Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maulia Fitra Purnama
"Tujuan: mengetahui tingkat efisiensi dan keamanan antara teknologi Ellips FX-Peristaltik dengan Ellips FX-Venturi pada fakoemulsifikasi katarak derajat sedang-keras.
Desain: Penelitian ini merupakan uji klinis randomisasi.
Metode: sebanyak 48 pasien dilakukan randomisasi untuk dilakukan fakoemulsifikasi. Setiap subjek diukur densitas sel endotel dan ketebalan kornea sentral. Efisiensi dinilai dari effective phaco time EFX . Mesin fakoemulsifikasi yang digunakan adalah Signature Ellips FX.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan yang signifikan untuk median phaco time, penurunan densitas sel endotel dan peningkatan ketebalan kornea sentral. Tidak terdapat komplikasi pada penelitian ini.
Kesimpulan: tidak ada perbedaan efisiensi dan keamanan antara sistem Ellips FX-Peristaltik dengan Ellips FX-Venturi.

Purpose: To know the level of efficiency and safety of the technology Ellips FX peristaltic with Ellips FX Ventury in phacoemulsification of moderate to hard grade cataract.
Methods: 48 outpatients were eligible selected by RCT at CM hospital in periods of January 2016 ndash June 2016. Impacts of pumps system setting difference were observed by objective measurement of endothelial cell density ECD and central corneal thickness CCT. Efficiency was recorded as effective phaco time EFX. Signature Ellips FX were used as phacoemulsification machine.
Result: The total sample that has been analyzed was 46 patients. There is no significant difference in median phaco time, a decrease in endothelial cell density and an increase in central corneal thickness. There were no complications in this study.
Conclusion: There is no difference between the efficiency and safety of Ellips FX peristaltic with Ellips FX Ventury systemKeywords peristaltic, Ventury, Ellips FX, efficiency and safety
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ghina Fedora
"Latar Belakang: Silicone oil (SO) merupakan salah satu substitusi vitreus yang digunakan pasca vitrektomi pars plana (VPP) dalam manajemen ablasio retina rhegmatogen. Beberapa komplikasi penggunaan SO meliputi katarak, peningkatan tekanan bola mata, emulsifikasi, keratopati hingga menurunnya ketebalan dan densitas vaskular makula. Tujuan: Mengetahui perubahan ketebalan makula sentral serta densitas vaskular pleksus superfisial pada pasien ablasio retina rhegmatogen pasca VPP dengan tamponade SO. Metode: 41 pasien ablasio dianalisis dalam studi ini yang menggunakan dua desain: observasional prospektif tanpa pembanding untuk membandingkan efek tamponade SO minggu-1 dengan minggu-4 dan potong lintang untuk membandingkan mata kontralateral dengan minggu-1 pasca tamponade SO. Hasil: Central subfield thickness (CST), superficial vascular density (SVD) serta superficial perfusion density (SPD) pada minggu-1 lebih rendah dibandingkan mata kontralateral (p<0,001). Pada minggu-4 pasca tamponade SO ditemukan peningkatan CST, SVD, SPD dibandingkan minggu-1 meskipun tidak signifikan secara statistik. Pada analisis tambahan, didapatkan usia diatas 50 tahun mengalami kecenderungan penurunan SVD (p 0,033) dan SPD (0,011) dibandingkan kelompok usia muda. Kesimpulan: Tidak didapatkan penurunan ketebalan makula sentral dan densitas vaskular pleksus kapiler superfisial makula di minggu-4 pasca PPV dengan SO. Didapatkan ketebalan makula sentral dan densitas vaskular pleksus kapiler superfisial makula yang lebih rendah di minggu-1 pasca tamponade SO dibandingkan mata kontralateral

Background: Silicone oil (SO) is one of the vitreous substitutes used after pars plana vitrectomy (PPV) for rhegmatogenous retinal detachment (RRD) management. Complications arising from SO include cataracts, increased ocular pressure, emulsification, keratopathy, and decreased macular thickness and vascular density. Objective: To determine changes in central macular thickness and superficial vascular density in RRD patients after PPV with SO. Method: 41 patients were included in this study, which comprises two designs: a prospective observational without comparison to compare the effect of SO tamponade week-1 with week-4 and a cross-sectional design to compare the contralateral eye with week-1 after SO tamponade. Results: Central subfield thickness (CST), superficial vascular density (SVD), and superficial perfusion density (SPD) were lower at week 1 after PPV with SO compared to the contralateral eye (p<0.001). At week 4 after PPV with SO, there was an increase in CST, SVD, and SPD compared to week 1, although not statistically significant. In additional analysis, we found that those aged over 50 had tendencies toward decreased SVD (p 0.033) and SPD (0.011) compared to the younger age group. Conclusion: There was no reduction in central macular thickness or superficial vascular density at week 4 after PPV with SO in RRD patients. Central macular thickness and superficial vascular density were lower on week 1 after SO tamponade compared to the contralateral eye."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Annes Waren
"Latar Belakang: Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah interpalpebra. Pengendara ojek memiliki risiko pterigium karena faktor risiko utamanya antara lain paparan sinar ultraviolet, iritasi kronis debu, angin. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh penggunaan face shield (helm) serta faktor lain yang berhubungan terhadap kejadian pterigium pada pengendara ojek.
