Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lidya Purnamasari
"ABSTRAK
Latar Belakang: Pada teknik radiografi digitized, image enhancement dilakukan
untuk memperbaiki kualitas gambar dengan mengoptimalkan brightness dan
contrast. Tujuan: Mengetahui rentang nilai yang dapat ditoleransi pada
pengaturan brightness dan contrast pada abses apikalis kronis dan granuloma
apikalis. Metode: Dilakukan pengaturan image enhancement dengan mengubah
nilai brightness dan contrast pada 60 radiograf dengan diagnosis abses apikalis
kronis dan granuloma apikalis. Hasil: Rentang nilai yang dapat ditoleransi pada
pengaturan brightness dan contrast dalam interpretasi abses apikalis kronis dan
granuloma apikalis berkisar dari -10 hingga +10. Kesimpulan: Pengaturan
brightness dan contrast radiograf tidak mempengaruhi interpretasi radiografik
apabila pengaturan dilakukan dalam rentang nilai toleransinya.

ABSTRACT
Background: In digitized radiography techniques, adjusment of image
enhancement can be done to improve image quality by optimizing brightness and
contrast. Objective: To determine the value range of brightness and contrast
adjustment on chronic apical abscess and apical granuloma interpretation.
Methods: 60 radiographs diagnosed chronic apical abscess apical granuloma
were adjusted by changing brightness and contrast values. Results: The value
range of brightness and contrast adjustments on radiographic interpretation of
chronic apical abscess and apical granuloma ranging from -10 to +10.
Conclusion: Brightness and contrast adjustments on digital radiograph do not
affect radiographic interpretation if conducted within the value range."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devia Tasya Rachmadiani
"Latar Belakang: Tulang mandibula merupakan tulang terkuat pada tengkorak yang mengalami perubahan sesuai usia. Pengukuran mandibula banyak dijadikan parameter terkait tumbuh kembang yang bermanfaat untuk berbagai bidang ilmu kedokteran gigi termasuk ortodonsi dan forensik.
Tujuan: Mengetahui nilai pengukuran parameter mandibula pada radiograf panoramik sebagai data dasar untuk estimasi usia rentang 14-35 tahun dan 50-70 tahun.
Metode: Pengukuran parameter mandibula pada 200 sampel radiograf panoramik digital usia 14-35 tahun dan 50-70 tahun.
Hasil: Pengukuran parameter mandibula terhadap usia tidak berbeda bermakna secara statistik, namun cenderung mengalami peningkatan atau penurunan sesuai perubahan usia.
Kesimpulan: Pengukuran parameter mandibula pada radiograf panoramik usia 14-35 tahun dan 50-70 belum dapat digunakan sebagai data dasar untuk estimasi usia.

Background: Mandible is the strongest bone in skull and experience change with age. Mandibular parameters measurements are often used in relation with growth and development that are useful in dentistry including in orthodontics and forensic dentistry.
Objective: To obtain the mandibular parameters value through panoramic radiograph as basic data in age estimation of 14 35 and 50 70 years old subjects.
Method: Measurement of mandibular parameters on digital panoramic radiograph of 200 subjects at age 14 35 years and 50 70 years old.
Results: The measurement of mandibular parameters are not statistically significant but tend to change according to age.
Conclusion: Measurement of mandibular parameters in panoramic radiograph cannot be used as basic data for age estimation in 14 35 years old and 50 70 years old.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kandita Iman Khairina
"ABSTRAK
Perubahan pertumbuhan penduduk Indonesia ke arah usia yang lebih tua. Seiring bertambahnya usia, tubuh manusia mengalami perubahan salah satunya adalah perubahan jaringan tulang. Salah satu tulang yang terlibat dalam kedokteran gigi adalah tulang mandibula. Gambaran radiogoraf panoramik dapat melihat tinggi tulang mandibula secara radiografis. Tujuan: Mengetahui nilai rata-rata tinggi tulang mandibula pasien rentang usia 45-75 tahun secara radiografis. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Pengukuran tinggi tulang mandibula pada tiga titik referensi spesifik pada 136 radiograf panoramik digital pasien usia 45-75 tahun menggunakan software Digora for Windows 2.5 R1 Tuusula Finland. Tiga titik referensi tersebut yaitu A, C, dan F. Tinggi A merupakan tinggi mandibula pada daerah sudut dalam mandibula, Tinggi F merupakan tinggi pada daerah foramen mental, dan C merupakan tinggi di antara tinggi A dan F. Hasil: Nilai rata-rata tinggi tulang mandibula pasien rentang usia 45-75 tahun yang diperoleh 32.27 mm dengan nilai rata-rata tertinggi pada titik referensi F. Nilai rata-rata tinggi tulang mandibula tertinggi terdapat pada kelompok usia 45-55 tahun, sedangkan terendah pada kelompok usia 66-75 tahun. Kesimpulan: Nilai rata-rata tinggi tulang mandibula menurun pada kelompok usia 66-75 tahun. Usia bukan merupakan satu-satunya faktor yang mempengaruhi tinggi tulang mandibula.

