Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maulia Fitra Purnama
Abstrak :
Tujuan: mengetahui tingkat efisiensi dan keamanan antara teknologi Ellips FX-Peristaltik dengan Ellips FX-Venturi pada fakoemulsifikasi katarak derajat sedang-keras. Desain: Penelitian ini merupakan uji klinis randomisasi. Metode: sebanyak 48 pasien dilakukan randomisasi untuk dilakukan fakoemulsifikasi. Setiap subjek diukur densitas sel endotel dan ketebalan kornea sentral. Efisiensi dinilai dari effective phaco time EFX . Mesin fakoemulsifikasi yang digunakan adalah Signature Ellips FX. Hasil: Tidak terdapat perbedaan yang signifikan untuk median phaco time, penurunan densitas sel endotel dan peningkatan ketebalan kornea sentral. Tidak terdapat komplikasi pada penelitian ini. Kesimpulan: tidak ada perbedaan efisiensi dan keamanan antara sistem Ellips FX-Peristaltik dengan Ellips FX-Venturi. ......Purpose: To know the level of efficiency and safety of the technology Ellips FX peristaltic with Ellips FX Ventury in phacoemulsification of moderate to hard grade cataract. Methods: 48 outpatients were eligible selected by RCT at CM hospital in periods of January 2016 ndash June 2016. Impacts of pumps system setting difference were observed by objective measurement of endothelial cell density ECD and central corneal thickness CCT. Efficiency was recorded as effective phaco time EFX. Signature Ellips FX were used as phacoemulsification machine. Result: The total sample that has been analyzed was 46 patients. There is no significant difference in median phaco time, a decrease in endothelial cell density and an increase in central corneal thickness. There were no complications in this study. Conclusion: There is no difference between the efficiency and safety of Ellips FX peristaltic with Ellips FX Ventury systemKeywords peristaltic, Ventury, Ellips FX, efficiency and safety
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Annes Waren
Abstrak :
Latar Belakang: Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah interpalpebra. Pengendara ojek memiliki risiko pterigium karena faktor risiko utamanya antara lain paparan sinar ultraviolet, iritasi kronis debu, angin. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh penggunaan face shield (helm) serta faktor lain yang berhubungan terhadap kejadian pterigium pada pengendara ojek. Metode: Penelitian ini dilakukan dalam 2 tahap, desain penelitian yang digunakan pada tahap pertama adalah potong lintang dan disain penelitian tahap kedua adalah kasus kontrol dengan matching kelompok umur, dan jumlah responden sebanyak 131 pengendara ojek yang diambil secara total sampling. Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data adalah dengan kuesioner (mengisi sendiri), daftar tilik (observasi), dan pemeriksaan fisik mata. Variabel yang digunakan meliputi umur, tingkat pendidikan, riwayat konsumsi antioksidan, kebiasaan merokok, masa kerja, lama kerja, jenis helm, pengetahuan, sikap, dan perilaku penggunaan face shield (helm). Hasil: Dari 131 responden diperoleh prevalensi pterigium sebesar 19.1%. Faktor yang mempengaruhi kejadian pterigium pada pengendara ojek adalah tingkat pendidikan (p=0.029, OR=3.310), riwayat konsumsi antioksidan (p=0.018, OR=5.087), pengetahuan penggunaan face shield helm (p<0.001, OR=10.286), perilaku penggunaan face shield helm (p<0.001, OR=11.156). Kesimpulan dan Saran: Untuk mengurangi terjadinya pterigium pada pengendara ojek dapat dilakukan dengan penggunaan face shield (helm) dengan baik. ......Background: Pterygium is triangle form of fibrovascular tissue that grows from conjunctiva to cornea in interpalpebra area. Ojek drivers are at risk of pterygium because its risk factors such as ultraviolet exposure, chronic irritation of dust, and wind. The aim of this study is to determine the effect of face shield (helmet) and other factors related to pterygium on ojek driver. Method: The Research was conducted in two stages, the first stage was cross sectional study and the second stage was case control study with age group matching. The participant was 131 ojek driver taken from total sampling. Instruments used in data collection are self-administered questionnaires, check list (observation), and eye/cornea examination. The variables used in this study were age, level of education, history of antioxidant consumption, smoking habit, work period, time length of work, helmet type, knowledge, attitude and behavior of wearing face shield (helmet). Result: The results showed that the prevalence of pterygium was 19.1%. Effecting factors of pterygium in ojek drivers were level of education (p=0.029, OR=3.310), history of antioxidant consumption (p=0.018, OR=5.087), knowledge of wearing face shield helmet (p<0.001, OR=10.286), behavior of wearing face shield helmet (p<0.001, OR=11.156). Conclusion and Recommendation: To reduce the occurrence of pterygium on ojek drivers can be done with wearing face shield (helmet) properly.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rani Indira Sari
Abstrak :
Tujuan: Menganalisis efek pemberian sitikolin terhadap kerusakan sel ganglion tikus pada Etambutol Optik Neuropati (EON). Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan hewan coba tikus. Lima belas ekor tikus Wistar dibagi dalam tiga kelompok yaitu kelompok tanpa perlakuan (A), kelompok etambutol (B), kelompok etambutol dan sitikolin (C). Kelompok B dan C diberikan perlakuan selama 30 hari, kemudian dilakukan pemeriksaan histopatologi untuk menilai densitas sel ganglion retina, dan imunohistokimia untuk menilai ekspresi bcl-2 dan caspase-3. Hasil: Densitas sel ganglion retina tikus dengan intoksikasi etambutol yang mendapat sitikolin lebih tinggi dibandingkan yang tidak mendapatkan sitikolin (p=0,001). Lapisan ganglion tikus yang mendapat sitikolin lebih tipis dibandingkan yang tidak mendapatkan sitikolin (p=0,005), peningkatan ketebalan lapisan sel ganglion ini karena pembentukan vakuola pada sitoplasma sel ganglion. Tikus dengan sitikolin didapatkan ekspresi bcl-2 ganglion yang lebih tinggi (p=0,001), dan ekspresi caspase-3 yang lebih rendah (p=0,02) dibandingkan tikus yang tidak mendapatkan sitikolin. Simpulan: Sitikolin memberikan efek proteksi terhadap sel ganglion retina dengan EON, dinilai dari morfologi sel ganglion dan ekspresi caspase-3 dan bcl-2.
Objective: To analyze the effects of citicoline administration on rat ganglion cell damage in Ethambutol Optic Neuropathy (EON). Method: This study was an experimental study with rat experiments. Fifteen Wistar rats were divided into three groups, the non-treatment group (A), the ethambutol group (B), the ethambutol and citicoline group (C). Group B and C were given treatment for 30 days, then histopathological examination was performed to assess retinal ganglion cell density, and immunohistochemistry to assess bcl-2 and caspase-3 expression. Result: retinal ganglion cell density of rat with ethambutol intoxication that received citicoline were higher than those who did not get citicoline (p = 0.001). The rat ganglion layer that received citicoline was thinner than those who did not get citicoline (p = 0.005), the increase in thickness of the ganglion cell layer was due to the formation of vacuoles in the cytoplasm of ganglion cells. Rat with citicoline obtained higher bcl-2 ganglion expression (p = 0.001), and lower caspase-3 expression (p = 0.02) than rat that did not get citicoline. Conclusions: Citicoline have a protective effect on retinal ganglion cells with EON, judged by the morphology of ganglion cells and caspase-3 and bcl-2 expressions.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simatupang, Lasmida Ruth A.