Metode: Penelitian ini dilakukan dalam 2 tahap, desain penelitian yang digunakan pada tahap pertama adalah potong lintang dan disain penelitian tahap kedua adalah kasus kontrol dengan matching kelompok umur, dan jumlah responden sebanyak 131 pengendara ojek yang diambil secara total sampling. Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data adalah dengan kuesioner (mengisi sendiri), daftar tilik (observasi), dan pemeriksaan fisik mata. Variabel yang digunakan meliputi umur, tingkat pendidikan, riwayat konsumsi antioksidan, kebiasaan merokok, masa kerja, lama kerja, jenis helm, pengetahuan, sikap, dan perilaku penggunaan face shield (helm).
Hasil: Dari 131 responden diperoleh prevalensi pterigium sebesar 19.1%. Faktor yang mempengaruhi kejadian pterigium pada pengendara ojek adalah tingkat pendidikan (p=0.029, OR=3.310), riwayat konsumsi antioksidan (p=0.018, OR=5.087), pengetahuan penggunaan face shield helm (p<0.001, OR=10.286), perilaku penggunaan face shield helm (p<0.001, OR=11.156).
Kesimpulan dan Saran: Untuk mengurangi terjadinya pterigium pada pengendara ojek dapat dilakukan dengan penggunaan face shield (helm) dengan baik.

Background: Pterygium is triangle form of fibrovascular tissue that grows from conjunctiva to cornea in interpalpebra area. Ojek drivers are at risk of pterygium because its risk factors such as ultraviolet exposure, chronic irritation of dust, and wind. The aim of this study is to determine the effect of face shield (helmet) and other factors related to pterygium on ojek driver.
Method: The Research was conducted in two stages, the first stage was cross sectional study and the second stage was case control study with age group matching. The participant was 131 ojek driver taken from total sampling. Instruments used in data collection are self-administered questionnaires, check list (observation), and eye/cornea examination. The variables used in this study were age, level of education, history of antioxidant consumption, smoking habit, work period, time length of work, helmet type, knowledge, attitude and behavior of wearing face shield (helmet).
Result: The results showed that the prevalence of pterygium was 19.1%. Effecting factors of pterygium in ojek drivers were level of education (p=0.029, OR=3.310), history of antioxidant consumption (p=0.018, OR=5.087), knowledge of wearing face shield helmet (p<0.001, OR=10.286), behavior of wearing face shield helmet (p<0.001, OR=11.156).
