Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Nur
Abstrak :
Sebelum abad ke-19 pantai barat Sumatera berada dalam kekuasaan Aceh. Kekuatan Aceh sangat dirasakan di setiap bandar dengan menempatkan Wakil Raja Aceh yang bergelar Panglima Aceh. Kehadiran kekuatan Aceh di kawasan pesisir barat ditanggapi oleh penduduk setempat dengan pro dan kontra. Bagi yang pro, mereka mendukung keberadaan Panglima Aceh di setiap bandar, sebab sebagian dari oray,g Aceh telah menjadi penduduk setempat dan berketurunan. Namun kadang_kadang para Panglima sering berbuat semena-mena terhadap penduduk dengan memonopoli perdagangan lada dan bahan komoditi lainnya. Para Wakil Aceh melarang penduduk berdagang dengan pedagang lain selain orang Aceh. Jika ada yang tidak mentaati peraturan itu, orang Aceh tidak segan-segan memukul atau menganiaya orang yang berani berdagang dengan pedagang lain. Faktor inilah yang menyebabkan penduduk berusaha menolak para Wakil Aceh yang ganas itu dan berusaha mencari hubungan dengan pedagang Eropa. Para Wakil Aceh juga menjadi penghalang masuknya pedagang Eropa ke pantai barat Sumatera, seperti Inggris dan Belanda. Pada abad ke-18 beberapa bandar di pesisir barat telah menolak para penguasa Aceh. Kebetulan ketika itu posisi Aceh memang telah lemah setelah tidak adanya kekuatan Raja Aceh yang melanjutkan jejak Sultan Iskandar Muda yang terkenal. Kondisi yang demikian menguntungkan bagi para pedagang Eropa.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2000
D1769
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susanto Zuhdi
Abstrak :
ABSTRAK
"Kesultanan Butun memperlihatkan poly ""ketidakstabilan yang tetap"". Corak ini disebabkan oleh faktor ancaman balk yang datang dari luar maupun dari dalam negeri. Keberadaan Butun di tengah kekuatan-kekuatan besar--Gown, Ternate, dan VOC--mengakibatkan dirinya memilih secara bergantian antara sekutu dan seteru. Oleh karena ancaman Gowa, Butun bersekutu dengan VOC, pihak yang juga berlawanan kepentingan dengan Gowa. Dalam menghadapi Gowa itu pula, Butun, VOC, dan Ternate secara bersama-sama menggalang kekuatan mereka. Bahkan untuk menghadapi Gowa itu pula Butun bersekutu dengan Bone, kerajaan yang berusaha lepas dari tekanan Gowa. Dalam hubungan Butun dengan Gowa tampaknya lebih merupakan soal perluasan kekuasaan dan ekonomi. Bagi Gowa, Butun hares dikuasai atau setidaknya dipengaruhi agar dapat memudahkan orang Makasar berlayar ke Kepulauan Maluku. Beberapa kali pasukan Gowa menyerang Butun dan mengambil ""upeti"" serta merhmpas penduduknya. Bagi Butun, Gowa adalah ancaman yang datang dari arah haluan (rope). Tidak sebagaimana terhadap Gowa, dalam hubungannya dengan Ternate, Butun menempatkan dirinya secara politik dan kultural berada di bawah Ternate. Meskipun selalu ada upaya Butun untuk berdiri sejajar dengan Ternate tetapi setiap kali hal itu dilakukan setiap kali itu pula is hares mengakui hegemoni kultural Ternate. Hal itu berkaitan dengan latar belakang mitos ""dunia Maluku"" dan masuknya Islam ke Butun dari Ternate. Meskipun demikian dalam kenyataan politik, Butun mencoba beberapa kali menantang Ternate untuk mempertahankan daerahnya dari aneksasi dan perampasan warganya oleh Ternate. Bagi Butun, Ternate merupakan ancaman yang datang dari arah buritan (u.unuu). Berakhirnya dua ancaman di atas, VOC merupakan bentuk ancaman yang lain dan mempunyai karakteristik tersendiri. Pola hubungan Butun dengan VOC terlihat dalam kontrak tahun 1613 yang menunjukkan bentuk aliansi militer. Pola hubungan berikutnya tercermin dalam kontrak tahun 1667 yang memperlihatkan peneguhan kekuasaan tunggal sultan Butun terutama untuk menghadapi perebutan kekuasaan"
1999
D1823
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library