Abstrak :
Latar Belakang: Refleks okulokardiak dengan manifestasi bradikardia, aritmia hingga asistol masih sangat potensial terjadi pada operasi strabismus. Operasi dalam anestesi umum saja belum dapat mencegah kejadian tersebut. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah injeksi ropivakain 0,75% subtenon dengan kombinasi anestesi umum menunjukkan hasil yang lebih baik dalam menurunkan angka kejadian refleks okulokardiak dan nyeri pasca operasi. Metode: Uji klinis acak terkontrol tersamar ganda dilakukan pada 15 subjek usia 7-60 tahun yang menjalani reseksi rektus medial/lateral dan status fisik sesuai American Society of Anesthesiologists adalah ASA I-II. Randomisasi membagi subjek menjadi dua kelompok yaitu ropivakain dan plasebo. Perubahan laju nadi dan kejadian refleks okulokardiak diukur saat insisi konjungtiva, traksi dan reseksi otot. Nyeri pasca operasi dinilai pada jam ke-1,2,4 dan 6 dengan Visual Analog Score (VAS). Hasil: Penelitian ini menunjukkan rerata laju nadi pada kelompok intervensi pasca induksi, insisi konjungtiva, traksi dan reseksi otot adalah 70.4, 66.8, 65.4, dan 65.4 secara berurutan, sedangkan plasebo 78, 74.5, 68.8, dan 74.8 kali per menit. Insidens kejadian refleks okulokardiak pada kelompok intervensi adalah 28.5% sedangkan plasebo 50% (p>0.05). Median skor nyeri kelompok intervensi lebih rendah pada jam pertama pasca operasi. Kesimpulan: Walaupun tidak bermakna secara statistik, namun secara klinis, dengan power penelitian 75%, kombinasi anestesi umum dan injeksi subtenon memberi hasil yang lebih baik. ......Background: Squint surgery is associated with oculocardiac reflex with bradycardia, arrhythmia and even asystole case. Surgery in general anesthesia alone could not prevent this reflex. Objective: The aim of this study was to investigate the effects of a sub- Tenon’s block combined with general anesthesia on oculocardiac reflex and postoperative pain. Method: This double blind randomized controlled trial included 15 patients aged 7-60 years scheduled for medial/lateral rectus resection and American Society of Anesthesiologists status were ASA I-II. Patients were randomly allocated to receive either sub-Tenon ropivacaine 0,75% or placebo prior to surgery. Changes in heart rate and incidence of oculocardiac reflex were measured during several stages. Result: The mean heart rate measured at post induction, conjunctival incision, muscle traction and resection in ropivacaine group were 70.4, 66.8, 65.4, and 65.4 bpm, respectively and in placebo group were 78, 74.5, 68.8, and 74.8 bpm. Incidence of oculocardiac reflex in ropivacaine and placebo group were 28,5% and 50% respectively (p>0.05). Median pain scores were lower in ropivacaine group at the first hour postoperative. Conclusion: We conclude that eventhough statistically there was no difference between two groups (power 75%), clinically, combination of ropivacaine 0,75% sub-Tenon block with general anesthesia showed lower incidence of oculocardiac reflex and lower pain score at the first hour after surgery.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Perlita Kamilia
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keluhan subjektif mata kering dan gangguan komponen air mata (lipid, akuos, mucin) pada pasien thalassemia mayor dengan riwayat transfusi darah jangka panjang, serta menganalisis hubungan antara kadar feritin serum, durasi, dan frekuensi transfusi darah dengan masing-masing parameter penilaian komponen lapisan air mata. Penelitian ini merupakan studi potong lintang (cross sectional) pada pasien thalassemia mayor yang sudah berusia dan mengalami transfusi darah selama minimal 10 tahun. Penilaian mata kering terdiri dari pengisian kuesioner OSDI untuk menilai keluhan subjektif, pemeriksaan biomikroskopi lampu celah dan nilai tear break up time (TBUT) untuk menilai