Conclusion and Recommendation: To reduce the occurrence of pterygium on ojek drivers can be done with wearing face shield (helmet) properly.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Aljufri
"Kuesioner dikembangkan untuk menilai kualitas hidup pada pengguna lensa kontak, dengan studi literatur, pendapat ahli (metode Delphi), dan debriefing kognitif. Validasi konstruk dilakukan dengan studi potong lintang yang melibatkan 350 pengguna lensa kontak berusia 18-39 tahun. Pada awal pengembangan terdapat 30 pertanyaan, namun atas masukan dari para ahli, kuesioner menjadi 31 item dengan sembilan faktor/ kelompok. Indeks validitas konten (CVI) dari hasil metode delphi adalah 97%. Face validity setelah debriefing kognitif adalah 90-100%. Validasi konstruk menggunakan analisis faktor eksploratori (EFA) dengan SPSS mengeliminasi enam pertanyaan, memperbaiki kuesioner menjadi 25 item dan enam faktor. Namun, analisis faktor konfirmatori (CFA) menggunakan AMOS menunjukkan bahwa model ini fit dengan baik. Pasca modifikasi, model lima faktor dengan 22 pertanyaan menunjukkan kecocokan yang baik (X = 358.741, RMSEA = 0.49, GFI = 0.917, CFI = 0.937, TLI = 0.926). Reliabilitas dinilai menggunakan konsistensi internal dengan Cronbach-α dengan hasil reliabel sebesar 0.833. Kuesioner akhir ini valid dan reliabel untuk menilai kualitas hidup berkaitan dengan penglihatan pada pemakai lensa kontak dan perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk menginterpretasikan berdasarkan hasil skor penilaian.

A pilot questionnaire was developed to assess quality of life (QoL) in contact lens users, by literature, expert opinions (Delphi method), and cognitive debriefing. A cross- sectional study involving 350 participants aged 18-39 was conducted to assess construct validity. The initial was 30-question but following expert input, the questionnaire expanded to 31 items with a nine-factor structure, achieving a content validity index of 97%. Face validity after cognitive debriefing was 90-100%. Exploratory factor analysis (EFA) using SPSS led to the exclusion of six questions, refining the tool to 25 items and a six-factor model. However, confirmatory factor analysis (CFA) using AMOS indicated that this model did not fit well. Ultimately, a five-factor model with 22 questions demonstrated good fit (X = 358.741, RMSEA = 0.49, GFI = 0.917, CFI = 0.937, TLI = 0.926). Internal consistency was confirmed with a Cronbach-αof 0.833. The final questionnaire is valid and reliable for assessing QoL in contact lens wearers, indicating a need for further studies to interpret QoL based on scoring outcomes."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rani Indira Sari
"Tujuan: Menganalisis efek pemberian sitikolin terhadap kerusakan sel ganglion tikus pada Etambutol Optik Neuropati (EON).
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan hewan coba tikus. Lima belas ekor tikus Wistar dibagi dalam tiga kelompok yaitu kelompok tanpa perlakuan (A), kelompok etambutol (B), kelompok etambutol dan sitikolin (C). Kelompok B dan C diberikan perlakuan selama 30 hari, kemudian dilakukan pemeriksaan histopatologi untuk menilai densitas sel ganglion retina, dan imunohistokimia untuk menilai ekspresi bcl-2 dan caspase-3.
Hasil: Densitas sel ganglion retina tikus dengan intoksikasi etambutol yang mendapat sitikolin lebih tinggi dibandingkan yang tidak mendapatkan sitikolin (p=0,001). Lapisan ganglion tikus yang mendapat sitikolin lebih tipis dibandingkan yang tidak mendapatkan sitikolin (p=0,005), peningkatan ketebalan lapisan sel ganglion ini karena pembentukan vakuola pada sitoplasma sel ganglion. Tikus dengan sitikolin didapatkan ekspresi bcl-2 ganglion yang lebih tinggi (p=0,001), dan ekspresi caspase-3 yang lebih rendah (p=0,02) dibandingkan tikus yang tidak mendapatkan sitikolin.
Simpulan: Sitikolin memberikan efek proteksi terhadap sel ganglion retina dengan EON, dinilai dari morfologi sel ganglion dan ekspresi caspase-3 dan bcl-2.

Objective: To analyze the effects of citicoline administration on rat ganglion cell damage in Ethambutol Optic Neuropathy (EON).
Method: This study was an experimental study with rat experiments. Fifteen Wistar rats were divided into three groups, the non-treatment group (A), the ethambutol group (B), the ethambutol and citicoline group (C). Group B and C were given treatment for 30 days, then histopathological examination was performed to assess retinal ganglion cell density, and immunohistochemistry to assess bcl-2 and caspase-3 expression.