ABSTRACT
Indonesia rsquo s population growth is increasing in older group. As the age is increasing, human body undergoes some changes. One of the changes that happens is osseous tissues changes. One of bones in human body that is involved in dentistry is mandible. Dental panoramic radiograph can be used to see the heigh of mandible bone radiographically. Objective To obtain the average value of mandibular height in 45 75 year old patiesnts in digital panoramic radiograph. Method This study is a descriptive cross sectional study.Mandibular height at three specific references in 136 digital panoramic radiograph of 45 75 year old patients were measured using Digora for Windows 2.5 R1 Tuusula Finland software. The three specific references are, mandibular height A which is the height of mandible in inner angle of mandible region, F is the height of mandible in foramen mental region, and C is the height of mandible between them. Results The average value of mandibular height in 45 75 year old patients that has been obtained is 32.272 mm with the highest average value at specific reference F. The age group with the highest average value is 45 55 age group, while the lowest is 66 75 age group. Conclusion The average value of mandibular height is lower in 66 75 age group. "
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mikail
"Latar Belakang: Penerapan teknik image enhancement pada radiografi digital saat ini dilakukan berdasarkan preferensi subjektif pengamat. Pengaturan peningkatan citra dilakukan untuk memperjelas citra radiografi, antara lain dengan mengubah kecerahan dan kontras, sehingga memudahkan interpretasi dalam penanganan kasus. Tujuan: Untuk mengetahui toleransi nilai kecerahan dan kontras pada radiografi digital kasus periodontitis apikal dan abses apikal dini yang gambaran radiografinya sulit dibedakan. Metode: Menyesuaikan pengaturan peningkatan gambar dengan menyesuaikan nilai kecerahan dan kontras pada nilai +10, +15, -10, -15 yang akan diamati, diproses, dan dianalisis menggunakan perangkat lunak analisis data. Hasil: Kisaran nilai yang dapat ditoleransi dalam pengaturan peningkatan dan penurunan kecerahan dan kontras pada kasus periodontitis apikal dan abses apikal dini adalah di bawah +10 dan di bawah -10. Kesimpulan: Mengatur kecerahan dan kontras ke nilai di atas 10 untuk peningkatan dan penurunan dapat mengubah informasi diagnostik secara signifikan.

Background: The application of image enhancement techniques in digital radiography is currently carried out based on the subjective preference of the observer. Image enhancement settings are made to clarify the radiographic image, among others by changing the brightness and contrast, so as to facilitate interpretation in case management. Objective: To determine the tolerance for brightness and contrast values ​​on digital radiography of cases of apical periodontitis and early apical abscess whose radiographic features are difficult to distinguish. Method: Adjust the image enhancement settings by adjusting the brightness and contrast values ​​at +10, +15, -10, -15 values ​​to be observed, processed, and analyzed using data analysis software. Results: The range of tolerable values ​​in the setting of increasing and decreasing brightness and contrast in cases of apical periodontitis and early apical abscess was below +10 and below -10. Conclusion: Setting the brightness and contrast to values ​​above 10 for increase and decrease can significantly change the diagnostic information."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Giovanni
"Latar Belakang: Sampai saat ini tingkat penyakit gigi dan mulut di Indonesia masih sangat tinggi yaitu 57,6% dari total populasi dan penyakit karies mencapai 88,8% dari jumlah tersebut. Terdapat beberapa metode untuk mendeteksi karies, dan salah satu metode yang paling sering digunakan adalah kombinasi pemeriksaan klinis dan pemeriksaan radiografis. Akan tetapi, lesi karies dini sering kali tidak terdeteksi. Saat ini computed radiography memiliki kelebihan yaitu dapat meningkatkan kualitas gambaran radiografik dengan menggunakan imaging tools berupa filter, yang diharapkan dapat meningkatkan akurasi deteksi lesi karies dini. Tujuan: Penelitian ini membandingkan akurasi gambaran radiografik tanpa filter dan penggunaan beberapa filter dalam digital imaging processor untuk deteksi lesi karies dini. Metode: Penelitian dilakukan dengan desain laboratorik eksperimental dengan metode uji diagnostik. Penelitian ini menggunakan lima set model gigi posterior, terdiri dari 16 gigi dengan 42 permukaan tidak memiliki karies, dan 36 permukaan dengan simulasi karies dini buatan. Data primer berupa gambaran radiografik tanpa filter dan menggunakan filter yang diperoleh dengan menggunakan digital imaging processor yaitu sistem storage phosphor plate Vistascan©. Seluruh gambaran radiografik tanpa filter, filter fine, caries 1, caries 2 dan HD (High Diagnostic) dinilai oleh tiga orang pengamat yang menyatakan ada atau tidak ada lesi karies dini. Hasil: Berdasarkan hasil uji statistik paired T-test, didapatkan hasil gambaran filter HD dan fine memiliki nilai sensitivitas yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan gambaran tanpa filter (p < 0,05). Gambaran filter caries 1 dan caries 2 tidak memiliki perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan gambaran tanpa filter. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada spesifisitas antara gambaran sebelum dan sesudah penggunaan filter. Nilai akurasi keseluruhan antara gambaran tanpa filter dan gambaran dengan filter meningkat secara signifikan hanya pada gambaran filter HD (p < 0,05). Kesimpulan: Gambaran filter HD menunjukkan nilai sensitivitas, spesifisitas, dan akurasi keseluruhan tertinggi diantara gambaran filter-filter yang ada dalam sistem Vistascan maupun gambaran tanpa filter. filter HD juga merupakan satu-satunya filter yang memiliki nilai akurasi keseluruhan lebih tinggi secara signifikan dibandingkan gambaran tanpa filter.

Background: Until now, record of 57.6% of the total population in Indonesia has oral diseases, with caries lesion problems amounting to 88.8% of these diseases. This can be interpreted as caries being highly prevalent in Indonesia. There are some methods to detect caries lesion, with one of the most popular method being combined clinical and radiographic examination. Nevertheless, early caries lesion is frequently undetected. Computed radiography offers the privilege of original image quality enhancement through imaging tools such as filters and is expected to increase the accuracy of early caries lesion detection. Objective: The aim of this study was to compare the accuracy of original radiographic images, and images which have been enhanced with specific filters on digital imaging processor for detection of early caries lesion. Methods: The type of research conducted was laboratory experiment research with diagnostic test methods. This research used 5 working model, containing 16 tooth with research 42 tooth surfaces were sound, and 36 had early caries lesions. Primary data were used in the form of radiographic images in several filters made by Vistascan storage phosphor plate system. All of the radiographic images were assessed by 3 observers who recorded the presence or absence of early caries lesions. Results: Using statistical paired T-test, the sensitivity of HD and fine filter images were significantly higher than the non-filter images (p < 0.05). The caries 1 and caries 2 images did not differ significantly than the original images. There is no significant difference between the specificity of original filter images and filter enhanced images. The overall accuracy between original filter images and filter enhanced images increased significantly only on HD filter (p < 0.05). Conclusion: HD filter showed the highest sensitivity, specificity, and overall accuracy from all other filters and the original images. Furthermore, HD filter is the only filter modalities that had significantly higher overall accuracy than the original images. Therefore, there is a significant increase in accuracy from the original images and filter enhanced images."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Winaya
"Latar Belakang: Kondisi edentulus umumnya menjadi dominan pada usia ≥65 tahun. Prevalensi edentulus parsial sendiri di Indonesia mencapai 79,8%. Beberapa penelitian telah menunjukkan adanya temuan radiografik yang cukup tinggi pada radiograf panoramik pasien edentulus yang sehat. Temuan-temuan tersebut berdampak penting pada rencana perawatan prostodontik, terutama perawatan implant-supported prosthesis. Salah satu penyakit yang dijumpai pada usia pengguna gigi tiruan adalah osteoporosis. Hal tersebut menjadi perhatian khusus karena osteoporosis merupakan faktor risiko yang mempercepat penurunan residual ridge. Berdasarkan hal tersebut dan dengan sedikitnya penelitian yang menggunakan sampel edentulus parsial, maka diperlukan data untuk mengetahui frekuensi distribusi temuan insidental pada radiograf panoramik pasien edentulus parsial. Tujuan: Mengetahui frekuensi distribusi temuan insidental pada radiograf panoramik pasien edentulus parsial. Metode: Penelitian ini merupakan studi cross-sectional dengan menggunakan 385 sampel radiograf panoramik pasien edentulus parsial di RSKGM FKG UI. Radiograf dievaluasi dan diinterpretasi menggunakan i-Dixel Morita dan viewer box untuk mengetahui adanya temuan insidental, seperti gigi impaksi, sisa akar gigi, foreign bodies, lesi radiolusen/mixed/radiopak, atrofi