children with ALL during the induction phases of chemotherapy, and their possible role in prevention and control of hepatic complications associated with the use of chemotherapic agents. A randomized single-blind clinical trial of NAC in comparison with placebo conducted in hematology and oncology pediatric patient of Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. The study was performed in 11 pediatric patients with ALL with their ages ranging between 2 and 10 years, undergoing induction phase chemotherapy that fulfilled the inclusion criteria consecutively. Patient were randomly allocated into of two groups, NAC or placebo group. They were evaluated clinically for the occurance of complications and blood samples were collected as the laboratory parameters (plasma malondyaldehide (MDA), transaminase enzyme, and bilirubin). A total 11 participants were included in analysis consisted of 6 in n-acetylcysteine group and 5 in placebo group. Characteristics of subject were predominated by boys and moderate malnourished. Mean MDA levels tended to decrease, as many as three subjects from six subjects in the NAC group and three subjects from five subjects in the placebo group. Incidence of increased levels of the transaminase enzyme by 25%. There was no cholestasis events in the study subjects. NAS treatment based on antioxidant doses tends to reduce MDA levels, and prevent the increase in the transaminase enzyme and bilirubin."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Rosdiana
"Latar Belakang: Infeksi merupakan penyebab kematian yang penting pada thalassemia. Peningkatan risiko infeksi disebabkan oleh banyak faktor antara lain karena kelebihan besi dan splenektomi. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan fungsi fagositosis monosit pada pasien thalassemia mayor pasca splenektomi dan non splenektomi serta mengetahui hubungan fungsi fagositosis monosit dengan kadar feritin serum.
Metode: Penelitian dilakukan di Departemen Patologi Klinik RSCM, Jakarta pada September 2013 ? Februari 2014. Desain penelitian potong lintang, dengan subjek penelitian pasien thalassemia mayor, terdiri dari 58 subjek pasca splenektomi dan 58 subjek non splenektomi yang telah dilakukan macthing umur dan jenis kelamin. Dilakukan pemeriksaan fagositosis monosit menggunakan E.coli yang telah diopsonisasi dan dilabel FITC sebagai target, (PhagotestTM) dan diperiksa dengan flow cytometry BD FACSCalibur. Kadar feritin serum diperiksa dengan Cobas e 601.
Hasil: Median fagositosis monosit pada 58 subjek pasca splenektomi 5,03 (0,17 ? 22,79) %, dan pada 58 subjek non splenektomi 7,09 (0,11 ? 27,24) %, dan nilai p > 0.05. Kadar feritin serum pada subjek pasca splenektomi 6.724 (644,60 ? 21.835) ng/mL dan subjek non splenektomi 4.702,50 (1.381 ? 14.554) ng/mL, dan nilai p < 0.05. Hasil uji korelasi fungsi fagositosis monosit dengan kadar feritin didapatkan r = 0.13 (nilai p = 1.00).
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna antara fungsi fagositosis monosit pada pasien thalassemia mayor pasca splenektomi dan non splenektomi. Kadar feritin serum pada pasien thalassemia mayor pasca splenektomi lebih tinggi secara bermakna dibandingkan non splenektomi. Tidak didapatkan hubungan antara fagositosis monosit dengan kadar feritin serum.

Background: Infection is an important cause of death in thalassemia. Increase of risk of infection could be due to iron overload and post-splenectomy. The study aimed to determine the difference of phagocytosis function of monocyte between post-splenectomized and non- splenectomized patients with thalassemia major, and the correlation of phagocytosis function of monocyte and serum ferritin level.
Methods: The study was conducted in Department of Clinical Pathology Cipto Mangunkusumo hospital, Jakarta, in September 2013 ? Februari 2014. It was a cross sectional study. The study subjects consisted of 58 post-splenectomized patients and 58 non-splenectomized patients with age and sex matching. Phagocytosis function of monocyte was determined using E.coli opsonized and labelled with FITC as target, (Phagotest TM) and was measured by flow cytometry BD FACSCalibur. Serum ferritin level was measured using Cobas e 601.
Result: Median phagocytosis of monocyte was 5,03 (0,17 ? 22,79) %, in 58 post- splenectomized subjects and 7,09 (0,11 ? 27,24) % in non-splenectomized subjects; p value > 0.05. Serum ferritin level was 6.274 (644,60 ? 21.835) ng/mL in post-splenectomized subjects and 4.702,50 (1.381 - 14.554) ng/mL in non-splenectomy subjects; p value < 0.05. The correlation between phagocytosis function of monocyte and serum ferritin level was r = 0.13 ( p value = 1.00).
Conclusion: There was no statistical difference of phagocytosis function of monocyte between post-splenectomized subjects and non-splenectomized subjects. Serum ferritin level in post- splenectomized was higher than non-splenectomized subjects. There was no correlation between phagocytosis function of monocyte and serum ferritin level.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>