Result: retinal ganglion cell density of rat with ethambutol intoxication that received citicoline were higher than those who did not get citicoline (p = 0.001). The rat ganglion layer that received citicoline was thinner than those who did not get citicoline (p = 0.005), the increase in thickness of the ganglion cell layer was due to the formation of vacuoles in the cytoplasm of ganglion cells. Rat with citicoline obtained higher bcl-2 ganglion expression (p = 0.001), and lower caspase-3 expression (p = 0.02) than rat that did not get citicoline.
Conclusions: Citicoline have a protective effect on retinal ganglion cells with EON, judged by the morphology of ganglion cells and caspase-3 and bcl-2 expressions.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simatupang, Lasmida Ruth A.
"Latar Belakang: Refleks okulokardiak dengan manifestasi bradikardia, aritmia hingga
asistol masih sangat potensial terjadi pada operasi strabismus. Operasi dalam anestesi
umum saja belum dapat mencegah kejadian tersebut. Tujuan: Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui apakah injeksi ropivakain 0,75% subtenon dengan kombinasi anestesi
umum menunjukkan hasil yang lebih baik dalam menurunkan angka kejadian refleks
okulokardiak dan nyeri pasca operasi. Metode: Uji klinis acak terkontrol tersamar ganda
dilakukan pada 15 subjek usia 7-60 tahun yang menjalani reseksi rektus medial/lateral
dan status fisik sesuai American Society of Anesthesiologists adalah ASA I-II.
Randomisasi membagi subjek menjadi dua kelompok yaitu ropivakain dan plasebo.
Perubahan laju nadi dan kejadian refleks okulokardiak diukur saat insisi konjungtiva,
traksi dan reseksi otot. Nyeri pasca operasi dinilai pada jam ke-1,2,4 dan 6 dengan Visual
Analog Score (VAS). Hasil: Penelitian ini menunjukkan rerata laju nadi pada kelompok
intervensi pasca induksi, insisi konjungtiva, traksi dan reseksi otot adalah 70.4, 66.8, 65.4,
dan 65.4 secara berurutan, sedangkan plasebo 78, 74.5, 68.8, dan 74.8 kali per menit.
Insidens kejadian refleks okulokardiak pada kelompok intervensi adalah 28.5%
sedangkan plasebo 50% (p>0.05). Median skor nyeri kelompok intervensi lebih rendah
pada jam pertama pasca operasi. Kesimpulan: Walaupun tidak bermakna secara statistik,
namun secara klinis, dengan power penelitian 75%, kombinasi anestesi umum dan injeksi
subtenon memberi hasil yang lebih baik.

Background: Squint surgery is associated with oculocardiac reflex with bradycardia,
arrhythmia and even asystole case. Surgery in general anesthesia alone could not prevent
this reflex. Objective: The aim of this study was to investigate the effects of a sub-
Tenon’s block combined with general anesthesia on oculocardiac reflex and
postoperative pain. Method: This double blind randomized controlled trial included 15
patients aged 7-60 years scheduled for medial/lateral rectus resection and American
Society of Anesthesiologists status were ASA I-II. Patients were randomly allocated to
receive either sub-Tenon ropivacaine 0,75% or placebo prior to surgery. Changes in heart
rate and incidence of oculocardiac reflex were measured during several stages. Result:
The mean heart rate measured at post induction, conjunctival incision, muscle traction
and resection in ropivacaine group were 70.4, 66.8, 65.4, and 65.4 bpm, respectively and
in placebo group were 78, 74.5, 68.8, and 74.8 bpm. Incidence of oculocardiac reflex in
ropivacaine and placebo group were 28,5% and 50% respectively (p>0.05). Median pain
scores were lower in ropivacaine group at the first hour postoperative. Conclusion: We
conclude that eventhough statistically there was no difference between two groups (power
75%), clinically, combination of ropivacaine 0,75% sub-Tenon block with general
anesthesia showed lower incidence of oculocardiac reflex and lower pain score at the first
hour after surgery.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Perlita Kamilia