maksila, dan lebar korteks tepi bawah mandibula (<3,0 mm). Data usia, jenis kelamin, dan hasil interpretasi radiograf panoramik dicatat dalam Microsoft Excel. Uji reliabilitas dilakukan menggunakan uji Gwet AC1, Kappa, dan ICC. Hasil: Prevalensi adanya minimal satu temuan insidental pada radiograf panoramik pasien edentulus parsial yang tidak memiliki keluhan/memiliki keluhan di luar temuan insidental, yakni 71,95% (277 radiograf). Total seluruh temuan insidental pada 277 radiograf adalah 549. Secara temuan insidental, urutan temuan insidental dari yang paling banyak hingga paling sedikit, yaitu lebar korteks tepi bawah mandibula (<3,0 mm), lesi radiolusen/mixed/radiopak, atrofi maksila, gigi impaksi, sisa akar gigi, dan foreign bodies. Rata-rata lebar korteks tepi bawah mandibula menurun seiring dengan bertambahnya usia dan lebih rendah pada perempuan, dengan rata-rata total lebar korteks tepi bawah mandibula adalah 3,12 mm. Kesimpulan: Prevalensi adanya minimal satu temuan insidental pada radiograf panoramik pasien edentulus parsial yang tidak memiliki keluhan/memiliki keluhan di luar temuan insidental cukup tinggi. Hal tersebut dapat menjadi peringatan bagi klinisi untuk dapat lebih lengkap dan berhati-hati dalam melakukan pemeriksaan, khususnya pada pasien edentulus parsial.

Background: The edentulous condition generally becomes dominant at the age of ≥65 years. The prevalence of partial edentulous in Indonesia reaches 79.8%. Several studies have demonstrated high radiographic findings on panoramic radiographs of healthy edentulous patients. These findings have an important impact on prosthodontic treatment planning, especially the treatment of implant-supported prostheses. One of the diseases found at the age of denture wearers is osteoporosis. This is of particular concern because osteoporosis is a risk factor that accelerates the reduction of the residual ridge. Based on these and with the small number of studies using partial edentulous samples, data is needed to determine the frequency distribution of incidental findings on panoramic radiographs of partial edentulous patients. Objective: To determine the frequency distribution of incidental findings on panoramic radiographs of partial edentulous patients. Method: This study is a cross-sectional study using 385 panoramic radiographs of partial edentulous patients at RSKGM FKG UI. Radiographs were evaluated and interpreted using the i-Dixel Morita and viewer box for any incidental findings, such as impacted teeth, retained root teeth, foreign bodies, radiolucent/mixed/radiopaque lesions, maxillary atrophy, and mandibular cortical width (<3,0 mm). Data on age, sex, and interpretation of panoramic radiographs were recorded in Microsoft Excel. The reliability test was carried out using the Gwet AC1, Kappa, and ICC tests. Result: The prevalence of having at least one incidental finding on panoramic radiographs of partial edentulous patients who had no complaints/had complaints other than incidental findings is 71.95% (277 radiographs). The total of all incidental findings on 277 radiographs is 549. In terms of incidental findings, the order of incidental findings from most to least, namely mandibular cortical width (<3,0 mm), radiolucent/mixed/radiopaque lesions, maxillary atrophy, impacted teeth, retained root teeth, and foreign bodies. The mean mandibular cortical width decreased with age and is lower in females, with the average total of mandibular cortical width is 3.12 mm. Conclusion: The prevalence of at least one incidental finding on panoramic radiographs of partial edentulous patients who have no complaints/have complaints other than incidental findings is quite high. This can be a warning for clinicians to be more complete and careful in conducting examinations, especially in partial edentulous patients."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Nandita Dewana
"Latar Belakang : Anomali gigi dapat menyebabkan berbagai masalah fungsional seperti, maloklusi, meningkatkan resiko karies, dan mengganggu estetika. Tingkat kejadian anomali gigi di Indonesia, masih belum banyak diteliti. Berdasarkan hal tersebut, maka penting untuk melakukan identifikasi untuk memperoleh data frekuensi distribusi anomali gigi pada radiograf panoramik di RSKGM FKG UI. Tujuan : Mendapatkan data frekuensi distribusi anomali gigi berdasarkan usia dan jenis kelamin pada radiograf panoramik di RSKGM FKG UI. Metode : Penelitian ini merupakan studi cross-sectional dengan total sampel 367 radiograf panoramik. Radiograf dievaluasi dan diinterpretasi oleh dua orang observer untuk mengidentifikasi anomali gigi sesuai klasifikasi berdasarkan anomali jumlah (gigi supernumerari), ukuran (makrodonsia dan mikrodonsia), erupsi (transposisi), serta morfologi (fusi, concrescence, geminasi, taurodonsia, dilaserasi, dens invaginatus, dens evaginatus, molar incisor malformation (MIM) , amelogenesis imperfecta, dentinogenesis imperfecta, dentin dysplasia, regional odontodisplasia, enamel pearl, talon cusp, dan congenital sifilis). Data usia, jenis kelamin, dan hasil interpretasi radiograf panoramik dicatat. Selanjutnya, dilakukan uji reliabilitas menggunakan uji Kappa untuk data kategorik dan uji ICC untuk data numerik. Hasil : Dari total sampel 367 radiograf pada rentang usia 6-79 tahun ditemukan 133 (36,2%) radiograf panoramik dengan anomali gigi, sebanyak 1-4 kasus pada setiap radiograf. Jumlah seluruh anomali gigi yang ditemukan adalah 395 kasus. Anomali gigi terbanyak ditemukan pada rentang usia 16-25 tahun. Berdasarkan klasifikasi, frekuensi distribusi anomali gigi yang ditemukan, secara berurutan yaitu anomali morfologi (63,15%), ukuran (32,33%), jumlah (18,05%), dan erupsi (7,52%). Jenis anomali morfologi gigi yang paling banyak ditemukan adalah dilaserasi (33,83%), anomali ukuran adalah mikrodonsia (32,05%), dan anomali jumlah adalah gigi supernumerari (23,64%). Berdasarkan jenis kelamin, frekuensi distribusi anomali gigi ditemukan lebih banyak pada laki-laki (45,83%) dibanding perempuan (31,87%). Anomali gigi yang paling banyak ditemukan pada laki-laki adalah gigi supernumerari, concrescence, dens invaginatus dan enamel pearl. Sedangkan, anomali gigi yang paling banyak ditemukan pada perempuan adalah makrodonsia, mikrodonsia, transposisi, geminasi, taurodonsia, dilaserasi, dens evaginatus, molar-incisor malformation (MIM), dan talon cusp. Kesimpulan : Prevalensi anomali gigi pada radiograf panoramik yang ditemukan pada penelitian ini cukup tinggi. Proporsi anomali gigi lebih tinggi ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan.

Background : Dental anomalies can affect various functional problems such as, malocclusion, increase the risk of caries, and aesthetics problem. Incidence rate of dental anomalies in Indonesia has not yet been widely studied. Based on this, it is important to identification to get data frequency distribution of dental anomalies on panoramic radiographs at RSKGM FKG UI. Objective : To get data frequency distribution of dental anomalies based on age and gender in panoramic radiograph at RSKGM FKG UI. Method : This study is a cross-sectional study with total sample 367 panoramic radiographs. Radiographs were evaluated and interpreted by two observers to identify dental anomalies according to classification anomaly by number (supernumerary teeth), size (macrodontia and microdontia), eruption (transposition), and morphology (fusion, concrescence, gemination, taurodontisme, dilaceration, dens invaginatus, dens evaginatus, molar incisor malformation (MIM) , amelogenesis imperfecta, dentinogenesis imperfecta, dentin dysplasia, regional odontodisplasia, enamel pearl, talon cusp, and congenital syphilis). Data on age, gender, and interpretation of panoramic radiographs result were recorded. Reliability test were performed using Kappa test for categoric data and ICC test for numeric data. Result : From a total sample of 367 radiographs in the age range 6-79 years, 133 (36.2%) panoramic radiographs with dental anomalies were found, 1-4 cases in each radiograph. The total of all dental anomalies in were 395 cases. Based on classification, frequency distribution of dental anomalies found, respectively, are anomaly of morphology (63,15%), size (32,33%), number (18,05%), and eruption (7,52%). The most common type of anomaly of morphology was dilaceration (33,83%), anomaly of number was microdontia (32,05%), and anomaly of number was supernumerary tooth (23,64%). Based on gender, frequency distribution of dental anomalies were found higher 45,83% in male than 31,87% in female. The most common dental anomalies found in men are supernumerary tooth, concrescence, dens invaginatus and enamel pearl. Meanwhile, the most common dental anomalies found in women are macrodontia, microdontia, transposition, gemination, taurodontisme, dilaceration, dens evaginatus, molar-incisor malformation (MIM), and talon cusp. Conclusions : The prevalence of dental anomalies on panoramic radiographs found in this study is quite high. A higher proportion of dental anomalies was found in men than women."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agrita Dridya