tingkat keparahan mata kering, pemeriksaan Schirmer basal, Ferning, dan sitologi impressi konjungtiva untuk menghitung jumlah sel goblet. Data perhitungan tingkat keparahan mata kering, nilai uji Schirmer basal, TBUT, dan jumlah sel goblet dianalisis dan dicari hubungannya dengan kadar feritin serum, durasi dan frekuensi transfusi. Pada 77 subyek, mata kering terjadi sebanyak 14.3%, penurunan nilai TBUT (39%), nilai Schirmer basal (37.7%), nilai Ferning (24.7%), dan jumlah sel goblet (45.5%). Tidak terdapat perbedaan bermakna antara tingkat keparahan mata kering, nilai TBUT, nilai Schirmer basal, nilai Ferning, dan jumlah sel goblet dengan kadar feritin serum, durasi, dan frekuensi transfusi. Namun, terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat keparahan mata kering dan usia (p = 0.014), serta nilai TBUT (p = 0.012) dan Schirmer (p = 0.014) dengan jenis kelamin. Penelitian ini memperlihatkan 14.3% subyek thalassemia mayor mengalami mata kering berdasarkan kriteria DEWS 2007. Kejadian mata kering pada thalassemia mayor tidak dipengaruhi oleh faktor transfusi dan kadar feritin serum, melainkan dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin. ......This study is aimed to understand subjective complaints for dry eyes and disruption of component of tear fluid (lipid, aqueous, mucin) in patients with major thalassemia with a history of long-term blood transfusions and to analyse the correlation between serum ferritin level, duration and frequency of blood transfusion. This study is a cross-sectional study. The subject of this study is patients with major thalassemia age minimum of 10 years old and have had blood transfusion for at least 10 years. OSDI questionnaire, slit-lamp biomicroscopy examination, tear break up time (TBUT), and basal Schirmer test was used to assess dry eyes severity. Ferning and conjunctiva impression cytology examination was used to assess mucin quality and count the amount of goblet cells. The correlation analysis between the result of these assessments and serum ferritin level and duration and frequency of blood transfusion was done. In 77 subjects, the prevalence of dry eyes is 14.3%. There is a decrease in TBUT (39%), basal Schirmer (37.7%), Ferning (24.7%), and goblet cells (45.5%). There is no significant correlation between dry eyes severity and TBUT, basal Schirmer, Ferning, and the amount of goblet cells with serum ferritin level, duration, and frequency of blood transfusion. There is a significant correlation between dry eyes severity and patient s age (p = 0.014); TBUT (p = 0.012), as well as, Schirmer (p = 0.014) with sex. This study showed that 14.3% of patients with major thalassemia suffer from dry eyes with severity level grade 2 according to DEWS 2007. The incidence of dry eyes is not influenced by transfusion and serum ferritin level but is influenced by age and sex.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58671
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tessa Humaira Anindya
Abstrak :
Latar Belakang: Infeksi kornea yang disebabkan oleh jamur dapat menyebabkan kerusakan yang lebih berat dibandingkan infeksi bakteri dikarenakan kemampuan jamur untuk menembus kornea hingga ke bilik mata depan atau sklera. Antijamur tetes yang tersedia secara komersil hanya natamisin yang memiliki penetrasi rendah. Vorikonazol sebagai alternatif anti jamur dapat digunakan secara intrastromal untuk mempertahankan kadar pada kornea. Penggunaan injeksi intrastromal vorikonazol secara tunggal maupun serial banyak dilaporkan dalam bentuk laporan kasus dan terdapat variasi dalam hal dosis dan frekuensi serta teknik pemberian. Tujuan: Mengetahui perbandingan efektivitas pemberian kombinasi vorikonazol topikal 1% dan intrastromal 0.05% secara tunggal dan serial dibandingkan dengan natamisin topikal 5% sebagai terapi keratitis jamur