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keluhan subjektif mata kering dan gangguan komponen air mata (lipid, akuos, mucin) pada pasien thalassemia mayor dengan riwayat transfusi darah jangka panjang, serta menganalisis hubungan antara kadar feritin serum, durasi, dan frekuensi transfusi darah dengan masing-masing parameter penilaian komponen lapisan air mata. Penelitian ini merupakan studi potong lintang (cross sectional) pada pasien thalassemia mayor yang sudah berusia dan mengalami transfusi darah selama minimal 10 tahun. Penilaian mata kering terdiri dari pengisian kuesioner OSDI untuk menilai keluhan subjektif, pemeriksaan biomikroskopi lampu celah dan nilai tear break up time (TBUT) untuk menilai tingkat keparahan mata kering, pemeriksaan Schirmer basal, Ferning, dan sitologi impressi konjungtiva untuk menghitung jumlah sel goblet. Data perhitungan tingkat keparahan mata kering, nilai uji Schirmer basal, TBUT, dan jumlah sel goblet dianalisis dan dicari hubungannya dengan kadar feritin serum, durasi dan frekuensi transfusi. Pada 77 subyek, mata kering terjadi sebanyak 14.3%, penurunan nilai TBUT (39%), nilai Schirmer basal (37.7%), nilai Ferning (24.7%), dan jumlah sel goblet (45.5%). Tidak terdapat perbedaan bermakna antara tingkat keparahan mata kering, nilai TBUT, nilai Schirmer basal, nilai Ferning, dan jumlah sel goblet dengan kadar feritin serum, durasi, dan frekuensi transfusi. Namun, terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat keparahan mata kering dan usia (p = 0.014), serta nilai TBUT (p = 0.012) dan Schirmer (p = 0.014) dengan jenis kelamin. Penelitian ini memperlihatkan 14.3% subyek thalassemia mayor mengalami mata kering berdasarkan kriteria DEWS 2007. Kejadian mata kering pada thalassemia mayor tidak dipengaruhi oleh faktor transfusi dan kadar feritin serum, melainkan dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin.

This study is aimed to understand subjective complaints for dry eyes and disruption of component of tear fluid (lipid, aqueous, mucin) in patients with major thalassemia with a history of long-term blood transfusions and to analyse the correlation between serum ferritin level, duration and frequency of blood transfusion. This study is a cross-sectional study. The subject of this study is patients with major thalassemia age minimum of 10 years old and have had blood transfusion for at least 10 years. OSDI questionnaire, slit-lamp biomicroscopy examination, tear break up time (TBUT), and basal Schirmer test was used to assess dry eyes severity. Ferning and conjunctiva impression cytology examination was used to assess mucin quality and count the amount of goblet cells. The correlation analysis between the result of these assessments and serum ferritin level and duration and frequency of blood transfusion was done. In 77 subjects, the prevalence of dry eyes is 14.3%. There is a decrease in TBUT (39%), basal Schirmer (37.7%), Ferning (24.7%), and goblet cells (45.5%). There is no significant correlation between dry eyes severity and TBUT, basal Schirmer, Ferning, and the amount of goblet cells with serum ferritin level, duration, and frequency of blood transfusion. There is a significant correlation between dry eyes severity and patient s age (p = 0.014); TBUT (p = 0.012), as well as, Schirmer (p = 0.014) with sex. This study showed that 14.3% of patients with major thalassemia suffer from dry eyes with severity level grade 2 according to DEWS 2007. The incidence of dry eyes is not influenced by transfusion and serum ferritin level but is influenced by age and sex."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58671
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tessa Humaira Anindya
"Latar Belakang: Infeksi kornea yang disebabkan oleh jamur dapat menyebabkan
kerusakan yang lebih berat dibandingkan infeksi bakteri dikarenakan kemampuan jamur
untuk menembus kornea hingga ke bilik mata depan atau sklera. Antijamur tetes yang
tersedia secara komersil hanya natamisin yang memiliki penetrasi rendah. Vorikonazol
sebagai alternatif anti jamur dapat digunakan secara intrastromal untuk mempertahankan
kadar pada kornea. Penggunaan injeksi intrastromal vorikonazol secara tunggal maupun
serial banyak dilaporkan dalam bentuk laporan kasus dan terdapat variasi dalam hal dosis
dan frekuensi serta teknik pemberian.