"Latar Belakang: Dalam talaksana kasus kedokteran gigi, seringkali dibutuhkan interpretasi gambaran radiograf dengan keakuratan yang tinggi. Meskipun gambaran radiograf diyakini sudah terinterpretasi dengan kualitas mutu yang baik, namun terdapat berbagai faktor yang menyebabkan tetap ada selisih ukuran objek pada gambaran radiograf dengan ukuran sebenarnya. Selisih ukuran ini dapat terjadi dalam arah vertikal, berupa distorsi vertikal. Distorsi vertikal penting untuk diperhatikan oleh klinisi untuk mencegah pengulangan pengambilan foto radiograf dan menghindari paparan radiasi berlebih pada pasien. Tujuan: Mengetahui nilai rata-rata distorsi vertikal pada radiograf periapikal gigi geligi maksila dan mandibula berdasarkan pengukuran selisih panjang gigi klinis dan radiografis. Metode: Penelitian ini menggunakan 120 sampel rekam medis klinis beserta dengan radiograf periapikal pasien endodontik di RSKGM FKG UI yang dikelompokkan menjadi 60 sampel gigi geligi maksila dan 60 sampel mandibula. Pengukuran estimasi panjang gigi klinis menggunakan rasio ukuran panjang kerja pada data rekam medis dan pengukuran panjang gigi radiograf diukur dari foto radiograf periapikal awal pasien. Ukuran distorsi vertikal didapat dari pengukuran selisih antara panjang gigi radiograf dengan estimasi panjang gigi klinis. Uji reliabilitas intraobserver dan interobserver dilakukan dengan uji ICC dan dilakukan analisa komparatif menggunakan uji mann whitney. Hasil: Hasil analisa menunjukkan nilai rerata distorsi vertikal pada kelompok gigi geligi maksila sebesar 1,58 mm, dengan maksimum 5,53 mm. Nilai rerata distorsi vertikal pada kelompok gigi geligi mandibula sebesar 1,48 mm, dengan nilai maksimum 3,96 mm. Sebanyak 52 (43.33%) sampel mengalami pemanjangan, sebanyak 55 (45.83%) mengalami pemendekan, dan 13 (10.83%) data tidak terdistorsi. Kesimpulan: Rerata pengukuran estimasi panjang gigi klinis dan panjang gigi pada gambaran radiograf tidak berbeda bermakna (p 0,451). Rerata distorsi vertikal pada gigi geligi maksila dan mandibula tidak berbeda bermakna (p 0,975).

Background: In the management of dental cases, it is often necessary to interpret radiographs with high accuracy. Although it is believed that the radiographic image has been interpreted with good quality, there are various factors that cause the difference in the size of the object on the radiographic image to the actual size. The size of this distortion can occur in the vertical direction, in the form of vertical distortion. Vertical distortion is important for clinicians to pay attention to prevent retaking the radiographs and avoid overexposure of radiation on the patient. Objective: To determine the mean value of vertical distortion on periapical radiographs of maxillary and mandibular teeth based on the measurement of the difference in radiographic and actual size of the tooth length. Methods: The study or research is carried out on 120 samples of medical records along with periapical radiographs of endodontic patients at RSKGM FKG UI, divided into 60 samples of maxillary teeth and 60 samples of mandibular teeth. Measurement of estimated clinical tooth length obtained by using the ratio of working length recorded in the medical record, and the measurement of the radiographic tooth length obtained by using the patient's initial periapical radiograph. The measurement of vertical distortion was obtained by measuring the difference between the radiographic and the estimated clinical tooth length. Intraobserver and interobserver reliability tests were performed using the ICC test and comparative analysis was performed using the Mann Whitney test. Results: The results of the analysis showed that the mean of the vertical distortion in the maxillary teeth was 1.58 mm, with a maximum value of 5.53 mm. The mean value of vertical distortion in the mandibular teeth was 1.48 mm, with a maximum value of 3.96 mm. A total of 52 (43.33%) samples were elongated, 55 (45.83%) samples were shortened, and 13 (10.83%) samples were not distorted. Conclusion: The mean measurement of estimated clinical tooth length and tooth length on radiographs was not significantly different (p 0.451). The mean vertical distortion of the maxillary and mandibular teeth was not significantly different (p 0.975)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priscilla Clarissa
"Latar Belakang: Untuk menilai status kesehatan gigi dan mulut, selama puluhan tahun para ahli studi epidemiologi kesehatan komunitas menggunakan indeks Decayed, Missing, and Filled Teeth (DMF-T). Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2018, rerata skor indeks DMF-T penduduk Indonesia sebesar 7,1 yang tergolong tinggi. Kehilangan gigi merupakan kondisi oral ireversibel yang dideskripsikan sebagai indikator final mengenai keparahan kondisi kesehatan gigi dan mulut. Kehilangan gigi menyebabkan kerusakan fungsional, estetika, dan sosial-psikologis serta berdampak sangat besar terhadap kualitas hidup individu. Kehilangan gigi dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Maka dari itu, diperlukan data mengenai pengaruh berbagai faktor risiko terhadap kehilangan gigi pada berbagai kelompok usia.