yang disebabkan oleh jamur Fusarium sp pada kelinci. Metodologi: Penelitian ini merupakan uji eksperimental tersamar dengan randomisasi terhadap kelompok hewan coba kelinci New Zealand White (NZW) dengan desain empat kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 3 kelinci. Kelompok pertama mendapat terapi kombinasi tetes vorikonazol 1% tiap jam dan injeksi intrastromal vorikonazol 0.05% yang diberikan 1 kali pada hari 1. Kelompok ke-dua mendapatkan terapi kombinasi tetes vorikonazol 1% tiap jam dan injeksi intrastromal vorikonazol 0.05% yang diberikan 2 kali pada hari 1 dan 7. Kelompok ke-tiga mendapatkan terapi kombinasi tetes vorikonazol 1% tiap jam dan injeksi intrastromal vorikonazol 0.05% yang diberikan 3 kali pada hari 1, 7 dan 14. Kelompok ke-empat mendapatkan monoterapi tetes natamisin 5% tiap jam. Hasil: Hasil penelitian ini menunjukan perbaikan secara klinis berdasarkan luas defek, luas infiltrat, kedalaman keratitis dan tinggi hipopion pada semua kelompok yang mendapatkan terapi injeksi vorikonazol maupun natamisin. Pada akhir terapi masih didapatkan hifa jamur positif secara kualitatif pada 1 kelinci yang mendapatkan injeksi intrastromal 1 kali dan 1 kelinci dengan terapi natamisin. Kesimpulan: Kombinasi vorikonazol topikal dan injeksi vorikonazol intrastromal secara serial menunjukan perbaikan klinis setara dengan natamisin topikal. Dalam hal daya eliminasi jamur kombinasi vorikonazol topikal dan injeksi vorikonazol intrastromal secara serial menunjukan hasil lebih baik dibandingkan terapi natamisin topikal dan injeksi tunggal.
Background: Fungal corneal infections can cause more damage than bacterial infections due to the fungus's ability to penetrate the cornea to the anterior chamber or sclera. Natamycin is the only commercially available antifungal drops which has low penetration. Voriconazole as an antifungal alternative can be used intrastromally to maintain corneal concentration. The use of single or serial intrastromal voriconazole injections is widely reported in the form of case reports and there are variations in terms of dosage and frequency and administration techniques. Objective: Comparing the effectiveness of topical voriconazole 1% combined with intrastromal 0.05% single and serial compared to 5% topical natamycin as fungal keratitis therapy caused by Fusarium sp in rabbits. Methods: This research is an experimental test by randomizing a group of New Zealand White (NZW) rabbit animals with a four-group design. Each group consists of 3 rabbits. The first group received combination therapy of voriconazole drops 1% every hour and intrastromal injection of 0.05% voriconazole given once on day 1. The second group received combination therapy of voriconazole drops 1% per hour and intrastromal injection of voriconazole 0.05% given 2 times on day 1 and 7. The third group received combination therapy of voriconazole drops 1% every hour and intrastromal injection of 0.05% voriconazole given 3 times on days 1, 7 and 14. The fourth group received monotherapy with 5% natamycin drops hourly. Results: The results of this study showed clinical improvement based on corneal defect size, infiltrate size, keratitis depth and height of hypopyon in all groups receiving voriconazole and natamycin injection therapy. At the end of the therapy, fungal hyphae were found in 1 rabbit who received 1 times intrastromal injection and 1 rabbit with natamycin therapy. Conclusion: The combination of topical voriconazole and serial intrastromal injection shows clinical improvement equivalent to topical natamycin. In terms of the fungal elimination, topical voriconazole and serial intrastromal injection is superior than topical natamisin therapy and single injection.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hielda Afpa Koeswara
Abstrak :