Tujuan: Mengetahui perbandingan efektivitas pemberian kombinasi vorikonazol topikal
1% dan intrastromal 0.05% secara tunggal dan serial dibandingkan dengan natamisin
topikal 5% sebagai terapi keratitis jamur yang disebabkan oleh jamur Fusarium sp pada
kelinci.
Metodologi: Penelitian ini merupakan uji eksperimental tersamar dengan randomisasi
terhadap kelompok hewan coba kelinci New Zealand White (NZW) dengan desain empat
kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 3 kelinci. Kelompok pertama mendapat
terapi kombinasi tetes vorikonazol 1% tiap jam dan injeksi intrastromal vorikonazol
0.05% yang diberikan 1 kali pada hari 1. Kelompok ke-dua mendapatkan terapi
kombinasi tetes vorikonazol 1% tiap jam dan injeksi intrastromal vorikonazol 0.05%
yang diberikan 2 kali pada hari 1 dan 7. Kelompok ke-tiga mendapatkan terapi
kombinasi tetes vorikonazol 1% tiap jam dan injeksi intrastromal vorikonazol 0.05%
yang diberikan 3 kali pada hari 1, 7 dan 14. Kelompok ke-empat mendapatkan
monoterapi tetes natamisin 5% tiap jam.
Hasil: Hasil penelitian ini menunjukan perbaikan secara klinis berdasarkan luas defek,
luas infiltrat, kedalaman keratitis dan tinggi hipopion pada semua kelompok yang
mendapatkan terapi injeksi vorikonazol maupun natamisin. Pada akhir terapi masih
didapatkan hifa jamur positif secara kualitatif pada 1 kelinci yang mendapatkan injeksi
intrastromal 1 kali dan 1 kelinci dengan terapi natamisin.
Kesimpulan: Kombinasi vorikonazol topikal dan injeksi vorikonazol intrastromal secara
serial menunjukan perbaikan klinis setara dengan natamisin topikal. Dalam hal daya
eliminasi jamur kombinasi vorikonazol topikal dan injeksi vorikonazol intrastromal
secara serial menunjukan hasil lebih baik dibandingkan terapi natamisin topikal dan
injeksi tunggal.

Background: Fungal corneal infections can cause more damage than bacterial infections
due to the fungus's ability to penetrate the cornea to the anterior chamber or sclera.
Natamycin is the only commercially available antifungal drops which has low
penetration. Voriconazole as an antifungal alternative can be used intrastromally to
maintain corneal concentration. The use of single or serial intrastromal voriconazole
injections is widely reported in the form of case reports and there are variations in terms
of dosage and frequency and administration techniques.
Objective: Comparing the effectiveness of topical voriconazole 1% combined with
intrastromal 0.05% single and serial compared to 5% topical natamycin as fungal keratitis
therapy caused by Fusarium sp in rabbits.
Methods: This research is an experimental test by randomizing a group of New Zealand
White (NZW) rabbit animals with a four-group design. Each group consists of 3 rabbits.
The first group received combination therapy of voriconazole drops 1% every hour and
intrastromal injection of 0.05% voriconazole given once on day 1. The second group
received combination therapy of voriconazole drops 1% per hour and intrastromal
injection of voriconazole 0.05% given 2 times on day 1 and 7. The third group received
combination therapy of voriconazole drops 1% every hour and intrastromal injection of
0.05% voriconazole given 3 times on days 1, 7 and 14. The fourth group received
monotherapy with 5% natamycin drops hourly.
Results: The results of this study showed clinical improvement based on corneal defect
size, infiltrate size, keratitis depth and height of hypopyon in all groups receiving
voriconazole and natamycin injection therapy. At the end of the therapy, fungal hyphae
were found in 1 rabbit who received 1 times intrastromal injection and 1 rabbit with
natamycin therapy.
Conclusion: The combination of topical voriconazole and serial intrastromal injection
shows clinical improvement equivalent to topical natamycin. In terms of the fungal
elimination, topical voriconazole and serial intrastromal injection is superior than topical
natamisin therapy and single injection."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hielda Afpa Koeswara
"Latar Belakang: Pembelajaran jarak jauh anak sekolah selama pandemi COVID-19 menyebabkan penggunaan perangkat digital sebagai media pembelajaran. Peningkatan pajanan monitor dan aktivitas melihat dekat diduga meningkatkan angka kejadian astenopia.