Tujuan: Memperoleh data hubungan faktor risiko dan rerata jumlah kehilangan gigi pada subjek usia 31-75 tahun dari radiograf panoramik digital.
Metode: Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa 375 sampel radiograf panoramik digital subjek usia 31-75 tahun di Rumah Sakit Khusus Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indoneisa (RSKGM FKGUI). Subjek dibagi menjadi 3.
kategori: 31-45 tahun, 46-60 tahun, dan 61-75 tahun. Untuk mendapatkan jumlah kehilangan gigi dan data mengenai faktor risiko umur, jenis kelamin, karies/jumlah restorasi/lesi periapikal, dan kehilangan tulang/penyakit periodontal, dilakukan interpretasi radiograf panoramik digital. Kemudian dilakukan uji reliabilitas intraobserver dan interobserver dengan t-test dan Bland Altman.
Hasil: Median, nilai minimum, dan nilai maksimum jumlah kehilangan gigi pada kelompok usia 31-45 tahun sejumlah 1 (0-5) gigi, usia 46-60 tahun sejumlah 5 (0-19) gigi, dan usia 61-75 tahun sejumlah 10 (2-28) gigi. Jumlah kehilangan gigi antar kelompok usia berbeda bermakna (p<0.05 berdasarkan uji Kruskal Wallis). Jumlah kehilangan gigi bertambah seiring penuaan usia. Analisis korelasi faktor-faktor risiko terhadap kehilangan gigi menunjukkan bahwa usia dan status periodontal berhubungan sangat kuat dengan kehilangan gigi, jumlah karies gigi dan lesi periapikal memiliki hubungan sedang dengan kehilangan gigi, dan jenis kelamin dan jumlah restorasi gigi memiliki hubungan lemah dengan kehilangan gigi.
Kesimpulan: Jumlah kehilangan gigi pada usia 31-45 tahun berbeda bermakna dibandingkan pada usia 46-60 dan 61-75 tahun. Kehilangan gigi cenderung bertambah seiring penuaan usia. Faktor risiko yang hubungannya sangat kuat dengan kehilangan gigi adalah usia dan kehilangan tulang.

Background: To assess community oral health status, for several decades, epidemiologists have always used Decayed, Missing, and Filled Teeth (DMF-T) index. Based on the 2018 Basic Health Research, the mean of DMF-T index of Indonesia’s population was 7.1, which was considered high. Tooth loss is an irreversible oral condition that is often described as the final indicator of oral health status that causes functional, aesthetics, and social-psychological damage that greatly affects life quality. Tooth loss is a multi-factorial phenomenon. Thus, a concrete data is needed to assess the impact of risk factors on tooth loss in several age categories.
Objective: To obtain the data of tooth loss risk factors and the mean of missing teeth in 31-75-year-old subjects from digital panoramic radiograph.
Methods: This study was completed using secondary data of 375 digital panoramic radiographs in Universitas Indonesia Dental Hospital (RSKGM FKGUI). The subjects were devided into 3 categories: 31-45 years old, 46-60 years old, and 61-75 years old. In order to obtain the data of tooth loss and its risk factors: age, gender, caries/restoration/periapical disease, and periodontitis, the digital panoramic radiographs were interpreted. Then, the reliability test for both intraobserver and interobserver were conducted using t-test and Bland Altman test.