Latar Belakang: Pembelajaran jarak jauh anak sekolah selama pandemi COVID-19 menyebabkan penggunaan perangkat digital sebagai media pembelajaran. Peningkatan pajanan monitor dan aktivitas melihat dekat diduga meningkatkan angka kejadian astenopia. Tujuan: Mendapatkan angka kejadian astenopia subjektif dan menilai faktor yang mempengaruhinya pada anak SMP dan SMA Negeri di Jakarta di era pandemi COVID-19. Metode: Penelitian dengan desain potong lintang menggunakan kuesioner Revised Convergence Insufficiency Symptom Survey (CISS) diadaptasi ke dalam Bahasa melalui tahapan validasi. Skoring CISS 16 sebagai batasan keluhan astenopia yang dialami subjek. Hasil: Kuesioner CISS versi Bahasa adalah valid dan reliabel dengan nilai p<0,05 dengan koefisien Cronbach’s ±  sebesar 0,910 dan 0,925. Subjek penelitian sebanyak 901 responden. Angka kejadian astenopia sebesar 36%. Analisis multivariat didapatkan pencahayaan ruangan yang kurang terang di luar PJJ (OR=8,25;p=0,001), durasi screen time >2 jam saat PJJ (OR>3,73;p=0,001), penyakit mata lain (OR=3,72;p=0,002), melakukan aktivitas dekat dengan posisi berbaring (OR=2,45;p=0,014), durasi tidur malam <8 jam (OR=2,29;p<0,001), penggunaan kacamata (OR=2,10;p<0,001), aktivitas dekat menonton film dengan perangkat digital/TV (OR=1,67;p=0,004), dan jarak baca <30 cm saat PJJ (OR=1,47;p=0,016) merupakan faktor risiko independent untuk astenopia pada anak sekolah. Kesimpulan: Kuesioner CISS versi Bahasa merupakan instrumen yang valid dan reliabel untuk mendiagnosis astenopia pada anak sekolah. Angka kejadian astenopia di Jakarta cukup tinggi dengan faktor risiko berupa pencahayaan ruangan kurang terang, durasi daring >2 jam, penyakit mata lain, aktivitas dekat dengan posisi berbaring, durasi tidur malam <8 jam, penggunaan kacamata, aktivitas dekat menonton film dengan perangkat digital/TV, dan jarak baca <30 cm saat PJJ. ......Background: Schoolchildren's distance learning during the COVID-19 pandemic has led to digital devices as learning media. Increased exposure to monitors and near-vision activities is thought to increase asthenopia incidence. Obtain the incidence of subjective asthenopia and assess the factors that influence Jakarta's junior high and high school students during the COVID-19 pandemic. Methods: A cross-sectional design study using the Revised Convergence Insufficiency Symptom Survey (CISS) questionnaire was adapted into Indonesian through a validation stage. CISS score 16 as a limitation of asthenopia complaints experienced by the subject. Result: Indonesian version of the CISS questionnaire is valid and reliable with p-value <0.05 with Cronbach's coefficient of 0.910 and 0.925, respectively. The research subjects were 901 respondents. The incidence of asthenopia is 36%. Multivariate analysis showed that the room lighting was not bright when distance learning (OR=8.25; p=0.001), screen time duration >2 hours during distance learning (OR>3.73;p=0.001), other eye diseases (OR=3 ,72;p=0,002), doing activities close to the lying position (OR=2,45;p=0,014), sleep duration <8 hours (OR=2,29;p<0,001), wearing glasses (OR=2 ,10;p<0.001), close activity watching movies with digital devices/TV (OR=1.67;p=0.004), and reading distance <30 cm during distance learning (OR=1.47;p=0.016) were independent risk factors for asthenopia in schoolchildren. Conclusion: Indonesian version of the CISS questionnaire is a valid and reliable instrument for diagnosing asthenopia in school children. The incidence of asthenopia in Jakarta is relatively high with risk factors in the form of poor lighting, online duration >2 hours, other eye diseases, activities close to lying down, sleep duration <8 hours, use of glasses, close activities watching movies with digital devices/ TV, and reading distance <30 cm during distance learning.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library