Tujuan: Mendapatkan angka kejadian astenopia subjektif dan menilai faktor yang mempengaruhinya pada anak SMP dan SMA Negeri di Jakarta di era pandemi COVID-19.
Metode: Penelitian dengan desain potong lintang menggunakan kuesioner Revised Convergence Insufficiency Symptom Survey (CISS) diadaptasi ke dalam Bahasa melalui tahapan validasi. Skoring CISS 16 sebagai batasan keluhan astenopia yang dialami subjek.
Hasil: Kuesioner CISS versi Bahasa adalah valid dan reliabel dengan nilai p<0,05 dengan koefisien Cronbach’s ±  sebesar 0,910 dan 0,925. Subjek penelitian sebanyak 901 responden. Angka kejadian astenopia sebesar 36%. Analisis multivariat didapatkan pencahayaan ruangan yang kurang terang di luar PJJ (OR=8,25;p=0,001), durasi screen time >2 jam saat PJJ (OR>3,73;p=0,001), penyakit mata lain (OR=3,72;p=0,002), melakukan aktivitas dekat dengan posisi berbaring (OR=2,45;p=0,014), durasi tidur malam <8 jam (OR=2,29;p<0,001), penggunaan kacamata (OR=2,10;p<0,001), aktivitas dekat menonton film dengan perangkat digital/TV (OR=1,67;p=0,004), dan jarak baca <30 cm saat PJJ (OR=1,47;p=0,016) merupakan faktor risiko independent untuk astenopia pada anak sekolah.
Kesimpulan: Kuesioner CISS versi Bahasa merupakan instrumen yang valid dan reliabel untuk mendiagnosis astenopia pada anak sekolah. Angka kejadian astenopia di Jakarta cukup tinggi dengan faktor risiko berupa pencahayaan ruangan kurang terang, durasi daring >2 jam, penyakit mata lain, aktivitas dekat dengan posisi berbaring, durasi tidur malam <8 jam, penggunaan kacamata, aktivitas dekat menonton film dengan perangkat digital/TV, dan jarak baca <30 cm saat PJJ.

Background: Schoolchildren's distance learning during the COVID-19 pandemic has led to digital devices as learning media.
Increased exposure to monitors and near-vision activities is thought to increase asthenopia incidence. Obtain the incidence of
subjective asthenopia and assess the factors that influence Jakarta's junior high and high school students during the COVID-19 pandemic.
Methods: A cross-sectional design study using the Revised Convergence Insufficiency Symptom Survey (CISS) questionnaire was adapted
into Indonesian through a validation stage. CISS score 16 as a limitation of asthenopia complaints experienced by the subject.
Result: Indonesian version of the CISS questionnaire is valid and reliable with p-value <0.05 with Cronbach's coefficient of 0.910 and 0.925,
respectively. The research subjects were 901 respondents. The incidence of asthenopia is 36%. Multivariate analysis showed that the room
lighting was not bright when distance learning (OR=8.25; p=0.001), screen time duration >2 hours during distance learning (OR>3.73;p=0.001),
other eye diseases (OR=3 ,72;p=0,002), doing activities close to the lying position (OR=2,45;p=0,014), sleep duration <8 hours
(OR=2,29;p<0,001), wearing glasses (OR=2 ,10;p<0.001), close activity watching movies with digital devices/TV (OR=1.67;p=0.004), and
reading distance <30 cm during distance learning (OR=1.47;p=0.016) were independent risk factors for asthenopia in schoolchildren.
Conclusion: Indonesian version of the CISS questionnaire is a valid and reliable instrument for diagnosing asthenopia in school children.
The incidence of asthenopia in Jakarta is relatively high with risk factors in the form of poor lighting, online duration >2 hours, other eye
diseases, activities close to lying down, sleep duration <8 hours, use of glasses, close activities watching movies with digital devices/ TV,
and reading distance <30 cm during distance learning.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library