Results: The median, minimum, and maximum of tooth loss in the 31-45 years old group is 1 (0-5) teeth, 46-60 years old group is 5 (0-19) teeth, and 61-75 years old group is 10 (2-28) teeth. The number of tooth loss in all age groups are statistically different (p<0.05 in Kruskal Wallis test). The number of tooth loss increases as aging continues. Correlation analysis of the tooth loss risk factors showed that age and periodontitis have a very strong correlation with tooth loss, the number of tooth caries and periapical disease have a moderate correlation with tooth loss, and gender and restoration have a weak correlation with tooth loss.
Conclusion: The number tooth loss occurred in 31-45 years old group subject is significantly different compared to the number of tooth loss in 46-60 and 61-75 years old group. Tooth loss is strongly correlated with age and bone loss.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alya Fatikha Sari
"Latar Belakang: Inferior Alveolar Nerve Block (IANB) merupakan prosedur paling umum dalam praktik kedokteran gigi, dan menjadi salah satu insiden kegagalan tertinggi dibanding teknik anestesi lain hingga 15-20%. Salah satu penyebab umum terjadinya kegagalan blok IANB karena tidak tepatnya dalam menentukan letak foramen mandibula. Letak foramen mandibula memiliki tiga kategori, yaitu di atas garis oklusal, segaris oklusal, dan di bawah garis oklusal. Variasi letak foramen mandibula tersebut dipengaruhi oleh faktor ras dan jenis kelamin. Mengetahui letak dan rerata jarak foramen mandibula yang tepat diperlukan untuk menghindari terjadinya kegagalan anestesi sebelum tindaklanjut tindakan medis.
Tujuan: mengetahui kategori letak dan membandingkan rerata jarak foramen mandibula pada kelompok pria dan wanita usia 18-35 tahun di RSKGM FKG UI.
Metode: Studi dilakukan pada 200 radiograf panoramik digital yang dibagi menjadi kelompok pria dan wanita berusia 18-35 tahun di RSKGM FKG UI. Dilakukan dengan membuat garis bidang oklusal sejajar horizontal pada distolingual cusp molar 1 atau molar 2 di kedua sisi rahang, lalu tarik garis pada bagian superior anterior kanal mandibula tegak lurus ke garis oklusal dan anterior ramus. Kemudian dilakukan uji reliabilitas intraobserver dan interobserver dengan uji ICC dan uji komparatif independent t-test.
Hasil: Diperoleh rerata jarak foramen mandibula terhadap garis bidang oklusal pada kelompok pria (15,49  3,29) dan pada wanita (14,68  3,07). Rerata jarak foramen mandibula terhadap anterior ramus pada kelompok pria (14,61  3,29) dan pada wanita (13,63  3,07).
Kesimpulan: Terdapat perbedaan signifikan rerata jarak foramen mandibula terhadap anterior ramus, tetapi tidak terdapat perbedaan rerata jarak foramen mandibula terhadap garis bidang oklusal pada pria usia 18-25 tahun dan wanita usia 18-35 tahun di RSKGM FKG UI.
Background: Inferior Alveolar Nerve Block (IANB) is the most common procedure in dental practice, and has become one of the highest failures compared to other anesthetic techniques up to 15-20%. One of the the common causes of the failure in IANB Block is due to the inaccuracy in determining the location of mandible foramen. There are 3 categories of the location of mandible foramen - above the oclusal line, in line with the oclusal, below the oclusal line. The variety of the mandible foramen location is affected by races and gender. To acknowledge the accurate location and the average distance of mandible foramen is necessary in order to avoid the failure of anesthesia before undergoing the later medical treatment.
Aim: To acknowledge the category of the location and to compare the average of the distance of mandible foramen on male and female patients aged 18-35 in RSKGM FKG UI.
Methode: The study or research is carried out on 200 Digital Panoramic Radiography divided into male group of aged 18-35 and female group of aged 18-35. The measurement is conducted by drawing the lines of oclusal horizontally in line on distolingual cusp first molar or second molar in both sides of jaw, then drawing the line on anterior superior of mandible canal perpendicular line to oclusal line and ramus anterior. Finally, intraobserver and interobserver reliability tests by ICC test and t-test independent comparative are applied.
Result: The average distance of mandible to the occlusal plane on male group is (15,49  3,29), on female group is (14,68  3,07). The average distance of mandibule to the ramus anterior on male group is (14,61  3,29), on female group is (13,63  3,07).
Conclusion : There is significant distinction on the distance of mandible foramen to the ramus anterior, but there is no difference on the distance of mandibular foramen to the occlusal plane between male aged 18-35 and on female aged 18-35 in RSKGM FKG UI."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library